• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep The Other

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 52-57)

Dalam kait annya dengan sist em pat riarki, feminism elah t ampaknya yang paling berkepent ingan. Hal ini sangat w ajar karena sist em pat riarki dianggap

sebagai sist em yang t elah m eminggirkan perempuan dari dunia, yang menjadikannya sebagai makhluk kelas dua set elah laki-laki. Sement ara fem inisme m erupakan gerakan perempuan yang berusaha m engembalikan perem puan ke dalam kedudukannya sebagai m anusia, yang itu berart i memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

Salah sat u t okoh feminis yang mem punyai kont ribusi besar bagi pembongkaran t erhadap konsep pat riarki at as diri perempuan adalah Simone de Beauvoir. Terlepas dari posisinya yang bersebrangan dengan pandangan beberapa t okoh feminis yang lain, t erut am a dalam hubungannya dengan tubuh, Beauvoir m em iliki kont ribusi yang besar dalam mem buka selubung pat riarki yang membuat laki-laki m engobjekt ivikasi perem puan.

Pemikiran Beauvoir t ent ang konsep t he Ot her (liyan) t elah m em berikan kont ribusi yang besar bagi krit ik t erhadap sist em pat riarki. Pandangan Engels dan Freud dianggap Beauvoir t idak mem berikan pengaruh signifikan bagi posisi perem puan. Alih-alih memberikan pencerahan bagi posisi perem puan dalam hubungannya dengan laki-laki, pandangan kedua pem ikir tersebut m alah sem akin “ m engajekkan” pandangan bahw a perem puan memang berada di bawah laki-laki.

Bagi Beauvoir, jika bukan karena kesadaran, proses opresi t erhadap perem puan t idak akan m ungkin terjadi. Di sinilah Beauvoir mulai m elihat fakt or kesadaran sebagai fakt or pent ing bagi kekeluasaan sist em patriarki – dalam bahasa Lacan “ The Law of The Father” - dalam mengobjket ivikasi perempuan.

M engacu pada konsep Ada pada dirinya, Ada untuk dirinya, sert a Ada unt uk yang lain yang diperkenalkan Jean Paul Sart re, Beauvoir m ulai m enyusun konsep t ent ang t he ot her. Beauvoir mengemukakan bahw a laki-laki dinam ai “ laki-laki” sang Diri, sedangkan “ perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancam an bagi Diri, m aka perem puan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin t et ap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan t erhadap dirinya (Tong, 2004: 262) Bagaimana perem puan dit em pat kan sebagai Liyan itu muncul, Beauvoir menyat akan, begit u laki-laki menyat akan dirinya “ sebagai Subjek dan Ada yang bebas, gagasan Liyan pun m uncul” . Perem puan m enjadi segala sesuat u yang bukan laki-laki, suatu kekuat an asing lebih baik dikont rol laki-laki karena kalau t idak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki m enjadi Liyan (Tong, 2004: 266).

Seiring dengan gagasan t ent ang Liyan m uncul, seiring it u pula laki-laki mencipt akan mitos agar perempuan t et ap berada nyam an di dalam posisi Liyan. Secara ringkas, perempuan yang ideal, perempuan yang dipuja laki-laki, adalah perem puan yang percaya bahw a tugas m ereka unt uk mengorbankan diri agar menyelam at kan laki-laki (Tong, 2004: 267)

Pelembagaan keliyanan yang paling efektif, menurut Beauvoir, adalah lewat lem baga perkaw inan dan motherhood. Dalam pengam at an Beauvoir, peran sebagai ist ri membat asi kebebasan perempuan. Perkaw inan ment ransform asi perasaan yang t adinya dim iliki, yang diberikan secara t ulus, menjadi kew ajiban dan hak yang diperoleh dengan cara yang m enyakit kan.

Perkaw inan m enaw arkan perem puan kenyam anan, ket enangan dan keamanan, t et api perkawinan juga m erampok perem puan at as kesem patan unt uk m enjadi hebat . Sebagai im balan atas kebebasannya, perem puan diberikan “ kebahagiaan” . Perlahan, perempuan belajar untuk m enerim a kurang dari yang sesungguhnya berhak diperolehnya. Dalam kait annya dengan mot herhood, Beauvoir menekankan bahw a keham ilan m engalienasi perempuan dari dirinya sendiri, dan hal itu m enyulit kan perem puan dalam m enentukan arah t akdirnya sendiri t anpa t erganggu. Sama sepert i ket ika perem puan t elah m emiliki anak. Ia sem akin t erkungkung kebebasannya oleh tuntut an sang anak (Tong, 2004: 269- 270).

