• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dukungan Sosial Keluarga pada Penderita Stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 Medan Tahun 2011

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

2. Kriteria Kontrol

5.1. Dukungan Sosial Keluarga pada Penderita Stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 Medan Tahun 2011

Kane dalam Friedman (1998) mendefinisikan dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial. Dukungan sosial tersebut dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

Seseorang yang terkena stroke, cacat atau tidak bisa berjalan dengan normal/tidak bisa menggerakkan salah satu bagian tubuhnya merasa sangat tersiksa dan menyimpan penderitaan batin yang sangat berat. Oleh karena itu, penderita stroke membutuhkan dukungan dari orang sekelilingnya, terutama keluarga. Keliat (1996) menjelaskan bahwa keluarga memiliki peran sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit anggota keluarganya. Dukungan keluarga yang tinggi ternyata menunjukkan penyesuaian yang lebih baik terhadap kondisi kesehatan anggota keluarganya.

Hasil penelitian pada subvariabel dukungan sosial keluarga yaitu dukungan informasional dengan nilai OR: 3,370 (95% CI : 1,070-10,613) dan dukungan penilaian dengan nilai OR: 5,211 (95% CI : 1,870-14,520) mempunyai pengaruh terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai p<0,05 dan memiliki nilai OR>1, berarti variabel-variabel ini merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang,

sedangkan variabel lainnya yang terdiri dari dukungan instrumental dan dukungan emosional mempunyai nilai p>0,05 yang berarti tidak ada pengaruh dukungan instrumental dan dukungan emosional terhadap kejadian stroke berulang.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor dukungan sosial keluarga tidak boleh diremehkan dalam menjaga kesehatan penderita stroke. Semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga maka semakin rendah kemungkinan penderita stroke untuk terserang stroke kembali.

Hal ini sesuai dengan pendapat Suhita (2005) yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Keuntungan individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadikan individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill, memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan dan lebih dapat membimbing individu untuk beradapasi dengan stress.

5.2. Pencegahan Stroke Berulang pada Penderita Stroke Rawat Jalan di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

Usman, FS (2012) mengungkapkan bahwa di dunia ini, sekitar 30-40 persen stroke yang timbul merupakan stroke berulang dan akibatnya selalu lebih mematikan dan menimbulkan kecacatan bila dibandingkan stroke sebelumnya. Untuk itu,

upaya-upaya pencegahan stroke berulang yang dikerjakan seorang neurolog dan pasiennya merupakan usaha atau proses terapi seumur hidup.

Menurut Sutrisno (2007), permasalahan yang terjadi pasca serangan stroke yaitu pasien pasca stroke sering beranggapan sembuh setelah menjalani perawatan di rumah sakit dan di rumah. Mereka mengira tidak akan terkena stroke lagi, sebab berbagai terapi sudah dijalani. Misalnya, bila ada perdarahan di otak, sudah dikerjakan operasi evakuasi perdarahan; atau dilakukan clipping aneurysm jika ada aneurisma yang pecah. Lalu, diberi terapi obat-obatan pengencer darah bila terjadi stroke nonhemoragik. Kemudian andai kata terkena kelumpuhan, pasien bisa sembuh setelah menjalani fisioterapi atau rehabilitasi medis. Mereka berpikiran bisa berbuat apa saja, mulai dari mengonsumsi makanan hingga ke pola hidup. Untuk menyikapi hal tersebut keluarga memiliki peranan penting sebagai sistem pendukung utama bagi anggota lainnya dalam kondisi sehat maupun sakit, apalagi pada anggota keluarga yang menderita penyakit kardiovaskular seperti stroke.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada pengaruh pencegahan stroke berulang dengan kejadian stroke berulang pada penderita stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan nilai p<0,05 dan nilai OR: 4,846 (95% CI : 1,882-12,482). Nilai OR>1 menunjukkan bahwa pencegahan stroke merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang.

Berdasarkan jawaban responden pada masing-masing kelompok diketahui bahwa upaya pencegahan yang “selalu” dilakukan penderita pasca stroke pada kelompok kasus adalah menghindari konsumsi minuman beralkohol yaitu sebesar

40,0% (16 orang) dan kelompok kontrol sebesar 67,5% (27 orang). Upaya

pencegahan yang “Sering” penderita pada kelompok kasus lakukan adalah mengonsumsi makanan sehat sebesar 50,0% (20 orang) dan pada kelompok kontrol mereka aktif bergerak/berolahraga sebesar 55,0% (22 orang), meski demikian

penderita pasca stroke pada kelompok kasus “Kadang-kadang” juga makan tidak

teratur dan makan makanan yang tidak sehat yaitu sebesar 62,5% (25 orang) dan pada kelompok kontrol “kadang-kadang” mengonsumsi makanan manis dan berlemak yaitu sebesar 55,0% (22 orang).

