• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors) . 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal

2.3.2.3 Faktor Sebelum Melahirkan (Pre-Delivery Factors) . 38

Faktor sebelum melahirkan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah kunjungan antenatal dan komplikasi kehamilan (Singh, dkk., 2013, Bashir, dkk., 2013; Singh, dkk 2014).

1) Kunjungan Antenatal

Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Berbagai bentuk upaya pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktor-faktor yang memperlemah kondisi seorang ibu hamil perlu diprioritaskan seperti gizi rendah, anemia dan jarak antar kelahiran dekat (Saifudin, dkk, 2009). Asuhan antenatal merupakan upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi kesehatan maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan rutin selama kehamilan (Saifuddin, dkk., 2010). Adanya manajemen yang baik saat bayi masih dalam kandungan, selama persalinan, segera setelah dilahirkan dan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan setelahnya akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk., 2009).

Indikator yang digunakan untuk menggambarkan akses ibu terhadap layanan antenatal adalah cakupan kunjungan pertama (K1) dan cakupan kunjungan minimal empat kali (K4) dengan tenaga kesehatan sesuai standar. K1 sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama sebelum minggu ke-8. Sedangkan K4 sebaiknya dilakukan minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2 kali pada trimester ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes RI, 2012).

Janin yang melakukan aktivitas secara aktif menununjukkan janin berada dalam kondisi baik. Adanya penurunan aktivitas janin menunjukkan janin dalam kondisi bahaya dan membutuhkan penanganan secepatnya (Ladewig, dkk., 2006). Kondisi seperti ini bisa diketahui apabila ibu melakukan kunjungan antenatal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal (<4, ≥4). Kunjungan ANC merupakan faktor protektif yang berhubungan dengan kematian neonatal pada minggu pertama (OR: 0.65) dan pada hari pertama kehidupan (OR: 0.71) (Singh, dkk., 2014). Beberapa

penelitian lainnya yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal (Rahmawati, 2007; Dewi, 2010; Sukamti, 2011; Sugiharto, 2011).

Pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat mencegah kematian neonatal (Sukamti, 2011). Ibu yang tidak pernah melakukan kunjungan ANC mempunyai kecenderungan untuk mengalami kematian bayi sebesar .3.09 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan ANC sesuai standar minimal (Faisal, 2010). Penelitian lainnya menemukan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu dengan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko mengalami kematian neonatal sebesar 16.32 lebih besar daripada bayi yang dilahirkan ibu dengan pelayanan antenatal lengkap (Yani & Duarsa, 2013).

Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan selama kehamilannya akan menerima pemeriksaan dan pengidentifikasian kondisi-kondisi yang berkaitan dengan komplikasi serta edukasi mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002). Penelitian lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural Tanzania menegaskan bahwa sekitar 62% kasus

kematian neonatal sebetulnya dapat dicegah melalui kegiatan layanan antenatal di fasilitas layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan bertanggungjawab terhadap lebih dari setengah dari faktor-faktor terhadap kematian neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor kegagalan klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang terjadi di tingkat rumah sakit itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk melakukan peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin termasuk layanan kehamilan di rumah sakit.

Kunjungan antenatal yang terlambat kemungkinan menghambat ibu untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari strategi pencegahan pada layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi, asam folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan untuk pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk., 2006).

Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di Indonesia menemukan bahwa yang berhubugan sangat kuat dengan rendahnya kunjungan antenatal yaitu bayi dari ibu yang tinggal di daerah rural, memiliki tingkat indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari ibu dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi

dan jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian kualitatif yang dilakukan di beberapa daerah rural Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku Alifuru di Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu (terlihat jelas ibu hamil). Kunjungan saat terakhir menstruasi (K1) dan kunjungan pada trimester kedua relatif kecil (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa alasan ibu Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu karena Puskesmas Pembantu yang ada di desa tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti obat-obatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit dijangkau oleh masyarakat di RT lain dan tenaga kesehatan yang ditugaskan sering tidak berada di tempat sehingga membuat masyarakat kesulitan saat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat memilih langsung melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit yang ada di Kabupaten. Rumah sakit berada sangat jauh dari desa dan harus melewati jalan yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan disamping memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga beberapa ibu hamil lainnya memilih tidak

memeriksakan kehamilannya dengan alasan petugas kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian lainnya pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan vitamin rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).

