• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Dukungan Emosional terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

2. Kriteria Kontrol

5.6. Pengaruh Dukungan Emosional terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

Caplan dalam Friedman (1998) mengungkapkan bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga dapat berupa tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Lebih jelasnya, Sarafino (2006) menguraikan bahwa dukungan emosional (emotional support) mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan

memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka.

Penderita pasca stroke sangat memerlukan adanya dukungan keluarga untuk berusaha membantu penderita pasca stroke dalam hal menstabilkan kembali emosinya, meredakan kembali kemarahan dan kecemasannya juga untuk menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya agar tetap semangat menjalani kehidupannya.

Menurut Kim JS, dkk dalam Silaen (2008) mengungkapkan bahwa pasien dengan stroke sering menjadi mudah terangsang, impulsif dan marah atau agresif terhadap orang lain. Kim et al tahun 2002 meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan Inability to Control Anger or Aggression (ICAA) pasca stroke dan melaporkan bahwa ICAA berhubungan erat dengan disfungsi motorik, disartria, keadaan emosi, dan lesi yang mengenai area frontal-lenticulocapsular-pontin. Oleh karena itu, dukungan emosional dari keluarga dan orang-orang terdekat memainkan peran yang besar untuk memotivasi penderita di masa depan.

Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Astuti, S.I (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita pasca stroke di RSUD UNDATA Surakarta bahwa diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,461 ; p0

0,002 (p≤ 0,01), yang berarti adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara

dukungan keluarga yang diperoleh penderita maka akan semakin tinggi kestabilan emosi begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan jawaban responden diketahui dukungan emosional yang “Selalu”

diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah berusaha menjaga perasaan penderita stroke agar tidak merasa tersinggung karena perkataan maupun perbuatan yaitu dengan persentase 35% (14 orang), sedangkan pada kelompok kontrol keluarga

“Selalu” mendengarkan keluhan-keluhan penderita stroke dan juga menjaga perasaan penderita masing-masing sebesar 47,5% (19 orang). Dukungan emosional yang

”Sering” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah mendengarkan keluhan -keluhan penderita sebesar 67,5% (27 orang), sedangkan pada kelompok kontrol

dukungan emosional yang “Sering” diberikan keluarga adalah mengungkapkan rasa

kasih sayang kepada penderita sebesar 55,0% (22 orang). Dukungan emosional yang

“Kadang-kadang” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah membiarkan saja

penderita dalam keadaan stress dan tertekan akibat penyakit stroke yang diderita sebesar 40% (16 orang), sedangkan pada kelompok kontrol keluarga “Kadang

-kadang” menunjukkan rasa empati kepada penderita stroke melalui sentuhan

tangan/pelukan. Dari semua bentuk dukungan emosional tersebut masih ada beberapa tindakan yang kurang mendukung penderita stroke. Hal ini diasumsikan karena keluarga juga mengalami kejenuhan hingga stress dalam menghadapi penderita stroke selama bertahun-tahun.

Dennis dalam Silaen (2008) pernah meneliti outcome emosional stroke pada pengasuh di Scotlandia. Gangguan emosional yang berat dan depresi sering dijumpai

pada pengasuh. Pengasuh sepertinya lebih mudah depresif jika pasien stroke bergantung atau mengalami gangguan emosional. Pengasuh wanita untuk pasien pria lebih ansietas dan depresi daripada pengasuh pria. Pengasuh yang lebih tua lebih depresi daripada yang lebih muda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara dukungan emosional keluarga terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai p>0,05 dan OR : 1,222 (95% CI : 0,508-2,943). Tidak adanya hubungan antara dukungan emosional dengan kejadian stroke berulang tersebut diasumsikan karena sebagian besar responden memberikan dukungan emosional yang baik kepada penderita stroke. Berdasarkan data karakteristik responden, sebagian besar (52,5%) responden pada kelompok kasus maupun kontrol adalah anak dari penderita stroke, sehingga diasumsikan mereka memiliki hubungan emosional yang dekat/erat dengan penderita. Kuntjoro (2002) mengemukakan bahwa keeratan emosional merupakan salah satu komponen dukungan sosial. Keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah kemampuan penyesuaian terhadap permasalahan-permasalahan dalam kehidupan yang penuh dengan stress.

