• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kematian Neonatal di

6.3.7 Kunjungan Antenatal

Kunjungan antenatal merupakan pemeriksaan kesehatan yang

dilakukan ibu hamil selama masa kehamilannya minimal empat kali

yaitu minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu),

minimal satu kali pada trimester ke-2 (≥12-24 minggu) dan minimal 2

kali pada trimester ke-3 (≥24 minggu sampai kelahiran) (Kemenkes

RI, 2012). Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi

dilahirkan melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu

hamil. Manajemen yang baik yang diperoleh bayi saat masih dalam

kandungan akan menghasilkan bayi yang sehat (Saifudin, dkk., 2009).

Pada penelitian ini, kunjungan antenatal dikategorikan menjadi

melakukan kunjungan antenatal dan tidak melakukan kunjungan

antenatal. Ibu dikategorikan melakukan kunjungan antenatal apabila

ibu melakukan kunjungan minimal satu kali pada trimester pertama,

minimal satu kali pada trimester kedua dan minimal dua kali pada

trimester ketiga. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan kriteria

kunjungan antenatal yang di rekomendasikan di Indonesia (Kemenkes

RI, 2012). Selain itu, pengkategorian ini juga didasarkan pada hasil

penelitian-penelitian sebelumnya (Yani & Duarsa, 2013; Singh, dkk.,

2014).

Pada penelitian ini diketahui bahwa tiga provinsi paling tinggi

yang telah melakukan kunjungan antenatal sesuai dengan rekomendasi

Kemenkes RI (1-1-2) di daerah rural Indonesia yaitu Provinsi DIY

(87,2%), Provinsi Bali (84%) dan Provinsi Jawa Tengah (82,6%).

Adapun tiga provinsi dengan jumlah kunjungan antenatal paling

rendah yaitu Provinsi Papua (31,7%), Provinsi Sulawesi Barat (33,8%)

dan Provinsi Gorontalo (43,4%). Angka cakupan tertinggi kunjungan

antenatal pada penelitian ini masih belum mencapai target rencana

strategis Kementerian Kesehatan RI yaitu sebesar 93% untuk target

kunjungan antenatal K4.

Pada penelitian ini, ibu yang tidak melakukan kunjungan

antenatal selama kehamilannya adalah sebesar 37,7%. Hasil uji

statistik didapatkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan

antenatal dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Singh, dkk (2014) bahwa terdapat

hubungan antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal.

Penelitian lainnya menemukan bahwa ibu yang tidak melakukan

kunjungan antenatal memiliki risiko mengalami kematian neonatal

lebih tinggi dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan antenatal

(Faisal, 2010; Yani & Duarsa, 2013). Namun, hasil ini tidak sesuai

dengan hasil pada penelitian-penelitian lainnya di Indonesia (Pertiwi,

2010; Nugraheni, 2013; Wijayanti, 2013).

Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian

neonatal lebih tinggi pada kelompok ibu yang tidak melakukan

kunjungan antenatal dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan

antenatal. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menerima pemeriksaan

kesehatan selama kehamilan di daerah rural menunjukkan memiliki

peluang yang lebih tinggi untuk bertahan selama periode neonatal

(Mahmood, 2002).

Kondisi janin salah satunya dipengaruhi oleh adanya

komplikasi kehamilan, biasanya merupakan masalah yang sering

terjadi selama kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya

perdarahan, pre-eklampsia dan eklampsia. Eklampsia biasanya terjadi

didahului pre-eklampsia, sehingga pemeriksaan antenatal yang rutin

dan teliti merupakan salah satu upaya untuk mencegah eklampsia yang

bisa membahayakan kondisi ibu dan janin yang dikandungnya

(Wiknjosastro, dkk., 2002). Ibu yang melakukan kunjungan ke fasilitas

kesehatan selama kehamilannya akan menerima pemeriksaan dan

pengidentifikasian kondisi-kondisi yang berkaitan dengan komplikasi

serta edukasi mengenai tanda bahaya, potensi komplikasi dan tempat

untuk mencari pertolongan (Mahmood, 2002).

