• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Sistematika Penulisan

4. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Spiritual

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan pendidikan spiritual siswa, yaitu: faktor pembawaan (internal) dan lingkungan (ekstrnal) adapaun penjelasannya yaitu:

a. Faktor pembawaan (internal) secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah manusia mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan homo religius. Fitrah beragama, hal ini tidak memilih kapan manusia tersebut itu berada dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, bahkan sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, maupun setiap anak yang lahir dari rahim orang tua yang baik atau pun jahat, bahwasanya secara kodrati setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di luar kekuasaannya yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta. Dalam masyarakat primitif sering ia jumpai melalui bukti peninggalan prasejarah. Adanya kepercayaan terhadap ruh-ruh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau kejahatan, semua hal tersebut

158Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Spiritual Islam Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: Sinar Berlian, 1197), cet. Ke 3, hal. 1

159Abdullah Asy Syarqowiy, Syarah al-Hikam Ibn „Atho, Pendidikan Tasawuf dalam Membina Hati, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2009), hal. 43.

diperlihatkan melalui pemberian saji-sajian (bahasa sunda sesajen) yang dibuat untuk mengusir ataupun meminta tolong kepada ruhyang percayai.160

Selain itu benda-benda yang dianggap keramat, seperti keris, atau batu juga seringkali ia percayai sebagai benda yang memiliki kekuatan-kekuatan yang dapat mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri.

Tidak heran jika ia mengeramatkannya. Bahkan, dikalangan masyarakat modern itupun masih ada yang percaya terhadap hal-hal yang bersifat takhayul tersebut. Melihat kenyataan di atas maka tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia yang lahir telah memiliki kepercayaan terhadap suatu zat yang mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kebaikan atau pun kemadhoratan (mencelakakan).

Seperti dalam firmankan Allah. SWT, dalam al-Qur‟an surat Ar-Rum

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum [30]: 30).

Namun dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah, dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para Rasul Allah SWT, sehingga fitrahnya berkembang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

b. Faktor lingkungan (eksternal). Fitrah beragam merupakan salah satu potensi yang memiliki kecenderungan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun potensi tersebut tidak akan berkembang manakala tidak ada faktor dari luar (eksternal) yang turut serta mewarnai pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Dan jika menginginkan potensi beragama setiap anak berkembang ke arah yang lebih baik, tentu saja harus dapat menkondisikan situasi dan situasi lingkungan yang ada, hal tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disini lingkungan yang dimaksud menurut Syamsu Yusuf, yaitu keluarga sekolah dan masyarakat, adanya keserasian antara keluarga sekolah dan masyarakat yang akan dapat memberikan dampak positif bagi siswa, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan

160Abdul Mukti, Manhalul ‟Irfan, Ilmu Tajwid dan Adab Memmbaca Al-Quran, di edit oleh: Harry Suryana, (Bandung: Sinar Baru, 1987), hal. 89.

dalam diri siswa. Adapun keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi setiap siswa.

Tentunya hal ini, orang tua menjadi yang paling bertanggungjawab dalam menumbuhkan atau membangkitkan kecerdasan yang beragama pada siswa. Para orangtua dibebankan tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak sehingga diharapkan akan terbentuk beberapa kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) dalam diri siswaa secara nyata dan benar. Siswa diberi bimbingan sehingga tahu kepada siapa harus tunduk dan bagaimana tatacara berakhlak, sebagai bentuk pernyataan dan pada sikap tunduk orang lain.161

Tentunya pembentukan jiwa keagamaan ini harus dimulai sejak siswa dalam kandungan sampai lahir. Dalam mengembangkan fitrah beragama, agama Islam mengajarkan kepada orang tua khususnya ibu untuk lebih meningkatkan amal ibadahnya kepada Allah, seperti melaksanakan sholat, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur‟an dan memberi sedekah ketika siswa sedang berada dalam kandungan. Hal inipun didukung dengan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, dan ternyata ia itu dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orangtua terutama ibu pada masa ia dalam kandungan.162

