• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan karakter adalah suatu sistem penanaman karakter kepada masyarakat yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan aktivitas tersebut, baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil, dan dalam pendidikan karakter di sekolah ini, semua komponen (stake holders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses dalam pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan di dalam sekolah-sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, etos kerja seluruh masyarakat dan lingkungan sekolah.71

Pembentukan pendidikan karakter dalam agama untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pembentukan karakter di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak yang mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi kelulusan, melalui pendidikan spiritual diharapkan siswa (peserta

69Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hal. 9.

70Ahmad Shahabuni, Shafwah Al-Tafasir, (Beirut: Daar Al-Qur‟an Al-Karim, 1999), cet. Ke 43, hal. 54.

71Elmi Baharuddin, Kecerdasan Ruhaniah dan Amalan Agama, (Malaysia: Kurnia Ambara, 2009), hal. 54.

didik) mampu secara mandiri meningkatkan prilaku yang baik, menggunakan ilmu pengetahuannya yang mengkaji, menginternalisasi, mempersonalisasi prilaku karakter dan akhlak yang mulia, sehingga terwujud dalam perilaku yang baik di dalam sehari-hari.72

Melalui program ini, setiap kelulusan memiliki beberapa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT berakhlak yang mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas di dalam pendidikan karakter yang nantinya bisa menjadi budaya sekolah.

Pendidikan karakter di dalam pendidikan sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pembentukan karakter bisa diajarkan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan spiritual di sekolah-sekolah secara memadai, serta pengelolaan tersebut, meliputi prilaku yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan dalam komponen yang terkait lainnya. Dengan demikian manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif di dalam pembentukan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah. Budaya sekolah yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, memberikan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga lingkungan serta masyarakat sekitarnya.

Menurut Mulyasa, pendidikan karakter dapat dilakukan dengan cara berbagai model, yaitu model pembiasaan, model keteladanan, pembinaan disiplin dalam memberikan hadiah, pembelajaran kontekstual, dan pembelajaran partisipatif.73

Sebaliknya, orang yang perilakunya baik disebut dengan karakter yang mulia, sebagaimana dalam al-Qur‟an telah disebutkan, bahwa manusia adalah mempuyai berbagai karakter dan beberapa kerangka yang besar, serta dua karakter yang berlawanan, yaitu karakter yang baik dan buruk. Semua formulasi pengertian tersebut menuju pada suatu pemahaman yang sama bahwa karakter menunjuk kepribadian, prilaku, sifat, tabiat, dan watak.

Pembentukan karakter yang dimaksud dalam hal ini menunjukkan watak prilaku yang dibawa sejak lahir berupa potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi jelek. Jika diarahkan menjadi baik dengan pendidikan yang tepat maka potensi pendidikan karakter baik itulah yang akan mempengaruhi seluruh pikiran dan prilakunya, tetapi jika potensi keburukan lebih banyak yang mendapat dukungan dari lingkungannya, maka akan

72Zainab Ismail, Hubungan Kecerdasan Rohaniah Warga Masyarakat, (Bandung:

Setia Abadi, 1992), hal. 78.

73 Mulyasa, Ulumul Qur‟an dalam Pendidikan tentang Karakter Manusia, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 32.

berkembang menjadi karakter yang jelak. Oleh karena itu, pembinaan karakter adalah substansi pendidikan yang paling mendasar.74

Pendidikan pembentukan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak yang mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan siswa mampu mandiri untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan ahklak yang mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari yang baik. Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia.

Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ilmu dalam Islam bukanlah tujuan, melainkan sebagai fasilitas dan media yang mampu secara profesional memberikan manfaat. Ilmu bukanlah untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal yang bermanfaat sebagai penghidmatan yang tulus mengabdi dalam mencari ridha Allah. al-hikmah mengandung arti nasihat-nasihat, sehingga pendidik yang bijak senantiasa menitipkan nasihat yang menyentuh kalbu peserta didik.

