• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak - repository civitas UGM"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

PENYAKIT SURRA

PADA HEWAN

(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis ber­ dasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan. (Pasal 1 ayat [1]).

2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip taan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Pener jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komuni kasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).

(3)

PENYAKIT SURRA

PADA HEWAN

DAN TERNAK

Wisnu Nurcahyo

(4)

Katalog Dalam Terbitan (KDT) ©Wisnu Nurcahyo

Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak/Wisnu Nurcahyo; -- Yogya karta: Samudra Biru, 2017.

viii + 208 hlm. ; 15,5 x 23 cm. ISBN : 978-602-5610-17-2

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau mem perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I, Desember 2017

Penulis : Wisnu Nurcahyo

Editor : Joko Prastowo

Penyunting : Alviana Cahyanti Desain Sampul : Titah Surga

Layout : Ardiansyah Mahmud

Diterbitkan oleh:

Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI) Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30 Banguntapan Bantul DI Yogyakarta

Email/FB : psambiru@gmail.com

(5)

Kata Pengantar

Trypanosoma evansi adalah parasit protozoa yang biasa berparasit pada hewan dan ternak khususnya sapi, kerbau, kuda dan rodensia. Parasit ini hidup dalam plasma darah dan cairan jaringan vertebrata, hanya beberapa bisa hidup dengan masuk (menginvasi) sel. Penularan T. evansi ini oleh arthropoda penghisap darah seperti Tabanus sp., Stomoxys sp., Haematobia sp dan beberapa spesies lalat lain secara mekanik (langsung) dan biologik. Protozoa yang dapat menyebabkan penyakit yang dinamakan penyakit Surra ini banyak dijumpai di daerah tropis, yaitu Afrika, Timur Tengah, India, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

(6)

Buku ini penting sebagai referensi bagi para dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, peternakan, biologi, pengambil kebijakan, peternak, pengusaha dan masyarakat luas yang ingin mengetahui masalah Trypanosoma dan penyakit Surra di Indonesia. Sehingga harapannya apabila terjadi wabah di daerah-daerah endemik, dapat ditanggulangi dengan baik. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia serta memperkaya khazanah dunia ilmu pengetahuan.

(7)

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

BAB I Pendahuluan ... 1

BAB II Sejarah ... 7

BAB III Morfologi dan Klasifikasi ... 13

BAB IV Inang ... 17

BAB V Vektor ... 21

BAB VI Penularan ... 39

BAB VII Epidemiologi ... 47

BAB VIII Patologis dan Klinis ... 51

BAB IX Diagnosa Parasitologis ... 71

BAB X Diagnosa Serologis ... 85

BAB XI Diagnosa Molekuler ... 103

BAB XII Filogenetik Trypanosoma evansi ... 113

BAB XIII Terapi ... 151

(8)

BAB XIV Pencegahan dan Pemberantasan ... 167

BAB XV Kesimpulan ... 171

DAFTAR PUSTAKA ... 175

GLOSSARIUM ... 191

INDEKS ... 201

(9)

Genus Trypanosoma umumnya hidup di dalam plasma darah dan cairan jaringan vertebrata, hanya beberapa bisa hidup dengan masuk (menginvasi) sel. Parasit ini ditularkan oleh artropoda penghisap darah, beberapa spesies dapat secara mekanik (langsung), tetapi ada pula secara biologi. Penyakit yang diakibatkan oleh protozoa ini banyak dijumpai di daerah tropis, yaitu Afrika, Timur Tengah, India, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin dengan berbagai spesies yang berbeda-beda. Hingga saat ini sudah menyebar di seluruh dunia (Gambar 1). Gambaran penyakit sangat bervariasi mulai dari akut hingga subklinis dan kronis di daerah endemis populasi ternak.

Gambar 1 . Distribusi penyebaran penyakit Trypanosomiasis di dunia. (Desquesnes et al., 2013).

Bab I

(10)

Salah satu Trypanosoma yang memiliki arti penting dalam bidang kedokteran hewan di Indonesia adalah Trypanosoma evansi. Penyakit yang ditimbulkan oleh protozoa tersebut pada ternak (Surra) dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit setiap tahunnya. Mengingat arti penting dan distribusinya yang demikian luas tersebut, telah banyak dilakukan kajian tentang T. evansi dari berbagai aspek. Kerugian yang lain juga teramati seperti penurunan produksi, pertumbuhan yang terhambat dan jika tidak diobati dapat mengakibatkan kematian. Kerugian yang diakibatkan oleh T. evansi ini diperkirakan mencapai US$ 22,4 juta per tahun (Ronoharjo et al., 1986). Kerugian ekonomi akibat infeksi penyakit Surra diperkirakan lebih besar daripada trypanosomiasis yang menyerang ternak di Afrika, yang diperkirakan berkisar US$ 1,3 Milyar mengingat kerugian akibat turunnya produksi daging dan susu. Penyakit Surra ini menimbulkan dampak yang luas pada hewan ternak di Indonesia. Namun mengingat kurangnya data secara nasional yang akurat terkait data-data epidemiologis, maka sulit untuk memperhitungkan dampak ekonomi pada ternak akibat penyakit Surra di Indonesia. Data-data ini akan menjadi penting apabila terjadi wabah di daerah-daerah endemik yang mengalami wabah dengan jumlah kematian ternak yang tinggi. Kerugian yang nyata terlihat dari kematian ternak dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan.

Semua jenis dari trypanosoma yang patogen, misalnya

(11)

yang mengakibatkan Surra dikenal sebagai penyakit yang memiliki hospes multispesies dan penyakit polimorfisme (Desquesnes et al., 2013).

