• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat miskin Membayar 30 Kali Tarif PDAM untuk Air – Tapi Tidak Menyadarinya

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 44-48)

Perawatan Kuratif untuk Anak-anak di bawah Usia 5 tahun

Kotak 11: Masyarakat miskin Membayar 30 Kali Tarif PDAM untuk Air – Tapi Tidak Menyadarinya

Persepsi:

“Pak Ketua RT mengatakan bahwa kita tidak mampu membayar biaya pemasangan sambungan pipa PDAM karena biaya sebesar Rp. 750,000 ($75) terlalu mahal untuk kami. Apalagi, Sekarang tarif PDAM naik dari Rp. 300 menjadi Rp. 700 per kubik meter, kami juga tidak akan mampu membayar harga air sebulan. Sedangkan saat ini, kami hanya menghabiskan Rp. 300 untuk 30 liter air yang digunakan untuk minum dan memasak. Kami mambeli air tersebut dari tetangga kami yang lebih kaya, dan kami membayar Rp 100 untuk 10 liter

Peserta FGD Perempuan, Antasari, Kalimantan Selatan

“Kami tidak akan bisa mengharapakan sambungan rumah dari PDAM. Hal tersebut akan menelan biaya sekitar Rp.3 hingga 5 juta, karena jalur pipanya harus melintasi rel kereta api, jalan tol, dan pasar, sebelum bisa mencapai Simokerto tempat kami tinggal. Siapa yang mampu membayar sebanyak itu? Apalagi, kami bukan pemilik tanah, kami hanya tinggal di lahan ini, oleh karena itu kami tidak bisa meminta sambungan pipa. Tanah ini adalah milik PT KA(Kereta Api)”

Peserta FGD Kelompok Laki-laki, Simokerto, Surabaya

Kenyataannya:

Masyarakat miskin di Antasari membayar tetangga mereka Rp.100 untuk 10 liter air PDAM. Hal ini berarti tarifnya Rp.10.000/ meter kubik – sekitar 13 kali lebih mahal daripada tarif PDAM, yaitu Rp.700/ meter kubik. Masyarakat miskin di Simokerto membeli air PDAM yang dijual kembali oleh penjual dengan harga Rp.1.400 per hari untuk 50 liter air yang diantar ke rumah (atau Rp.700 per hari untuk 50 liter jika diambil sendiri dari toko penjual). Hal ini berarti tarifnya Rp.28.000 per meter kubik untuk air yang diantar ke rumah. Tarif umum PDAM untuk saluran rumah tangga di Surabaya hanya Rp.850 per meter kubik.

4.2. Penggunaan Air dan Bahaya Kesehatan

Air yang dapat diminum merupakan komoditas berharga bagi masyarakat miskin yang mereka gunakan untuk masak dan minum. Mencuci dan mandi dengan air bersih adalah sebuah kemewahan yang tidak sanggup mereka nikmati. Di semua lokasi, masyarakat miskin mandi dan mencuci pakaian mereka di sungai, sumur galian tanpa penutup atau bahkan dengan air laut.

Hal ini membawa dampak kesehatan yang cukup berarti. Budaya yang kuat untuk membuang air besar di air yang mengalir menyebabkan kebiasaan yang tertanam kuat untuk membuang air besar di sumber air alami. Proses

penilaian beberapa partisipan tentang air dan proyek sanitasi8 dan survei baseline untuk proyek WSLIC yang dikelola

oleh Universitas Indonesia pada tahun 2003 menemukan bahwa: “Hampir semua orang mencuci pakaian, mandi, dan buang air besar di sungai walaupun mereka memiliki sumur. Buang air besar di sungai dianggap ‘bersih’, karena tidak menyebabkan bau, seperti buang air besar di WC yang ventilasinya buruk.” Orang-orang juga sering kali membuang sampah di sungai dan menggunakan sungai yang sama untuk memandikan ternak, mencuci pakaian dan sepeda motor – sebagaimana juga mereka sendiri mandi.

Mereka yang tidak mencuci dan mandi di sungai dan kali, menggunakan air dari sumur galian tanpa penutup, tanpa direbus terlebih dahulu. Di daerah padat di Surabaya, air yang dikonsumsi “kemerah-merahan, payau, dan berbau”. Di Soklat, sumur tidak memiliki pelindung dari semen dan dikelilingi oleh kubangan lumpur. Di Jatibaru, dinding sumur galian terbuat dari drum-drum besi tua yang dipakai untuk menyimpan bahan-bahan kimia industri. Sumur-sumur ditempatkan di sebelah kandang kuda dan tidak memiliki dinding dari semen untuk mencegah terserapnya

Suar a Masy ar ak a t M isk in

zat pencemar lingkungan. Sampah padat menghalangi saluran pembuangan yang ada sehingga air buangan berkubang di sekitar sumur.

