• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objektivikasi Tubuh dan Seksualitas Perempuan

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 78-90)

KONSTRUKSI RELASI LAKI-LAKI DAN PEREM PUAN DALAM SISTEM PATRIARKI PADA KARYA DJENAR M AESA AYU

3.2 Objektivikasi Tubuh dan Seksualitas Perempuan

Sejak lama t ubuh perem puan sepert i bukan dimiliki oleh perem puan secara sah. t ubuh dan seksualitas perempuan dibent uk dalam perspekt if laki-laki. Cara pandang laki-laki yang mengat asnamakan perempuan membuat definisi

at as t ubuh perempuan sepenuhnya m ilik laki-laki. Karena itu, ket ika ada perem puan yang mencoba untuk m engeksplorasi t ubuh dan seksualitas, hal ini sepert i menjadi sebuah aib yang perlu dilenyapkan.

Salah sat u t okoh feminis yang mem punyai kont ribusi besar bagi pembongkaran t erhadap kuasa pat riarki yang m em buat laki-laki mengobjekt ivikasi at as diri perem puan adalah Simone de Beauvoir.

Pemikiran Beauvoir t ent ang konsep t he Ot her (liyan) t elah m em berikan kont ribusi yang besar bagi krit ik t erhadap sist em pat riarki. Pandangan Engels dan Freud dianggap Beauvoir t idak mem berikan pengaruh signifikan bagi posisi perem puan. Alih-alih memberikan pencerahan bagi posisi perem puan dalam hubungannya dengan laki-laki, pandangan kedua pem ikir t ersebut malah sem akin “ m engajekkan” pandangan bahw a perem puan memang berada di bawah laki-laki.

Bagi Beauvoir, jika bukan karena kesadaran, proses opresi t erhadap perem puan t idak akan m ungkin terjadi. Di sinilah Beauvoir mulai m elihat fakt or kesadaran sebagai fakt or pent ing bagi kekeluasaan sist em patriarki – dalam bahasa Lacan “ The Law of The Father” - dalam mengobjekt ivikasi perempuan.

M engacu pada konsep Ada pada dirinya, Ada untuk dirinya, sert a Ada unt uk yang lain yang diperkenalkan Jean Paul Sart re, Beauvoir m engemukakan bahw a laki-laki dinam ai “ laki-laki” sang Diri, sedangkan “ perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perem puan adalah ancaman bagi laki- laki. Karena it u, jika laki-laki ingin t et ap bebas, ia harus m ensubordinasi

perem puan t erhadap dirinya (Tong, 2004:262). Bagaim ana perem puan dit em patkan sebagai Liyan itu muncul, Beauvoir m enyat akan, begit u laki-laki menyat akan dirinya “ sebagai Subjek dan Ada yang bebas, gagasan Liyan pun muncul” . Perem puan m enjadi segala sesuat u yang bukan laki-laki, suatu kekuatan asing lebih baik dikont rol laki-laki karen a kalau t idak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki m enjadi Liyan (Tong, 2004:266).

Beberapa cerpen Djenar m engungkap bagaim ana perspekt if m engenai t ubuh perem puan bukan dibent uk oleh perem puan sendiri, melainkan dibentuk oleh keinginan laki-laki. Dalam cerpen-cerpen ini juga t erlihat ada upaya perlaw anan dari tokoh untuk m enyuarakan t ubuh dan seksualit asnya sesuai konst ruksi yang dibangun perem puan.

Dalam cerpen “ Payudara Nai Nai” (selanjutnya disingkat “ PN” ), Nai Nai digambarkan sebagai perem puan yang tidak m emiliki kelebihan apa pun dalam perspekt if laki-laki. Wajahnya biasa-biasa saja dan payudaranya rat a.

Apakah orangt uanya punya pert imbangan t er t ent u ket ika menamainya, Nai Nai t idak t ahu menahu. Yang ia t ahu dalam bahasa moyangnya, bahasa M andirin Nai Nai art inya payudara. Yang ia t ahu, payudaranya t idak t umbuh sesuai bert ambahnya usia dan per t um buhan t ubuhnya. Yang ia t ahu, t eman-t eman prianya sering m enam bahkan kata ‘kecil’ di belakang namanya. Yang ia t ahu, t eman-t eman prianya m enyukai payudara t eman-t eman per empuannya, t api t idak payudara Nai Nai (“ PN” , 2004:107).