Para ahli mengemukakan berbagai hipotesis tentang masih terdapatnya Trypanosoma evansi, semakin luasnya penyakit Surra di Indonesia dan pada kenyataannya belum dapat dikendalikan secara baik. Terkait dengan masalah-masalah tersebut, muncul dugaan-dugaan tentang penyakit Surra dan aspek-aspeknya khususnya kejadian pada ternak besar seperti sapi, kerbau, dan kuda di Indonesia seperti dikemukakan oleh tim survei pada saat terjadi wabah Surra besar (Anonim, 1976) sebagai berikut:

a. Kesangsian terhadap trypanosida

Semenjak adanya peraturan-peraturan terkait dengan kesehatan hewan dan ternak dalam Stbl. 1912 No. 432 dan No. 435 dengan ditetapkannya Naganol atau Naganol-Arsokol

sebagai satu-satunya obat untuk pemberantasan penyakit Surra, maka obat itu secara luas dipakai untuk mengendalikan penyakit Surra pada ternak besar. Pemakaian Naganol yang telah begitu lama ada kemungkinan menyebabkan timbulnya strain Trypanosoma evansi yang tahan terhadap naganol. Salah satu cara untuk mengatasi adanya ketahanan Naganol, dapat dipakai Berenil sebagai pengganti Naganol (Ditkeswan, 1975).

b. Pengaruh passase terhadap patogenitas

(12)

tersebut mengalami degenerasi. Penularan pada tikus rumah dapat terjadi dan mengakibatkan kematian.

c. Banyaknya strain yang ada

Seperti diketahui kejadian Trypanosomiasis yang saat ini terjadi pada berbagai spesies mamalia di Indonesia menjadikan adanya spesifikasi strain di masing-masing daerah. Masing-masing dari Trypanosoma tersebut memiliki variasi ukuran, bentuk dan morfologi yang kemungkinan dapat berbeda-beda. Keragaman bentuk dan ukuran tubuh Trypanosoma evansi ini dapat berpengaruh pada variasi genetik dan tingkat patogenitas masing-masing strain yang ada di Indonesia akibat adanya adaptasi pada berbagai spesies yang bertindak sebagai inang tetap Trypanosoma. Penelitian terkait morfologi, biopatogenitas dan virulensi Trypanosoma masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.

d. Feeding habit vector

(13)

karena itu diperlukan penelitian lebih detail terkait vektor yang menularkan Trypanosomiasis pada ternak sapi, kerbau atau kuda di suatu daerah.

e. Peran hewan liar sebagai reservoir

(14)
(15)

Penyakit Surra pertama kali ditemukan oleh Griffiths Evans (1980) menginfeksi kuda di India, sehingga diberi nama Trypanosoma evansi. Oleh Penning (1897) penyakit yang menginfeksi kuda di Semarang ini memiliki kemiripan dengan Trypanosoma evansi sebagai penyebab penyakit Surra. Sebelum tahun tersebut diduga penyakit Surra sebagai penyebab timbulnya banyak kematian kuda di Banten (1886 ­ 1888 ), di Tegal dan Cirebon (1886-1888) dan di Pulau Rote (1894 ­ 1896). Oleh karena itu oleh de does ditetapkan bahwa

T. evansi penyebab penyakit mubeng pada kerbau dan sapi. Laporan Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan dan Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal peternakan, Departemen Pertanian tahun 1976 menyebutkan dalam tahun 1898 terjadi wabah Surra pada kerbau di Karesidenan Tegal yang memakan korban sebanyak 500 ekor dari 7.000 ekor populasi kerbau dalam waktu 3 bulan. Pada saat itu Surra pada sapi hanya dijumpai sebagai kasus dan hanya kadang-kadang saja terjadi. Wabah Surra pada sapi terjadi dalam tahun 1900 dan 1901 yang timbul di karesidenan Pasuruan. Selama kurang lebih 70 tahun setelah itu penyakit Surra pada kuda, kerbau dan sapi dilaporkan hanya sebagai kasus. Hal ini diduga karena campur tangan pemerintah dalam urusan kehewanan yang dituangkan dalam Stabl No. 432 dan no. 435 tahun 1912 dan instruksi-instruksi pelaksanaannya

Bab II

(16)

tentang pengendalian penyakit Surra.

Dalam tahun 1968 ­ 1971 penyakit Surra kembali mewabah di berbagai provinsi di indonesia, misalnya Jawa tengah yang dalam tahun 1968 mengakibatkan kematian 210 ekor kerbau dan sapi, sedangkan tahun 1969 kematian mencapai 4.000 ekor (Soetrisno, 1970). Sementara itu di jawa tuimur tahun 1970 juga timbul kematian pada sapi dan kerbau hingga 635 ekor dan kuda 3 ekor. Sementara itu di Flores juga terdapat wabah Surra pada tahun 1971 dengan kematian ternak sebesar 516 ekor. Peningkatan kasus di luar jawa dilaporkan terjadi di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa tenggara Barat dan Sulawesi selatan.

Adanya wabah Surra yang telah terjadi sejak jaman Beldana tersebut menimbulkan pertanyaan bagi para ahli parasitologi Indonesia. Meskipun sejak lama Pemerintah RI telah ikut campur dalam usaha pemberantasan penyakit Surra, namun penyakit tersebut belum sepenuhnya dapat dikendalikan secara sempurna. Pulau-pulau yang dulu dinyatakan bebas surra, pada kenyataannya telah tertular dan bahkan menyebar ke seluruh pulau-pulau di Indonesia.

(17)

Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM melakukan survei untuk memperoleh cara-cara terbaik sebagai bahan pertimbangan dalam menunjang kegiatan pengendalian penyakit Surra di Indonesia. Setelah itu, pada tahun 1988, wabah terjadi di Pulau Madura. Melalui pemeriksaan MHCT diketahui T. evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa dan 50% positif dari 147 ekor kerbau yang diperiksa (Payne et al., 1990). Sejak saat itulah penyakit Surra senantiasa tiada henti senantiasa muncul di berbagai wilayah di Indonesia.