Secara umum ayat-ayat di atas menunjukkan al-hikmah menunjukkan sifat yang sempurna yang dimiliki seseorang yang telah berupaya secara maksimal mensucikan jiwanya sehingga dengannya ia mampu menangkap isyarat-isyarat Ilahiyyah yang mengantar dirinya menjadi orang yang bijak. Dalam konteks pendidikan guru mampu memiliki sifat-sifat “kenabian” antara lain:

Pertama, memiliki sifat jujur, guru yang ideal adalah guru yang jujur, yaitu jujur kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain dalam menerima amanah. Guru harus senantiasa menjaga integritas dengan Allah SWT, sebagai pusat control dalam setiap tutur kata dan tindakannya.75

Kedua, istiqamah yaitu pembentukan senantiasa tidak setengah hati dalam mendidik, disiplin, dan berupaya sempurna dalam menjalankan dedikasinya, serta menjadi teladan yang baik kepada murid-muridnya.

Ketiga, cerdas (fathonah) sebagai sifat kenabian. Guru dan ulama adalah pewaris para Nabi Allah. Kecerdasan yang dimiliki mecakup kecerdasan intelektual, emosional, pendidikan spiritual.

Keempat, sifat amanah, yaitu dapat dipercaya, melalui pendidikan, dan disertai dengan pendidikan melalui ibadah dan doa, baik yang hukumnya

74Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan dan Spiritual, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001), hal, 76.

75Suryana Sudrajat, Puing Kearifan Berguru pada Orang-Orang Suci, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2002), hal. 63.

wajib maupun yang bersifat anjuran, maka akan menjadi sebuah akumulasi untuk memperoleh petunjuk yang utuh dan terintegrasi, dan al-Qur‟an juga mewajibkan bagi setiap individu (fardhu„ain) agar menuntun masyarakat sesuai kapasitasnya untuk mengantar terciptanya kondisi yang dapat mendukung tumbuh suburnya nilai-nilai Ilahiyah.76

Konsep amar ma‟ruf dan nahi munkar merupakan wadah dan sarana untuk pencapaian hal tersebut, dan dalam pendidikan agama yang telah diletakkan orang tua, menjadi tugas guru agama dilembaga pendidikan formal, dan nonformal. Para guru pendidikan agama Islam dan orang tua termasuk berkewajiban pula menjaga dari kehancuran ahklaknya. Di dalam firman Allah surat at-Tahrim [66]: 6:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan, (Q.S. At-Tahrim, [66]: 6).

Pembentukan karakter adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa berkarakter baik atau bangsa berkarakter buruk, sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa.77

Disatu sisi guru dituntut untuk pembentukan karakter siswa menjadi generasi muda yang berkarakter baik, namun disisi lain setiap hari siswa melihat contoh orang tua di rumah dan masyarakat yang mungkin sering tidak taat pada peraturan, pendidikan spiritual selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak beberapa anak bangsa, diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia.78

Di lingkungan kemdiknas sendiri dalam pembentukan karakter menjadi fokus dalam pendidikan diseluruh jenjang pembentukan karakter yang dibinannya. Pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Tuhan, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku manusia. Dalam

76Solihin Gozali, Melacak Pemikiran Tasawuf di dalam Nusantara, (Jakarta:

Rajawli Pers, 2005), hal. 43.

77Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam Berkarakte, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 93.

78Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hal.76.

prosesnya sangat dipengaruhi oleh keadaan dan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Sekolah dan masyarakat sebagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting, oleh karena itu setiap sekolah dan masyarakat harus memiliki pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk, para pemimpin dan tokoh masyarakat juga mampu memberikan suri tauladan mengenai karakter yang akan dibentuk tersebut.79

Hal ini, menjadi perhatian pemerintah tentang pembentukan karakter berbasis al-Qur‟an, bahwa pembentukan karakter merupakan bagian dari struktur kurikulum pada semua jenjang pendidikan formal, penyelenggaraan pendidikan al-Qur‟an adalah merupakan bagian dari kurikulum nasional, dan pembentukan karakter bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, pandai baca tulis al-Qur‟an, berakhlak mulia, mengerti wawasan yang sangat luas dan memahami serta mengamalkan kandungan al-Qur‟an.80

Setidaknya ada empat aspek yang menjadi alasan untuk menerapkan gagasan ini. Antara lain:

Pertama, aspek dogmatis, secara dogmatis diyakini bahwa al-Qur‟an adalah pedoman hidup manusia. Al-Qur‟an tidak hanya berbicara tentang kehidupan pendidikan spiritual, akan tetapi mengandung ajaran yang komprehensif, holistik dan universal. Bahkan al-Qur‟an juga mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tetap relevan sepanjang zaman sehingga tatanan kehidupan masyarakat memiliki peradaban yang tinggi, hanya saja, perlu pengembangan metodologi dalam pemahaman al-Qur‟an sehingga ia lebih membumi, dan mampu menjawab tantangan serta kebutuhan umat. Jadi jika muncul anggapan dewasa ini umat Islam terbelakang bukan berarti al-Qur‟an yang bermasalah, akan tetapi manusia sendiri yang tidak mampu memahami pesan al-Qur‟an tersebut.

Kedua, aspek sosio kultural, secara sosio kultural, masyarakat memiliki kultur yang menyatu dengan al-Qur‟an. Bahkan ketika orang berbicara tentang sosio kultural, maka key word yang ada dalam persepsinya hanya ada dua kata, adat dan agama (Islam).81

Oleh karena itu, begitu mengakar dalam budaya. Untuk melestarikan dan mewujudkan falsafah yang selalu didengungkan ini dalam kehidupan nyata, perlu dilakukan beberapa upaya melalui proses pendidikan sehingga

79John Renard, Mencari Tuhan Menyelam ke dalam Samudera Makrifat, (Bandung:

Mizan, 2004), hal. 43.

80Robert Lee, Mencarai Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 54.

81Burckhardt Titus, Mengenal Ajaran-Ajaran tentang Sufi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 67.

mampu menerapkan kitabullah (al-Qur‟an) tersebut. Jika tidak, maka falsafah tersebut, hanya menjadi buah bibir semata.

Ketiga, aspek historis. Berbicara tentang sejarah pendidikan tentu tidak terlepas dari pendidikan agama. Sistem pendidikan agama masih tetap menarik untuk dikaji dan diteliti hingga saat ini. Sebab pendidikan agama telah memberikan kontribusi yang amat besar terhadap pembangunan, bahkan terhadap bangsa Indonesia secara nasional dengan tampilnya beberapa ulama dan cendikiawan terkemuka yang merupakan produk dari pendidikan karakter. Perlu ditegaskan bahwa setiap pendidikan agama yang berperan sebagai lembaga pendidikan pasti di dalamnya terdapat pendidikan al-Qur‟an.82

Namun, pembentukan karakter tidak mampu tampil sebagai lembaga pendidikan yang edial seperti; Pesantren di tanah Jawa. Kini masyarakat banyak yang mengalami romantisme pendidkan karakter al-Qur‟an, lalu mempopulerkan gagasan pendidikan keagamaannya, karena pendidikan agama telah dianggap berhasil pada zamannya. Cara yang paling bijak untuk menerapkan gagasan itu adalah dengan menerapkan kembali ciri khas sistem pendidikan agama itu sendiri, yaitu pedidikan al-Qur‟an.83

Keempat, aspek politik, secara politik gagasan al-Qur‟an sebagai karakter pendidikan, juga sangat beralasan, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal, 4 misalnya, disebutkan bahwa, pada tujuan pembentukan karakter pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.84

Pembentukan karakter adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT cerdas, terampil, pandai baca tulis al-Qur‟an, berakhlak mulia, mengerti memahami, mengamalkan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dalam pendidikan berbasis al-Qur‟an, pendidikan yang mengupas masalah al-Qur‟an dan makna, membaca (tilawah), memahami (tadabbur), menghafal ayat-ayat

82Mohmad Fahruddin, Pedidikan Spiritualitas Qalbu dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Thesis UIN Sunan Kalijaga, 2013), hal. 32.

83Abdullah Bin Alawy al-Haddad, Sentuhan-sentuhan Sufistik dalam Pendidikan Spiritual, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 67.

84Abdul Azis,Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi, (Jakarta: Prenada, 2005), hal. 87.