Begitu juga saat siswa lahir, agama Islam telah mensyariatkan kepada setiap orang tua untuk mengumandangkan adzan ditelinga kanan dan iqamat di telinga kiri. Hal tersebut, dimaksudkan agar suara yang pertama kali didengar oleh siswa adalah kalimat-kalimat seruan kepada Allah sebagai tanda pengajaran kepada siswa yang baru memasuki dunia baru. Lalu ada usia ketujuh hari sebaiknya siswa di aqiqahkan dan diberi nama yang baik sebagai salah satu do‟a agar menjadi orang sholeh dan sholehah. Kemudian Islampun mengajarkan kepada setiap orangtua untuk selalu memberikan siswa makanan dan minuman yang halal dan baik yaitu makanan dan minuman yang tidak diharamkan oleh agama yang bersih, bergizi dan berprotein. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Maidah [5]:

88. rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Q.S. Al-Maidah [5]: 88).

161Furqon Hidayatullah Furqon. Guru Sejatiyang Membangun Insan Berkarakter Spiritual di Dunia Moderent, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), hal. 34.

162Muhammad Mawardi, Jawahir al-Ahadis, Jalan menuju Kesucian pada Sang Pencipta, (Padang Panjang: Pustaka Sa‟adiyah, 1998), hal. 33.

Nabi Muhammad Saw, juga mengajarkan dan mencontohkan secara langsung kepada umatnya untuk selalu memberikan kasih sayang kepada sesama umatnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu al-Qur‟an pun mengabdikan kisah Luqmanul Hakim dalam surat Luqman ayat 12-19 yang berisi tentang pengajaran Luqman kepada anaknya yaitu:

1. Luqman menanamkan tauhid yang sebersih-bersihnya, yaitu Iman kepada Allah SWT, dan tidak menyekutukan-Nya.

2. Luqman menanamkan kesadaran kepada anaknya untuk bersyukur kepada Allah SWT, dan bersyukur kepada kedua orang tuanya dengan berbuat baik dan berbakti kepadanya.

3. Luqman menanamkan kesadaran pada anaknya bahwa segala gerak-gerik perilaku dan perbuatan manusia, yang nampak maupun yang tersembunyi tidak lepas dari beberapa ilmu pengetahuan dan pengawasan Allah SWT.

4. Luqman menanamkan kesadaran pada anaknya untuk beribadah kepada Allah dengan mengerjakan sholat berbuat baik, dan melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar.

5. Luqman mendidik kepada anaknya agar berbuat baik dan hormat kepada orang lain, bergaul secara baik, serta berperilaku baik, tidak sombong dan angkuh.163

Dari kisah Luqman inilah jelas al-Qur‟an mengambarkan bagaimana kewajiban orangtua dalam mendidik dan menanamkan kesadaran beragama pada diri anak dalam setiap keluarga. Tentu hal ini bukanlah hal yang dapat diabaikan oleh orangtua sebagai pendidik bagi para siswanya, karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugrah oleh Allah berupa naluri orangtua. Dengan naluri itulah maka timbul kasih sayang dihatinya, sehingga ada rasa tanggungjawab dalam merawat, atau mendidik, mengasihi, dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak, dengan demikian pendidikan keluarga merupakan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan anak, diantaranya:

a) Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi siswa setelah keluarga. Karena hampir setengah hari siswa menghabiskan waktunya bersama teman dan gurunya di sekolah. Tentunya segala sesuatu yang ada di sekolah akan menjadi model bagi anak untuk ditiru, seperti yang diungkapkan Hurlock bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian siswa sangat besar, karena sekolah merupakan subtansi dari keluarga dan guru dari orangtua.164

163Mohammad Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj), Bustami: Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 43.

164Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nur, 2004), hal. 54.

