• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fasilitas Sanitasi yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat miskin

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 50-54)

Perawatan Kuratif untuk Anak-anak di bawah Usia 5 tahun

Kotak 12: Terjebak oleh monopoli layanan air

5. Fasilitas Sanitasi yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat miskin

Ketersediaan air, praktik pemanfaatan air, dan praktik sanitasi pada hakekatnya saling berhubungan, seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Praktik sanitasi mencerminkan apa yang rakyat anggap bersih, cocok, nyaman – dan apa yang tersedia.

Gambar 4 menunjukkan bahwa , kecuali minoritas kecil di Soklat (Jawa Barat), warga laki-laki dan perempuan miskin

di delapan lokasi tidak memiliki akses terhadap “fasilitas sanitasi yang layak” apa pun.10

Gambar 4: Proporsi untuk pilihan Fasilitas Sanitasi yang digunakan

44% 8% 9% 10% 25% 4% 41% 17% 16% 11% 14%

Sungai (buang air besar terbuka)terbuka)

Pandangan Perempuan Pandangan Laki-laki

Pantai (buang air besar terbuka)

Jamban rumah tangga – lubang tanpa perbaikan

Lapangan (buang air terbuka) Lubang tanpa perbaikan di luar rumah Jamban rumah tangga bersama

Rakyat Bajo Pulau di pesisir pantai buang air besar di pantai pada malam hari atau sebelum gelap, sehingga pasang naik dapat menghanyutkan tinja. Pada enam lokasi lainnya, rakyat lebih suka untuk buang air besar di sungai, di tempat mereka mencuci, mandi dan sikat gigi (lihat Tabel 3.6, Lampiran 3). Buang air besar di air tidak meninggalkan kotoran yang kelihatan atau bau yang jelas, dan dengan demikian dianggap “bersih” dan bahkan merupakan “pilihan yang lebih sehat” daripada menggunakan jamban yang bau, WC umum sederhana yang tersedia bagi mereka — terlepas dari usaha pihak berwenang untuk memperkenalkan manfaat penggunaan jamban untuk kesehatan.

10 “Fasilitas sanitasi yang layak” didefi nisikan oleh Program Monitoring bersama WHO-Unicef (dipakai untuk monitoring global target-target MDG) sebagai: kakus cemplung yang layak dan berventilasi, jamban sistem leher angsa, jamban cemplung tertutup, atau koneksi ke sistem atau pipa pembuangan air kotor. Defi nisi ini tidak termasuk kakus jongkok, kakus cemplung, kakus umum atau bersama, dan kakus yang dibuang langsung ke sumber air.

Suar a Masy ar ak a t M isk in

Penduduk perempuan (61%) dan laki-laki (74%) mengatakan bahwa mereka buang air besar di alam terbuka, di sungai, pantai, kolam, sawah dan semak-semak. Sumber air alami ini gratis, sedangkan WC umum di pemukiman padat di daerah perkotaan Jawa, harus antri panjang dan membayar Rp. 200. Jamban lubang terbuka rumah tangga yang tidak aman digunakan oleh 25 hingga 35% lainnya. Terdapat sekadar galian lubang di halaman (Alas Kokon, Jatibaru), langsung di bawah rumah panggung di daerah rawa (di Antasari), atau di tepi rel kereta api di pemukiman padat di daerah perkotaan (Simokerto).

Ada perbedaan jender dalam perilaku penggunaan sanitasi (lihat Lampiran 3, Gambar 16 dan 17, hal. 30-31). Privasi dilaporkan sebagai alasan utama yang paling penting untuk perilaku sanitasi, berhubungan dengan kenyamanan dan “kebersihan” (air yang mengalir alami). Tanpa memandang mutu fasilitas jamban, fasilitas yang ada di rumah lebih disukai daripada keluar untuk buang air besar – terutama di rumah-rumah yang jauh dari sungai atau laut (Alas Kokon, Antasari, Soklat, Simokerto). Dibandingkan laki-laki, warga perempuan lebih suka menggunakan fasilitas sanitasi di dalam rumah tangga daripada harus keluar rumah.

Halangan utama lainnya bagi warga miskin dalam mencapai akses sanitasi yang layak adalah kesalahpahaman yang tersebar luas tentang sanitasi menggunakan jamban dalam rumah yang masih dianggap sebuah kemewahan yang mahal. Masyarakat miskin mempunyai kesan bahwa membuat jamban menghabiskan banyak uang (Rp.750.000 – Rp.2.000.000). Biaya ini tidak terjangkau oleh rumah tangga miskin. Untuk negara yang separuh rakyatnya hidup dengan penghasilan kurang dari Rp.20.000 sehari, pandangan seperti itu masuk akal. Kesalahpahaman lahir di kalangan masyarakat miskin karena mereka hanya melihat toilet mahal yang dibangun oleh rumah tangga kelas atas. Dinas Pekerjaan Umum tidak membantu, karena mereka hanya menawarkan model standar yang bersertifi kat “higienis” dan mahal harganya.

