BAB VI PEMBAHASAN
6.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di
6.3.6 Paritas
Menurut Kamus Saku Mosby, paritas merupakan klasifikasi
perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang
dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada saat
hamil, rahim ibu teregang karena adanya janin. Apabila terlalu sering
melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Jika ibu telah melahirkan
3 anak atau lebih, perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu
kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes RI, 2011).
Pada penelitian ini, paritas dibedakan menjadi kelompok
paritas 1-3 dan paritas lebih dari 3. Pengkategorian ini didasarkan pada
hasil penelitian sebelumnya (Titaley, dkk., 2008) yang membagi
paritas kedalam dua kelompok. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak sebesar 19,1%.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
paritas dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Titaley, dkk (2008) bahwa paritas lebih dari tiga memiliki
hubungan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijayanti (2013) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan
kematian neonatal.
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian
neonatal lebih tinggi pada ibu dengan paritas lebih dari tiga. Hasil ini
konsisten dengan penelitian Titaley (2008) di Indonesia yang
menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi pada bayi
dengan urutan kelahiran lebih dari empat dengan jarak kelahiran
kurang atau sama dengan dua tahun. Bayi dengan urutan kelahiran
lebih dari tiga merupakan faktor risiko potensial terhadap kematian
neonatal (Chaman, dkk., 2009). Tingginya paritas berkaitan dengan
semakin melemahnya rahim ibu akibat terjadinya peregangan rahim
karena keberadaan janin (Kemenkes RI, 2011).
Hasil peneilitian Faisal (2010) juga menunjukkan bahwa ibu
yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai kecenderungan
untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1,66 kali
dibandingkan ibu yang telah melahirkan 1-3 anak. Pada penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa kematian neonatal semakin
meningkat pada ibu dengan paritas lebih dari tiga (Kozuki, dkk.,
2013). Kozuki, dkk (2013) juga menemukan bahwa kelahiran pertama
(nulipara) menunjukkan risiko kematian neonatal yang lebih tinggi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa ibu dengan kelahiran pertama
memiliki risiko yang meningkat terhadap hipertensi, BBLR dan
persalinan caesar. Ibu dengan paritas tinggi namun tidak memiliki
riwayat komplikasi sebelumnya memiliki risiko yang rendah terhadap
terjadinya komplikasi (Majoko, dkk., 2004).
Pada penelitian ini, peneliti memasukan paritas satu kedalam
kelompok tidak berisiko berdasarkan pertimbangan terhadap
penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian
tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara paritas satu dengan
kematian neonatal (Rahmawati, 2007; Nugraheni, 2013). Selain itu,
penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara paritas lebih dari
tiga dengan kematian neonatal (Faisal, 2010). Penelitian yang
dilakukan di daerah rural Iran juga menunjukkan paritas lebih dari tiga
memiliki hubungan dengan kejadian kematian pada neonatal (Chaman,
dkk., 2009).
Hasil penelitian kualitatif pada Suku Ngalum Provinsi Papua
menemukan bahwa ibu yang hamil pada usia lebih dari 45 tahun
memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang
berdekatan. Namun, dengan jumlah anak yang banyak dan tingkat
anemia tinggi/gizi kurang sehingga banyak ditemukan kasus retensio
plasenta (plasenta tertahan di dalam rahim tidak keluar bersama bayi).
Sehingga, ditemukan tingkat kematian ibu yang sangat tinggi pada
Suku Ngalum (Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan bahwa nilai
anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak
masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk
Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang
mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja
Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga
besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka
miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan
bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk
menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi
orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam
keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan,
sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut
masih dianggap belum lengkap (Kemenkes RI, 2012).
Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang
bisa dilakukan untuk mengontrol jumlah kelahiran adalah penggunaan
metode kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh,
menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi berhubungan
dengan kejadian kematian neonatal. Pada ibu yang pernah
menggunakan metode kontrasepsi sekitar 39% lebih rendah terhadap
kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan
metode kontrasepsi (Chowdhury, dkk, 2013).
Pemakaian metode kontrasepsi (Contraceptive Prevalence
Rate) di Indonesia menurut hasil SDKI 2012 diketahui tidak ada
perbedaan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu
sebesar 62%. Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61%. Pemakaian metode
kontrasepsi modern juga mengalami peningkatan dari 57% menjadi
58% (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Namun,
angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5
untuk meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi modern sebesar 65% pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014).Diantara metode KB modern, metode KB yang paling banyak
digunakan wanita berstatus kawin adalah suntikan dan pil
(masing-masing 32 dan 14%). Peserta KB suntikan mengalami peningkatan
dari 12% tahun 1991 menjadi 32% tahun 2012. Sedangkan peserta KB
IUD mengalami penurunan dari 13% tahun 1991 menjadi 4% tahun
2012. Wanita di daerah perdesaan cenderung lebih banyak
menggunakan metode suntik dibanding daerah perkotaan
(masing-masing sebesar 28% dan 35%) sedangkan metode IUD,
MOW/sterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di gunakan di
daerah perkotaan (BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International,
2013).
Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi
(unmetneed) wanita berstatus kawin 15-49 tahun pada SDKI 2012
sebesar 11% (7% untuk membatasi kelahiran dan 4% untuk
menjarangkan kelahiran). Walaupun unmetneed ini telah turun dari
13% pada SDKI 2007 menjadi 11% pada SDKI 2012 (BPS, BKKBN,
Kemenkes & ICF International, 2013), namun angka ini masih belum
mencapai target MDGs 5 untuk menurunkan unmetneed menjadi 5%
pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan Tengah
menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak Siang Murung terpaksa
tidak melakukan KB karena alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia
(Kemenkes RI, 2012). Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa
ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu tetap ingin
memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup Banyak Anak Banyak
Rezeki masih diyakini beberapa warga hingga saat ini (Kemenkes RI,
2012).
Sehingga upaya penurunan angka kematian neonatal dengan
mengunakan strategi peningkatan pemakaian metode kontrasepsi perlu
dilakukan. Startegi pemakaian metode kontrasepsi selain
memperhatikan aspek kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan juga
memperhatikan aspek budaya/adat masyarakat setempat.
Dalam dokumen
Determinan Kematian Neonatal di Daerah Rural Indonesia Tahun 2008-2012
(Halaman 149-155)