Berkaitan dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) di Indonesia memerlukan penyediaan bibit-bibit sapi dan kerbau yang bebas dari penyakit hewan menular khususnya Surra. Kejadian infeksi Trypanosoma evansi

di Indonesia sudah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia terutama dibeberapa sentra bibit nasional seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

(18)

Cattle Trypanosomiasis

Buffalo Trypanosomiasis Cattle and Buffalo Trypanosomiasis

Horse, Cattle, Buffalo Trypanosomiasis

Sumatra

Gambar 3. Ilustrasi kejadian Surra di Indonesia yang di-kumpulkan dari berbagai instansi di Indonesia (Nurcahyo, 2013)

Tingkat infeksiTrypanosoma evansi bervariasi tergantung pada lokasi dan spesies hospesnya. Prevalensi kejadian Trypanosomiasis pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara berkisar antara 5,8 - 7%. Penyakit Surra bersifat asimptomatis

sehingga sering diketahui setelah infeksi berjalan kronis (Dirkeswan, 2014).

Trypanosoma evansi merupakan parasit yang sangat unik dengan patogenesis yang bervariasi. Parasit ini telah ditemukan di Indonesia sejak 1897, tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi dan kerbau sampai saat ini masih belum banyak terungkap. Kerugian akibat infeksi parasit ini antara lain berupa kekurusan, keguguran, produksi susu menurun dan kematian (Partoutomo, 1996).

(19)

Wabah Surra yang paling besar dan menimbulkan banyak kematian pada sapi dan kerbau telah terjadi pada tahun 1968 ­ 1969 saat penyakit tersebut menyerang Jawa Tengah (Adiwinata dan Dahlan, 1969). Wabah Surra terjadi di Pulau Madura pada tahun 1988, dimana melalui pemeriksaan MHCT diketahui Trypanosoma evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa dan 50% positif dari 147 ekor Kerbau yang diperiksa (Payne et al., 1990). Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010-2011. Kasus tersebut mengakibatkan 4.268 (kuda 1.608, kerbau 2.464, sapi 196) ekor dinyatakan Trypanosomiasis. Kematian akibat Surra di pulau Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1.760 ekor, terdiri dari kuda 1.159 ekor, kerbau 600 dan sapi 1 ekor (Dirkeswan, 2012).

(20)

Gambar 4. Ilustrasi kejadian Surra di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai instansi di Indonesia (Balai

(21)

Trypanosoma evansi (Stell, 1885, Balbiani, 1888) yang memiliki sinonim : T. annamense, T. berberum, T. Cameli, T. Hippicum, T. Saudanense, T. Venezuelense, berukuran panjang 11,7 ­ 33,3 mikron rata 24 mikron), 15 ­ 34 mikron (rata-rata 24 mikron) dan lebar antara 1,0 ­ 2,5 mikron ((rata-rata-(rata-rata 1,5 mikron). Inti parasit ini bulat atau oval, kira-kira ditemukan di pertengahan tubuh.

Klasifikasi dari parasit Trypanosoma evansi menurut Desquesnes (2004) dapat dilihat pada Gambar 5. Uraian dari klasifikasi Trypanosoma evansi sebagai berikut Sub kingdom: Protozoa, Filum: SarcomastigopHora, Sub Filum:

MastigopHora, Kelas: ZoomastigopHorea, Ordo: Kinetoplastorida, Sub Ordo: Trypanosomatina, Famili: Trypanosomatidae, Genus:

Trypanosoma, Sub Genus: Trypanozoon, Spesies: Trypanosoma evansi.

Bab III

(22)

Gambar 5. Bagan klasifikasi Trypanosoma evansi

(Desquesnes, 2004).

Morfologi dan Karakteristik

Parasit Trypanosoma evansi menurut Stell (1885); Balbiani (1888), yang termasuk dalam protozoa memiliki sinonim: T. annamense, T. berberum, T. cameli, T. hippicum, T. saudanense, T. venezuelense, berukuran panjang 11,7 ­ 33,3 mikron (rata-rata 24 mikron), 15 ­ 34 mikron (rata-rata 24 mikron) dan lebar antara 1,0 ­ 2,5 mikron (rata-rata 1,5 mikron). Inti parasit ini bulat atau oval, kira-kira ditemukan di pertengahan tubuh (Hoare, 1972).

Bagian ujung yang tumpul ditemukan 2 buah benda yang disebut blepHaroplast atau benda basal dan benda parabasal, kedua benda tersebut dihubungkan dengan serabut halus sehingga terjadi bentukan yang sering disebut kinetoplast. Bentuk tanpa kinetoplast mungkin ditemukan terutama setelah dilakukan pengobatan trypanosidal termasuk Berenil dan

(23)

yag melanjutkan diri sebagai benang cambuk (flagellum). Benda cambuk ini terikat dengan tubuh oleh selaput beralun (membrana undulans) dan akan melanjutkan diri kedepan sebagai flagella bebas (Gambar 6) (Schmidt dan Roberts, 2009).

Pengamatan Trypanosoma evansi pada sampel darah segar menunjukkan karakteristik parasit yang ramping, ukuran kecil, tipis pada ekstremitas posterior, flagella bebas, aktif bergerak dan membran undulan terlihat jelas. Pengamatan pada preparat apus darah tipis dengan pengecatan giemsa menunjukkan sebagai trypomastigote tipis, bentuk ramping, flagella bebas panjang dan ekstremitas posterior tipis dengan

kinetoplast kecil di subterminal (Desquesnes et al., 2013). Morfologi dari Trypanosoma evansi dapat dilihat pada Gambar 6.

(24)
(25)

Hewan yang peka terhadap T. evansi ini adalah kuda dan keledai, kemudian unta. Kelompok ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa kurang rentan, sedangkan babi dan anjing paling rentan. Selain itu juga dapat menyerang gajah, tapir, rusa dan hewan liar lainnya. Unggas dan manusia diketahui kebal terhadap Surra. Tabel 1 di bawah ini disajikan berbagai macam spesies trypanosoma dan hewan-hewan yang terserang.