Persoalan payudara ini pula yang m em buat Nai Nai selalu m erasa rendah diri. Ukuran yang besar m enjadi cit ra ideal. Lalu kalau t idak ada bagian tubuh yang m enarik perhat ian laki-laki, apalagi yang dapat dibanggakan? Payudara t idak hanya memiliki fungsi m enyusui, t api juga melambangkan cit ra perem puan

ideal. Tentunya ini t idak t erlepas dari pandangan pat riarki yang m encipt akan suatu bentuk yang ideal at as perempuan. M aka, ket ika perem puan t idak mem enuhi cit ra ideal t ersebut, ia m erasa dirinya sebagai sesuatu yang menyim pang. Segala sesuat u yang besar m erupakan cit ra yang ideal. M aka, ket ika m endapati payudaranya tidak t umbuh sem ent ara usianya sem akin bert am bah, Nai Nai m erasa rendah diri.

Aw alnya Nai Nai t idak m erasa aneh dengan bentuk t ubuhnya. Namun, seiring perkenalan dengan dunia yang lebih luas, Nai Nai baru sadar bahw a ada penilaian yang lain t ent ang tubuh di luar penilaiannya sendiri.

Dan pada saat it ulah segala hal mengenai payudar a ment eror hari-hari Nai. Per bincangan t ent ang ukur an kut ang yang sering dibahas t eman-t eman per empuannya. Rit ual gant i baju bersama sebelum dan sesudah pelajaran olahraga yang klimaksnya adalah saling memamerkan model kutang t erbaru. Tidak t erkecuali, sensasi yang m er eka rasakan ket ika pacar per t ama

menggerayangi payudara(“ PN” , 2004:108).

Ident as at as diri Nai Nai t elah dim asuki oleh definisi di luar dirinya. Ukuran besar kecil menjadi sebuah st andar yang t iba-tiba disodorkan pada dirinya. Nai Nai yang selam a ini menjalani hidupnya secara norm al menjadi panik karena ukuran salah sat u bagian t ubuhnya tidak mem enuhi st andar dalam masyarakat pat riarki, di m ana logika phalus dijadikan sebagai acuan.

Hari jadinya yang jat uh pada bulan Juni seolah menjadi peringat an bahw a usianya ber t ambah namun payudaranya t idak juga t umbuh. Selain it u sebagian besar kart u ucapan yang dit erimanya t idak per nah luput dari kalimat semisal, “ Semoga payudaramu cepat t um buh” at au “ Semoga payudaramu m embesar.” (“ PN” , 2004:108)

Selain hari ulang t ahun, pert engahan t ahun juga bert epat an dengan hari

kenaikan kelas. Nai selalu gelisah ket ika diharuskan unt uk saling

memperkenalkan diri dengan t eman kelasnya yang baru karena ia t idak bisa mengelak dari t at apan spont an semua orang yang memandang ke arah

payudaranya set iap kali ia menyebut kan nama. Belum lagi jika t at apan mer eka berakhir dengan senyum t ipis at au kernyit di dahi. Nai Nai malu akan payudaranya, sebesar ia malu akan kehidupannya (“ PN” , 2004:109).

Nai Nai hidup di dalam at uran sist em pat riarki di mana segala sesuat u dinilai dengan ukuran yang besar. Ia memiliki dua hal yang m embuat posisinya begit u marjinal. Pert am a, ia hanyalah anak seorang pedagang st ensilan, sem ent ara orangt ua t em an-t emannya di sekolah rat a-rat a orang berada. Kedua, ia t erlahir sebagai perem puan dengan tubuh yang t idak m enarik, yang membuatnya harus berjuang m at i-matian agar keberadaannya diakui. Persoalan pert am a, dalam relasi kelas ekonomi dan sosial, t ampaknya t idak t erlalu diperm asalahkan. Sebaliknya, just ru persoalan seks dan gender yang dianggap menjadi titik t olak permasalahan.