Qur‟an (tahfizh) dan mengamalkan serta mengajarkan atau memeliharanya melalui berbagai usnsur.85

Juga setidaknya, mengingatkan pada beberapa orang muslim, terutama dikalangan pendidik karakter, atau mu‟allim yang memegang peranan yang sangat penting pada pembentukan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya. Karena anak adalah amanah dari Allah, maka para pedidiknya terlebih dahulu harus mengubah diri sebalum mendidik, dalam sejarah pendidikan Islam dialog antara calon pendidik dengan orang tua siswa (anak) sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Ibn Khaldum, dari amanah Umar bin Utbah yang diucapkannya kepada calon pendidik siswanya sebagai berikut: “Sebelum engkau membentuk dan membina para siswa (anak), terlebih dahulu hendaklah engkau membentuk dan membina dirimu sendiri, karena siswa tertuju dan terhambat kepadamu.86

Pembentukan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen sekolah dikendalikan dalam kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai, pengelolaan tersebut antara lain; menanakan nilai yang baik, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, serta komponen yang terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Pada tataran sekolah kriteria pencapaian pembentukan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah. Budaya yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.87.

Menurut Mulyasa mengatakan bahwa, pendidikan karakter agama dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu model pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, memberi beberapa hadiah memberi hukuman, memberi pembelajaran kontekstual dan bermain dalam pembelajaran partisipatif, dan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan berbasis al-Qur‟an dapat melakukan pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, yang memberi hadiah dan hukuman, menerapkan pembelajaran kontekstual, bermain peran dalam beberapa pembelajaran partisipatif yang idial, yang dilakukan secara berkelanjutan dan secara terpadu oleh pendidik terhadap peserta didiknya baik di rumah maupun di sekolah atau di masyarakat.88

85Abu al-Hasan Ali al-Bashri, Etika Jiwa menuju Kejernihan Jiwa dalam Sudut Pandang Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal. 54.

86Ibn Khaldum, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa Cendikian, 2003), cet. Ke 5.

87Abdul Khodir, Ajaran dan Jalam Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 32.

88Sumanto, Metode Penelitian Pendidikan Spiritual dan Pengembangan Karakter, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 63.

Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku peserta didik. Pembentukan karakter melalui pendidikan al-Qur‟an yang berkualitas (membaca, mengetahui, dan memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya) sangat perlu dan tepat serta mudah dilakukan secara berjenjang oleh setiap lembaga secara terpadu melalui manajemen yang baik.89

Para pendidik harus lebih bijaksana dalam menjabarkan nilai-nilai al-Qur‟an ke dalam program-program untuk dituangkan dalam rencana-rencana pembangunan manusia seutuhnya melalui proses pembelajaran. Hal itu, harus dibarengi pembiasaan dan keteladanan, melakukan pembinaan disiplin, memberi hadiah dan hukuman, pembelajaran kontekstual, bermain, berperan, dan memberi pembelajaran partisipatif. Inilah sebuah ikhtiar yang diharapkan dapat membangun generasi Islam yang berkarakter mulia dan berbasis pendidikan al-Qur‟an.90

Membentuk peserta didik pendidikan karakter melalui pendidikan Islam. Hal ini, pendidikan karakter merupakan sebuah nilai yang harus dipelajari, dan diterapkan dalam keseharian setiap siswa. Oleh karena itu pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam yang menyangkut pembinaan aspek jasmani, dan ruhani.91

Pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Islam adalah pendidikan yang bernilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya Islam. Di dalam firman Allah surat al-Isra‟ [17]: 36:

 pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban. (Q.S. al-Isra‟[17]: 36).

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebagai makhluk paedagogik yang dilahirkan membawa potensi yang dapat dididik, sehingga mampu menjadikan Kholifah di muka bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai

89Muhammad Rohmadi, Pendidikan Agam Islam dalam Spiritual, (Surakarta: Yuma Presindo, 2011), cet. Ke 1, hal. 219-220.

90Saebani, Ilmu Pendidikan dalam Motifasi Spiritual Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 53.

91Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dalam Kajian Spiritual, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. Ke 1, hal. 28.

Dokumen terkait