Namun, penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel antenatal dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010). Penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya juga menunjukkan tidak ada hubungan antara ANC dengan kematian neonatal (Wijayanti, 2013).

2) Komplikasi Kehamilan

Menurut McCarthy & Maine (1992), komplikasi kehamilan terdiri dari perdarahan, infeksi, pre-eklampsia/eklampsia, persalinan lama/macet dan abortus.

Komplikasi kehamilan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan. Masalah kesehatan ibu bisa saja terjadi sebelum kehamilan yang pada akhirnya berdampak komplikasi pada masa kehamilan. Komplikasi ini dapat berdampak pada kesehatan ibu, kesehatan bayi ketika dilahirkan, atau keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002).

Perdarahan yang terjadi pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya. Perdarahan setelah kehamilan dua minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada sebelum 22 minggu sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda. Perdarahan yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Kejang merupakan salah satu gejala pada wanita penderita eklampsia yang biasanya juga diikuti dengan koma. Biasanya eklampsia terjadi didahului pre-eklampsia, sehingga pengawasan antenatal yang teliti dan teratur merupakan salah satu upaya untuk mencegah timbulnya eklampsia (Wiknjosastro, dkk., 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal dini. Prevalensi kematian neonatal dini lebih besar pada kelompok komplikasi kehamilan

dibandingkan tidak mengalami komplikasi kehamilan (Nugraheni, 2013). Penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan kejadian kematian neonatal (95% CI, 1.690-3.897) (Wijayanti, 2013). Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko 1.8 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Rahmawati, 2007). Hasil penelitian (Schoeps, dkk., 2007) juga menunjukkan terdapat hubungan antara komplikasi saat kehamilan dengan kematian neonatal.

Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013).

Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi dibandingkan etnik lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat

melahirkan. Padahal petugas kesehatan telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena tingginya kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari (Kemenkes RI, 2012). Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).

Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada

perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani, 2009).

Penelitian lainnya yang dilakukan Dewi (2010) menunjukkan tidak ada hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal.

2.3.2.4Faktor Saat Melahirkan (Delivery Factors)

Faktor saat melahirkan yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup neonatal adalah penolong persalinan, komplikasi persalinan, persalinan cesario dan tempat persalinan (Titalley, dkk., 2008; Singh, dkk., 2013; Bashir, dkk., 2013; Chaman, dkk 2009; Singh, dkk., 2014).

1) Penolong Persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penolong persalinan memiliki tugas untuk mengawasi ibu yang sedang berada pada proses persalinan dan mengecek apakah semua persiapan untuk persalinan sudah lengkap serta member obat kepada ibu jika terdapat indikasi bagi ibu maupun anaknya

(Wiknjosastro, dkk., 2002). Penanganan medis yang tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi yang bisa menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Penolong persalinan memiliki hubungan dengan kematian neonatal pada minggu pertama kehidupan yang terjadi di Asia (Singh, dkk., 2014). Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal (Pertiwi, 2010; Wijayanti, 2013). Ibu yang melahirkan dengan bantuan tenaga bukan kesehatan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 2.01 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan bayi dengan bantuan tenaga kesehatan (Faisal, 2010). Penelitian yang dilakukan Yani & Duarsa (2013) juga menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan dengan kejadian kematian neonatal.

Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83% persalinan pada kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh tenaga kesehatan profesional (62% perawat/bidan/bidan

desa, 20% dokter kandungan dan 1% dokter). Proporsi ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007 sebesar 73% persalinan yang ditolong tenaga kesehatan profesional (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).