Pada dasarnya semua upaya pencegahan stroke berulang harus dilakukan oleh penderita pasca stroke, karena jika masih ada perilaku hidup yang tidak sehat dilakukan oleh penderita akan memicu terjadinya stroke berulang. Beberapa perilaku pemicu stroke yang masih dilakukan penderita stroke dengan frekuensi tinggi yaitu pada kelompok kasus kadang-kadang masih merokok dengan persentase sebesar 57,5 % (23 orang) dan pada kelompok kontrol sebesar 37,5% (15 orang). Hal ini diasumsikan karena sebagian besar penderita stroke berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 60,0% (51 orang) dan umumnya kebiasaan merokok lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita.

Hal ini diungkapkan oleh Endang selaku Menteri Kesehatan dalam Portal

Kesehatan dan kedokteran “Setengah Baya” (2011) yaitu laki-laki yang merokok jumlahnya masih lebih banyak daripada perempuan di Indonesia. Dari 10 perempuan Indonesia, diperkirakan hanya 1 yang merokok. Menkes juga mengatakan bahwa jumlah tersebut masih lebih sedikit dibanding pria yang merokok. Dari 10 pria di

Indonesia, diperkirakan ada sekitar 6-7 orang yang merokok. Kebiasaan merokok ini penting dihindari karena merokok dapat memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Menurut Olsen (dalam Pinzon & Asanti, 2010), risiko stroke akan bertambah 1,5 kali setiap penambahan 10 batang rokok per hari.

Perilaku lain yang penting diperhatikan yaitu mengenai kebiasaan makan.

Penderita stroke pada kelompok kasus “Kadang-kadang” masih suka mengonsumsi

makanan yang mengandung garam tinggi yaitu sebesar 55,0% (22 orang) dan kelompok kontrol sebesar 47,5% (19 orang). Hasil ini bisa diperkirakan dari penyakit penyerta yang diderita penderita stroke yaitu sekitar 46,3% lebih memiliki penyakit darah tinggi (hipertensi). Makanan dengan kadar garam tinggi menyebabkan cairan tertahan di dalam pembuluh darah sehingga tekanan darah pun lebih tinggi.

Pinzon & Asanti (2010) mengungkapkan bahwa hipertensi meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada faktor risiko lainnya. Oleh sebab itu, dalam upaya pencegahan atau pengontrolan tekanan darah tinggi, perlu diterapkan pola makan rendah garam. Pengurangan garam disini bukanlah semua jenis garam namun pembatasan jumlah garam NaCl dalam makanan. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan (monosodium glutamat = MSG), dan sodium karbonat. Konsumsi garam dapur (mengandung iodium) yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari atau setara dengan satu sendok teh.

Kebiasaan makan yang juga “kadang-kadang” masih dilakukan penderita

pasca stroke pada kelompok kasus yaitu mengonsumsi makanan manis dan berlemak yaitu sebesar 45,0% (18 orang) dan pada kelompok kontrol sebesar 55,0% (22 orang). Menurut Susilawati (2012) dilaporkan bahwa terlalu banyak mengonsumsi gula akan mengakibatkan kegemukan dan munculnya penyakit diabetes tipe-2 karena hormon insulin sudah resisten dan tidak mampu lagi mengubah gula darah untuk disimpan. Diketahui kegemukan dan diabetes akan mempengaruhi pembuluh darah arteri dan hipertensi. Makanan produk fastfood dan restoran atau warung tradisional terutama makanan hewaninya (daging sapi, kambing, ayam, telur dll) mengandung kadar lemak dan kolesterol tinggi.

Menurut Pinzon & Asanti, diabetes merupakan salah satu faktor risiko stroke iskemik yang utama. Diabetes akan meningkatkan risiko stroke dua kali lipat. Peningkatan kadar gula darah berhubungan lurus dengan risiko stroke (semakin tinggi kadar gula darah, semakin mudah terkena stroke). Penelitian Amarenco, dkk (2006) (dalam Pinzon & Asanti,2010) menunjukkan bahwa pada 492 pasien stroke iskemik, kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat) dan kolesterol total yang tinggi meningkatkan risiko stroke sampai dua kali lipat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperkirakan bahwa tingkat kesadaran yang rendah pada penderita pasca stroke dikhawatirkan bisa memicu stroke berulang kembali. Bila terjadi serangan stroke lagi bisa saja lebih ganas dan berat.Tidak sedikit pasien yang tidak dapat diselamatkan jiwanya karena stroke kedua. Beberapa riset menunjukkan, 20 persen pasien stroke akan meninggal dalam sebulan setelah

