• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filogenetik Trypanosoma evansi

guanin, asam formiat untuk melemahkan ikatan glikosidik pada

basa adenin dan guanin, hidrazin akan membuka ikatan basa sitosin dan timin sehingga akan dihasilkan 4 macam fragmen masing masing dengan ujung G, ujung C, ujung A dan ujung T. Fragmen yang terpotong dipisahkan dengan elektroforesis, semakin pendek fragmen semakin cepat bermigrasi ke dasar

gel. Label radiografi akan menghasilkan bekas pada film x-ray. Autoradiografi digunakan untuk membaca urutan DNA hasil

sekuensing (Men et al., 2008).

Metode Sanger. Prinsip dasar metode ini adalah ter­ jadinya terminasi rantai nukleotida sebagai akibat adanya dideoksinukleotida trifosfat (ddNTP). Metode ini (Gambar 43) memerlukan untai tunggal DNA, primer, dNTP yang dilabel

flouresen atau radioaktif, ddNTP dan enzim DNA polymerase.

Sekuensing DNA menggunakan metode Sanger dilakukan pada empat reaksi terpisah. Keempat reaksi tersebut berisi dNTP dan ddNTP (ddATP, ddGTP, ddCTP dan ddTTP) dengan perbandingan yang sama sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. ddNTP tidak memiliki gugus hidroksil

pada atom C nomor 3 gula deoksiribosa yang dibutuhkan untuk membentuk ikatan fosfodiester antara 2 nukleotida, hal ini menyebabkan elongasi terhenti dan menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi tergantung ddNTP yang digunakan. Fragmen kemudian dipisahkan menggunakan

elektroforesis dan divisualisasi dengan autoradiografi atau

Gambar 45. Prinsip sekuensing dengan metode sanger (Men et al., 2008). Internal Transribed Spacer (ITS)

Internal transcribed spacer (ITS) rDNA merupakan target yang banyak digunakan untuk deteksi molekuler dan memiliki variasi ukuran pada spesies dan subgroup

Trypanosoma. Internal transcribed spacer terletak pada rDNA organisme eukariotik diantara gen 18S dan 5,8S (ITS-1) serta gen 5,8S dan 28S (ITS-2). Internal transcribed spacer memiliki 100 ­ 200 kopi gen, dengan panjang 300 ­ 800 bp untuk ITS-1

dan banyak digunakan untuk studi filogenetik (Desquesnes

dan Davila, 2002). Unit transkripsi pada ribosomal DNA (18S, ITS1, 5.8S, ITS2, 28S) dipisahkan oleh non transcriptional unit

(NTS) (Gambar 44). Internal transcribed spacer mengdanung sinyal untuk proses transkripsi rRNA, terletak di dalam ribosom yang berfungsi mensintesis protein (Hilis dan Dixon, 1991; Urakawa et al., 1998).

Internal transcribed spacerregion telah banyak digunakan untuk mengkarakterisasi molekuler T.evansi (Khucareontaworn

et al., 2007; Areekit et al., 2008; Tian et al., 2011; Porjafar et al., 2013; Villareal et al., 2013; Sharkel et al., 2016). Amplifikasi PCR

dengan target ITS region mampu membedakan spesies dalam genus Trypanosoma karena menghasilkan produk PCR dengan

panjang berbeda beda. Perbedaan ukuran ITS intra spesies dan inter spesies Trypanosoma memungkinkan identifikasi Trypanosoma pada infeksi campuran (Desquesnes dan Davilla, 2002). Hasil amplifikasi ITS-1 T.congolense savannah memiliki panjang 650 bp, T.vivax 150 bp dan T.evansi/T. brucei subspecies memiliki ukuran yang sama 450 bp (Claes et al., 2007).