Pada diri Nai Nai, just ru marjinalisasi yang dialami oleh Nai Nai karena ia t idak memenuhi krit eria yang menjadi st andar sist em pat riarki, di m ana segala sesuat u dilihat dengan ukuran besar dan kecil. M arjinalisasi ini berujung pada pelecehan seksual – yang juga m erupakan bent uk kekerasan seksual - yang dilakukan oleh t eman laki-laki Nai Nai.

Ada yang menyerah di dalam sistem t ersebut , ada yang kemudian berusaha berst rat egi untuk t etap dapat bersuara di dalam sist em t ersebut . Kat e M illet , seorang feminis radikal-libert arian, menyat akan bahw a akar opresi t erhadap perem puan sudah t erkubur dalam-dalam di dalam sist em seks/ gender di dalam sist em pat riarki. Karena it u, bagi M illet , agar perempuan m em peroleh kebebasannya, gender yang m elekat pada laki-laki dan perem puan harus

dihapuskan. sehingga, nanti yang akan t erbent uk adalah laki-laki dan perem puan yang m em iliki kat akt er androgini.

Dalam cerpen ini, Nai Nai m enem ukan st rat egi agar dirinya t et ap diterim a dalam at uran yang dibuat oleh laki-laki. Nai Nai berusaha m em bangun im ajinasinya dari bacaan-bacaan st ensilan yang dijual oleh ayahnya. Dengan cara itu, Nai Nai berusaha m enyuarakan dirinya. Ia berusaha m enggeser penilaian at as dirinya, dari st andar phallus pada im ajinasi seksualit as yang dibangunnya.

Pengalam an kebert ubuhan laki-laki berbeda dengan pengalaman kebert ubuhan perempuan. ini t am paknya yang ingin dijadikan senjat a oleh Nai Nai. M eskipun m em iliki t ubuh yang t idak dalam proporsi ideal dalam pandangan laki-laki, Nai Nai memiliki pengalaman kebert ubuhan: yaitu seksualit as perem puan. Inilah yang menjadi senjat a Nai Nai ket ika t ubuhnya, yang merupakan kepem ilikan privat , just ru menjadikannya dalam posisi m arjinal dalam relasi di wilayah publik.

Bagi fem inisme radikal, seksualit as adalah alat bagi laki-laki untuk menguasai perem puan. Penindasan at as seksualitas dan t ubuh perempuan yang merupakan w ilayah privat pada akhirnya juga berart i penindasan at as perem puan di w ilayah publik.

Dengan kep em ilikan at as t ubuh itu pula, Nai Nai membangun dirinya lewat im ajinasi liar t ent ang seksualit as. Pengalaman seksualit as ini bukan dialami Nai Nai m elalui pengalaman langsung, t api lew at buku-buku porno st ensilan yang dijual ayahnya. Apakah ini juga pengalaman kebert ubuhan? Bisa jadi iya, karena

meskipun tidak m engalaminya secara langsung, Nai Nai mem bangun im ajinasinya t ersebut lew at t ubuhnya. Art inya, im ajininasi yang dilakukan t ubuhnya itu sangat personal, dan t ent u saja akan berbeda dengan pengalaman seksualit as yang dibangun oleh laki-laki. Dengan pengalam an seksualit as yang berbeda it u, Nai Nai menyuarakan dirinya.

It ulah ket ika Nai Nai menginjak t ahun ket iga di sekolah menengah per t ama. Sem uanya berubah hanya dengan ber cerit a, dengan m engut ip buku-buku st ensilan. Semua laki-laki yang sudah mendengar perihal pengalaman seksual Nai berlomba-lomba m endapat kan Nai (“ PN” , hlm.114-115).

Dengan bahasa yang sangat verbal, Djenar m enjadikan st rat egi ini sebagai cara berada diri Nai Nai. Sepert i kat a Djenar, ia m enulis karena ia ingin menyuarakan pengalam annya sebagai perem puan. dengan cara ini pula, sebenarnya Djenar sedang m enerapkan cara bersuara dari sudut pandang perem puan.