5.1 Hasil Pengamatan: Layanan Sanitasi

Masyarakat miskin tidak mendapat layanan sanitasi dasar. Penelitian ini mendapat hambatan dalam upaya meningkatkan fasilitas sanitasi umum, antara lain mencakup: 1) Persepsi publik yang lebih suka buang air besar di air yang mengalir; 2) Ketidaktahuan mengenai fasilitas sanitasi altenatif yang murah, dan adanya kesalahpahaman bahwa sanitasi adalah suatu kemewahan yang tidak terjangkau; 3) kurangnya mekanisme untuk mempromosikan fasilitas sanitasi yang lebih baik, selain itu juga kegiatan untuk meningkatkan kebersihan dan opsi peningkatan fasilitas sanitasi yang lebih baik.

Baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, masyarakat lebih suka menggunakan sumber air alami yang tersedia untuk sarana buang air besar; beberapa orang tetap memilih jalan demikian walaupun sudah memiliki jamban yang dibangun di dalam rumahnya, melalui program bantuan, maupun subsidi, dengan alasan jamban yang tersedia berbau tidak sedap dan kondisinya dinilai tidak sehat. Tindakan masyarakat tersebut berakibat pada timbulnya

Suar a Masy ar ak a t M isk in

Warga hanya mau menggunakan jamban yang bersih. Di sebuah daerah pinggiran kota di Jawa, sekelompok kecil warga mendapat akses jamban rumahan, satu jamban untuk empat sampai lima keluarga, dengan kondisi sangat baik dan terawat. Fasilitas ini merupakan hasil dari sebuah proyek bantuan, sedangkan untuk fasilitas jamban yang dibangun oleh sebuah LSM, yang baik kondisi maupun jumlahnya tidak memadai (kondisinya tidak terawat walaupun sudah ditarik iuran perawatan sebesar Rp. 200), masyarakat cenderung enggan menggunakannya, terlebih lagi dengan adanya antrian pengguna yang panjang di pagi hari.

Terlepas dari kedua contoh diatas, berbagai jenis jamban, yang dibangun oleh masyarakat miskin, banyak ditemui hampir diseparuh lokasi penelitian. Di wilayah pedesaan, kebanyakan berupa bilah bambu atau kayu yang didirikan diatas sungai atau empang, kadang ditutupi selembar kain atau bahan lain yang direntang di antara bilah bambu, atau kadang hanya berupa lubang yang digali di halaman belakang rumah warga.

Ilustrasi 9: Di Desa Paminggir,

Kalimantan Selatan,warga yang miskin tinggal di sungai dan menggunakannya untuk semua hal: memasak,air minum, mencuci, mandi, dan buang air. Tampak juga di latar belakang foto, bentuk jamban yang digunakan warga

Di daerah perkotaan lubang jamban kadang di tambah semen, dan dijadikan bagian dari rumah, namun tinja yang dibuang ke lubang ini biasanya langsung disalurkan kesaluran pembuangan kota atau ke sungai. Bahkan untuk mereka yang tinggal di pemukiman terkumuh atau yang hidup menggelandang tidak memiliki lubang yang berfungsi sebagai jamban ini. Mereka biasanya mencari lahan kosong yang sedikit tertutup untuk tempat buang air, atau melakukannya disungai seperti yang terjadi di daerah pedesaan.

Ilustrasi 10: Jamban terbuka di halaman belakang rumah bisa

dijangkau oleh hewan peliharaan, sehingga memungkinkan penyebaran penyakit. Alas Kokon, Madura (Kiri).

Fasilitas Sanitasi untuk murid-murid di Sekolah dasar di daerah pedesaan dan separuh dari sekolah dasar di daerah perkotaan tidak memadai. Sekolah-sekolah, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan memang memiliki kamar kecil yang bisa digunakan oleh murid dan guru, tetapi disebagian besar lokasi yang dikunjungi, perbandingan antara jumlah murid dengan jumlah kamar kecilnya adalah 100 murid berbanding satu toilet, dimana angka tersebut tidak memungkinkan fasilitas tersebut bisa digunakan oleh semua murid.