Penelitian lainnya oleh Hinderaker, dkk (2003) di wilayah rural

Tanzania menegaskan bahwa sekitar 62% kasus kematian neonatal

sebetulnya dapat dicegah melalui kegiatan layanan antenatal di

fasilitas layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan

bertanggungjawab terhadap lebih dari setengah dari faktor-faktor

terhadap kematian neonatal yang dapat dicegah, baik dari faktor

kegagalan klinik antenatal untuk merujuk ke fasilitas layanan

kesehatan yang lebih tinggi maupun kelalaian yang terjadi di tingkat

rumah sakit itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya potensi untuk

melakukan peningkatan layanan antenatal dan konsultasi rutin

termasuk layanan kehamilan di rumah sakit.

Pada penelitian Hinderaker, dkk (2003) juga ditemukan lebih

dari sepertiga kasus kematian neonatal tidak memiliki faktor risiko dan

kemungkinan tidak teridentifikasi pada layanan antenatal rutin. Hal ini

menjadi lebih membahayakan bagi ibu yang tidak menyadari adanya

faktor risiko pada dirinya. Sehingga ditegaskan bahwa setiap ibu hamil

merupakan kelompok yang berisiko. Pelayanan antenatal seharusnya

dapat berperan dalam melakukan skrining dan merujuk ibu hamil

dengan risiko atau komplikasi ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi.

Pelayanan antenatal harus fokus untuk mempersiapkan ibu untuk

persalinannya dan mengedukasi suaminya sehingga telah siap ketika

terjadi komplikasi yang tak terduga. Komunikasi yang baik antara

petugas kesehatan dan ibu hamil pada saat layanan antenatal perlu

ditekankan, harus dipastikan pesan yang disampaikan dimengerti oleh

ibu hamil maupun suaminya.

Kunjungan antenatal yang terlambat kemungkinan

menghambat ibu untuk mendapatkan manfaat sepenuhnya dari strategi

pencegahan pada layanan antenatal misalnya suplementasi zat besi,

asam folat, pengobatan untuk infeksi cacing dan pengobatan untuk

pencegahan malaria pada kehamilan (Eijk, dkk., 2006). Adapun, hasil

pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 63,7% dari ibu yang

tidak melakukan kunjungan antenatal pada trimester pertama

melakukan kunjungan antenatal pada trimester ketiga. Sehingga,

kemungkinan hal ini menyebabkan ibu tidak menerima seluruh

manfaat layanan antenatal, dimana salah satunya dilakukan upaya

deteksi dini terhadap adanya komplikasi kehamilan maupun

persalinan.

Perilaku penggunaan layanan antenatal dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Hasil penelitian di daerah rural Kenya menunjukkan

bahwa ibu dengan status pernah mendapatkan pendidikan selama lebih

dari 8 tahun dan merupakan kelompok dengan tingkat sosial ekonomi

tinggi merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kunjungan

antenatal. Walaupun terkadang persepsi mahalnya biaya yang

diperlukan untuk melakukan kunjungan antenatal dapat menghalangi

ibu untuk melakukan kunjungan. Biaya untuk transportasi, jarak ke

fasilitas layanan antenatal yang jauh bisa menjadi hambatan bagi ibu

untuk melakukan kunjungan antenatal begitu juga persepsi rendahnya

kualitas layanan antenatal menjadi salah satu hambatan ibu melakukan

kunjungan (Eijk, dkk. 2006).