Gambar 46. Ribosomal DNA pada Trypanosoma sp. (Urakawa et al., 1998)

Metode yang paling baru saat ini adalah PCR (Polymerase Chain Reaction) dan DNA probe yang dapat digunakan untuk deteksi trypanosomiasis pada hewan dan memberikan harapan diagnosa yang lebih baik di masa mendatang. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah banyak memberikan dukungan bagi pengembangan terutama perangkat diagnostik baru

yang akan mampu memberikan sensitifitas dan spesifitas

yang lebih baik daripada metode konvensional. Kloning molekuler parasit dan produksi protein rekombinan telah membuka cakrawala baru dalam penyediaan material antigen (Nurcahyo, 1998). Dalam kasus penyakit parasiter, penerapan biologi molekuler sangat membantu dalam upaya peneguhan suatu diagnosa. Keberhasilan diagnosa molekuler ini tidak lepas dari penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)

yang dengan menggunakan probe dan primer spesifik akan dapat mengamplifikasi fragmen spesifik terhadap penyakit

ini, dapat memberikan jaminan, bahwa dalam hospes tersebut terdapat suatu organisme parasit.

Perkembangan PCR telah memberikan kemungkinan dalam deteksi perkinsosis ataupun spesies parasit yang lain. Keberhasilan dari teknik ini tidak lepas dari bantuan

DNA polymerase yang tahan pada temperatur tinggi yang diproduksi oleh bakteri Thermus aquaticus. Dalam teknik PCR, diperlukan suatu perangkat yang diberi nama “thermal cycler”

yang akan memperbanyak fragmen-fragmen sampel DNA sesuai dengan primer yang dipakai. Primer-primer tersebut

dibuat sesuai dengan tempat yang spesifik dari sequence DNA

Trypanosoma. Sehingga dalam waktu singkat oleh mesin PCR,

akan diamplifikasi sejumlah fragmen dalam jumlah banyak.

Untuk melihat fragmen hasil PCR tersebut, perlu visualisasi yang didapat dari hasil running elektroferesis gel agarose. Dengan demikian, dengan menggunakan DNA parasit yang minimal, misalnya lebih kecil dari 10 pikogram, maka dapat terdeteksi adanya parasit.

Polymerase Chain Reaction (PCR). Metode yang

paling baru saat ini adalah PCR dan DNA probe yang dapat digunakan untuk deteksi trypanosomiasis pada hewan dan memberikan harapan diagnosa yang lebih baik di masa mendatang. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah banyak memberikan dukungan bagi pengembangan terutama perangkat diagnostik baru yang akan mampu memberikan

sensitifitas dan spesifitas yang lebih baik daripada metode

konvensional. Kloning molekuler Trypanosoma dan produksi protein rekombinan telah membuka cakrawala baru dalam penyediaan material antigen yang dapat digunakan sebagai bahan diagnostik. Keberhasilan diagnosa molekuler ini tidak lepas dari penemuan teknik PCR yang menggunakan probe

dan primer spesifik yang dapat mengamplifikasi fragmen spesifik terhadap penyakit parasiter. Primer dibuat sesuai

dengan tempat yang spesifik dari sekuen DNA Trypanosoma,

sejumlah fragmen dalam jumlah banyak. Melihat fragmen hasil PCR tersebut, perlu visualisasi yang diperoleh dari hasil

running elektroferesis gel agarose. Penggunaan DNA parasit yang minimal, misalnya lebih kecil dari 10 pikogram, dapat mendeteksi adanya parasit dengan metode PCR (Nurcahyo, 1998). Deteksi dengan menggunakan metode molekuler dapat

dilakukan dengan cepat dengan spesifitas dan sensitivitas yang

tinggi. Tataran laboratorium berhasil diuji coba penggunaan DNA probe untuk mendeteksi DNA Trypanosoma dalam darah atau jaringan (Reid et al., 2001).

Polymerase Chain Reaction merupakan metode atau teknik untuk melipatgdanakan urutan nukleotida tertentu secara in vitro. Metode ini awalnya dikembangkan oleh Kary B. Mullis

tahun 1984. Molekul DNA yang akan diamplifikasi harus

diisolasi terlebih dahulu dari sel atau jaringan (Yuwono, 2006). Tahapan PCR terdiri dari 3 unsur yaitu denaturasi DNA cetakan dengan suhu tinggi, annealing atau penempelan primer oligonukleotida dan elongasi atau pemanjangan primer yang menempel pada cetakan oleh enzim DNA polimerase (Sambrook, 2001). Metode molekuler ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi untuk prosedur diagnostik dan sangat berpengaruh pada bidang sistematika molekuler dan biologi komparatif. Teknik PCR memungkinkan penelitian dengan sampel dalam jumlah yang besar dan menggambarkan variasi populasi pada sekuen DNA (Kocher, 1992).