Hal ini, menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua kedua bagi anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi seluruh perkembangan anak, baik kognitif, sosial, emosi maupun afektif, sayangnya masih banyak sekolah yang lebih menitikberatkan perkembangan anak secara akademik dengan mengukur kecerdasan setiap anak melalui deretan angka sebagai salah satu ukuran perbandingan antara siswa yang satu dengan yang lainnya.165

Tentunya hal, tersebut harus dijadikan bahan pemikiran bagi seluruh guru sebagai penanggungjawab pendidikan bagi siswa untuk tetap menggali potensi dan kecerdasan siswa yang sesuai dengan tahapan perkembangannya. Karena sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistematik dalam melaksanakan pengajaran, bimbingan dan latihan kepada anak agar ia berkembang sesuai dengan potensinya.166

Dalam kaitan mengembangkan fitrah keagamaan dalam diri siswa, maka guru wajib memberikan keteladanan dan perkataan, sikap maupun perbuatan yang baik serta cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu akan lebih efektif jika semua guru dan staf di sekolah dapat merefleksikan melalui pembiasaan yang dimulai dari diri sendiri.

Selain itu diperlukan juga guru agama yang memiliki kepribadian yang mantap (akhlak mulia), menguasai disiplin ilmu agama Islam, dan memahami ilmu yang menunjang kemampuan dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun bukan berarti pengembangan kecerdasan beragama, dan hanya menjadi tanggung jawab guru agama, melainkan menjadi tanggungjawab guru bidang studi laing dengan cara tetap menyisipkan nilai-nilai agama dalam seluruh proses belajar mengajar setiap hari.

b) Lingkungan masyarakat, selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan beragama pada siswa, lingkunan masyarakat yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar siswa sebagai tempat bermain, televisi, serta media cetak seperti buku cerita maupun komik yang paling banyak digemari oleh siswa dini. Menurut Syamsu Yusuf, lingkungan masyarakat, adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosio kultural yang mempuyai secara potensial

165Sa‟id bin Musfir al-Qhathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terj.

Munirul Abidin, Pencinta Pendidikan Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hal. 234.

166Syaikh Kamsak hanawy Ahmad an-Naqsyabandy, Jami‟ul Usul fil Auliya‟ wa Anwa‟ihim wa Aushofihim, (Cairo: Darul Kitab al-„Arabiyah al-Kubra,1996), hal. 243.

berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu, dalam masyarakat akan terbentuk suatu perilaku yang dominan pada setiap individu, karena adanya interaksi sosial yang terjadi antara teman sebaya maupun dengan anggota masyarakat lainnya. Pada diri siswa yang akan muncul perilaku baik atau pun tidak baik tergantung pada lingkungan, sekitarnya yang mempengaruhi dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada dasarnya siswa cepat sekali terpengaruh oleh hal-hal yang lihat, dengar, dan rasakan.167

Hal tersebut, sesuai dengan pendapat Hurlock, yang mengemukakan bahwa standar atau aturan-aturan memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya.

Di sini dapat dikemukankan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi siswa sangat tergantung pada kualitas perilaku pribadi orang dewasa atau warga masyarakat. Jika siswa sering bergaul dengan lingkungan yang kurang baik, maka bukan tidak mungkin siswa akan berperilaku sama dengan apa yang lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-harinya. Selain manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan agama anak, media cetak dan televisi, juga turut serta memberikan andil besar dalam mewarnai pertumbuhan siswa dalam lingkungannya. Menurut Imam al-Ghazali akhlak terbagi dalam dua bagian, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak yang baik adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang tidak bertentangan dengan syara‟. Sedangkan akhlak buruk adalah tindakan seseorang yang bertentangan dengan akal dan syara.168

Jadi penjelasan yang diberikan al-Ghazali di atas, akhlak bisa di bagi dua:

1) Akhlak yang baik disebut juga dengan akhlak mahmudah, seperti watak, tabi„at, kepribadian manusia yang baik menurut ukuran agama Islam, yaitu yang sesuai dengan al-Qur'an dan al-Sunnah Nabi Saw, diantaranya contoh, akhlak yang baik adalah jujur, amanah, lemah-lembut, pemaaf, syukur, tawakkal, lapangan dada, kasih sayang, taat dan patuh kepada kedua orang tua dan lain sebagainya.

