• Tidak ada hasil yang ditemukan

Feminisme Gelombang Pertama

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 58-64)

2.6 Genealogi Feminisme

2.6.1 Feminisme Gelombang Pertama

Feminism e aw al yang dim ulai sejak t ahun 1800-an m erupakan represent asi gelom bang fem inism e pert ama. Feminism e awal dimulai dengan pergerakan-pergerakan fem inisme yang berkaitan dengan t erjadinya Revolusi Perancis (1789) (Arivia, 2003:84-84).

Paham feminis liberal lahir ket ika posisi sosial dan ekonomi perem puan sedang m enurun. Hingga abad ke-18, pekerjaan produkt if t elah dilakukan di dan sekit ar rum ah, baik oleh perempuan m aupun laki-laki. Tet api kemudian kekuatan kapit alisme indust ri mulai menarik t enaga kerja keluar rum ah, dan kemudian memasuki ruang kerja publik. Mula-mula proses indust rialisasi ini bergerak perlahan dan tidak t erat ur, dan m eninggalkan dampaknya yang paling besar pada perem puan borjuis yang sudah menikah. Perempuan dalam kelom pok ini adalah yang pert ama-t ama merasakan t inggal di rumah dan t idak m em punyai pekerjaan produkt if yang harus dilakukan (Tong, 2004:18).

Karena ruang gerak perem puan terbat as, hal it u membuat perempuan t idak dapat mengeksplorasi kemampuannya. Perempuan lebih banyak menghabiskan w aktunya di rum ah, m engurus suami dan anak-anak. Pendidikan yang didapat kan oleh perempuan semuanya berhubungan dengan posisinya sebagai ist ri yang mendukung suami. Karena st at us sosial dan st at us ekonomi t elah disediakan dengan baik oleh suam inya, perempuan tidak memiliki akses unt uk bekerja secara produkt if di luar rum ah. Kapit alism e indust ri m embuat siklus kehidupan pada m asyarakat kelas menengah berubah. Terut am a sekali, dampak yang paling berat dirasakan oleh perempuan.

Karena kondisi t ersebut , fem inis liberal menuntut keset araan ant ara laki- laki dan perempuan. M ary W ollstonecraft m enaw arkan pada perem puan bahw a kekuatan pikiran dan tubuh m erupakan hal yang t erpent ing dan bukan m enjadi budak bagi suami dan anak-anaknya. Apa yang diinginkan oleh Wollst onecraft

adalah selayaknya perem puan harus menjadi dirinya sendiri atau m enjadi seseorang (Arivia, 2003:92). Karena it u, Wollst onecraft mengat akan bahw a perem puan memiliki hak yang sam a unt uk m endapat kan pendidikan yang memperkuat nalar, sepert i laki-laki. M enurutnya, dengan m endapat kan pendidikan yang m em ungkinkan orang unt uk mengembangkan kapasit as rasional dan m oral, pot ensinya m enjadi manusia menjadi lengkap (Tong, 2004:20), sehingga perempuan tidak lagi menjadi hanya sekadar alat (Tong, 2004:22).

Keinginan untuk m em pelajari hal-hal di luar seput ar rum ah t angga t am pak sep ert i apa yang dilakukan oleh Nyai Ontosoroh, tokoh perem puan dalam Bumi M anusia karya Pram oedya Ananta Toer. Bagi Nyai Ont osoroh, proses belajar t idak berhent i pada pelajaran ket eram pilan dasar yang dibutuhkannya untuk m elakukan “ pekerjaan perem puan” di dalam rumah dan unt uk berkomunikasi dengan t emannya. Jauh lebih banyak yang diajarkan Tuan M ellema padanya: dari m embaca dan m enulis, berbahasa Belanda, sampai pada mengurus perusahaan (Bandel,2006:36).

Set elah M ary Wollst onecraft , beberapa pemikir perem puan lain mencoba menaw arkan resep yang lebih berkem bang. Jika Wollst onecraft m enawarkan solusi bagi perempuan dengan cara m endapat kan hak pendidikan yang set ara dengan laki-laki, maka John St uart M ill dan Harriet Taylor juga m enawarkan jawaban bagi perem puan dengan cara m endapatkan hak polit ik dan kesem pat an yang sam a dengan laki-laki. Dengan m em iliki hak pilih, berart i perem puan t idak saja berada dalam posisi untuk m engekspresikan pandangan politik seseorang,

t et api juga unt uk m enggant i sist em, st rukt ur, dan sikap yang m em berikan kont ribusi t erhadap opresi orang lain, at au opresi t erhadap diri kit a sendiri.

Pada w akt u itu, memang perempuan tidak m em iliki hak pilih sepert i laki- laki. Karena itu, perjuangan yang paling m endasar bagi perempuan adalah memiliki hak pilih. Dengan cara itu, m enurut M ill dan Taylor, keset araan seksual dan keadilan gender dapat t erjadi.

