• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Sistematika Penulisan

2. Tujuan Pendidikan Spiritual

Pendidikan spiritual adalah merupakan suatu tujuan untuk kesadaran individu yang berkembang dalam kehidupan manusia, secara kontekstual dan

91Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf di masa Depan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hal. 65.

92Agustin Pranata, Ilmu Pendidikan Agama Islam melalui Belajar Qur‟an, (Jakarta:

Intan Permata, 1999), hal. 342.

93M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an dan Memfungsikan Wahyu di dalam Kehidupan, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), cet. Ke 1, hal. 67.

transformatif menjadi satu kepribadian yang sangat utuh, intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan pendidikan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran yang akan memberikan nilai-nilai atau arti makna hidup yang sebenarnya, memungkinkan secara kreatif, menemukan pengembangan nilai-nilai dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri sendiri, secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan ilmu pengetahuan dalam kehidupan serta menciptakan karya-karya baru yang kreatif. Sedangkan pendidikan spiritual sebagai tujuan untuk mewujudkan pendidikan spiritual yang berkualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan dengan tuhan, sehingga dapat diartikan kecerdasan pendidikan spiritual sebagai bagian dari psikologi yang memandang, bahwa seseorang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual.94

Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis non agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, tujuannya dalam perbedaan (agreeindis agreement), dan penuh toleran. Hal itu, menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kutipan-kutipan di atas proses perkembangan moral dalam pendidikan spiritual peserta didik, karena ada proses merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak akhirnya.95

Karakteristik perkembangan spiritualitas siswa dari usia sekolah bertahap dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler Desmita, berpendapat bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak mulai berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori yang baru. Pada tahap ini siswa secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif. Sebagai siswa yang telah berada dalam tahap pemikiran operasional konkrit, maka siswa diusia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkrit.96

Hal ini juga, berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian, tujuan gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkrit, seperti tuhan itu

94M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 89.

95Farida Arroyani, Majalah Edukasi Pendidikan Karakter, (Bandung: Wali-Songgo IAIN Semarang, 2009), hal. 63.

96Muhamad Halabi, Membangun Pendidikan Karakter Integritas Bangsa, (Jakarta:

Renaisan, 2004), hal. 63.

satu, tuhan itu amat dekat, tuhan ada di mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.97

Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja ini, dibanding dengan masa awal anak-anak telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.

Kalau pada awal masa siswa ketika baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Allah dan eksistensinya. Perkembangan dalam pemahaman terhadap keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal para siswa telah diajarkan agama dari orang tuanya, namun karena pada masa remaja mengalami kemajuan perkembangan kognitifnya. Mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agamanya sendiri. Menurut Muhammad Idrus, pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif sosial, dan remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain.98

Untuk mengembangkan pendidikan spiritual sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam inovasi spiritualnya, sehingga dapat menjadi manusia yang religius. Sejatinya pendidikan spiritual tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata.99

Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa berguna dalam masyarakat. Strategi yang mungkin dilakukan oleh seorang pendidik di sekolah dalam membantu perkembangan spiritual peserta didik, yaitu sebagai berikut: (a) memberikan pendidikan spiritual keagamaan, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer agama secara keseluruhan; (b) menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dan sungguh dikontruksi dari pengalaman keberagamaan; (c) membantu peserta didik untuk mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual, seperti hubungan siswa dengan tuhan melalui do‟a setiap hari, menanyakan kepada siswa bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari, memberikan kesadaran kepada anak bahwa, tuhan akan membimbing apabila meminta, menyuruh anak merenungkan tentang tuhan ada di dalam jiwa-Nya, tetapi

97Ahmad Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2010), hal. 21.

98Imam Machali. Pengelolaan Pendidikan Spiritual pada Kaula Muda, (Yogyakarta: Pustaka Educa, 2010), hal. 13.

99 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia dan Arab, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).

tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun tidak melihat apapun dalam bentuk proses inovasi spiritual peserta didik.100

Teori Fowler Desmita, mengusulkan tahap perkembangan spiritual melalui keyakinan yang dapat berkembang, sehingga lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seorang. Dan ada ketujuh beberapa tahap di dalam perkembangan agama yang dibangun, diantaranya:

1. tahap prima yang faith tahap kepercayaan yang terjadi pada usia 0-2 tahun, yang ditandai dengan rasa percaya dan kesetiaan siswa pada orang tuanya, kepercayaan ini tumbuh dari beberapa pengalaman, saling pengertian, saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi siswa.