serangan pertama bila terkena stroke berulang. Sisanya masih bertahan hidup, tetapi yang meninggal dunia lima tahun kemudian gara-gara stroke berulang sebesar 9 persen. Risiko itu juga terjadi pada penderita Transient Ischemic Attack (TIA). Oleh sebab itu, pasien dan keluarga harus memerhatikan beberapa faktor risiko yang dipunyai pasien.

Hal ini juga didukung oleh Usman, FS (2011) dalam majalah kesehatan online yang mengungkapkan bahwa dalam menekan angka stroke berulang, hal-hal yang perlu dan harus diperhatikan adalah mengetahui faktor risiko dan melakukan upaya-upaya, baik dalam memodifikasi gaya hidup, menjalani terapi yang diperlukan dan yang tidak kalah penting adalah melakukan pemeriksaan yang dapat memberikan informasi optimal faktor risiko yang dimiliki seseorang untuk terjadinya stroke ataupun stroke berulang. Apabila kita analogikan otak adalah sebuah rumah, maka faktor utama untuk mencapai rumah tersebut adalah jalan menuju rumah, sehingga bukan hal yang aneh bila pemilik rumah selalu menjaga dan merawat jalan menuju rumahnya, agar orang-orang dapat mengunjungi rumah tersebut dengan mudah. Demikian pula otak, seringkali kita melupakan jalan menuju otak, padahal faktor paling penting untuk menjaga aliran/suplai makanan dan oksigen ke otak adalah pembuluh darah otak yang bersih dan sehat (tidak ada penyempitan ataupun penyumbatan), sehingga pemeriksaan otak yang optimal adalah dengan memeriksa jalan menuju otaknya juga, dalam hal ini pembuluh darah yang menuju otak.

Terkait dengan perilaku hidup penderita pasca stroke tersebut, Snehandu B. Kar dalam Notoatmodjo (2007) merumuskan teori perilaku kesehatan yang

menyatakan bahwa seseorang itu bisa berperilaku sehat salah satunya karena ada dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Dalam penelitian ini, dukungan sosial tersebut berasal dari keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang hidup bersama dengan penderita stroke, sehingga mereka mengetahui perilaku sehari-hari penderita stroke di rumah. Untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial yang diberikan keluarga terhadap kejadian stroke berulang dapat diuraikan sebagai berikut.

5.3. Pengaruh Dukungan Informasional Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

Menurut Caplan dalam Friedman (1998), keluarga dalam memberikan dukungan informasi berperan sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar informasi). House dalam Smet (1994) mengutarakan bahwa bantuan informasi yang diberikan dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama.

Keluarga yang merawat penderita stroke biasanya sudah memiliki pengetahuan tentang penyakit stroke yang bersumber dari dokter, perawat ataupun terapis yang menangani pasien selama dirawat di rumah sakit. Apalagi pada keluarga yang sudah terbiasa menemani pasien stroke untuk rawat jalan di rumah sakit selama ± 5 tahun. Hal ini didukung oleh hasil penelitian S, Tri Puji Teguh (2008) pada keluarga penderita stroke yang berkunjung ke Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum

Semarang, dimana sebanyak 75 keluarga yang diambil dengan teknik accidental sampling mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang penyakit stroke, yaitu sebesar 88,0%. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keluarga yang menemani penderita stroke untuk rawat jalan di RSUD dr. Pirngadi Medan juga sudah mempunyai pengetahuan tentang stroke dan bisa memberikan informasi tersebut kepada penderita stroke.

Berdasarkan jawaban responden pada kelompok kasus maupun kontrol

diketahui bahwa informasi yang “Selalu” diberikan keluarga adalah tentang upaya

penyembuhan dan pemulihan penyakit stroke yaitu sebesar 55,0% (22 orang) dan 42,5% (17 orang). Dukungan informasi yang “Sering” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah menyarankan penderita agar rajin melatih gerakan tubuh yatu sebesar 67,5% (27 orang), sedangkan pada kelompok kontrol keluarga memberi tahu bahwa beberapa penyakit dapat memicu stroke serta menasehati penderita stroke agar menghindari makanan dan minuman yang dapat memicu darah tinggi seperti makanan ringan (snack), daging kambing, kopi, alkohol dll masing-masing sebesar 60% (24 orang) dan hal yang “Kadang-kadang” dilakukan keluarga pada kelompok