M emang, t idak sepenuhnya usaha Nai Nai it u berhasil. Fant asi seksnya dapat menarik minat sebagian besar t eman laki-lakinya, t api tidak pada Yongki, laki-laki yang disukainya, t api sekaligus yang paling sering m elecehkannya.

Ia harus dat ang dengan cer it a-cerit a baru. Ia harus dat ang dengan cerit a-cerit a yang m encengangkan. Berharap Yongki t erkesima. Berharap Yongki menaruh perhat ian kepadanya. Tapi Yongki adalah Yongki. Yongki yang masih mel edekinya dengan pangggilan Nai Nai kecil. Yongki yang t idak t erpengaruh. M alahan sering sekali bibir Yongki menyeringai sinis set iap kali t eman-t eman bercer it a t ent ang pengalaman-pengalaman Nai yang luar biasa (“ PN” , hlm.115).

Seksualit as yang dibangun dalam kerangka im ajinasi keperem puanannya di satu sisi dapat m em berikannya suara, namun di sisi lain tidak m endapat kan t em pat . Ini menandakan bahw a pengungkapan seksualit as m asih m enjadi hak

milik laki-laki. Yang berhak memb ent uk seksualit as adalah laki-laki, sement ara perem puan hanya berhak m enerima apa yang t elah dibentuk oleh laki-laki t ersebut . Akan t et api, meskipun usaha itu t idak sepenuhnya berhasil, Nai Nai t elah bersuara at as dirinya sendiri. Dan ini menjadi satu poin pent ing.

Pada cerpen lain yang M enyusu Ayah (selanjutnya disingkat “ M N” ), usaha menyuarakan seksualit as perempuan t ampak lebih keras. Cerpen ini m em ang cukup provokat if. Tidak hanya judulnya yang sangat berani, t api ada juga ada upaya untuk menguasai yang lain. Jika biasanya perem puan m enjadi objek, m aka dalam cerpen ini perempuan berusaha m enjadi subjek dengan m engobjekkan yang lain.

Tokoh ut am a bernama Nayla digambarkan sebagai perempuan yang berbeda dengan perem puan pada umumnya. Sejak awal ia t elah m em posisikan dirinya sebagai perem puan yang t idak lebih lem ah daripada laki-laki. Penggambaran kekuat an Nayla bahkan sudah dit unjukkannya sejak ia m asih di dalam rahim ibunya.

Nama saya Nayla. Saya perempuan, t api saya t idak lebih lemah daripada laki- laki. Sayalah yang membant u Ibu m elahirkan, bukan dokt er kandungan. Ket ika Ibu kehabisan nafas dan sudah t idak dapat lagi mengejan, saya m enggigit i dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah (“ M A” , hlm.35-36).

Barangkali yang lebih m enarik adalah pada kalimat -kalimat selanjutnya.

Saya per em puan, t api saya t idak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya t idak mengisap put ing payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. (“ M A” , hlm. 36-37).

Kedudukan Nayla yang t idak lebih lem ah dengan laki-laki karena ia tidak mengisap put ing payudara ibunya, melainkan penis ayahnya. M engapa

demikian? Apakah m emperlaw ankan t indakan t ersebut m erupakan suat u bentuk perebut an t empat , di mana telah sejak lam a perem puan kehilangan kedudukannya? Dalam cerpen ini, Djenar sedang berusaha menjungkirkanbalikkan konst ruksi dikotomik bahw a laki-laki selalu akt if perem puan pasif, laki-laki subjek dan perem puan objek. Tokoh Nayla sekaligus membongkar bahw a relasi hierarkis ant ara laki-laki dan perem puan m erupakan konst ruksi dan karena itu bisa berubah-ubah.