Menurut Yego, dkk (2013) akses terhadap penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan neonatal. Penolong persalinan yang sebagian besar dilakukan oleh penolong persalinan dengan keterampilan yang rendah dapat berkontribusi terhadap kejadian kematian neonatal dan kematian maternal. Pada penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong persalinan mampu menangani kasus infeksi yang diketahui merupakan penyebab terbanyak kasus kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Kusiako, dkk (2000) menunjukkan bahwa komplikasi pada saat melahirkan merupakan penyebab sepertiga kematian pada perinatal. Padahal peningkatan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan layanan neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan kematian pada perinatal. Penelitian yang dilakukan di

Jawa Barat menemukan bahwa ibu yang mengakses penolong persalinan terlatih atau melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar dilakukan ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley, dkk., 2010). Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat Suku Nias juga menemukan bahwa terkadang keluarga alot dalam memutuskan merujuk ke rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut menyebabkan ibu terlambat mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu yang sudah mengalami masalah pada persalinannya (Kemenkes RI, 2012).

Review yang dilakukan Upadhyay, dkk (2012) juga menunjukkan bahwa kurangnya sumber daya yang terampil merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang terjadi di daerah rural India. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang terkualifikasi ke daerah rural merupakan tantangan yang harus dilakukan untuk menghindari kematian pada neonatal.

Pada penelitian Zimba, dkk (2012) juga menemukan bahwa walaupun Malawi mengalami

peningkatan jumlah penolong persalinan terampil, tetapi sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami komplikasi masih belum mendapatkan penanganan kesehatan yang diperlukan. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peralatan dan kualitas layanan yang tidak memadai juga merupakan tantangan di wilayah Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh, dkk (2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada saat ini, tidak mencakup unsur layanan yang memadai. Walaupun sebagian besar negara di Afrika dan Asia mengalami peningkatan jumlah tenaga penolong persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki kompetensi yang diperlukan atau peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. Berdasarkan tingginya kematian pada minggu pertama kehidupan, pelatihan intervensi pada masa intrapartum harus ditekankan.

Adapun penyebab masih tingginya kematian neonatal pada penolong pesalinan non tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia kemungkinan terjadi karena masih rendahnya akses ibu hamil terhadap tenaga keseahatan.menurut. Seperti diketahui hasil penelitian Titaley, dkk (2010) bahwa di beberapa daerah terpencil

di Indonesia, bidan desa yang pada beberapa wilayah merupakan satu-satunya tenaga kesehatan penolong persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar desa (Titaley, dkk., 2010).

Masih tingginya kematian pada penolong persalinan non tenaga kesehatan kemungkinan besar karena pengetahuan dan keterampilan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat kurang tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin, maupun tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi penanganan ibu dengan gejala eklampsia, akan sangat sulit bagi penolong bukan tenaga kesehatan untuk dapat melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan penolong yang kurang tentang bagaimana melakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko terjadinya gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi, dan risiko lainnya yang biasa melekat pada bayi baru lahir, sangat berpengaruh besar terhadap status kesehatan neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin besar (Astuti, dkk., 2010).

Namun, pada beberapa penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian bayi (Sugiharto, 2011;

Dewi, 2010). Penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal dini. 2) Komplikasi Persalinan

Komplikasi persalinan merupakan tanda bahaya yang terjadi pada saat persalinan. Komplikasi yang terjadi pada saat persalinan diantaranya adalah perdarahan, ketuban pecah sebelum waktunya dan persalinan lama (Kemenkes RI, 2011). Perdarahan yang banyak segera atau dalam satu jam setelah melahirkan sangat berbahaya dan merupakan penyebab kematian ibu paling banyak. Ibu harus segera mendapatkan pertolongan agar bisa diselamatkan (Kemenkes RI, 2011). Ketuban pecah dini merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Biasanya ketuban pecah saat menjelang persalinan, setelah ada tanda awal persalinan seperti mulas dan keluarnya lendir bercampur sedikit darah. Bila ketuban pecah dan cairan ketuban keluar sebelum ibu mengalami tanda-tanda persalinan, janin dan ibu akan mudah terinfeksi (Kemenkes RI, 2011).

Kemudian, persalinan lama merupakan waktu persalinan yang memanjang akibat kemajuan persalinan yang terhambat (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013).

