• Tidak ada hasil yang ditemukan

Layanan Kesehatan: Pra-persalinan, Persalinan, dan Layanan untuk Bayi

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 30-33)

Sekolah Menengah: Pengamatan

3. Layanan Kesehatan: Pra-persalinan, Persalinan, dan Layanan untuk Bayi

Tersedianya berbagai jenis layanan publik serta persepsi tentang nilai dan mutu layanan tersebut merupakan faktor penentu apakah rakyat akan memilih terhadap kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasarkan penyedia layanan tersebut, sementara pilihan laki-laki menentukan pilihan bereka berdasarkan besarnya-kecilnya biaya (rata-rata Rp.10.000,-). Setiap pilihan sangat rasional, berdasarkan pertimbangan keuntungan dan biaya sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin. Kebijakan untuk meningkatkan layanan kesehatan kepada rakyat hanya dapat efektif jika pembuat kebijakan semacam itu mampu memahami cara berpikir dan hal-hal yang melandasi pengambilan keputusan mereka.

Selama tahun 1990-an, bidan di desa yang sudah terlatih diperkenalkan di seluruh Indonesia sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian ibu yang tinggi. Satu dekade kemudian, bidan di desa tampaknya tidak mengubah kecenderungan masyarakat miskin untuk memilih menggunakan jasa dukun beranak yang juga memberikan layanan pra-persalinan dan persalinan.

3.1. Layanan Pra-persalinan: Pilihan berbeda untuk lokasi geografi s yang

berbeda

Sekitar 65 persen dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti menggunakan penyedia layanan kesehatan rakyat seperti bidan di desa, Puskesmas atau Puskesmas pembantu (Pustu), sementara 35 persen sisanya menggunakan dukun beranak tradisional yang dikenal dengan pelbagai macam sebutan seperti dukun bayi, dukun beranak, sando, paraji, bidan kampung (lihat gambar 2).

Dukun beranak merupakan pilihan paling populer di seluruh lokasi di luar Jawa. Di Jawa, baik pedesaan maupun perkotaan, bidan desa atau Puskesmas/Pustu merupakan pilihan yang lebih disukai, kecuali di desa Alas Kokon di Madura.

Pada umumnya, perempuan hamil atau anggota keluarga perempuan yang lebih tua memilih penyedia layanan kesehatan pra-persalinan. Jumlah biaya yang dikeluarkan dan perbandingan biaya kedua layanan ini dapat dilihat pada diagram di bawah ini (lihat Lampiran 3, Tabel 3.3).

Suar a Masy ar ak a t M isk in

Gambar 2. Proporsi pilihan untuk penyedia layanan pra-persalinan

34%

10% 29%

26%

1%

Sando/Bidan Kampung/Paraji/Dukun Bayi Pustu

Bidan desa/Polindes Puskesmas

Posyandu 35% 14% 26% 23% 1%

Pandangan Perempuan Pandangan Laki-laki

Masyarakat miskin yang menggunakan jasa dukun beranak untuk layanan pra-persalinan menyadari bahwa dukun beranak tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai untuk mendeteksi atau menangani kehamilan yang berisiko tinggi; juga tidak memberikan vitamin tambahan atau imunisasi TT. Meskipun demikian, mereka memilih untuk menggunakan jasa dukun beranak dengan alasan berikut:

• Dukun beranak selalu ada di tempat, sementara bidan jarang ada di Polindes atau Pustu setempat.

• Dukun beranak tinggal dekat dengan rumah mereka, sementara Puskesmas berada jauh dan membutuhkan biaya transportasi.

• Dukun beranak mengenakan biaya Rp.1.000 sampai Rp.5.000 per kunjungan, kadang-kadang hanya dibayar dengan beras atau kelapa; biaya bidan tiga sampai lima kalinya (Alas Kokon).

• Dukun beranak tahu bagaimana mengubah posisi janin ”jika kepalanya tidak berada di posisi yang benar”. • Berpengalaman, telah banyak membantu persalinan bayi sehat sebelumnya.

• Terpercaya dan terkenal.

Di Jawa Puskesmas dan Pustu lebih mudah dijangkau, tetapi masyarakat miskin lebih suka menggunakan layanan kesehatan yang tidak mahal. Dengan biaya sebesar Rp.2.500 – Rp.5.000, mereka bisa mendapatkan pertolongan bidan, suplemen zat besi serta imunisasi TT, dan dapat mengetahui apakah kehamilan mereka berisiko atau tidak. Perempuan lebih suka menghubungi bidan di desa di rumahnya pada sore hari untuk mendapatkan layanan perawatan pra-persalinan, karena layanan dilakukan dengan lebih penuh perhatian dan tidak perlu menunggu. Bagaimanapun, biaya lima kali lebih besar daripada layanan Puskesmas kalau biaya transportasi ditambahkan. Di sisi lain, perjalanan ke bidan di desa biasanya tidak memerlukan transportasi. (Sekalipun di Jawa, masyarakat miskin mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp.6.000 – Rp.12.000 untuk memperoleh layanan perawatan pra-persalinan)yang besarnya Rp. 3000 - Rp. 5000 di Puskesmas atau Rp. 10.000 - Rp. 15.000 di rumah bidan desa.