Kajian secara molekuler mengenai Variance Surface Glycoprotein (VSG) Trypanosoma evansi yang pernah diteliti antara lain: Urakawaet al. (2001) mendiagnosa Trypanosoma evansi dengan menggunakan metode PCR yang menargetkan gen VSG Ro Tat 1.2 yang menunjukkan hasil bahwa VSG Ro Tat 1.2 hanya terdapat pada semua isolat Trypanosoma evansi

yang digunakan dalam penelitian tersebut; Claes et al. (2004) mendeteksi Trypanosoma evansi menggunakan metode PCR yang menargetkan gen VSG Ro Tat 1.2. yang menunjukkan

strain dari Trypanosoma evansi, yang membedakan antara

Trypanosoma evansi dengan anggota Sub Genus Trypanozoon

lainnya; Ngaira et al. (2004) mendeteksi Trypanosoma evansi menggunakan metode PCR yang menargetkan gen VSG Ro Tat 1.2 pada isolat dari Kenya yang menunjukkan hasil bahwa gen VSG Ro Tat 1.2 tidak terdapat pada Trypanosoma evansi yang menginfeksi onta di Kenya dan isolat Trypanosoma evansi dari Kenya dimasuk dalam Trypanosoma evansi tipe B; Sengupta et al. (2010) mendiagnosa Trypanosoma evansi

dengan menggunakan metode PCR yang menargetkan gen VSG pada hewan tikus dan kerbau yang diinfeksikan secara eksperimen yang menunjukkan hasil bahwa metode PCR dapat mendeteksi parasit Trypanosoma evansi 24 jam pasca infeksi pada hewan tikus dan 72 jam pasca infeksi pada hewan kerbausecara eksperimental.

Primer adalah sepasang DNA untaian tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Panjang basa DNA primer umumnya 15 ­ 25 nukleotida dan mempunyai 50 ­ 60% kandungan Guanine ditambah Cytocine. Primer adalah komponen penting dalam melakukan PCR. Kesuksesan dalam melakukan PCR sebagian besar tergantung pada desain dan penggunaan primer (Watson et al., 2008).

Keberhasilan dalam mendeteksi Trypanosoma evansi

dengan menggunakan metode PCR sangat dipengaruhi oleh pemilihan primer. Primer-primer yang sering digunakan oleh para peneliti untuk mendeteksi Trypanosoma evansi

menggunakan metode PCR antara lain TBR 1/2, ESAG 6/7, TEPAN1/2, pMUTEC F/R, TRYP1 R/S, TRYP4 R/S dan ILO (ILO7957 dan ILO8091). Menurut Pruvot et al. (2010) kelebihan dan kekurangan dari masing-masing primer tersebut sebagai berikut :

Primer TBR 1/2. Primer ini mampu mendeteksi 0,01 pg DNA Trypanosoma atau 1 Trypanosoma/ml darah, sensitifitas

Theileria dan Anaplasma marginale, amplifikasi pada 164 bp, menargetkan nukleus (repetitive sequence DNA) Trypanosoma, tetapi primer ini yaitu tidak mampu membedakan antara

Trypanosoma evansi dan Trypanosoma brucei, sehingga memberikan hasil yang kurang akurat mengenai penyebab dari trypanosomiasis.

Primer ESAG 6/7. Primer ini mampu mendeteksi 50

Trypanosoma/ml darah, amplifikasi pada 237 bp, menargetkan

kinetoplast DNA Trypanosoma, memberikan reaksi silang dengan protozoa Babesia sp atau DNA dari sapi.

Primer TEPAN 1/2. Primer ini mampu mendeteksi 1 pg DNA Trypanosoma, amplifikasi pada 122 bp, menargetkan nukleus (repetitive sequence DNA) Trypanosoma, tidak ada reaksi silang dengan Babesia, Theileria dan Anaplasma marginale, namun primer ini hanya mampu mendeteksi positif 17% sampel lapangan dari keseluruhan sampel positif menggunakan primer TBR1/2.

Primer pMUTEC F/R. Primer ini mampu mendeteksi 100 ­ 1000 Trypanosoma/ml darah (tidak lebih sensitif dari metode

Haematocrit Centrifugation Tehnique), tidak ada reaksi silang dengan Babesia, Theileria dan Anaplasma marginale, amplifikasi pada 237 bp, menargetkan nukleus (repetitive sequence DNA)

Trypanosoma.