Tabel 1. Jenis Trypanosoma di seluruh dunia

No Spesies Hewan terserang

1 Evansi sapi, kerbau, kuda, unta, anjing,

manusia

2 Theileri Sapi

3 MelopHagium domba, kambing

4 Lewisi Tikus, manusia

5 Duttoni mencit, tikus

6 Nabiasi Kelinci

7 Cruzi manusia, anjing, kucing

8 rangeli Anjing

9 avium burung, ayam

10 vivax sapi, domba, kambing

11 uniforme sapi, domba, kambing

Bab IV

(26)

12 congolense sapi, kambing, domba,kuda, babi

13 dimorpHon sapi, domba, kuda, babi

14 simiae babi, sapi, kuda

15 suis Babi

16 brucei ternak peliharaan

17 rhodesiense manusia, ternak, satwaliar

18 gambiense Manusia

19 equinum Kuda

20 equiperdum Kuda

Trypanosoma evansi memiliki jangkauan hospes terluas dibdaningkan dengan Trypanosoma salivarian lainnya.

Trypanosoma evansi patogen pada kuda dan unta juga memiliki jangkauan hospes yang luas baik pada hewan domestik dan satwa liar di seluruh dunia. (Desquesnes et al., 2013).

Tabel 2. Jenis Trypanosoma dan hewan-hewan yang terserang (Lee et al., 2000)

Spesies Try-panosoma

Panjang

Mastigote Inang Penyakit Vektor Distribusi

A. Transmisi Siklik (parasit berkembang di dalam vektor)

A.1 Salivaria

T. b. gambiense 16-30 µm manusia, hewan do-mestic sleeping sickness Lalat tsetse Afrika Barat

T. b. rhodesiense 18-30 µm manusia,

ruminan-sia sleeping sickness Lalat tsetse Afrika Timur

T. b. brucei 18-42 µm ruminansia hewan domestic Nagana Lalat tsetse Afrika

T. congolense 9-18 µm sapi, hewan

domes-tic Nagana Lalat tsetse Afrika

T. vivax 14-27µm ruminansia, kuda Souma Lalat tsetse Afrika

T. simiae 12-24 µm babi, ruminansia virulen

trypanoso-miasis Lalat tsetse Afrika A.2 Stercoraria

T. cruzi 15-24 µm manusia, hewan do-mestik Chagas’ disease Serangga Amerika Ten-gah

T. theileri 25-120 µm Sapi non pathogen lalat Tabanus Seluruh dunia

(27)

T. lewisi 20-35 µm Rodensia non pathogen Pinjal Seluruh dunia

T. rangeli 25-32 µm manusia, rodensia non pathogen Serangga Amerika Sela-tan

B. Transmisi Non Siklik/transmisi mekanis(tidak ada perkembangan parasit dalam vektor)

T. evansi 18-34 µm

ruminansia, kuda,

hewan domestik

dan liar

surra, murrina Lalat penggigit,

kelelawar

Asia, Afrika, Amerika Ten-gah, Amerika Selatan

T. equinum 20-30 µm kuda, ruminansia mal de caderas Diptera Amerika

Selatan

T. equiperdum 18-30 µm Kuda Unta Tabanidae Negara tropis

Hipotesa Lun dan Desser (1995), tidak adanya maxicircles kinetoplast DNA bertanggung jawab terhadap jangkauan hospes yang luas pada Trypanosoma evansi. Kebalikan dengan

Trypanosoma equiperdum, tidak adanya maxicircles kinetoplast

DNA menyebabkan hospes yang lebih sedikit (Brun et al., 1998). Menurut Desquesnes et al. (2013) pengamatan secara eksperimental, hampir semua spesies mamalia dapat terinfeksi oleh Trypanosoma evansi dengan kerentanan dari masing-masing spesies bervariasi begitu pula dari satu wilayah geografis ke wilayah lainnya dan menimbulkan gejala klinis yang signifikan serta memainkan peran epidemiologi. Jenis

(28)
(29)

Vektor memegang peranan yang penting dalam penularan

Trypanosoma sp. ke hospesnya. Vektor insekta seperti lalat, nyamuk dan pinjal dapat menularkan Trypanosoma dari hewan yang terinfeksi ke ternak yang lain yang masih sehat. Lalat memiliki arti penting bagi kesehatan manusia dan hewan. Lalat kdanang (Stomoxys calcitrans) dan lalat kuda (Tabanus sp) memiliki arti penting bagi kejadian Trypanosomiasis pada sapi, kerbau dan kuda yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi di Indonesia (Davidson et al., 2000). Mengingat banyaknya kejadian Trypanosomiasis pada ternak, untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis lalat dan kelimpahannya yang berperan penting sebagai vektor mekanis Trypanosomiasis. Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di suatu wilayah. Sampai dengan tahun 1930 dilaporkan di Indonesia terdapat 28 jenis Tabanus, 5 jenis Chrysops dan 5 jenis Haematopota yang dapat menularkan surra (Sofiana,

1988). Lalat Kuda (Horse fly) termasuk dalam Famili Tabanidae

(Desquesnes et al., 2013), sedangkan lalat kdanang Stomoxys sp. termasuk Sub Famili Stomoxyinae dalam Famili Muscidae

(Diptera) (Phasuk, 2013). Lalat Stomoxys memiliki ukuran yang sama dengan lalat rumah (Musca sp.), tetapi mudah

Bab V

(30)

dibedakan dengan melihat bagian mulut yang digunakan untuk menusuk kulit dan menghisap darah. Bagian dada berwarna keabu-abuan dengan empat garis longitudinal. Selain itu, lalat kdanang memiliki abdomen yang lebih lebar dibdaning lalat rumah. Lalat-lalat ini ditemukan di luar kdanang di sekitar jerami dan pakan yang yang membusuk. Baik jantan maupun betina dapat menghisap darah yang menyerang hewan domestik, hewan liar dan kadang-kadang manusia di Asia tenggara (Masmeatathip et al., 2013) dan di seluruh dunia (Wall dan Shearer, 1997). Tingginya kepadatan populasi lalat kdanang dapat menurunkan produktifitas ternak dan menurunkan berat badan (Campbell et al., 2001). Sementara itu lalat Stomoxys calcitrans juga sering mengganggu ternak, menyebabkan iritasi di sekitar daerah gigitan. Pada kuda dapat mengakibatkan anemia yang serius dan kejadian Trypanosomiasis. Lalat Tabanus memiliki arti penting di Asia seperti China (Xu Baohai dan Xu Rongman, 1992).