kasus yaitu membolehkan penderita penderita mengonsumsi makanan apa saja yang disukai meskipun beresiko terhadap kesehatan penderita seperti gorengan, jeroan, makanan lemak bersantan sebesar 57,5% (23 orang), sedangkan pada kelompok

kontrol “Kadang-kadang” keluarga lupa mengingatkan penderita agar kontrol ke

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan informasional terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai p<0,05 dan nilai OR: 3,370 (95% CI: 1,070-10,613). Nilai OR>1 menunjukkan bahwa dukungan informasional merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang. Oleh sebab itu, keluarga hendaknya selalu meningkatkan pengetahuan tentang penyakit stroke serta cara perawatannya sehingga bisa menyampaikan informasi tersebut kepada penderita baik dalam bentuk lisan (nasehat & saran) maupun tulisan (buku, majalah,dll).

Hal ini penting dilakukan karena berdasarkan hasil penelitian Diartawan (2009) diketahui bahwa pengetahuan keluarga tentang stroke mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi keluarga merawat klien stroke di Poli Klinik saraf RSPAD Soebroto Jakarta Pusat, dimana semakin tinggi pengetahuan keluarga tentang stroke maka akan semakin tinggi motivasi keluarga dalam merawat klien stroke. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin baiknya pengetahuan keluarga tentang penyakit stroke dan upaya pencegahannya, maka dukungan informasi keluarga kepada penderita stroke juga semakin baik dan diharapkan dapat mempengaruhi perilaku kesehatan penderita dalam upaya mencegah terjadinya stroke berulang.

5.4. Pengaruh Dukungan Penilaian Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011

House dalam Smet (1994) mendefinisikan dukungan penilaian adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial

keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif. Menurut Caplan dalam Friedman (1998) pada dukungan penilaian, keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga.

Pada penelitian ini bentuk dukungan penilaian yang “Selalu” diberikan

keluarga pada kelompok kasus maupun kontrol adalah menyemangati penderita bahwa ia bisa pulih kembali yaitu masing-masing sebesar 45,0% (18 orang) dan

72,5% (29 orang). Dukungan penilaian yang “Sering” diberikan keluarga pada

kelompok kasus memberi semangat kepada penderita bahwa ia bisa pulih kembali sebesar 45,0% (18 orang) sedangkan keluarga pada kelompok kontrol “Sering”

meminta pendapat kepada penderita apabila ada masalah keluarga sehingga ia merasa

tetap dihargai yaitu sebesar 62,5% (25 orang). Dukungan penilain yang “Kadang

-kadang” dilakukan keluarga pada kelompok kasus adalah merasa pesimis bahwa

penderita stroke bisa pulih kembali yaitu sebesar 62,5% (25 orang), sedangkan keluarga pada kelompok kontrol adalah menganggap penderita sebagai orang yang lemah dan tidak berguna sebesar 40,0% (16 orang).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan penilaian keluarga dengan kejadian stroke berulang dengan nilai p<0,05 dan nilai OR : 5,211 (95% CI: 1,870-14,520). Nilai OR>1 berarti dukungan penilaian keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin baik dukungan penilaian yang diberikan keluarga terutama dalam memotivasi kesembuhan dan tetap menghargai penderita, maka akan semakin kecil kemungkinan penderita

stroke mengalami stroke berulang yang tentunya juga harus didukung dengan upaya pencegahan stroke yang baik.

Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmawati, T (2012) tentang hubungan dukungan keluarga dalam proses perawatan dengan motivasi sembuh pada pasien stroke di RS PKU Muhammadiyah Gombong.Hasil penelitiannya menunjukkan dukungan keluarga dalam proses perawatan pasien stroke mayoritas kurang baik (46,67%), dan motivasi sembuh pasien stroke mayoritas juga kurang (43,33%). Selain itu diperoleh nilai p=0,003. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah terdapatnya hubungan bermakna antara dukungan keluarga dalam proses perawatan dengan motivasi sembuh pada pasien stroke di RS PKU Muhammadiyah Gombong.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dukungan keluarga berperan penting pada proses penyembuhan penderita stroke. Oleh sebab itu, sangat diharapkan agar keluarga memberikan dukungan penilaian yang positif kepada penderita pasca stroke agar tetap semangat menjalani proses perawatan dan optimis bisa sembuh.

5.5. Pengaruh Dukungan Instrumental Keluarga terhadap Kejadian Stroke