Primer TRYP1 R/S dan TRYP4 R/S. Primer ini mampu mendeteksi 100 ­ 1000 Trypanosoma/ml darah (tidak lebih sensitif dari metode Haematocrit Centrifugation Tehnique), tidak ada reaksi silang dengan Babesia, Theileria dan Anaplasma marginale, menargetkan Internal Transcribed Spacer 1 (ITS-1)

dari ribosomal, dirancang spesifik untuk Trypanosoma sp.

Primer ILO7957 dan ILO8091. Primer ini mampu mendeteksi 0,015 ­ 0,4 pg DNA Trypanosomaatau 1 Trypanosoma/

ml darah, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi,

dirancang spesifik untuk Trypanosoma evansi sehingga tidak

ada reaksi silang dengan protozoa lainnya, menargetkan

dapat mendeteksi infeksi dari Trypanosoma evansi pada awal infeksi (Sengupta et al., 2010).

Menurut Yuwono (2006), terdapat tiga langkah utama dalam siklus PCR yang mana akan dilakukan sebanyak 30 ­ 40 kali siklus. Ketiga tahap siklus tersebut antara lain : tahap pertama pada sistem amplifikasi PCR adalah denaturasi DNA cetakan dengan menaikkan suhu dalam tabung reaksi. Proses denaturasi dilakukan pada suhu 94ºC; tahap kedua adalah

annealing yang merupakan proses menempelnya primer pada DNA cetakan. Proses ini dilakukan pada suhu 54ºC; tahap ketiga adalah elongasi merupakan proses pemanjangan fragmen DNA. Proses ini dilakukan pada suhu 72ºC.

Elektroforesis merupakan sebuah teknik analisis yang digunakan untuk memisahkan biomolekul-biomolekul bermuatan berdasarkan laju migrasi biomolekul tersebut dalam medan listrik. Molekul DNA akan bermigrasi secara normal dari daerah yang memiliki potensial negatif ke potensial positif karena charge negatif dari kerangka fosfat rantai DNA. Molekul yang lebih panjang akan berpindah dengan waktu yang lebih lambat, karena molekul-molekul tersebut lebih mudah ‘tertangkap’ didalam jaringan-jaringan gel ini. Tahap elektroforesis selesai dilakukan, kemudian molekul DNA dapat divisualisasikan dengan pengecatan pada gelnya dengan pengecatan fluorescent misalnya dengan ethidium. setiap pita pada nantinya akan terbentuk menunjukkan adanya kemampuan molekul DNA dengan

ukuran yang spesifik (Watson et al., 2008).

Sekuensing DNA adalah metode penentuan urutan basa

nukleotida suatu fragmen DNA. Metode ini menentukan urutan basa nukleotida suatu gen atau fragmen DNA lainnya. Metode sekuensing digunakan untuk mengetahui urutan

nukleotida dalam satu sel atau organisme (Nelson dan Cox, 2005).

Pemeriksaan molekuler dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan sampel darah hewan kerbau

yang berasal dari Kabupaten Brebes dan Kota Banda Aceh. Keuntungan dari penggunaan metode PCR yaitu jumlah DNA parasit yang minimal, misalnya lebih kecil dari 10 pikogram, akan dapat mendeteksi adanya parasit (Nurcahyo, 1998). Pemeriksaan secara molekuler dilakukan dengan tahapan yang terdiri dari ekstraksi DNA, amplifikasi dengan teknik PCR, elektroforesis DNA dan sekuensing DNA.