Dalam benak masyarakat miskin, air sumur “bersih”, sementara air sungai tidak. Oleh karena itu, mereka yang bisa menggunakan air sumur untuk mencuci dan mandi menganggap diri mereka beruntung, tanpa peduli kondisi sumur. Tingkat kepuasan penggunaan air sumur cenderung lebih tinggi, kecuali airnya kelihatan berwarna, memiliki bau yang tidak sedap atau payau. (Lihat Lampiran 3, Gambar 3.14 dan 3.15).

4.3. Warga Paling Miskin Membayar Harga Paling Tinggi untuk Air

Air itu mahal. Rumah tangga termiskin – yang terdiri dari 51-73% rumah tangga penduduk di lokasi sampel – menghabiskan biaya murah antara Rp.5.000 (Jatibaru), hingga yang mahal yakni Rp.60.000 (Bajo Pulau, Antasari, Simokerto) perbulan untuk air (lihat Tabel 3). Ini berarti masyarakat miskin menghabiskan 15 persen dari penghasilan mereka untuk air minum dan masak (Bajo Pulau).

Air yang paling mahal dibeli dari penjual. Cara paling murah bagi masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih adalah dengan mengambilnya dari mesjid atau sumur tetangga. Di daerah pedesaan, biasanya warga miskin membayar sekitar Rp.5.000 perbulan untuk air sumur bor; membayar biaya listrik untuk memompanya dari sumur, di kota, mereka membeli air PDAM dari rumah tetangga, dan membayar sekitar Rp.30.000 sebulan. Di Soklat dan Kertajaya, warga miskin menghabiskan sekitar 30 jam sebulan untuk mengambil air sumur galian dari sumur tetangga atau sumur umum. Rumah-rumah tangga di Alas Kokon menghabiskan 150 hingga 200 jam sebulan mengangkut air untuk mencuci, mandi, dan ternak. Warga perempuan di desa itu mengatakan mereka butuh “dua sampai tiga kali perjalanan ke sungai untuk membawa air dari sungai sejauh 1,5 kilometer,” sambil mengambil air, mereka juga mencuci dan mandi, ketiga kegiatan ini “menghabiskan lebih dari tiga jam sehari.”

Suar a Masy ar ak a t M isk in

Table 3. Biaya layanan air bersih dan air bersih yang digunakan oleh masyarakat miskin di delaoan lokasi penelitian

Lokasi-lokasi Pedesaan

Paminggir/Kalimantan Selatan

(Sungai. Tidak ada akses air bersih)

Bajo Pulau/NTB

(Air sumur galian dari pulau lain, dibawa dengan kapal

oleh penjual)

Alas Kokon/Madura

(Sumur galian umum yang dilindungi)

Kertajaya/Jawa Barat

(Pompa tangan umum)

Minum air sungai, setelah diendapkan dan dididihkan. Mandi dan mencuci di

sungai

Buang air besar di sungai yang sama

Rp.30.000 + 30 jam/ orang/ bulan untuk 35 liter/hari Membeli air hanya untuk

masak dan minum (Rp.30.000/bulan) Mandi dan mencuci di laut Buang air besar di pantai

Kuota 20 liter/ hari/rumah tangga, hanya untuk masak dan minum, waktu yang dikeluarkan 8 – 10 jam/orang/ rumah/bulan

Tidak ada bayaran Mengambil air sungai untuk

keperluan lain, menghabiskan 210 jam/ rumah/bulan • Menggunakan lubang

jamban sederhana di/dekat rumah

30 jam/orang/ bulan dan Rp.5.000 untuk membeli air untuk masak dan minum dari mesjid

Mandi + mencuci di sungai Kebanyakan juga buang air

besar di sungai yang sama

Lokasi-lokasi Perkotaan

Antasari/Kalimantan Selatan

(membeli air PDAM dari tetangga)

Jatibaru/NTB

(membeli air dari sumur galian tetangga dengan pompa)

Simokerto/Jawa Timur

(membeli air PDAM dari penjual)

Soklat/Jawa Barat

(sumur galian tetangga – tidak dilindungi)

• Rp.30.000/bulan untuk 100 liter/hari dengan Rp.100/10 liter hanya untuk masak dan minum(> 13 kali tarif PDAM di kota kecil*)