2) Akhlak yang buruk disebut juga dengan akhlak mazmumah. Akhlak yang buruk diartikan sebagai karakter, watak, kepribadian, perangai tabiat seseorang yang tercela di dalam pandangan agama Islam.

Diantara contoh akhlak tercela adalah, khianat, ingkar janji, tidak adil, dendam, sombong, tamak, iri dan lain sebagainya. Al-Ghazali juga

167Mardalis Yohana, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal dan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 65.

168Muhammad Sholihin Anwar Rosihon, Kamus Tasawuf Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

melihat jiwa manusia sebagai kebulatan yang terdiri dari tiga komponen dasar dalam pembentukkan akhlak manusia. ketiga komponen tersebut adalah, akal, marah dan hawa nafsu.169

Faktor akal yang akan tumbuh lahir “hikmah”, bila akal dapat dipergunakan secara seimbang. Maka hikmah akal inilah yang merupakan kemampuan tertinggi dengan seseorang yang bisa membedakan antara benar dan salah, dalam seluruh perbuatan. Dan hikmah ini merupakan faktor utama akhlak yang baik. Apabila akal manusia dipergunakan tanpa kontrol, atau akhlak itu untuk tujuan yang merusak, maka itulah yang disebut dengan keburukan (khabitat) bila seseorang tidak kurang menggunakan akalnya, maka itulah yang dikatakan sebagai kebodohan.170

Marah adalah faktor yang bisa ditundukkan oleh akal, maka akan lahir keberanian (syuja‟ah), tertibnya berbagai akhlak mulia, seperti kemuliaan dan kemurahan, kepandaian dan ketegasan, baik terhadap diri pribadinya maupun terhadap orang lain. Dan jika mampu mengendalikan syuja‟ah disebut dengan tahawar (kurang mempergunakan akal dalam bertindak) dan dari sinilah kemudian lahir akhlak tercela seperti: suka memuji diri sendiri, sombong, takabur dan ujub. Sedangkan apabila syuja‟ah kurang berfungsi maka akan mengakibatkan kehinaan dan kerendahan, kegelisahan, pesimis, rendah diri dan tidak mampu bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya.171

Hawa Nafsu adalah faktor yang bisa berjalan seiring dengan akal dan agama, maka akan lahir “iffah” (kesucian diri). Jika iffah berada dalam keseimbangan, dan akan menjadi beberapa sumber bagi kemurahan, rasa malu, kesabaran, kesopanan, toleransi dan lain-lain sebagainya. Sedangkan apabila iffah berlebihan, maka akan timbul kerakusan, tidak tahu malu, kejahatan, keborosan, malas, ria dan lain sebagainya. Dari paparan tersebut di atas, nampaknya akhlak baik bersumber pada tiga pilar utama, yaitu hikmah, syuja‟ah dan iffah. Dari sumber inilah kemudian berkembang beberapa akhlak yang lain yang menjadi tabiat manusia. Akhlak yang baik sifatnya menyenangkan, memberi manfaat atau menguntungkan, baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain, sedangkan akhlak yang buruk bersifat tercela, sebab dapat menyakiti, mengganggu dan merusak, dan bukan hanya terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri.172

169Syamsu Yusuf, Hati Diri dan Jiwa dalam Psikologi Sufi untuk Transformasi, Terj. Hasiniyah Rouf, (Semarang: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 65.

170Marsono Hadi, Pendidikan Kecerdasan Spiritual di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu (MIT) Nurul Islam, (Semarang: Walisongo, 2010), hal. 87.

171Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Spiritual Islam pada Santri, (Jakarta: Bumi aksara, 2003), hal. 32.

172John Dewey, Democracy and Education, an Introduction to the Philosophy of Education, TwentyThird Printing, (USA: The Macmillan Company, 1950), hal. 75.