Tabanus rubidus selalin memiliki arti penting bagi kejadian Trypanosomisis juga dapat menularkan penyakit Antraks di pulau Jawa. Lalat ini tersebar di seluruh dunia. Lalat ini disebut lalat kuda dan lalat rusa. Lalat ini masuk dalam Sub Ordo Brachycerorina Famili Tabanidae. Tabanidae mencakup Genus Tabanus, Hybomitra dan Haematopota. Lalat yang dewasa terdiri dari tiga segmen, Segmen yang terkhir terdiri dari beberapa sub segmen. Lalat ini besar, bertubuh kokoh dengan kepala besar, yang betina penghisap darah yang rakus, yang jantan tidak menggigit tetapi makan madu, buah-buahan yang lunak dan sayuran (Levine, 1990). Tabanidae

(31)

Lalat Penggigit

Lalat termasuk dalam Ordo Diptera yang sangat penting dalam dunia kedokteran hewan. Hal ini disebabkan mengingat lalat merupakan vektor yang dapat menyebarkan beberapa jenis penyakit yang cukup patogen baik yang bersifat zoonosis maupun tidak zoonosis. Berbagai lalat dapat menyebarkan bakteri, virus dan parasit. Sebagai salah satu contoh, adalah penyakit surra yang terjadi pada ternak di berbagai pulau di Indonesia penyebarannya dapat dilakukan melalui vektor lalat Tabanus, Haematopota dan Chrysops. Tipe lalat yang lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia dapat juga menjadi vektor karena populasi lalat jenis Stomoxys, Musca dan

Haematobia cukup banyak terdapat di padang penggembalaan yang secara signifikan dan dapat menularkan penyakit Trypanosoma pada ternak kuda, sapi dan kerbau air.

Lalat dewasa memiliki keragaman spesies yang tinggi, seperti lalat rumah dan lalat kdanang dengan lebih dari 100 spesies penting yang bersifat patogen berkaitan dengan lebih dari 65 jenis penyakit pada manusia dan ternak (Greenberg

et al., 1970; Greenberg, 1971; 1973). Lalat secara alamiah merupakan carrier dari berbagai agen patogen dan berperan penting dalam penyebaran virus, jamur, bakteri dan parasit di seluruh dunia (Banjo et al. 2005). Lalat rumah (Musca domestica), contohnya, merupakan vektor mekanik penting dari beberapa jenis bakteri seperti Shigella sp., Vibriocholerae,

Escherichia coli, StapHylococcus aureus dan Salmonella sp.

(32)

Stomoxys sp.

Stomoxys sp. merupakan hama pengganggu yang

merugiakan secara ekonomi pada ternak sapi. Kedua jenis kelamin lalat tersebut memiliki aktivitas menggigit ternak, hewan liar dan manusia di selru dunia (Wall dan Shearer, 1997). Jumlah serangan lalat yang tinggi dapat menyebabkan gangguan berupa iritasi pada bekas gigitan dan kerugian yang signifikan berhubungan dengan penurunan berat badan dan produksi susu. Stomoxys calcitrans merupakan vektor penting dari penyebaran Trypanosoma evansi (agen penyebab surra), serta Trypanosoma brucei dan Trypanosoma vivax (agen penyebab Surra Nagana). Stomoxys juga berperan sebagai hospes intermedier larva Habronema spp. (Bruce dan Decker, 1958; Campbell et al., 2001).

Tabanus sp (Brachycera)

Tabanus sp atau lalat kuda merupakan vektor penting, terdiri dari genus Tabanus, Chrysops dan Haematopota, dengan variasi ukuran yang terbesar dalam golongan Brachycera. Genus ini memiliki karateristik tubuh yang besar dan kokoh dengan warna tubuh abu-abu kehitaman hingga coklat kekuningan. Individu betina memiliki mdanibula yang berkembang dengan baik, sebaliknya bagian tersebut praktis tidak ditemukan pada jantan. Lalat ini memiliki mata kemerahan atau hijau metalik, terkadang kekuningan, dan terbagi-bagi oleh struktur berbentuk pita. Segmen thoraks biasanya berambut panjang dan halus. Lalat ini terkadang terlihat langsing dan memiliki warna keabuan atau hitam keabuan. Sayap berwarna abu-abu dengan bercak putih, dan saat posisi istirahat, sayap tersebut akan bergantung di atas thoraks (Kröber, 1932).

(33)

asimetris (Fairchild, 1969). Stadium larva bersifat aquatik atau semi aquatik (Middlekauf et al., 1980) atau bersifat terestrial

(hidup di tanah dan lantai kdanang) (Oosterbroek, 2006). Individu jantan dan betina menggunakan nektar sebagai sumber makanan, pada jantan khususnya mereka bersifat

hematopHagous. Tabanus bersifat diurnal dan aktif pada kondisi lingkungan panas dengan intensitas sinar matahari yang tinggi. Masa hidup dewasa dapat mencapai 35 hari. Bekas gigitan akan terasa sakit berkaitan dengan Tabanin, yaitu sejenis peptida yang diekskresikan pada luka bekas gigitan dan menyebabkan luka hemoragik dalam jangka waktu lama (Kaufman et al,, 2001; Koh dan Kini, 2009). Transmisi sangat berkaitan dengan jenis luka gigitan dan perilaku menggigit yang berpindah-pindah sambil memuntahkan darah dari luka gigitan sebelumnya

Hippoboscidae (louse flies)

Ordo ini terdiri dari kurang lebih 670 spesies tersebar diseluruh dunia. Lalat ini berukuran kecil hingga medium. Bentuk menyerupai kutu dan pinjal di habitatnya dan memiliki warna kecoklatan. Salah satu pendana unutk identifikasi adalah tidak adanya venasi sayap, atau tidak adanya pertumbuhan sayap pada beberapa spesies. Kepala dan thoraks jarang yang bersifat dorsoventral, berbeda dengan

Glossinidae yang memiliki kepala prognatheus dan proboscis

(34)

Hippobosca equine merupakan jenis hippobosca dengan sayap permanen yang utuh. Berbeda dengan spesies

Hippobosca lainnya yang melepaskan sayapnya setelah menemukan hospes yang tepat (Oosterbroek, 2006). Lalat ini sulit untuk dilepaskan dari hospesnya, dan biasa melekat pada area dengan rambut yang jarang, terutama didaerah vulva dan pangkal paha sebelah medial (Blank, 2006). Larva terbentuk di dalam abdomen induk betina dan dikeluarkan satu per satu (Oosterbroek, 2006).