Ekstraksi DNA. Sampel darah yang berasal dari hewan kerbau di wilayah Brebes dan Aceh dilakukan ekstraksi DNA menggunakan DNeasy®Blood & TissueKit (Qiagen) dengan prosedur mengikuti petunjuk dari produsen, sebagaimana prosedur untuk ekstraksi DNA dari sampel darah sebagai berikut: tabung ependof steril dimasukkan dengan 20 µl proteinase K, 200 µl sampel darah dan 200 µl buffer AL kemudian divortek selama 5 detik hingga tercampur merata, diinkubasi dalam waterbath ada suhu 56°C selama 10 menit. Selanjutnya ditambahkan 200 µl etanol absolute dan divortek selama 10 detik. GD column disiapkan pada collection tube 2 ml, sampel dimasukkan seluruhnya ke GD column tersebut, disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. GD column pindahkan ke collection tube yang baru, kemudian ditambahkan 500 µl buffer AW1 dan disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. GD column dipindahkan ke collection tube yang baru, kemudian ditambah 500 µl buffer AW2 dan disentrifus dengan kecepatan 13.000 rpm selama 3 menit. GD Column dipindahkan ke tabung ependof 1,5 ml yang baru kemudian tambahkan buffer AE 200 µl dan diamkan selama 1 menit selanjutnya disentrifus lagi dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Hasil ekstraksi DNA kemudian dapat disimpan pada suhu ­20°C atau langsung digunakan untuk amplifikasi DNA dengan thermal cycler.

Amplifikasi DNA. Hasil ekstraksi DNA digunakan untuk proses amplifikasi dengam metode PCR. Amplifikasi menggunakan pasangan primer yaitu forward primer ILO7957

dan reverse primer ILO8091 (Tabel 7) yang dirancang oleh Urakawa et al, (2001). Amplifikasi DNA dilakukan dengan

cara sebagai berikut pada tabung ependof masukkan 6,5 µl ddH2O (nuclease free water), 2 µl forward primer, 2 µl reverse primer, 2 µl DNA sampel dan 12,5 µl Go Taq® Green (PCR mix) kemudian campur hingga homogen sehingga konsentrasi akhir sebanyak 25 µl.

Tabel 7. Urutan basa primer untuk amplifikasi (Urakawa et al., 2001)

Target Primer Urutan Basa Jumlah Basa

VSG

forward primer 5’-GCCACCACGGCGAAAGAC-3’ 18

reverse primer 5’-TAATCAGTGTGGTGTGC-3’ 17

Amplifikasi DNA dengan PCR dilakukan dengan kondisi

sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94°C selama 4 menit, diikuti dengan denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, annealing pada suhu 52°C selama 30 detik, elongasi pada suhu 72°C selama 1 menit dilakukan sebanyak 40 siklus dan kemudian diakhiri dengan post elongasi pada suhu 72°C selama 10 menit.

Elektroforesis DNA. Produk PCR yang telah diperoleh selanjutnya divisualisasikan pada gel agarose dengan teknik elektroforesis. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan

gel agarose. Gel agarose yang digunakan adalah gel agarose 1,5% dibuat pada cetakan. Sebanyak 0,75 gram gel agarose dilarutkan dengan 50 ml 1x buffer Tri Borate EDTA (TBE) yang dipanaskan dengan microwave dalam tabung erlenmayer selama 60 detik. Kemudian larutan didinginkan pada suhu ruangan dan ditambahkan 2 µl DNA stain kemudian diaduk kembali sampai

DNA stain tercampur merata ke dalam larutan agar. Sisir pencetak sumuran dipasang pada cetakan agar, selanjutnya larutan agarose yang hangat dituang secara perlahan ke dalam wadah cetakan untuk menghindari gelembung. Gel agarose

dibiarkan mengeras selama kurang lebih 30 menit sampai 1 jam. setelah gel mengeras, sisir pencetak sumuran dilepas secara hari-hati dan gel agarose diletakkan ke dalam alat elektroforesis yang telah berisi 1x buffer TBE.

Sebanyak 2 µl loading dye dicampur dengan 5 µl sampel DNA. Kemudian 7 µl hasil campuran dari loading dye dan DNA dimasukkan ke sumuran secara perlahan-lahan. Elektroforesis gel agarose dilakukan selama 30 menit pada 70 volt. Setelah elektroforesis selesai, gel divisualisasikan di atas

UV transiluminator dan hasilnya didokumentasikan dengan kamera digital.

Sekuensing. Hasil PCR kemudian dilakukan sekuensing di PT Genetika Science, Jakarta menggunakan forward primer

ILO7957 (5’-GCCACCACGGCGAAAGAC-3’) dan reverse

primer ILO8091 (5’-TAATCAGTGTGGTGTGC-3’). Hasil

sekuensing kemudian dianalisis dengan software MEGA.

