• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA PERJUDIAN DI BALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. FENOMENA PERJUDIAN DI BALI

Dalam sub bahasan ini, peneliti akan memberikan gambaran mengenai keadaan perjudian di Bali, pelaku dari tindakan perjudian, dan kapan saja perjudian tersebut dilakukan. Selain itu sub bahasan ini, juga akan membedakan kapan tajen

dikatakan sebagai salah satu ritual keagamaan dan kapan tajen dikatakan sebagai tindakan perjudian. Berikut adalah uraian dari masing-masing bahasan:

1. Perjudian di Bali

Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam budaya dan tradisi yang dimilikinya. Keunikan tersebut menjadi ciri khas pulau ini sehingga tidak salah jika bentuk-bentuk kebudayaan dan tradisi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Bali. Dari sekian banyaknya tradisi yang ada di Bali, tajen merupakan salah satu tradisi yang memiliki keunikan karena sering dijadikan “kedok” untuk melakukan perjudian (Ajie, 2013).

Pada umumnya, perjudian di Bali berbeda dengan perjudian yang ada di Indonesia karena perjudian di Bali kerap dijadikan “kedok” sebagai salah satu ritual keagamaan sehingga sangat sulit untuk ditertibkan. Masyarakat Bali sering

menyebut perjudian dengan istilah tajen. Pada mulanya tajen adalah salah satu bagian dari ritual keagamaan (tabuh rah), namun saat ini tajen sebagai salah satu ritual keagamaan telah di dwi-purnakan sehingga menjadi tajen sebagai ajang perjudian. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangka upacara agama (yajnya). Persembahan ayam sebagai ritual tabuh rah yang berintikan pada pembunuhan ayam agar darahnya menetes ke tanah sehingga tabuh rah memaknai ayam sebagai tajen. Artinya, orang berdalih daripada ayam dibunuh sendiri agar darahnya menetes maka lebih baik diadu, dilengkapi dengan taji sehingga terjadinya tabuh rah sebagai tajen. Namun,

tabuh rah sebagai tajen tentu kurang bersemangat jika tidak disertai dengan taruhan atau toh. Apabila demikian, tidak mengherankan jika tabuh rah sebagai

tajen mengalami tumpang tindih makna menjadi tajen sebagai judi (Tim Peneliti WHP/WHC dalam B. Atmadja, Atmadja, & Ariyani, 2015). Tajen sebagai judi adalah tajen yang tidak memenuhi segala persyaratan tajen sebagai tabuh rah.

Adanya tajen tidak bisa terlepas dari kehidupan orang Bali karena tajen

di Bali merupakan salah satu permainan rakyat yang diwariskan (Geertz, 1992).

Tajen di Bali juga mengalami pro dan kontra, ada sebagian orang yang menyatakan tajen sebagai salah satu ritual keagamaan dan ada juga yang menyatakan tajen sebagai salah satu ajang untuk melakukan perjudian, padahal menurut ajaran Rg. Weda perjudian merupakan tindakan yang tercela. Pro dan kontra ini tidak terlepas dari adanya pandangan lain mengenai tajen yaitu terkait dengan perekonomian rakyat bawah. Apabila adanya tajen maka beberapa pedagang ikut berjualan di sekitar area tajen. Misalnya ada yang berjualan nasi,

kupat, jajanan, rokok, minuman, pedagang sangkar ayam, pedagang sapu bulu, dan penjual taji ayam, sehingga dapat meningkatkan perekonomian beberapa pihak (Suada, 2013).