2. Tahap intuitive, projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun.

Pada tahap ini kepercayaan kepada siswa bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimiliki masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh yang signitif dari orang tua, kemudian berhasil membentuk, menyalurkan, mengarahkan, perhatian secra sepontan, memberi gambaran intuitif dan proyektif pada ilahi.

3. Tahap mythic literalfaith, dimulai dari usia 7-11 tahun pada tahap ini, sesuai dengan tahap kognitif siswa secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen.

4. Tahap synthetic conventional faith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa, kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran.

Sistem kepercayaan remaja dapat mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan yang resmi. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral, simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri.101

Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa Allah

100Fowler Desmita, Pendidikan Spiritual Berkembang hanya Dilingkungan Elit, (Jakarta: Media Merdeka, 2009), hal. 432.

101Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan Spiritual dan Ilmu Jiwa, (Solo:

Ramadhani, 1989), hal. 63.

lebih dekat dengan diri sendiri. Kesadaran ini, muncul pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik.

5. Tahap individuative reflective faith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa, pada tahap awal mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.102

Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan yang sangat penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dan Desmita pada tahap ini ditandai dengan adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi sistem nilai terdahulu, yang mengabaikan beberapa kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan memunculkan “ego eksekutif” sebagai tanggungjawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri. Tahap conjunctive faith, disebut juga paradoxical consolidasi onfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan yang memporak-porandakan yang sangat bertentangan dari keterbatasan dan pembatasan seseorang.103

Tahap yang berkembang pada usia lanjut adalah inovasi agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya beberapa desentralisasi diri dan pengosongan diri. Akan tetapi peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradoks, sebaliknya pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandangan yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua. Echoks dan Shadily dalam Desmita berpendapat bahwa, roh, atau jiwa. Sedangkan pendapat Desmita spiritual mempuyai arti yang luas atau dalam keteguhan hati, keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan.104

102Ansory Ahmad Muzaki, Pembentukan Pendidikan Karakter melalui Juru Sufi, (Bandung: Sinar Mutiara Abadi, 1009), hal. 231.

103Fowler dan Desmita, Pendidikan Ruhani akan Membentuk Karakter yang Baik, (Jakarta: Rosela Abadi), hal. 543.

104Aliah, At-Tazkiriyah Fiil Qur‟an, (Damaskus: Maktabah al-Farabi, 1976), hal. 81.

Pendidikan spiritual memiliki ruang lingkup dan punya tujuan makna pribadi. Dengan demikian spiritual mempuyai tujuan nilai-nilai, diantaranya:

a. Meaning adalah makna sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.

b. Values (nilai-nilai), nilai-nilai adalah kepercayaan, prilaku atau etika yang bisa dihargai oleh beberapa masyarakat.

c. Transcendence (transendensi) adalah merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental dalam kehidupan seseorang.

d. Connecting adalah bersambung untuk meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, Tuhan dan alam.

e. Becoming (menjadi), menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi pengalaman, termasuk siapa seseorang itu, dan bagaimana seseorang itu mengetahui.105

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa tujuan perkembangan spiritual dalam jiwa manusia yang memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam, terhadap diri sendiri. Sedangkan menurut pendapat Fowler Desmita, menyebutkan bahwa, spiritual atau kepercayaan adalah sesuatu yang sifatnya universal.106

Pendidikan karakter sebagai tabiat watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang luhur dan mulia yang bisa membedakan seseorang dengan yang lain. Pengertian pendidikan karakter yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya: (1) Heri Gunawan, tentang pendidikan karakter dan implementasi; (2) WJS. Poerwadarminta, kamus besar bahasa Indonesia; (3) Thomas Lickona, tentang pendidikan karakter; (4) Hornby dan Parnwel, mendefinisikan karakter adalah kualitas atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi; (5) Simon Philips karakter adalah kumpulan nilai-nilai yang menuju pada sistem yang melandasi pemikiran sikap, dan perilaku yang ditampilkan; (6) Kertajaya, mendefinisikan karakter yang dimiliki oleh suatu benda atau individu manusia, ciri khas tersebut adalah menggakar kepada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, serta merespon sesuatu; (7) Donie Koesumo, pendidikan karakter memahami sama dengan kepribadian manusia dianggap sebagai karakteristik atau gaya sifat yang khas dari diri seseorang yang bersumber dari beberapa bentuk yang diterima oleh lingkungan; (8)

105Buchori Muchtar, Pendidikan Spiritual dalam Membangkitkan Antisapatoris, (Jakarta: Kanisius, 2001), hal. 32.

106Mulyasa Mulyadi, Penelitian Tindakan Kelas dalam Pengembangan Pendidikan Karakter Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 71.