Terkait dengan permasalahan stress tersebut, pada artikel kesehatan online spesialis.info diungkapkan bahwa ada perbedaan antara pria dan wanita dalam menghadapi stress. Dimana pria cenderung lebih memilih jalan yang tidak sehat untuk mengatasi stres dibandingkan wanita. Berdasarkan hasil penelitian dari UCLA

pada tahun 2002 (UCLA Study On Friendship Among Women), diketahui bahwa pada saat menghadapi stres, pria lebih sering merespon dengan cara fight-or-flight sedangkan wanita merespon dengan cara tend-and-befriend. Respon Fight artinya pada saat seseorang mengalami stres, maka dia akan menanggapi dengan melakukan tindakan agresif, baik melalui kata-kata ataupun tindakan sedangkan respon flight berarti bahwa saat menghadapi stres, individu tersebut cenderung untuk menyendiri atau melarikan diri dari masalah tersebut, sedangkan pada wanita apabila mengalami stress, mereka cenderung untuk lebih menyibukkan diri merawat/mengasuh keluarga (tend) dan bercerita kepada teman ataupun keluarga perihal masalahnya tersebut (befriend).

Faktor stress ini penting untuk diperhatikan oleh keluarga dan penderita stroke. Dalam artikel Bethesda Stroke Centre tahun 2012 disebutkan bahwa stress emosional akan meningkatkan risiko stroke 1,5-2 kali lipat. Sutanto (2010) juga mengungkapkan bahwa stress dapat menyumbang hingga 20% penyebab stroke, selain itu juga menimbulkan hipertensi atau darah tinggi. Stress yang tidak terkendali akan memicu naiknya tekanan darah dan beresiko terkena serangan jantung. Stress dapat pula menaikkan kadar kolesterol dalam darah. Kondisi tersebut nantinya dapat membuat pembuluh darah tersumbat sehingga penderita rentan terhadap stroke termasuk stroke berulang.

5.7. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa variabel dukungan informasional dan dukungan penilaian memiliki pengaruh terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 dengan nilai p<0,05. Oleh karena itu variabel-variabel tersebut dapat dilanjutkan ke dalam analisis multivariat. Hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa dukungan penilaian adalah variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan nilai p < 0,05.

Pengaruh yang terjadi antara variabel dukungan sosial keluarga berbalik dengan kejadian stoke berulang dengan nilai konstanta negatif (-4,222). Artinya, semakin baik dukungan sosial yang diberikan keluarga maka semakin kecil kemungkinan penderita untuk mengalami stroke berulang. Hal ini didukung oleh nilai OR>1 yang menunjukkan bahwa dukungan penilaian merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang. Dukungan penilaian yang positif membuat penderita stroke merasa tetap dihargai dan tetap dibutuhkan dalam keluarganya.

Menurut Cobb yang dikutip oleh Rustiana (2006) menjelaskan bahwa dukungan penilaian membuat kita mempunyai perasaan bahwa kita ini bernilai, dan masuk hitungan. Penghargaan diri adalah suatu bagian yang penting dari manajemen stress yang sukses. Terkait dengan dukungan penilaian tersebut, Hobfoll dan Lieberman (1987) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa penghargaan diri yang tinggi penting untuk membatasi terjadinya depresi postpartum. Kita

mendapatkan penghargaan dan dukungan-dukungan lain dari hubungan kita dengan seseorang yang akrab dan saling percaya. Hubungan ini memberi kita rasa tentram, rasa bahwa kita dipedulikan.

Pada hasil studi yang dilakukan oleh peneliti dari University of California Los Angeles (UCLA) terhadap 291 orang pria penderita kanker prostat juga menunjukkan hasil yang serupa bahwa dengan adanya dukungan sosial dari keluarga dapat mempercepat proses penyembuhan kanker prostat. Diantara subjek penelitian, 13% mendapat dukungan penuh dari pasangannya, dapat sembuh lebih cepat. Pasangannya bertoleransi dengan penyakit itu dan mengatasinya sejak awal. Ini membuat kesehatan mereka tetap terjaga, sehingga mudah disembuhkan. Dukungan membesarkan hati pasien, maka semangat untuk bertahan hidup tinggi. ini amat berpengaruh pada pertumbuhan sel kanker. Makin besar semangat hidup penderita, sel kanker lebih mudah ditekan. Untuk pria yang membujang, mereka harus mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, misalnya keluarga (Rustiana, 2006).