Dalam cerpen ini, Nayla sedang m emposisikan dirinya m enjadi subjek, dan berusaha m engobjekt ivikasi laki-laki. Dengan perem puan m enjadi subjek, maka laki-laki m enjadi objek. Ini adalah bentuk pem bongkaran t erhadap realit as yang sudah m apan sebelum nya, di mana laki-laki m enjadi subjek dan perem puan menjadi objek. Cara yang dilakukan Nayla sebenarnya unt uk memperlihat kan bahw a dalam hubungan subjek-objek, sepert i yang digam barkan oleh Beauvoir, baik laki-laki maupun perem puan dapat m enjadi subjek. Bahw a dalam hubungan subjek-objek, laki-laki dan perem puan bisa bert ukar t em pat .

Pengam baran Nayla sebagai perem puan yang ingin m enjadi subjek t am pak pada t indakannya yang selalu m enggunakan kat a kerja akt if, sem ent ara t okoh laki-laki selalu dilet akkan dalam objek kalimat dan dikenai tindakan.

Payudara saya t idak unt uk menyusui t et api hanya unt uk dinikmat i lelaki, begit u kat a Ayah. Saya t idak ingin dinikmat i lelaki. Saya ingin menikmat i lelaki… (“ M A, hlm.37).

Apa yang t am pak pada kut ipan tersebut adalah bahw a apa yang t elah dilekatkan oleh lelaki at as identit as seksual perem puan, dit epis oleh tokoh Nayla

dengan menyemat kan sendiri seksualit asnya. Klausa payudara hanya unt uk dinikmat i lelaki dit olak t okoh Nayla dengan m em bentuk konsep sendiri, yakni ‘saya hanya ingin menikmati lelaki’.

Penggunaan aw alan di selalu berpret ensi menjadi objek, dan itu selalu berart i dalam kekuasaan orang lain, dalam hal ini laki-laki. Nayla tidak ingin menjadi objek, melainkan menjadi subjek. Bahkan ket ika pada suat u saat dia akan dijadikan objek, Nayla merasakan penolakan yang luar biasa dalam dirinya yang m em buat dia m elakukan t indakan yang brutal.

Selain itu, Nayla juga membongkar kont ruksi t ubuh ideal perempuan yang dibentuk oleh laki-laki. Nayla menerim a bent uk t ubuhnya sebagaimana adanya, dengan payudaranya yang kecil, t idak dihegemoni oleh konst ruksi tubuh ideal perem puan yang dibentuk oleh sist em pat riarki.

Pot ongan rambut saya pendek. Kulit saya hit am. Wajah saya t idak cant ik. Tubuh saya kurus kering t ak menarik. Payudara saya rat a. Namun saya t idak t erlalu peduli dengan payudara. Tidak ada pent ingnya bagi saya (:M A” , hlm.37).

Tokoh Nayla berusaha melepaskan dirinya dari cit ra perem puan yang dibentuk oleh laki-laki. Sebagai pem ilik t ubuh, tokoh Nayla sadar bet ul apa arti t ubuh bagi dirinya sendiri. Karena itu, ia t idak t erlalu dirisaukan oleh konstruksi cit ra perem puan yang dibangun laki-laki. Baginya apa yang menjadi m iliknya, hanya dia yang berhak mendefinisikannya. Selama ini, perempuan merasa jijik dengan t ubuhnya sendiri, merasa bahwa itu bukanlah t ubuhnya sendiri. Sehingga t idak ada keberanian untuk menyuarakannya.

Nam un ada paradoks pada diri Nayla. Dengan t indakannya yang akt if t erhadap Ayah dan t em an-t eman ayahnya, Nayla just ru m erasa senang dengan julukan sebagai gadis baik yang disemat kan oleh tem an-t em an ayahnya kepadanya. Tampaknya di sini Nayla masih merasa nyam an hidup dalam pandangan kekuasaan sist em “ laki-laki” . M eskipun sedang berusaha mencipt akan sist em sendiri, nam un ada beberapa bagian dalam diri Nayla yang kemudian tidak bisa lepas dari sist em pat riarki, t erut am a pandangan t ent ang gadis baik-baik dan sundal, meskipun kemudian konsep baik dan buruk it u sudah diput arbalikkan oleh tokoh Nayla. Untuk m em perjelas hal t ersebut , penulis coba cuplikkan beberapa bagian.