Suar a Masy ar ak a t M isk in

dengan biaya yang dikeluarkan. Puskesmas berada di urutan kedua kemudian bidan desa, yang bekerja di rumah, berada di urutan ketiga. (Lampiran 3, Gambar 3.5 menunjukkan bagaimana masyarakat miskin mengurutkan

pilihan mereka sesuai dengan harapan mereka dan tingkat keuntungan yang sepadan dengan biaya ).7 Layanan

dukun beranak disadari oleh warga perempuan bernilai lebih daripada biaya yang dikeluarkan (Bajo Pulau, Alas Kokon, Jatibaru). Namun demikian, di seluruh lokasi Pulau Jawa, masyarakat miskin memilih Puskesmas atau bidan desa untuk layanan perawatan pra-persalinan daripada dukun beranak. Tindakan ini untuk meminimalkan risiko persalinan yang sulit serta besarnya biaya tak terduga selama persalinan – melalui deteksi berkala untuk melihat kemungkinan kehamilan berisiko tinggi.

3.2. Layanan Bantuan Persalinan: Dukun beranak Tetap Terpenting

Biaya per Kelahiran yang dibantu : SOKLAT/Jawa Barat Paraji (Dukun beranak): Rp.50.000 – Rp.100.000 atau

Rp.50.000 + 5 kg beras bidan desa: Rp.300.000 – Rp.400.000

Proses persalinan diharapkan berjalan normal, dan untuk melakukan hal ini dukun beranak hampir selalu merupakan pilihan pertama. Kecuali daerah perkotaan yang berpenduduk pada seperti Simokerto, di seluruh lokasi dukun beranak merupakan pilihan pertama di antara para perempuan (76%) dan laki-laki (64%) ( lihat Lampiran 3, Diagram 3.7). Walaupun biaya merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat miskin, ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih layanan yang diberikan oleh dukun beranak. Biaya layanan yang diberikan oleh bidan di desa untuk membantu persalinan lebih besar daripada penghasilan rata-rata rumah tangga miskin dalam satu bulan. Di samping itu, biaya tersebut pun harus dibayar tunai. Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun beranak lebih lunak – secara uang tunai dan ditambah barang. Besarnya tarif dukun hanya sepersepuluh atau seperlima dari tarif bidan desa. Dukun beranak juga bersedia pembayaran mereka ditunda atau dicicil – tergantung kapan keluarga memiliki uang untuk membayarnya (lihat Soklat dan Lampiran 3, Tabel 3.4).

Yang lebih penting, masyarakat miskin puas dengan layanan dukun beranak dan mereka merasa mendapatkan layananan yang sepadan dengan uang yang dibayarkan (lihat Lampiran 3, Gambar 3.8 dan 3.9). Menurut mereka dukun beranak lebih perhatian dan sabar daripada bidan, baik selama persalinan maupun sesudahnya. Perempuan miskin mengatakan bahwa dukun beranak dapat melanjutkan layanan untuk 10-14 hari pasca melahirkan, dengan sabar memanjakan ibu baru dan bayinya. Dia mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan, menemani anggota keluarga agar ibu bisa beristirahat dan memulihkan diri. Sebaliknya, bidan seringkali tidak tersedia saat dibutuhkan atau bahkan tidak mau datang saat dipanggil (Bajo Pulau, Paminggir, Alas Kokon, Jatibaru). Saat akhirnya dia datang, dia hanya membantu sampai melahirkan bayi dan plasentanya.

Masyarakat miskin menyadari bahwa bidan lebih terlatih dalam menangani persalinan yang sulit. Namun enam

7 Keuntungan dan Nilai untuk Biaya yang Dikenakan (Benefi ts and Value for Cost) merupakan sebuah perangkat dari metodologi penilaian

partisa-toris (Methodology for Participatory Assessment). Untuk penjelasan, lihat Sustainability Planning and Monitoring in Community Water Supply and Sanitation. Mukherjee dan Van wijk, WSP-IRC-World Bank. 2003.

Suar a Masy ar ak a t M isk in

dari delapan lokasi menyatakan bahwa mereka baru memanggil bidan bila dukun beranak tidak bisa membantu persalinan, terjadi komplikasi saat persalinan atau keterlambatan dalam penanganan yang berakibat fatal.

Kecemburuan profesional lebih lanjut mengancam kesehatan ibu dan bayi. Masyarakat miskin melaporkan bahwa bidan di desa sering tidak bersedia membantu jika sebelumnya mereka telah menggunakan jasa dukun beranak, bahkan mengatakan agar mereka pergi ke Puskesmas atau rumah sakit umum. Di Jawa Barat, bidan desa mengkondisikan jika seseorang menginginkan pertolongannya, mereka harus memanggil dukun beranak dan bidan untuk menghadiri persalinan sehingga bidan dapat mengendalikan proses dari awal, akibatnya keluarga harus mengeluarkan biaya dua kali.

Masyarakat miskin jarang menyadari masalah yang muncul selama kehamilan atau persalinan (lihat Kotak 5). Mereka bergantung pada penyedia layanan kesehatan pilihan mereka (kebanyakan memilih dukun beranak) untuk mengambil tindakan atau merujuk perempuan hamil ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Sistem perawatan kesehatan ternyata belum berhasil membuat masyarakat miskin menjadi lebih waspada terhadap tanda-tanda kehamilan atau persalinan yang berisiko dan tindakan apa yang harus diambil.

Rumah sakit umum di Jawa dan Puskesmas dianggap menyediakan layanan yang paling memuaskan (lihat Lampiran 3, Gambar 3.8) namun biaya yang tinggi membuat orang menjauh. Puskesmas dan rumah sakit umum digunakan hanya bila terjadi keadaan darurat yang mengancam jiwa.

Dalam dokumen Suara Masyarakat Miskin: (Halaman 30-33)