Penelitian yang dilakukan Titaley, dkk (2010) di Indonesia

menemukan bahwa yang berhubugan sangat kuat dengan rendahnya

kunjungan antenatal yaitu bayi dari ibu yang tinggal di daerah rural,

memiliki tingkat indeks kekayaan rumah tangga rendah, berasal dari

ibu dengan berpendidikan rendah, jumlah kelahiran tinggi dan jarak

kelahiran kurang dari 2 tahun. Penelitian kualitatif yang dilakukan di

beberapa daerah rural Indonesia menemukan bahwa ibu hamil suku

Alifuru di Provinsi Maluku baru akan memeriksakan kehamilannya

saat terlihat perubahan yang nyata pada tubuh ibu (terlihat jelas ibu

hamil). Kunjungan saat terakhir menstruasi (K1) dan kunjungan pada

trimester kedua relatif kecil (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian kualitatif lainnya menemukan bahwa alasan ibu

Etnik Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah tidak melakukan

pemeriksaan kehamilan yaitu karena Puskesmas Pembantu yang ada di

desa tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang lengkap seperti

obat-obatan, wilayah puskesmas pembantu cukup sulit dijangkau oleh

masyarakat di RT lain dan tenaga kesehatan yang ditugaskan sering

tidak berada di tempat sehingga membuat masyarakat kesulitan saat

membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat

memilih langsung melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit yang ada

di Kabupaten. Rumah sakit berada sangat jauh dari desa dan harus

melewati jalan yang cukup sulit terutama apabila terjadi hujan

disamping memerlukan biaya yang cukup besar. Sehingga beberapa

ibu hamil lainnya memilih tidak memeriksakan kehamilannya dengan

alasan petugas kesehatan sering tidak ada di tempat (Kemenkes RI,

2012).

Penelitian lainnya pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi

Gorontalo menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang melakukan

pemeriksaan kehamilan kepada bidan tidak memakan vitamin yang

diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat.

Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan

vitamin rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).

Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada hubungan

antara kunjungan antenatal dengan kematian neonatal di daerah rural

Indonesia, maka perlu memperhatikan aspek yang mempengaruhi

kunjungan antenatal tersebut. Seperti telah dijelaskan berbagai

penelitian, beberapa alasan ibu hamil tidak melakukan kunjungan

antenatal baik dari segi budaya, kurangnya ketersediaan fasilitas

kesehatan maupun kurangnya tenaga kesehatan. Pelayanan antenatal

perlu ditingkatkan dengan lebih mengutamakan kelengkapan fasilitas

kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan serta tetap menjamin kualitas

dari fasilitas dan tenaga kesehatan.

6.3.8 Komplikasi Kehamilan

Komplikasi kehamilan yaitu terdiri dari perdarahan, infeksi,

pre-eklampsia/eklampsia, persalinan lama/macet dan abortus

(McCarthy & Main, 1992). Komplikasi kehamilan merupakan masalah

kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan dan persalinan.

Komplikasi kehamilan dapat berdampak pada kesehatan ibu, kesehatan

bayi ketika dilahirkan, atau pada keduanya (Wiknjosastro, dkk., 2002).

Pada penelitian ini, komplikasi kehamilan dikategorikan

menjadi komplikasi dan tidak komplikasi. Ibu masuk kedalam

kelompok komplikasi jika mengalami minimal satu bentuk komplikasi

(mulas sebelum 9 bulan, pendarahan, demam tinggi, kejang-kejang dan

pingsan). Sedangkan ibu masuk kedalam kelompok tidak komplikasi

jika ibu tidak mengalami satu pun bentuk komplikasi kehamilan.

Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

(Nugraheni, 2013).

Pada penelitian ini diketahui ibu yang mengalami komplikasi

pada saat kehamilannya yaitu sebesar 6%. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan

dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil

penelitian yang dilakukan Nugraheni (2013) dan Wijayanti (2013)

bahwa ada hubungan antara komplikasi selama kehamilan dengan

kejadian kematian neonatal. Ibu yang mengalami komplikasi

kehamilan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian neonatal

dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan

(Rahmawati, 2007).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian

neonatal lebih tinggi terjadi pada kelompok ibu dengan komplikasi

kehamilan. Bayi dari ibu yang mengalami komplikasi kehamilan

memiliki risiko 1,8 kali lebih tinggi terhadap kematian neonatal

dibandingkan bayi dari ibu yang tidak mengalami komplikasi selama

kehamilannya (Rahmawati, 2007). Penelitian lainnya yang dilakukan

di daerah rural Bangladesh juga menunjukkan bahwa ibu yang

mengalami pendarahan selama kehamilannya berhubungan kuat

dengan adanya peningkatan risiko terhadap kematian neonatal (Owais,

dkk., 2013).

Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil Etnik Ngalum

Provinsi Papua menemukan bahwa ibu yang hamil tetap mengalami

komplikasi walaupun telah melakukan pemeriksaan kehamilan. Ibu

tersebut mengalami kehamilan pada usia lebih dari 45 tahun dan

memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang

berdekatan. Tingkat anemia ibu hamil pada suku ini paling tinggi

dibandingkan suku lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan tingginya

kejadian retensio plasenta saat melahirkan. Padahal petugas kesehatan

telah memberikan tablet penambah darah yang seharusnya diberikan

tiga bulan sekali menjadi satu bulan sekali karena sangat tingginya

kasus anemia. Namun, petugas kesehatan tidak bisa memastikan

apakah obat yang diberikan rutin diminum oleh ibu hamil setiap hari

(Kemenkes RI, 2012).

Hasil penelitian pada ibu hamil Etnik Gorontalo Provinsi

Gorontalo juga menemukan bahwa sebagian ibu hamil yang

melakukan pemeriksaan kehamilan tidak meminum vitamin yang

diberikan dengan alasan tidak diberi penjelasan manfaat minum obat.

Ibu juga tidak meminum vitamin penambah darah dengan alasan

karena rasanya pahit (Kemenkes RI, 2012).

Anemia atau kadar Hb <11 g/dl yang salah satunya bisa

disebabkan karena defisiensi besi sehingga perlu diberi obat penambah

zat besi. Kondisi anemia pada ibu hamil sangat berbahaya bisa

menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan (WHO;

Kemenkes RI; POGI; IBI, 2013). Perdarahan merupakan penyebab

terbanyak kematian pada ibu (Zakariah, dkk., 2009). Berdasarkan hasil

review bahwa dampak anemia pada ibu hamil terhadap bayinya

bervariasi sesuai tingkat defisiensi Hb yang dialami oleh ibu.

Defisiensi Hb <11 gr/dl berhubungan dengan peningkatan kematian

pada perinatal. Peningkatan 2-3 kali kematian perinatal pada ibu

dengan Hb <8,0 gr/dl dan peningkatan 8-10 kali ketika kadar Hb <5,0

gr/dl. Selain itu, penurunan terhadap berat bayi lahir dan lambatnya

pertumbuhan janin terjadi ketika kadar Hb ibu <8,0 gr/dl (Kalaivani,

2009).

Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa terdapat

hubungan antara komplikasi kehamilan dengan kematian neonatal

maka perlu dilakukan peningkatan upaya deteksi dini di tingkat

layanan antenatal disertai pemantauan yang ketat terhadap kepatuhan

kelompok ibu yang dideteksi mengalami komplikasi kehamilan

(anemia, hipertensi, dan lain-lain) terhadap saran yang diberikan oleh

petugas kesehatan seperti dianjurkan mengonsumsi tablet penambah

darah.

6.3.9 Penolong Persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan

pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penanganan medis yang tepat dan

memadai saat ibu melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi

yang bisa menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS,

BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013).

Pada penelitian ini, penolong persalinan dikategorikan menjadi

tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan. Penolong persalinan

dikategorikan sebagai tenaga kesehatan jika merupakan dokter, dokter

kandungan, perawat, bidan, atau bidan desa. Sedangkan penolong

persalinan dikategorikan sebagai non tenaga kesehatan jika penolong

persalinan adalah dukun, tetangga atau tanpa penolong persalinan.

Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan Titaley, dkk (2008) di Indonesia.

Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa 83% persalinan pada

kurun waktu 2008-2012 ditolong oleh tenaga kesehatan profesional

(62% perawat/bidan/bidan desa, 20% dokter kandungan dan 1%

dokter). Proporsi ini mengalami peningkatan dari hasil SDKI 2007

sebesar 73% persalinan yang ditolong tenaga kesehatan profesional

(BPS, BKKBN, Kemenkes & ICF International, 2013). Pada

penelitian ini diketahui ibu yang ditolong oleh tenaga kesehatan

profesional pada persalinannya di daerah rural Indonesia yaitu sebesar

73,2% (30,7% bidan, 24,1% bidan desa, 5,5% dokter kandungan, 1,3%

perawat, 0,4% dokter dan 11,2% lebih dari satu penolong tenaga

kesehatan). Angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5 tahun

2015, peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan

profesional menjadi 90% (Kemenkes RI, 2014).

Persalinan yang dilakukan oleh bukan tenaga kesehatan pada

penelitian ini yaitu sebesar 26,8%. Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan

kematian neonatal. Artinya, tidak ada perbedaan antara penolong

persalinan oleh tenaga kesehatan maupun oleh non tenaga kesehatan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Singh, dkk

(2014), Pertiwi, (2010) dan Wijayanti, (2013) yang menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian

neonatal. Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan Sugiharto (2011), Dewi (2010) dan Nugraheni (2013)

yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara penolong

persalinan dengan kematian neonatal.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu

ditolong oleh tenaga kesehatan pada persalinannya, namun proporsi

kematian neonatal pada kedua kelompok tidak menunjukkan

perbedaan proporsi yang cukup jauh sehingga analisis statistik

menunjukkan tidak ada hubungan. Bahkan pada penelitian Titaley,

dkk (2011) yang dilakukan di Indonesia ditemukan kematian neonatal

dini justru lebih tinggi pada ibu yang bersalin di rumah yang ditolong

oleh tenaga yang terlatih. Penelitian lainnya menemukan bahwa

kematian neonatal lebih tinggi pada ibu tanpa penolong persalinan

(Neupane & Doku, 2014). Namun, pada penelitian ini hanya 0,4% ibu

yang melakukan persalinan tanpa adanya penolong persalinan.

Kemungkinan penyebab masih tingginya angka kematian

neonatal pada kelompok ibu dengan penolong persalinan tenaga

kesehatan adalah masih rendahnya kualitas penolong persalinan

tersebut. Seperti diketahui pada penelitian Yego, dkk (2013) bahwa

akses terhadap penolong persalinan terampil termasuk dokter maupun

bidan penting untuk mencegah kematian maternal dan neonatal.

Penolong persalinan yang sebagian besar dilakukan oleh penolong

persalinan dengan keterampilan yang rendah dapat berkontribusi

terhadap kejadian kematian neonatal dan kematian maternal (Yego,

dkk., 2013). Pada penelitian lainnya juga menemukan bahwa perlunya

pelatihan bagi penolong persalinan agar penolong persalinan mampu

menangani kasus infeksi yang diketahui merupakan penyebab

terbanyak kasus kematian neonatal (Turnbull, dkk., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Kusiako, dkk (2000)

menunjukkan bahwa komplikasi pada saat melahirkan merupakan

penyebab sepertiga kematian pada perinatal. Padahal peningkatan

layanan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terkualifikasi dan

layanan neonatus yang lebih baik seharusnya dapat menurunkan

kematian pada perinatal. Pada penelitian ini, kemungkinan penyebab

lain masih tingginya kematian neonatal pada kelompok ibu dengan

persalinan oleh tenaga kesehatan adalah ibu memilih bersalin oleh

tenaga kesehatan ketika terjadi masalah serius pada persalinannya.