Marzuki, pendidikan al-Qur‟an dari bebrapa dasar pendidikan karakter Islam;

(9) Furqon Hidayatulloh, pendidikan karakter membangun peradaban bangsa;

(10) Masnur Muslich, pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multi di dalam dimensional; (11) Munir, menyatakan karakter adalah sebuah pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan; (12) Hidayatulloh, pendidikan karakter adalah gabungan dari kebajikan dari nilai-nilai, sehingga akan menyatakan nilai yang sebenarnya. Pengertian di atas, dapat dimaknai bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang yang bisa membedakan antara dirinya dengan orang lain. Karakter adalah watak, sifat atau hal-hal yang memang sangat mendasar pada diri seseorang yang sangat abstrak pada diri seseorang, dan dari seiring orang yang menyebutkan dengan tabiat atau perangai. Akhlak memiliki arti kelakuan, tabiat atau watak dasar (ath-thabi‟ah) kebiasaan atau kelaziman (al-„adat) peradaban yang baik (al-muru‟ah), akhlak sebagai budi pekerti atau kelakuan yang sering dipakai secara bersamaan.107

Karena manusia terdiri dari dua unsur fisik dan non-fisik. Unsur fisik dapat dilihat oleh mata kepala, sedangkan unsur non fisik dapat dilihat oleh mata batin, akhlak memiliki makna tabiat, perangai, kebiasaan. Bahkan, agama tetap ditemukan dalam al-Qur‟an, berbagai persoalan ummat, artinya benar-benar berbudi pekerti yang agung, akhlak tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata qun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan kholiq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Akhlak adalah timbul sebagai media yang memungkinkan yang ada hubungan baik antara kholiq dan makhluk.108

Sementara akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa pamrih. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (perenungan) terlebih dahulu. Amin telah mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Ya‟kub mengatakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.109

Menurut Muhammad Ali bin al-Faruqi at-Tahanawi sebagaimana dikutip oleh Mahmud, akhlak adalah keseluruhan kebiasaan, sifat, alami, agama dan harga diri. Menurut Sa‟duddin, akhlak mengandung beberapa arti,

107Heri Gunawan, Pendidikan Spiritual Upaya Mencerdaskan Umat, (Bandung:

Alfabeta, 2012), cet. Ke 2, hal. 23.

108M. Quraish Shihab, Psikologi Ilmu Pendidikan Spiritual dalam Memajukakan Pendidikan Karakter Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hal. 87.

109Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an di dalam masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal. 43.

antara lain: (a) tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan; (b) adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginannya; (c) Watak, cakupan meliputi hal-hal yang terjadi tabiat dan hal yang diupayakan hingga menjadi adat. Akhlak juga dapat berarti kesopanan dalam agama, akhlak dalam perspektif Islam terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut yaitu wahyu, sikap, dan penilaian akhlak yang selalu dihubungkan dengan ketentuan syari‟ah dan aturannya. Dalam Islam ada keistimewaan akhlak yang menjadi karakteristik filsafat di Universitas Al-Azhar Kairo, menjelaskan beberapa karakteristik akhlak, diantaranya:

1. Bersifat universal.

2. Logis menyentuh perasaan hati nurani.

3. Memiliki demensi tanggung jawab, baik pada sektor pribadi ataupun masyarakat.

4. Tolak ukur tidak ditentukan dengan realita perbuatan tapi juga di lihat dari segi motif perbuatan, dalam pengawasan pelaksanaan akhlak Islam ditumbuhkan kesadaran bahwa yang mengawasi adalah Allah SWT.

Akhlak Islami selalu memandang manusia sebagai insan yang terdiri dari aspek jasmani dan ruhani yang harus dibangun secara seimbang kebaikan yang ditawarkan pada akhlak Islam untuk kebaikan manusia, mencakup tiap ruang dan waktu, akhlak Islami memberikan penghargaan di dunia maupun di akhirat bagi setiap kebaikan, demikian pula setiap keburukan diberi sanksi atau hukuman. Dengan konsep akhlak ini, manusia diajarkan untuk selalu berbuat baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik dalam hubungan dengan Tuhan, manusia dan makhluk lainnya.110

Konsep berhubungan dengan sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di dunia, sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam yang berpedoman kepada al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah sebagai sumber utama. Akhlak terbagi menjadi dua bagian. Pertama, akhlak baik yang dinamakan akhlak mahmudah (akhlak terpuji), akhlak al-karimah (akhlak mulia) adalah akhlak yang baik dan benar menurut syari‟at Islam. Kedua, akhlak mamdudah adalah akhlak tercela dan tidak benar menurut syari‟at Islam. Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah SWT), dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan Allah).111

Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup

110Ahmad Jakaria, Metode Pendidikan Pengembangan Karakter Islam, (Semarang:

Cipta Asmara, 2005), hal. 41.