Mandi + mencuci di sungai • Menggunakan lubang

jamban yang tidak diperbaiki Persentasi yang besar buang

air besar di sungai yang sama

Rp.5.000/bulan untuk berbagi biaya listrik. Mengumpulkan sekitar 120 liter air sumur galian/hari untuk masak dan minum

• Mandi + mencuci di sumur tetangga yang tidak dilindungi (tidak ada biaya) • Kebanyakan buang air besar

di sungai

• Rp.42.000/bulan untuk 50 liter air yang diantar ke rumah setiap hari, untuk minum dan masak (> 30 kali tarif PDAM) • Mandi + mencuci di sumur

galian umum

• Buang air besar di lubang jamban di rumah/di pinggir rel kereta api/WC umum

• 30 jam/orang /bulan untuk mengumpulkan air untuk masak dan minum. Air matang untuk minum Mandi + mencuci di sumur • Setengah menggunakan

jamban bersih yang dipakai bersama dengan beberapa rumah tangga

• Setengah lainnya buang air besar di sungai atau kolam Tarif terendah PDAM untuk saluran rumah di Antasari = Rp.700/meter kubik air.

Suar a Masy ar ak a t M isk in

4.4. Hasil Pengamatan: Layanan Air “Bersih”

Masyarakat miskin mendapat mutu terendah dengan harga tertinggi. Penelitian ini tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tes bakteriologi dari sampel air di lokasi penelitian. Pengamatan termasuk: a) memeriksa sifat dasar sumber air yang digunakan, yaitu sumber yang layak atau tidak menurut defi nisi global yang dipakai dalam

pemantauan MDG9 , b) kondisi sumber air, dan c) kemungkinan terjadinya pencemaran.

Illustrasi 5: Masyarakat miskin di perkotaan padat membeli air PDAM yang

di-jual kembali beberapa kali – setiap kali harganya naik. Dengan air PDAM yang disimpan di drum, penjual air bersekala lebih besar mengisi jerigen ukuran kecil milik pembeli penjual bersekala lebih kecil.

Dengan kriteria ini, masyarakat miskin pada setengah lokasi tidak memiliki akses air bersih. Mereka minum dan masak dengan air dari sumber yang tidak layak, yang rentan terhadap berbagai bentuk pencemaran organik dan kimia. Di lokasi lain, air dari sumber yang layak tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas, baik dalam kapasitas sumber, maupun harga.

Tingginya tarif air yang harus dibeli masyarakat miskin mencapai 15 hingga 30 kali harga yang dikenakan oleh PDAM. Karena biaya yang mahal, tidak satu pun masyarakat miskin dapat mencuci dan mandi dengan air bersih. Sungai, danau, dan laut digunakan untuk mencuci dan mandi; air bersih digunakan untuk sedikit bilasan akhir.

Ilustrasi 6: Sumur galian yang tidak layak di

pedesaan Jatibaru, NTB, berdinding dengan drum industri,. Air dari sumur ini digunakan untuk segala keperluan.

Para penjual air tidak diatur dan sangat memonopoli. Penjual air mengambil air dari sumber yang seharusnya bersih, seperti saluran PDAM atau sumur bor. Namun, air berpindah tangan dari penjual berskala besar dan menengah ke penjual berskala kecil dengan menggunakan berbagai peralatan yang tidak bersih (menggunakan drum tempat menyimpan bahan kimia atau minyak, selang karet, corong, dan sebagainya). Tidak ada peraturan yang mengharuskan mereka membersihkan tempat air tersebut secara teratur dan menggantinya secara berkala.

Tingkat pencemaran air yang akhirnya sampai pada konsumen miskin melalui para penjual, kemungkinan jauh lebih tinggi daripada batas yang bisa diterima. Untuk mengetahui hal ini secara pasti dibutuhkan ujian bakteriologi yang akurat. Para penjual memiliki kepentingan untuk

Suar a Masy ar ak a t M isk in

mempertahankan cengkeraman monopoli atas pelanggan miskin dan dikenal sering menghalangi munculnya pilihan penyediaan air lainnya. Kotak 12 memaparkan contoh kasus ini.

Masyarakat miskin menganggap air sumur galian bersih. Melihat kondisi fi sik sumur galian dan lingkungan sekelilingnya, kemungkinan air di hampir semua sumur galian tersebut sangat tercemar. Hanya Alas Kokon yang memiliki sumur galian dengan penutup, namun kapasitasnya terbatas. Masyarakat miskin yang menjadi pengguna diberi jatah hanya 20 liter per hari per rumah tangga, untuk diambil dan disimpan seminggu sekali. Air ini hanya digunakan untuk masak dan minum.

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 44-48)