Muscidae

Famili Muscadidae terdiri dari beraneka ragam lalat dan tersebar (kurang lebih 4.000 spesies di dunia) matanya tidak mencolok,ukuran lalat kecil sampai medium. Lalat dewasa memperlihatkan garis keturunan didalamnya. Karakteristik

dari famili ini sangat sulit dibedakan dan mengidentifikasi

spesiesnya juga merupakan suatu tantangan. Keistimewaan

dalam diagnosa lalat ini terletak pada daerah ekstradorsal

tulang tibia kaki belakang dan sistem venasi sayap (Skidmore,

1985). Biasanya warna lalat ini dari abu-abu sampai kehitaman, tetapi ada beberapa lalat berwana kuning kecoklatan atau dengan warna kehijauan sampai biru metalik yang mengkilap (Oosterbroek, 2006). Pada umumnya hypopleuron tidak berdiri tegak. Musca domestica (Lalat rumah) merupakan hama pengganggu yang terbesar. Lalat musca dapat meletakan telurnya pada luka yang terbuka dan menyebabkan kasus myasis dan kemungkinan juga vektor penting yang berbeda dalam kejadian penyakit pada manusia (seperti antraks, tifus, amoebiasis). Genus atau spesiesnya yang berpengaruh terdapat pada kuda antara lain Musca, Stomoxys, Hydrotaea

(35)

Haematobia irritans

Lalat pada tdanuk ternak merupakan lalat penggigit dengan ukuran yang sangat kecil kira-kira panjangnya 4 mm. Pada umunya lalat Haematobia irritans berwarna merah gelap serta mata berwarna coklat (Gregor et al., 2002). Palps cukup panjang dari proboscis (Karl, 1928).

Haematobia irritans (Muscidae)

Lalat rumah diketahui mempunyai thoraks berwarna hitam dengan empat garis longitudinal pada pangkal abdomen berwarna dan sisi lateral diapHanous berwarna kuning. Sebaliknya bagian abdomen berwarna hitam dengan titik berwarna-warni (Karl, 1928).

Musca autumnalis

Permukaan lalat Musca autumnalis menyurupai Musca domestica. sedikit lebih besar dan berwarna keabuan dengan empat belang keabuan diatas thoraks (Gregor et al., 2002) bagian abdomen berwarna orange dengan belang hitam pada bagian dorsal.

Stomoxys calcitrans

Pedipalpus dari lalat Stomoxys sangat tipis dan bagian mulut lebih pendek serta tajam untuk menembus dan menghisap. Thoraks dan abdomen berwarna hitam, keempat garis longitudinal bagian luar thoraks berwarna belang dengan tidak saling berhubungan pada persilangan garis longitudinalnya. Abdomennya mempunyai ciri khas titik pada garis tengah dengan ada pembatas pada garis pertama dan dua titik pada tepi garis posterior pada segmen berikutnya (Karl, 1928).

(36)

tuberculatus. Selain itu Lyperosia minuta juga pernah dilaporkan. Peranan kutu Triatoma sebagai vektor pada Trypanosoma cruzy

yang berjangkit di Amerika Latin perlu diperhitungkan. Hal ini mengingat keberadaan kutu Triatoma yang telah dijumpai di daerah Vietnam.

Biologi vektor

Banyak lalat dari spesies Muscidae mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan manusia. Spesies

Musca berkembang pada lingkungan terbuka dan kotoran ternak. Kebanyakan larva yang hidup secara signifikan sangat penting untuk diketahui atau dipelajari seperti: carnivorous, saprophagous seperti phytophagous (Oosterbroek, 2006). Siklus hidup berlangsung selama 14 ­ 28 hari dan siklus ini dapat berlangsung terus selama hospesnya dapat ditemukan (Kaufman et al., 2001). Musca autumnalis (face fly) merupakan salah satu parasit pada kuda. Lalat betina dan jantan mencari serta memakan sekresi cairan pada daerah mata dan kotoran

ternak. Paling sering menimbulkan kejadian iritasi pada

daerah kepala, linea alba dan gldanula mamae, seringkali menimbulkan penyakit mastitis pada musim panas (Chirico

et al., 1997; Blank, 2006).

Mekanisme penularan secara mekanik Trypanosoma evansi

sering terjadi pada lalat Tabanus dan Stomoxys, sedangkan pada unta dan kuda lebih banyak ditularkan oleh lalat

(37)

dengan volume darah yang dihisap dan kepadatan insekta. Dengan demikian, sejumlah Trypanosoma yang banyak pada seekor lalat Stomoxys kecil memiliki tingkat efeisiensi yang sama dengan sedikit jumlah Trypanosoma pada seekor lalat Tabanus yang besar.

Pengetahuan tentang berbagai cara penularan Trypanosoma

pada hewan sangat membantu dalam pemahaman penyakit.

Trypanosoma terutama ditularkan oleh vektor anthropoda

(lalat), dimana penularan baik siklik atau non siklik (Urquhart

et al., 1987).