111Abdul Djalal,“Ulumul Qur‟an dalam Mendidik Keluarga, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal. 154.

selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati. Berdasarkan penjelasan dan definisi akhlak di atas menurut filosufi dan ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang telah tertanam kuat atau tempat dalam diri seseorang, yang akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang tanpan melalui pemikiran atau perenungan terlebih dahulu.112

Secara cepat perbuatan itu dilakukan dengan reflek dan spontan tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam itu darinya muncul perbuatan-perbuatan terpuji, menurut rasio dan syari‟at, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika terlahir perbuatan-perbuatan buruk maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.113

Pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlaq merupakan suatu kondisi atau sifat yang telah meresap ke dalam jiwa dan menjadi kepribadian seseorang. Kemudian timbul berbagai macam-macam kegiatan-kegiatan secara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat, serta memerlukan pertimbangan pemikiran. Hal ini, sesuai dengan al-Qur‟an surat asy-Syams ayat [91]: 8-10 yang mengungkapkan kecenderungan potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams [91]: 8-10).

Pendidikan karakter dan pendidikan akhlak menelaah tentang makna pendidikan karakter dan pendidikan akhlak, dalam penulisan ini akan diulas sekilas tentang beberapa pengertian pendidikan ahlak secara umum. Hal ini, diharapkan untuk mengetahui kandungan dimensi karakter dan akhlak dalam pendidikan karakter digunakan untuk memelihara dan memberi latihan (ajaran, kepemimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.114

Pengembangan pengertian pendidikan dapat diambil kesimpulan, pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat, sehingga membuat orang-orang dan masyarakat jadi beradab.

Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai-nilai (enkulturisasi dan sosialisasi) siswa yang harus mendapatkan pendidikan

112Ahmad Rofi‟i, “Ulumul Qur‟an dan Hadis Nabi, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 125.

113Mohammad Taha, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah fii Ahklaqiyah, (Jakarta: Bulan Bintang Mukti, 1970), hal. 33.

114Zuhairiniyah, Filsafat Pendidikan Spiritual Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 68.

yang diinginkan dan menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan mencakup tiga hal yang paling mendasar yaitu:

a. Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi.

b. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan karakter serta menguasai ilmu pengetahuan teknologi.

c. Psikomotorik tercermin kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan yang praktis dan kompetensi kinestetis serta pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, dan bertujuan yang dilaksanakan secara sadar membentuk kepribadian utama dan bekal untuk melaksanakan tugas dan peran dimasyarakat, dimana kelak hidup.115

Pendidikan pengembangan karakter berbasis al-Qur‟an bertujuan untuk menolong orang-orang yang peduli dan bertindak atas dasar nilai-nilai agama yang etis. Dimana tatkala berfikir tentang pengembangan beberapa bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh para siswa, teramat jelas bahwa ia menghendaki atau mampu menilai apa yang benar, serta melakukan apa yang salah, bahkan ketika menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.116

Adapun pendidikan karakter menurut sebuah usaha untuk mendidik para siswa agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Dan pendidikan karakter sebuah proses transformasi nilai kehidupan untuk ditumbuhkan dan dikembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan seseorang.

Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh beberapa pendidik secara continue (berkesinambungan) dengan tidak adanya paksaan dari pihak manapun, pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskusi pendidikan Islam, dari telaah konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh-tokoh pendidikan Islam masa lalu, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya insan kamil, melalui pendidikan akhlak dan pendidikan karakter, yang memiliki maksud dan tujuan yang sejalan, yakni merupakan sebuah usaha sadar untuk membantu individu yang mempunyai kehendak untuk berbuat sesuai dengan nilai dan norma agama serta membiasakan perbuatan-perbuatan tersebut dalam kehidupannya. Pendidikan spiritual akhlak bersumber pada al-Qur‟an dan hadis, sedangkan pendidikan karakter bersumber pada nilai kebaikan

115Harun Nasution, Pendidikan Karakter dalam Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 76.

116Elkindi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik dalm Karakter Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 23.

universal. Pendidikan akhlak terkesan ketimuran, dan pendidikan karakter terkesan kebaratan sekuler, dan perbedaan ini bukan alasan untuk dipertentangkan.117

Karena pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Thomas Lickona sebagai bapak pendidikan karakter di

Karena pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Thomas Lickona sebagai bapak pendidikan karakter di

Dokumen terkait