Sampel darah yang diambil dari hewan yang diduga terinfeksi Trypanosoma evansi dari Kabupaten Brebes dan sampel darah yang diambil dari hewan yang terinfeksi

Trypanosoma evansi dari Kota Bdana Aceh dilakukan ekstraksi DNA. Hasil ektraksi DNA dari Trypanosoma evansi yang berasal

dari isolat Aceh dan Brebes kemudian diamplifikasi dengan forward primer ILO7957 dan reverse primer ILO8091. Hasil dari

amplifikasi DNA berhasil teramplifikasi dengan baik dan

menunjukkan adanya bdan yang jelasserta menghasilkan panjang basa yang sama yaitu 488 bp seperti yang dapat dilihat pada Gambar 45 A dan B.

A B C D

1000 bp

500 bp

p

M M

Gambar 47. Hasil amplifikasi DNA Trypanosoma evansiVariance Surface Glycoprotein (VSG) (Irawati, 2016)

A. Hasil amplifikasi DNA Trypanosoma evansi isolat Aceh

B. Hasil amplifikasi DNA Trypanosoma evansi isolat Brebes

C. Hasil ekstraksi DNA Trypanosoma evansi isolat

Aceh

D. Hasil ekstraksi DNA Trypanosoma evansi isolat

Brebes

Seluruh sampel kemudian disekuensing untuk analisis sekuen VSG. Sekuensing merupakan tahap akhir untuk menentukan urutan nukleotida hadir dari amplifikasi. Sekuensing juga merupakan salah satu cara untuk

mengidentifikasi suatu gen.

Data dari Gen Bank menyebutkan bahwa VSG utuh dari spesies Trypanosoma evansi mempunyai ukuran 1637 bp. Jumlah nukleotida primer forward adalah 18 nukleotida (nt) dan primer

reverse adalah 17 nukleotida (nt). Letak penempelan primer forward

yaitu pada daerah VSG nukleotida ke 401 ­ 418 sedangkan letak penempelan primer reverse yaitu pada daerah VSG nukleotida ke 888 ­ 872. Hasil amplifikasi primer forward dan primer reverse

Hasil dari penelitian yang menggunakan beberapa metode konvensional dan molekuler untuk mendeteksi adanya parasit Trypanosoma evansi pada sampel darah hewan kerbau yang diduga terinfeksi Trypanosoma evansi yang berasal dari Kabupaten Brebes dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Metode deteksi parasit Trypanosoma evansi (Irawati, 2016)

Asal Isolat Metode WBF Pengecatan apus darah HCT MI CATT/ T. evansi PCR Brebes + + + + + + Analisis data

Hasil pemeriksaan sampel darah hewan kerbau misalnya yang berasal dari Kabupaten Brebes menggunakan beberapa metode konvensional dan hasil pemeriksaan sampel darah hewan kerbau yang berasal dari Kabupaten Brebes dan Kota Bdana Aceh menggunakan metode molekuler dianalisis secara deskriptif. Data sekuen nukleotida Trypanosoma evansi diolah lebih lanjut menggunakan software Mega 6 (Irawati, 2016).

Data hasil sekuensing parasit Trypanosoma evansiyang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara disejajarkan bergdana (multiple allignment) menggunakan software MEGA 6. Dua sampel hasil sekuensing dari dua wilayah yang disekuensing yaitu Brebes dan Aceh (Irawati, 2016).

Gambar 48. Hasil BLAST sekuen VSG (Irawati, 2016)

Hasil BLAST pada Gambar 19 menunjukkan parasit

Trypanosoma evansi isolat lokal Sumatera dan Jawa dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan sekuens Trypanosoma evansi yang ada di Gen Bank yaitu spesies Trypanosoma evansi variable surface glycoprotein (VSG) mRNA identik 100% kode akses EF495337.1, Trypanosoma evansi clone Ro Tat 1.2 variable surface glycoprotein (VSG) mRNA identik 100% kode akses AF317914.1, Trypanosoma evansi isolat Egypt/Ismailia/Ro Tat 1.2

variable surface glycoprotein (VSG) gene identik 100% kode akses JX888091.1, Trypanosoma evansi isolat Bikaner variable surface glycoprotein (VSG) gene identik 99% kode akses JX134605.1,

Trypanosoma evansi variable surface glycoprotein (VSG) gene

identik 99% kode akses KF726106.1 (Irawati, 2016).