Lucie Irigaray m elihat secara krit is bahw a sebenarnya t idak ada yang lepas dari sist em pat riarki. Bahkan, ilmu penget ahuan yang yang bersifat net ral pun sebenarnya berjenis kelam in laki-laki. Lebih jauh lagi, Irigaray m engkritik t erhadap sikap-sikap yang t ampaknya bersifat egalit er, nam un sebenarnya juga mengarah pada satu sikap t ert ent u, yait u kuasa pat riarki. Karena sebenarnya sudah ada anggapan bahwa w anita it u berada pada posisi yang lebih lemah daripada laki-laki karena mereka m em iliki “ kekurangan sesuat u” . Di sini Lucie mencoba m engkrit isi t eori kastrasi Freud. Irigaray m encurigai bahw a kecem buruan t erhadap penis (penis envy) m enem pat kan penis sebagai organ yang nilainya disadari. Pada t it ik ini terdapat anggapan bahw a perem puan sebagai “ yang lain” karena perem puan t idak m emiliki yang laki-laki miliki atau laki-laki yang t erkast rasi.

Pada titik inilah, m enurut Irigaray, posisi perem puan begit u m enyakit kan dan paradoks (Lechte, 2003: 249). Untuk berbicara, m ereka harus berbicara sepert i pria. Untuk bisa mem aham i seksualit as, mereka harus membandingkannya dengan versi pria. Perem puan dapat berada dengan cara mengikut i sist em “ laki-laki” . Tapi dengan cara itu, sam a saja perem puan mendapat kan ident it as yang bukan ident it as dirinya sendiri (Lecht e, 2003: 250)

M aka w ajar jika Cixous m enganjurkan perempuan untuk menggunakan bahasa sendiri sebagai cara m em unculkan identit as sendiri dan t erbebas dari kuasa pat riarki. Karena dengan masih m enggunakan bahasa yang lama sebagai alat krit ik, sam a saja m em erangkap perem puan dalam sist em pat riarki.

Dengan m engaplikasikan gagasan Derrida m engenai konsep difference dalam t ulisan, ia m engkont raskan t ulisan fem inin (le’ ecrit ure f em inine) dan t ulisan m askulin (litt erat ure). Dipandang secara psikoanalisis, tulisan m askulin berakar dari organ genit al dan ekonomi libinal laki-laki, yang diberi nam a em blem sebagai fallus. Cixous berkeberat an dengan tulisan dan pemikiran maskulin karena keduanya dibentuk dalam oposisi biner. Laki-laki t elah mem bagi realit as dengan konsep yang berpasangan dan istilah dalam pasangan yang berlaw anan, yang salah satunya selalu diunt ungkan dibandingkan yang lain. Lebih jauh lagi, ist ilah laki-laki-perempuan m enunjukkan ist ilah kedua mengacu at au menyimpang dari ist ilah yang pertam a. Laki-laki adalah Diri, perem puan adalah Liyan. Karena itu, perempuan ada dalam dunia laki-laki dengan ist ilah laki- laki (Tong, 2003: 291-292).

Oleh sebab it ulah, Cixous menant ang perempuan untuk menulis diri keluar dari dunia yang dikonst ruksi laki-laki untuk perem puan. Ia mendorong perem puan untuk mem indahkan posisi dirinya – yang t idak dapat dipikirkan dan t idak t erpikirkan – ke dalam kat a-kat a. Jenis t ulisan yang diidentifikasi Cixous sebagai hak m ilik perempuan – penandaan, coret an, kot ret an, cat atan – mengkonot asi gerakan yang mengingat kan kepada sungai Heraclit us yang t erus menerus berubah (Tong, 2004: 292-293)

Bagi Beauvoir sendiri, ada empat st rat egi yang bisa dilakukan perem puan unt uk menghent ikan kondisinya sebagai liyan. Pert am a, perem puan dapat bekerja. Dengan bekerja diluar rumah, perem puan dapat m erebut kem bali t ransendensinya. Perempuan akan secara konkret m enegaskan st at usnya sebagai subjek, sebagai seseoarang yang secara akt if menentukan arah nasibnya. Kedua, perem puan dapat menjadi seorang int elekt ualm anggot a dari kelompok yang akan m em bangun perubahan bagi perempuan. Ket iga, perempuan dapat bekerja unt uk m encapai t ransformasi m asyarakat . Beauvoir m eyakini bahwa salah satu kunci bagi pem bebasan perempuan adalah kekuat an ekonomi. Yang t erakhir, menolak m engint ernalisasi keliyanannya (Tong, 2004: 274-275).

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 52-57)