Jika dilihat dari realit as yang ada, feminism e gelom bang pert ama – yang dalam hal ini diw akili oleh fem inis liberal - lebih menekankan keset araan pada ruang publik karena pada m asa it u perempuan t idak m endapat kan hak yang sam a. Pesat nya pert umbuhan kelas m en engah m enjadikan perem puan sebagai orang yang “ dirumahkan” . Ini disebabkan karena ruang bergerak bagi perem puan menjadi lebih sempit sejak ruang publik diklaim sebagai m ilik perem puan, sem ent ara perempuan lebih bert anggung jaw ab pada urusan rumah t angga. fem inisme liberal m em berikan solusi dengan m enjadikan hak-hak perem puan sam a dengan laki-laki dibidang hukum, sosial, dan ekonomi. Int inya, bagi mereka, keset araan hak ant ara laki-laki dan perem puan menjadi pemecah masalah ket im pangan posisi ant ara laki-laki dan perem puan.

Pemikir sepert i John Stuart M ill dan Harriet Taylor m enekankan pent ingnya mengekspresi kan dirinya sesuai dengan keinginannya (Arivia, 2003:92). Bentuk ekspresi yang paling revolusioner bagi perempuan, menurut John Stuart M ill dan Harriet Taylor, adalah perem puan mempunyai hak pilih. Dengan cara itu, perempuan dapat mencapai kesetaraan dengan laki-laki.

Jika feminis liberal berfokus pada kepemilikan hak-hak sipil bagi perem puan, fem inis radikal berjuang lebih jauh lagi. Yang menjadi fokus perhat ian fem inis radikal adalah sist em seks/ gender yang m ereka ident ifikasi sebagai penyebab ut am a opresi t erhadap perempuan. Kaum feminis radikal t am paknya lebih mencurigai pada pem isahan ranah publik dan ranah privat yang menjadikan perempuan dalam posisi yang t erus t ert indas. Bagi fem inis radikal, pemisahan ini m engandung pengert ian bahwa ranah privat lebih rendah t ingkat annya daripada ranah publik, di mana justru ranah t ersebut didiami oleh perem puan. inilah yang kem udian menjadikan perempuan akan selalu dalam posisi t ert indas.

M engenai posisi perem puan yang begit u t ert indas, Alison Jaggar mengat akan bahw a bentuk ket ertindasan pada perempuan adalah bentuk ket ert indasan yang paling sulit unt uk dihapus dan t idak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial sepert i penghapusan kelas masyarakat t ert ent u (Arivia, 2003:100). Yang menjadi penekanan oleh fem inis radikal adalah bahw a penindasan sem uanya beraw al melalui dom inasi at as seksualit as perem puan yang dit emui di ranah privat .

Berpijak dari hal di at as, titik awal perjuangan feminis radikal adalah melakukan proses penyadaran t erhadap peremp uan at as kepemilikan tubuhnya. Paham ini menilai, kebanyakan perem puan t idak m enyadari akan hal itu dan merasa “ asing” dengan tubuhnya sendiri.

Analisis fem inis radikal t ent ang penindasan t erhadap perem puan t erjadi melalui kekuasaan seksualit as laki-laki yang dibarengi dengan upaya laki-laki mengont rol tubuh perempuan. Karena itu, kalangan fem inis radikal t elah mendefinisikan seksualit as sebagai sesuat u yang polit is (Arivia, 2003:105). Bagi mereka, penguasaan t erhadap perempuan tidak hanya dilakukan dengan t indakan kekerasan sepert i perkosaan, kekerasan domest ik, pornografi, maupun pelecehan seksual, t et api juga t ampak dari prakt ik ekonomi sepert i perdagangan int ernasional perem puan, pem aksaan prost it usi, t urism e seks, bahkan sampai pada kepent ingan t eknologi reprodukt if dengan alasan kemajuan t eknologi kesehat an.

Tampaklah di sini t erdapat hierarki yang begit u t egas di mana laki-laki menguasai perem puan. Ada konstruksi sosial dari kekuasaan laki-laki yang didefinisikan oleh laki-laki, dipaksakan kepada perempuan dan pemaksaannya diformulasikan secara gender (Arivia, 2003:106). Bagi feminis radikal, pemahaman dominasi seksual itu t ersebut dilihat sebagai suatu yang pent ing, fundament al, dan definitif (Arivia, 2003:106) karena dengan cara itulah perem puan dapat m elihat sejauh m ana dominasi laki-laki at as perem puan.

M eskipun dem ikian, tidaklah mudah unt uk m elaw an ideologi patriarki, demikian kat a M illet . M illet (Arivia, 2003:106) mengat akan bahw a kem ungkinan pert am a resist ensi yang bisa dilakukan adalah dengan m enolak kefemininannya, sedangkan yang kedua adalah bert ingkah laku “ feminin” . Dua-duanya dalam posisi yang sulit . Kem ungkinan pert ama akan m em buat perempuan m engalami

penolakan dari laki-laki. Kemungkinan kedua akan melanggengkan dom inasi laki- laki at as perem puan. M eskipun demikian, M illet berkeyakinan bahw a sist em gender/ seks yang m erupakan akar penindasan t erhadap perempuan ini dapat dihancurkan dengan m encipt akan masyarakat baru di m ana perem puan dan laki- laki berada dalam posisi set ara dalam set iap eksist ensinya. Caranya adalah dengan adanya pem aham an androgini di dalam nya.

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 58-64)