Saya senang jika t eman-t eman Ayah m emangku dan m engelus-elus rambut saya, t idak sepert i t eman-t eman sebaya yang harus saya rayu t erl ebih dahulu. Saya senang set iap kali bibir mereka membisiki t elinga saya bahw a saya adalah anak gadis yang manis. Anak gadis yang baik (“ M A” , hlm.39).

Dalam hal ini, Nayla sedang m engobjekt ivikasi dirinya dalam pandangan laki-laki. Ia t erperangkap dalam sist em yang dibangun laki-laki. Apakah ini yang dinam akan kesulit an perem puan unt uk benar-benar lepas dari sist em pat riarki sepert i yang disebut kan Lacan? Ket ika ia m emberont ak, sebenarnya Nayla t idak pernah benar-benar lepas dari pandangan sist em pat riarki. Ia m asih m erasa nyam an ket ika dikat egorisasi sebagai gadis baik-baik. Gadis yang baik berart i dilaw ankan dengan gadis yang tidak baik. Sement ara, konsep gadis baik dan gadis yang t idak baik ini m asih dibentuk oleh laki-laki.

Terlepas dari it u, Nayla m emang t elah m elakukan pemberont akan yang sangat ekst rem pada kuasa pat riarki at as tubuhnya. Hal itu tampak pada sikap Nayla yang lebih ingin m endominasi, t et api tidak m au didominasi secara fisik. Ket ika t eman-t em an ayahnya m ulai berusaha menguasai tubuhnya, Nayla m ulai merasa gerah. Ia m erasa nyam an ket ika t eman-t eman ayahnya m endominasinya secara sim bolik – dengan menyebut nya sebagai gadis baik-baik-, tapi mulai merasa t erancam ket ika t em an-t em an ayahnya m engobjekt ivikasi Nayla secara fisik.

Hingga suat u hari ia m erebahkan t ubuh saya. Saat it u, pancaran mat anya t idak seper t i t eman-t eman Ayah yang lain. Pancaran mat anya begit u mirip Ayah (“ M A” , hlm.41-42).

Tangan saya m eraih pat ung kepala kuda di at as meja dan menghant amkan ke kepalanya. Tubuhnya m engejang sesaat sebelum ambruk ke t anah (“ M A” , hlm. 42).

Jika hubungan yang t erjadi antara laki-laki dan perempuan selalu dalam hubungan subjek-objek, dalam cerpen ini Nayla t elah berhasil memperlihat kan superiorit as diri t okoh perempuan. Tokoh Nayla m em iliki kesadaran penuh at as dirinya. Ia t idak m au menjadi objek orang lain, melainkan m enjadi subjek. Tokoh Nayla sepert i ingin m enegaskan sesuat u bahwa perem puan sam a posisinya sepert i laki-laki, karena it u perempuan berhak unt uk menyuarakan hasrat dan keinginannya.

Dari paparan di at as, t erut am a jika dihubungkan dengan judul cerpen, dapat dilihat bahw a Djenar sedang berusaha membongkar kekuasaan phallus. Pada judul cerpen itu, bila kit a analisis, ada upaya untuk menjungkarbalikkan

logika yang t elah lam a bersem ayam di masyarakat . Ayah m erupakan represent asi dari kekuasaan laki-laki. Kat a menyusu adalah bent uk akt if dari kat a benda. Ayah dalam hal ini menjadi objek. Sem ent ara t okoh Nayla adalah subjek. Jika selama ini perem puan menjadi objek, maka ada saat nya di m ana perem puan pun dapat menjadi subjek.

M askulinit as pada diri Nayla (sikap agresif dan kuat ) sepert i menemukan t itik t em unya dengan pandangan feminism e radikal-libert arian. Feminism e radikal-libert arian m enolak asum si bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang (laki-laki dan perempuan) dengan gender seseorang (m askulin at au feminin) (Tong, 2004: 72). Karena it u, bagi kalangan ini, cara bagi

Dalam dokumen Perempuan dalam Kuasa Patriarki. (Halaman 78-90)