Biasanya persalinan berlangsung kurang dari 12 jam. Apabila persalinan lebih dari 12 jam perlu ibu harus segera mendapatkan pertolongan di rumah sakit untuk menyelamatkan janin serta mencegah perdarahan dan infeksi pada ibu (Kemenkes RI, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara komplikasi kelahiran dengan kematian neonatal (Dewi, 2010). Ibu yang memiliki komplikasi persalinan meningkatkan risiko kematian neonatal sebesar 1.5 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi saat persalinan dengan kematian neonatal (Schoeps, dkk., 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais, dkk., 2013).

Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan karena hamil pada usia lebih dari 45 tahun dan memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Tingkat

anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi dibandingkan etnik lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya kejadian retensio plasenta saat melahirkan. Padahal petugas kesehatan telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena tingginya kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari (Kemenkes RI, 2012).

Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi Gorontalo menemukan sebagian ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak memakan vitamin yang diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat. Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).

Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO; Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk.,

2009). Berdasarkan hasil review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu. Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian pada perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu dengan Hb <8.0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5.0 gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8.0 gr/dl (Kalaivani, 2009).

Penelitian lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara komplikasi selama persalinan dengan kematian neonatal (Wijayanti, 2013).

3) Persalinan Caesar

Persalinan caesar merupakan tindakan untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Saifuddin, dkk., 2009). Persalinan caesar merupakan operasi besar yang dilakukan pada saat terdapat alasan kesehatan tertentu (Whalley, dkk., 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persalinan dengan cara bedah caesar memiliki hubungan dengan kematian neonatal (Bashir, dkk., 2013). Bayi dari ibu yang kembali melakukan persalinan dengan cara caesar

memiliki angka kesakitan (penyakit pernapasan) lebih tinggi dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan ibu yang melakukan persalinan per vaginam yang sebelumnya melakukan persalinan caesar (Kamath, dkk., 2009). Kematian neonatal meningkat sejalan dengan tingginya persalinan caesar yang dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan. Selain itu secara keseluruhan, persalinan caesar (kondisi kegawatdaruratan maupun non kegawatdaruratan) berhubungan dengan meningkatnya kesakitan pada neonatal (Shah, dkk., 2009).

Hasil review literatur menyebutkan bahwa persalinan caesar tanpa adanya alasan kesehatan (kegawatdaruratan) juga bisa membahayakan kondisi ibu dan janinnya baik dari segi pendek maupun lamanya waktu yang diperlukan prosedur persalinan caesar dibandingkan persalinan normal (Wiklund, dkk., 2012).

Penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar terhadap kematian neonatal dini (Nugraheni, 2013). Penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) juga menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat operasi caesar dengan kejadian kematian neonatal.

4) Tempat Persalinan

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu dan anak adalah terbatasnya tempat persalinan yang memadai. Upaya untuk mengurangi risiko kematian ibu dan anak adalah sangat penting dengan cara meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan yang profesional yang dilakukan di fasilitas kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan di fasilitas non kesehatan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1.35 kali lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan bayi di fasilitas kesehatan (Faisal, 2010). Melahirkan diluar fasilitas layanan kesehatan lebih memungkinkan untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan melahirkan dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (Ajaari, dkk., 2012).

Penelitian kualitatif pada Suku Mamasa, Sulawesi Barat menemukan bahwa walaupun telah terdapat program Jampersal (Jaminan Persalinan) namun belum diketahui oleh ibu-ibu di wilayah tersebut. Selain itu, mereka belum mempercayai sepenuhnya bahwa bersalin di fasilitas kesehatan tidak dikenakan biaya/gratis. Apalagi jika mereka harus di rujuk ke

Rumah Sakit, akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Selain itu, permasalahan juga terdapat pada tenaga kesehatan dimana belum keluarnya pembayaran (klaim) terhitung sejak 2011-2012. Padahal semua catatan dan bukti telah terkumpul dengan rapi. Kejadian tersebut terjadi pada semua bidan di desa dan kecamatan di Kabupaten Mamasa. Meskipun demikian, bidan desa tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang ditolong di fasilitas persalinan (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian lainnya pada suku Toraja Sa’dan menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan lain, pertimbangan ekonomi untuk memenuhi biaya-biaya di luar cakupan Jampersal, seperti transportasi, uang makan keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan,

Dokumen terkait