Penularan secara biologi (siklik) dapat terjadi saat

Trypanosoma terhisap oleh artropoda penghisap darah. Perkembangbiakan didalam tubuh arthropoda mungkin akan terjadi pendewasaan, perbanyakan atau penggdanaan dan perkembangbiakan. Ada 2 tipe cara pembentukan dan penularannya (Nurcahyo, 2014) antara lain:

Salivaria. Perkembangan Trypanosoma dimulai dari

midgut, kemudian ke daerah proventrikulus selanjutnya ke kelenjar ludah. Penularan pada vertebrata terjadi melalui gigitan untuk T. gambiense, T. rhodesiense dan T. brucei, T. vivax, T. uniforme, T. congolense, T. dimorpHon, T. simiae, T. suis.

(38)

Gambar 7. Penularan secara mekanikTrypanosoma evansi

(Anonim, 2010)

Penularan secara mekanik Trypanosoma hampir semuanya ditularkan oleh lalat penghisap darah seperti Tabanus, Chrysops, Stomoxys, Haematopota, Lyperosia, Haematobia,

Hippoboscidae, selain itu terdapat arthropoda lain seperti

Culicoides, PHlebotomus, Ceratopogonidae, nyamuk (AnopHeles), lalat (Musca), pinjal, kutu dan caplak yang mungkin dapat sebagai vektor. Penularan secara mekanik murni (Trypanosoma sp) menurut Anonim (2014) dapat dilihat pada Gambar 7, tidak mengalami perkembangan di dalam tubuh lalat dan tidak dapat hidup lebih dari 10 ­ 15 menit di dalam proboscis

vektor. Penularan terjadi secara langsung dimana saat arthropoda menghisap darah penderita yang mengdanung

Trypanosoma, kurang dari 10 ­ 15 menit akan menghisap darah hewan lainnya, sehingga Trypanosoma yang terdapat di dalam

(39)

Gambar 8. Alat yang digunakan untuk menangkap lalat di kandang NZ-1 Trap

Koleksi Spesimen Lalat

Pada masing-masing lokasi dipasang perangkap lalat tipe NZ-1 Trap yang ditempatkan secara random di sekitar kandang berjarak sekitar 5 meter dari kandang. Perangkap lalat ditempatkan kurang lebih 10 cm di atas permukaan tanah. Lalat yang tertangkap diambil dan diamati pada pukul 09.00 pagi, 13.00 siang dan 17.00 sore untuk mengetahui aktifitas pergerakan masing-masing lalat. Setelah ditangkap dengan perangkap NZ-1 Trap, lalat dieuthanasi dan dibunuh menggunakan ethanol semprot dan disimpan dalam 80% ethanol hingga pemeriksaan. Semua spesimen kemudian dibawa ke Laboratorium untuk diamati. Untuk identifikasi menggunakan kunci menurut ahli.

Pada kondisi di lapangan banyak lalat yang tertangkap seperti dalam gambar di atas menggunakan NZ-1 Trap. Lalat yang banyak ditemukan di wilayah Yogyakarta misalnya adalah Stomoxys calcitrans (51,2%), Haematobia irritans (19, 2%),

(40)

Stomoxys calcitrans. Hal ini sesuai dengan pendapat Phasuk (2013) bahwa populasi lalat Stomoxys calcitrans paling banyak ditemukan di Thaildan pada bulan September saat awal musim penghujan (Phasuk et al., 2013). Hal ini dimungkinkan mengingat peningkatan populasi Stomoxys calcitrans pada awal musim penghujan diakibatkan adanya peningkatan penemuan tempat bertelur lalat yang sesuai, sebagai tempat yang penting untuk meletakkan telur hingga menetas menjadi larva dan akhirnya menjadi pupae dan dewasa. Pada kondisi lingkungan yang sesuai akan memungkinkan pertumbuhan larva lalat menjadi dewasa pada kelembaban dan curah hujan yang sesuai (Cruz-Vasques et al., 2004). Pada Genus Tabanidae, ditemukan lalat Tabanus rubidus (16,9%) dan Tabanus striatus

(5,4%). Kedua Spesies Tabanus ini sebenarnya paling banyak ditemukan pada musim penghujan yang ditdanai dengan meningkatnya jumlah lalat betina yang bertelur di bawah daun yang membusuk atau sisa-sisa rumput di sekitar kdanang dekat air. Lalat betina setelah menghisap darah sapi akan bertelur pada sisa organik daun-daunan dan kemudian akan menetas secara cepat pada udara yang hangat, menetas menjadi pupae dan larva dan akhirnya mernjadi dewasa dalam waktu 1 hingga 3 minggu (Foil dan Hogsette, 1994). Pada penelitian ditemukan juga Haematobia irritans atau sering disebut horn fly mengingat lokasi hinggap di sekitar tdanuk dari bagian kepala sapi. Lalat ini terdistribusi secara luas di seluruh dunia, memiliki warna abu-abu, dengan warna kegelapan di sekitar thoraks dan memiliki panjang sekitar 3 ­ 5 mm (Foil dan Hogsette, 1994). Secara sepintas mirip dengan lalat Fannia, namun proboscis lebih prominent

(41)

sapi. Aktifitas harian lalat yang tertangkap dari berbagai lokasi di Yogyakarta juga dapat diamati. Misalnya, aktifitas lalat banyak teramati terutama pada saat pagi hingga siang hari pukul 09.00 hingga 13.00. Setelah itu aktifitas kebanyakan lalat akan menurun hingga sore hari. Pada Tabanus rubidus

dan T. striatus aktifitas lalat ini banyak terjadi pada saat pagi

hingga siang hari. Demikian pula pada Stomoxys calcitrans

yang tertangkap pada saat pagi hari pukul 09.00 dan sore hari pukul 17.00. Hal ini dimungkinkan mengingat lalat tertarik kepada warna pada NZ-1 fly trap yang berwarna biru. Selain itu lalat tampaknya mencari tempat berlindung dari matahari langsung yang sangat panas di siang hari pukul 13.00 dan berlindung di balik perangkap NZ-1 Trap. Aktifitas terbang

(42)

Gambar 9. Perangkap lalat tipe NZ-1Trap yang dipasang di sekitar kandang sapi potong

Penggunaan NZ-1 Trap secara umum dapat ditujukan untuk menangkap lalat sehingga dapat diketahui keragaman dan kelimpahan spesies lalat penghisap darah pada sapi dengan menggunakan perangkap lalat NZ-1 Trap (Gambar 9) sangat efektif. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya lalat yang datang dan terperangkap masuk ke atas perangkap.