Hasil aligment sekuen Variance Surface Glycoprotein Trypanosoma evansi dari isolat Aceh dan isolat Brebes dengan spesies Trypanosoma evansi variable surface glycoprotein (VSG) m RNA, Trypanosoma evansi clone Ro Tat 1.2 variable surface

glycoprotein (VSG) mRNAdanTrypanosoma evansi isolat Bikaner variable surface glycoprotein (VSG) gene dari Gen Bank dapat dilihat pada Lampiran 1 (Irawati, 2016).

Analisis berikutnya adalah analisis matriks perbedaan untuk mengetahui apakah ada perbedaan urutan basa nukleotida antara sampel penelitian dengan data di GenBank. Analisis matriks perbedaan dilakukan menggunakan software

MEGA 6. Hasil analisis matriks perbedaan dapat dilihat pada Tabel 9 (Irawati, 2016).

Tabel 9. Matriks perbedaan urutan nukleotida antara Trypanosoma evansi isolat Aceh dan isolat Brebes dan dengan spesies lain dari

GenBank (Irawati, 2016). No Nama 1 2 3 4 1 gb|EF495337.1|T.evansi(VSG) 2 gb|AF317914.1|T.evansi_clone_RoTat1.2 316.0 3 gb|JX134605.1|T.evansi_isolate_Bikaner 1.0 316.0 4 T.evansi_isolat_Aceh 0.0 316.0 1.0 5 T.evansi_isolat_Brebes 0.0 316.0 1.0 0.0

Urutan basa nukleotida antara Trypanosoma evansi isolat Aceh dengan isolat Brebes tampak tidak ada perbedaan urutan basa nukleotida. Urutan basa nukleotida antara Trypanosoma evansi isolat Aceh dan isolat Brebes dengan spesies Trypanosoma evansi variable surface glycoprotein (VSG) mRNA dari GenBank

juga tampak tidak ada perbedaan urutan basa nukleotida. Perbedaan urutan basa nukleotida antara Trypanosoma evansi

isolat Aceh dan isolat Brebes dengan spesies Trypanosoma evansi clone Ro Tat 1.2 variable surface glycoprotein (VSG) mRNA dari GenBank sebanyak 316 basa nukleotida. Perbedaan urutan basa nukleotida antara Trypanosoma evansi isolat Aceh dan isolat Brebes dengan spesies Trypanosoma evansi isolat Bikaner variable surface glycoprotein (VSG)gene dari GenBank sebanyak 1 basa nukleotida (Irawati, 2016).

Deteksi menggunakan Primer ITS-1

Semua sampel berupa darah selanjutnya dilakukan ekstraksi DNA. Untuk deteksi PCR menggunakan primer ITS- 1 dengan urutan sekuen sebagai berikut: primer ITS forward

(5’ TGT AGG TGA ACC TGC AGC TGG ATC3’) dan primer ITS reverse (5’ CCA AGT CAT CCA TCG CGA CAC GTT3’) (Claes et al., 2007), agarose, buffer TE (Tris EDTA), buffer TBE (Tris Borate EDTA) 1X, DNA staining (gel red) dan DNA ladder.

Hasil ekstraksi DNA divisualisasi menggunakan gel agarose 1% (Gambar 47).

Gambar 49. Elektroforesis hasil ekstraksi DNA pada gel agarose 1% . 1. Brebes, 2. Purbalingga, 3. Kulon Progo, 4. Ngawi, 5. Hulu Kapuas Utara, 6. Kota Waringin Timur, 7. Bengkulu, 8. Lampung

(Widodo, 2017).

Deteksi molekuler menggunakan primer ITS-1 forward

dan primer ITS-1 reverse yang dirancang oleh Claes et al. (2007). Menurut hasil analisis menggunakan BLAST primer

forward maupun primer reverse menunjukkan homologi 100 % dengan sekuen ITS-1 T. evansi di GenBank dan tidak memiliki homologi dengan hospes maupun organisme lainnya yang kemungkinan berada di dalam darah hospes. Letak penempelan primer forward pada nukleotida ke 57 ­ 80 sedangkan letak penempelan primer reverse pada nukleotida

Dokumen terkait