Pemerintah belum bisa menghilangkan anggapan masyarakat bahwa fasilitas sanitasi itu mahal. Padahal kenyataannya, saat ini di sebagian besar wilayah Indonesia yang belum dihuni, mungkin saja untuk membangun

Suar a Masy ar ak a t M isk in

sarana toilet murah dengan menggunakan tenaga kerja dan material yang tersedia di sekitar lokasi, biayanya berkisar antara Rp.100,000-300,000 (US$10 - $30)—harga tersebut masih terjangkau oleh sebagian besar masyarakat miskin. Namun, masih belum ada program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap biaya yang sesungguhnya dan bahayanya menggunakan fasilitas sanitasi yang buruk, juga program yang mempromosikan opsi-opsi untuk meningkatkan kualitas sanitasi dengan harga terjangkau.

5. 2. Kualitas Layanan: Berbagai Sudut Pandang

Ilustrasi 11: Jika ada toilet dalam rumah di lingkungan miskin

daerah perkotaan, biasanya langsung dibuang got atau selokan dibelakang rumah, yang biasanya mengalir langsung ke sungai. Simokerto .

Kualitas layanan sanitasi benar-benar buruk. Tidak terlihat upaya baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat untuk menyediakan layanan kebutuhan dasar ini bagi masyarakat miskin.

Di daerah pedesaan, sumber air alami menjadi jamban dadakan, sehingga menimbulkan bahaya bagi kesehatan masyarakat. Petugas paramedis Pustu di Paminggir berkata: “(Ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat disini adalah sungai, yang mana merupakan penopang utama bagi kehidupan penduduk desa…. Karena digunakan untuk berbagai keperluan warga, termasuk mandi, mencuci, memasak, dan sebagai sumber air minum, juga digunakan untuk buang air dan pembuangan limbah. Diare dan penyakit kulit sering sekali berjangkit; banjir tahunan semakin membuat penyakit-penyakit tersebut menjadi epidemi. Kita bisa mengobati penyakit ini, tapi tidak bisa mencegahnya).”

Kekurangan sanitasi dasar ini berdampak terhadap layanan lain, misalnya layanan pendidikan. Di daerah pedesaan, para guru kadang menolak untuk tinggal di desa—akibatnya mereka menjadi sering tidak hadir mengajar. Seorang guru sukarela di SD di Paminggir menjelaskan bahwa guru utama di sekolah tersebut jarang ada di desa (walaupun sudah disediakan tempat tinggal) karena fasilitas sanitasinya tidak memadai. Guru resmi yang ditunjuk untuk mengajar disana selalu kembali ke kota untuk “mencuci pakaian” dan biasanya terlambat untuk kembali ke desa untuk melaksanakan tugasnya. Guru di Bajo Pulau juga mengemukakan hal yang serupa.

Suar a Masy ar ak a t M isk in

Ilustrasi 12: Sumber air alami lebih digemari sebagai tempat

buang air besar, seperti yang diperlihatkan pada gambar toilet yang dibangun diatas empang di daerah pinggiran kota Soklat, Jawa Barat

Sepertinya tidak ada aturan mengenai penyediaan fasilitas sanitasi dan sarana air bersih pada proses pembangunan sekolah. Guru SD di Desa Kertajaya mengatakan bahwa sekolah mereka dibangun tanpa fasilitas sanitasi maupun sarana air bersih. Mereka kemudian menerima bantuan dari Kecamatan Development Program (KDP) berupa satu unit toilet – satu toilet untuk seluruh sekolah, tentu saja tidak cukup dan tak lama kemudian rusak.

Demikian juga dengan APBD yang tidak menyediakan anggaran untuk pemeliharaan rutin fasilitas sanitasi. Di Soklat, yang merupakan wilayah perkotaan, setelah toilet murid rusak, para guru menyediakan salah satu dari dua toilet guru untuk digunakan oleh murid perempuan, karena untuk memperbaiki toilet yang rusak harus menunggu tahun anggaran berikutnya, yang berarti berbulan-bulan kemudian.

Bagi masyarakat miskin, toilet umum yang mengenakan tarif malah menambah beban fi nansial. Seorang penjaga toilet umum di pemukiman kumuh di Simokerto mengatakan bahwa setiap harinya kurang dari 30 orang menggunakan toilet tersebut, padahal jumlah penghuni RW di daerah itu mencapai 300 rumah tangga, dan sebagian besar dari mereka tinggal dalam radius 100 meter dari toilet umum tersebut. Menurutnya, ongkos Rp. 200 yang dikenakan untuk fasilitas toilet umum itu masih telalu mahal bagi warga miskin.

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 50-54)