Seorang yang berakhlak baik tidak ubahnya bagaikan sumber air yang terus menerus memancarkan airnya yang bening dan bersih yang dapat diambil manfaatnya, oleh setiap makhluk Allah SWT. Sedangkan akhlak yang buruk seperti racun yang membunuh. Sebab dari sana perbuatan keji, kotor, tercela, dan muncul mengakibatkan pertentangan dan kekacauan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu pentingnya akhlak yang sangat baik, sehingga Rasulullah Saw mengaitkan kesempurnaan imam seseorang dengan akhlak tersebut. Beliau berkata:

ِبَا ْنَع انًاَمْيٍ ا َ ْيِْنِم ُؤمُلْا َلَكمَا :َلاَق ََّلَّ َسَو ِوْيَلَع ُالله َّلَّ َص ِ ِبَِّنلا ْنَع ُوْنَع ُالله َ ِضِ َر َةَرْيَرُى

...ااقُلُخ ْمُ َنَ َ سْحَا

هاور(

)دحما

Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Nabi SAW bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya diantara kamu adalah yang baik akhlaknya.

(HR. Ahmad).

Akhlak yang baik yang dimaksudkan Rasulullah Saw, adalah sebagai contoh dan teladan bagi setiap umat manusia. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa sifat yang baik itu sesungguhnya adalah sifat Rasulullah. Siapa yang mempunyai akhlak yang baik, sesungguhnya telah memiliki kunci pintu surga. Sedangkan akhlak yang buruk adalah akhlak Syaithan yang menjadi pintu neraka. Karena akhlak yang baik perlu dipupuk dan dikembangkan, sebab dia menjadi sumber keutamaan.173

Sedangkan akhlak yang buruk harus dihindarkan dan dibuang karena ia menjadi penyebab lahirnya berbagai penyakit hati yang lainnya. Dan faktor yang mempengaruhi akhlak atau budi pekerti siswa secara umum adalah faktor-faktor tersebut bisa dibagi dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal diantaranya:

a) Faktor internal, adalah merupakan sesuatu yang berasal dari diri siswa itu sendiri yang dibawa sejak siswa tersebut lahir ke dunia. Dan faktor ini sedikit banyaknya dipengaruhi, juga dari orangtua siswa tersebut, baik hubungan dengan fisik ataupun mental.

Salah satu yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang berkenaan dengan fisik, seperti jasmani siswa yang cacat tubuhnya, rasa malu, ragu-ragu, takut dan hilangnya keberanian karena ia merasa kurang (mincomplex), dan masih ada beberapa sebab yang lain seperti bentuk tubuh. Perawatan dan nervus system turut mempengaruhi anak.

Di samping faktor fisik, akhlak juga bisa dipengaruhi oleh faktor mental psikologis, seperti emosi, pikiran dan kemauan. Sebab apabila aspek tersebut tidak bisa bekerja sama dengan baik maka akan terjadi penyimpangan tingkah laku dari nilai-nilai akhlak terpuji.

173Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983), hal. 86.

b) Faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang, faktor eksternal ini dikategorikan dalam dua bagian, yaitu lingkungan alam atau geografis dan lingkungan manusia, lingkungan alam atau geografis adalah letak tempat, keadaan tanah atau iklim.174

Dengan demikian jelaslah bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku dan beberapa sifat tertentu bagi penghuninya terutama bagi siswa. Dan salah satulingkungan keluarga yang pertama kali seorang siswa menerima pengaruh yang sangat menerima pendidikan, bimbingan dan arahan langsung dari siswa kedua orang tuanya dan seluruh isi keluarga yang ada, seorang siswa berhubungan dengan keluarga dalam waktu yang lebih banyak dibandingkan lingkungan lain, sehingga keluarganya memberikan pengaruh yang besar. Situasi rumah tangga yang baik, dimana hubungan antar anggota keluarga yang harmonis, tidak ada keributan dan pertengkaran dalam rumah tangga akan selalu membawa siswa pada suatu yang menyenangkan.175