Terdapat berbagai peristiwa untuk dijadikan alasan mengadakan tajen

sebagai judi, misalnya upacara keagamaan di pura (odalan), pembangunan bale banjar, perbaikan jalan di desa, dan lain sebagainya (B. Atmadja, Atmadja, & Ariyani, 2015). Selain itu, saat perayaan hari raya Galungan dan Kuningan dilingkungan banjar masing-masing disertai dengan judi. Pada saat itu, dilangsungkan berbagai macam bentuk judi seperti dadu, domino, ceki, dan loco

(sebuah permainan kartu khusus untuk istri raja dan bangsawan). Judi juga kadang kala digunakan untuk mengisi waktu senggang sewaktu orang berkumpul begadang di malam hari, misalnya dalam upacara kematian. Malam tahun baru sering juga dijadikan kesempatan bagi keluarga atau teman atau tetangga untuk berjudi sembari bergembira (Haryanto, 2003). Saat adanya upacara keagamaan di pura juga sering ditemui jenis perjudian (//Bali yang Meradang// 2012). Jenis perjudian yang sering ditemui yaitu adu sabung ayam,

ceki (jenis kartu), cap jeki, dadu kocok, bola adil, dan lain sebagainya (Karsana, dalam Bali Post).

Pada umumnya orang yang gemar melakukan judi tajen di Bali adalah kaum laki-laki karena tajen di Bali adalah permainan rakyat milik laki-laki yang diwariskan secara turun-menurun dari ayah. Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan bawa ayah merupakan aktor paling penting dalam mewariskan tajen

adalah guru di dalam keluarga yang menanamkan kebiasaan metajen pada anak, sehingga anak akan meniru dan mewariskannya pada keturunannya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan pelaku perjudian di Bali lebih didominasi oleh kaum laki-laki yang sudah menikah (B. Atmadja, Atmadja, & Ariyani, 2015).

Berdasarkan ulasan di atas, maka fenomena perjudian di Bali berbeda dengan perjudian yang ada di Indonesia karena perjudian di Bali kerap dijadikan “kedok” sebagai salah satu ritual keagamaan sehingga pihak berwenang sulit untuk memberikan sanksi tegas terhadap tindakan tersebut. Selain itu, perjudian juga sering terjadi saat adanya upacara dan ritual keagamaan. Judi tajen juga biasanya dilakukan untuk penggalian dana, misalnya untuk pembangunan pura,

balai banjar, perbaikan jalan, dan lain sebagainya. Pelaku dari judi tajen ini didominasi oleh kaum lelaki yang telah menikah.

2. Perbedaan Tajen Sebagai Salah Satu Ritual Keagamaan dan Tajen Sebagai Perjudian

Adanya perjudian di Bali tidak terlepas dari tradisi dan budaya yang diwariskan oleh masyarakat. Dapat diketahui bahwa maraknya perjudian di Bali disebabkan oleh kekaburan makna antara tajen sebagai salah satu ritual keagamaan atau tajen sebagai judi. Oleh sebab itu, penulis akan menjelaskan kapan tajen dikatakan sebagai sebuah ritual keagamaan (tabuh rah) dan kapan

tajen dikatakan sebagai perjudian. Adapun perbedaannya yaitu (Kniten & Gunanta, 2005):

a. Tajen dikatakan judi apabila terdapat unsur pidana, meliputi: 1. Tajen merupakan suatu permainan

2. Dalam permainan tersebut ada harapan untuk menang atau mengadu nasib yang sifatnya untung-untungan

3. Tidak adanya izin dari yang berwenang 4. Adanya taruhan

b. Tajen dikatakan judi apabila:

1.Tajen dilakukan lebih dari tiga saet (tiga pertaruhan) 2.Tidak dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telur, kelapa 3.Tidak disertai upakara yajnya

4.Ada taruhan dengan harapan untuk menang 5.Tidak adanya izin dari aparat berwenang c. Tajen dikatakan tabuh rah apabila:

1.Tajen dilaksanakan hanya tiga saet (tiga pertarungan)

2.Tajen dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telur, dan kelapa 3.Disertai upacara yajnya yang diselenggarakan pada suatu tempat

4. Terdapat toh dedampingan tidak bermotif judi, hanya sebagai perwujudan ikhlas berkorban untuk upacara

Dokumen terkait