Seperti ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Jawa Barat

bahwa ibu yang mengakses penolong persalinan terlatih atau

melakukan persalinan di fasilitas layanan kesehatan sebagian besar

dilakukan ketika ibu mengalami komplikasi kehamilan (Titaley, dkk.,

2010).

Review yang dilakukan Upadhyay, dkk (2012) juga

menunjukkan bahwa kurangnya sumber daya yang terampil

merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang terjadi di

daerah rural India. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil

berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh

neonatus. Sehingga penyediaan tenaga kesehatan yang terkualifikasi

ke daerah rural merupakan tantangan yang harus dilakukan untuk

menghindari kematian pada neonatal.

Pada penelitian Zimba, dkk (2012) menemukan bahwa

walaupun Malawi mengalami peningkatan jumlah penolong persalinan

terampil, tetapi sebagian besar ibu dan bayi baru lahir yang mengalami

komplikasi masih belum mendapatkan penanganan kesehatan yang

diperlukan. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peralatan dan

kualitas layanan yang tidak memadai juga merupakan tantangan di

wilayah Afrika dan Asia (Harvey, dkk., 2007). Menurut Singh, dkk

(2014) definisi tenaga penolong persalinan yang ada saat ini, tidak

mencakup unsur layanan yang memadai. Walaupun sebagian besar

negara di Afrika dan Asia mengalami peningkatan jumlah tenaga

penolong persalinan terampil, sebagian besar setiap individu yang

disebut sebagai tenaga kesehatan terampil tidak memiliki kompetensi

yang diperlukan atau peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi

komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir.

Adapun penyebab masih tingginya kematian neonatal pada

penolong pesalinan non tenaga kesehatan di daerah rural Indonesia

kemungkinan terjadi karena masih rendahnya akses ibu hamil terhadap

tenaga keseahatan.menurut. Hasil penelitian Titaley, dkk (2010) di

beberapa daerah terpencil di Indonesia menunjukkan bahwa bidan

desa yang pada beberapa wilayah merupakan satu-satunya tenaga

kesehatan penolong persalinan yang tersedia, terkadang pergi keluar

desa (Titaley, dkk., 2010). Hal ini semakin mempersulit akses ibu

terhadap tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan.

Masih tingginya kematian pada penolong persalinan non

tenaga kesehatan kemungkinan besar juga karena pengetahuan dan

keterampilan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang sangat

kurang tentang penanganan persalinan pada ibu bersalin, maupun

tentang penanganan bayi baru lahir. Apalagi penanganan ibu dengan

gejala eklamsia, akan sangat sulit bagi penolong bukan tenaga

kesehatan untuk dapat melakukan tindakan yang tepat. Pengetahuan

penolong yang kurang tentang bagaimana melakukan upaya

pencegahan terhadap kemungkinan bayi aman dari risiko terjadinya

gangguan thermoregulasi, gangguan respirasi, dan risiko lainnya yang

biasa melekat pada bayi baru lahir, sangat berpengaruh besar terhadap

status kesehatan neonatus. Jika penanganannya kurang tepat maka

kecenderungan terjadinya risiko kematian akan semakin besar (Astuti,

dkk., 2010).

Hasil penelitian kualitatif pada masyarakat Suku Nias

menemukan bahwa terkadang keluarga alot dalam memutuskan

merujuk ke rumah sakit atau puskesmas. Hal tersebut menyebabkan

ibu terlambat mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan. Ibu

yang melakukan persalinan di rumah sakit biasanya ibu yang sudah

mengalami masalah pada persalinannya (Kemenkes RI, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian ini diperlukan upaya untuk

meningkatkan keterampilan penolong persalinan baik bagi tenaga

penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga penolong persalinan

dilakukan dari mulai calon tenaga penolong persalinan di tingkat

akademik/universitas maupun bagi mereka yang telah berprofesi

sebagai tenaga penolong persalinan. Peningkatan kualitas tenaga

penolong persalinan ini terutama pada masalah penanganan

komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir.

Dokumen terkait