Hal ini, juga akan membangun karakter akhlaknya yang lebih baik, sebab sering kali seorang siswa selalu mengikuti perilaku anggota keluarganya yang lebih besar dari dia, akan tetapi jika terjadi sebaliknya, rumah tangga tidak utuh, tidak harmonis dalam hubungan antar anggota keluarga, maka rumah tangga yang demikian itu tidak bisa menjadi tempat yang baik bagi pendidikan para siswa. Rumah tangga seperti ini akan membawa siswa tumbuh dengan beberapa sifat-sifat negatif yang mengarah pada kerusakan budi pekertinya, karena rumah tangga yang kurang membahagiakan, maka prilaku menarik akan mudah ditiru dan diikutinya, di samping akan meniru prilaku siswa yang tidak baik, jika prilakunya sendiri akan tidak baik dan ini mengganggu perkembangan jiwanya. Lingkungan sekolah merupakan pendidikan formal bagi seorang, sebagai lingkungan pendidikan spiritual, maka sekolah memberikan pengaruh yang sangat banyak terhadap perkembangan akhlak seorang siswa, karenanya sekolah akan mempengaruhi perkembangan akhlah, apakah dia akan memiliki akhlak yang hak atau malah sebaliknya. Namun kenyataannya saat ini kemampuan lembaga pendidikan dalam berupaya mengarahkan dan mendidik siswa agar memiliki akhlak dan budi pekerti yang mulia, dan sebagai guru harus berwibawa terhadap siswa didiknya, sementara guru-guru yang mengajar tersebut kurang dapat mengajarkan dengan

174Imam Subhan, Filsafat Pendidikan Sistem Metode Pembelajaran, (Yogyakarta:

ANDI, 1997), hal. 76.

175Umar Abdullah, Sentuhan-Sentuhan Sufistik ke dalam Jiwa Hati, (Bandung:

Aneka Setia, 1980), hal. 88.

baik dalam pengajaran ilmu pengetahuan yang harus diketahui oleh seorang siswa yang diberikan dengan jelas, sementara pembinaan mental dan kepribadian siswa kurang menjadi perhatian.176

Jadi sekolah hanya memperhatikan dari segi kecerdasan, dan hilanglah fungsi sebagai lembaga pendidikan karakter, dan seorang anak didik akan mudah terpengaruh oleh suasana ruang yang merugikan, karena dia tidak dibekali dengan budi pekerti yang memadai dalam lingkungan kehidupan masyarakat memberikan pengaruh pada corak dan perkembangan budi pekerti seseorang. Dalam masyarakat terdapat beberapa norma dan nilai yang merupakan konsepsi yang sangat berharga dalam kehidupannya. Jika norma itu baik, maka sewajarnya masyarakat sebaliknya, berarti masyarakat sendiri telah membuka kesempatan kepada siswa untuk mewarisi hal-hal yang tidak baik, karena setiap nilai sikap dan contoh teladan dalam masyarakat sangat mempengaruhi bagi perkembangan seorang siswa, bahkan sulit diganti dengan pengaruh lainnya. Koencana Ningrat menjelaskan, para individu sejak kecil telah diresepsi oleh nilai budaya yang hidup dalam masyarakat, sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama mengakar dalam jiwa. Itulah sebabnya, nilai tersebut sukar digantikan dengan nilai lainnya dalam waktu yang relatif singkat. Jadi, lingkungan masyarakat telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan mental anak didik. Dan setiap nilai-nilai norma budaya yang tidak baik ditinggalkan dimasyarakat, maka harus dihilangkan dari masyarakat.177

Para tokoh masyarakat dan lembaga sosial keagamaan yang ada dalam masyarakat juga mesti harus mengadakan beberapa pengawasan

Para tokoh masyarakat dan lembaga sosial keagamaan yang ada dalam masyarakat juga mesti harus mengadakan beberapa pengawasan

Dokumen terkait