(43)

Gambar 11. Pemasangan Fly Trap tipe Vavoa

Selain menggunakan perngkap lalat tipe NZ-1 Trap, dapat juga digunakan tipe Vaoa (gambar 9). Masing-masing perangkap tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Misalnya NZ-1 trap banyak disukai lalat kdanang, namun komtruksi pemasangan agak sedikit merepotkan karena harus menggunakan 4 tiang. Sementara tipe Vaoa kurang disukai lalat kandang.

(44)

Penggunaan cone yang dipasang pada ujung atas NZ-1 Trap sangat memudahkan untuk melepas lalat hasil tangkapan yang sudah terkumpul di atas. Untuk selanjutnya dapat dilakukan identifikasi di laboratorium.

Gambar 13. Lalat yang ditemukan pada tubuh sapi potong

(45)

Berbagai macam lalat dapat ditemukan di kandang ternak, maupun di lapangan dan padang rumput. Pada kasus penyakit Surra, pengamatan terhadap ada tidaknya dan banyak tidaknya lalat sebagai vektor sangat menentukan sebagai prediksi kejadian penyebaran penyakit Surra ini. Untuk itu identifikasi lalat-lalat ini selanjutnya menjadi sangat penting.

Gambar 15. Keragaman lalat Tabanus sp.

Data analysis

(46)
(47)

Trypanosoma evansi memiliki asal-usul yang bervariasi sesuai dengan lokasi geografis masing-masing dengan gambaran klinis yang bervariasi. Hal ini juga diakibatkan adanya cara penularan yang beragam bergantung pada hospes dan daerah geografis. Secara umum penularan trypanosoma evansi dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu: vertikal, horizontal, iatrogenik dan per oral yang bergantung pada keragaman iklim, hospes dan lokasi. Pada beberapa kasus, hewan lintah di Asia tenggara seperti Hitudinaria manillensis dapat menularkan Trypanosomiasis pada kerbau (Desquesnes et al., 2013).

Mekanik

Penularan secara mekanik dapat terjadi pada infeksi

trypanosomiasis sebagai akibat gigitan insekta penggigit. Ini me rupakan metode penularan yang sangat penting pada

Trypanosoma evansi yang sering terjadi pada ternak besar seperti sapi, kerbau, kuda, unta dan satwa liar seperti rusa. Penularan secara mekanik pada prinsipnya merupakan penularan yang non spesifik yang dapat terjadi karena gigitan insekta seperti lalat yang menghisap darah pada hospes yang terinfeksi Trypanosoma evansi. Proses ini tidak terjadi secara terus menerus melainkan dapat diselingi dengan istirahat, khususnya terjadi akibat gangguan gerakan hospes yang

Bab VI

(48)

merasa kurang nyaman akibat kehadiran lalat. Setelah itu, lalat yang telah menghisap darah akan terbang ke lokasi yang lain pada hospes yang sama atau hospes yang lain, ataupun ke lokasi sekitar kdanang menunggu saat yang aman untuk menghisap darah hospes kembali. Pada saat lalat menghisap darah hospes, bagian anterior dari lalat berisi sejumlah darah berkisar antara 1 ­ 12 ml pada lalat tabanidae dan 0,03 ml pada lalat Stomoxys. Sisa dari darah yang belum diinfeksikan ke hospes tersebut dimasukkan ke hospes yang lain pada gigitan berikutnya. Suatu model matematis telah dikembangkan oleh Desquesnes et al., (2009) dengan mengamati beban lalat

Tabanidae yang menghisap darah sapi. Sebanyak 20 ­ 30 ekor lalat menghisap darah sapi akan signifikan infeksinya bila tingkat parasitemia berada di atas 106 Trypanosoma/ml.

Namun pada unta diperlukan 108 trypanosoma/ml. Temuan

ini sangat berarti khususnya jika ingin meneliti lebih jauh tingkat penyebaran Trypanosoma dengan dikaitkan lalat penggigit seperti Tabanus sp., Stomoxys sp., Haematobia sp. dan

Hippobosca sp..

Dalam tubuh lalat penggigit, trypanosoma pada umumnya tidak bertahan lama. Pada Trypanosoma vivax

misalnya hanya ber tahan hingga 30 menit pada lalat Tabanus, sementara pada lalat Stomoxys lebih singkat lagi (Ferenc et al.,

(49)

lalat Hippobosca sp berperan penting. Bentuk penularan yang lain selain mekanik menurut Desquesnes et al. (2013) masih dimungkinkan yaitu:

Kontaminasi Luka

Kontaminasi luka melalui vektor adalah adanya kontaminasi karena luka, penularan iatrogenik yang disebabkan oleh kontaminasi alat-alat bedah yang tidak steril atau alat-alat suntik selama proses vaksinasi yang kurang steril. Proses ini dapat menularkan Trypanosoma pada ternak atau hewan yang lain.

Transplasental

Penularan secara transplasental telah dilaporkan pada kejadian Trypanosoma equiperdum dan T. brucei. Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui plasenta induk. Pada induk yang terinfeksi Trypanosoma dijumpai adanya Trypanosoma pada fetus yang dilahirkan. Meskipun bentuk penularan secara vertikal ini kurang menimbulkan dampak dalam Trypanosomiasis, namun pada suatu daerah yang terkena wabah Trypanosomiasis perlu diperhitungkan mengingat kemungkinan peranan hospes sebagai karier atau reservoir. Multiplikasi parasit pada kejadian ini dapat terjadi sebagai akibat adanya cekaman dalam waktu yang lama pada masa subklinis.

Per oral

Bentuk penularan per oral dapat terjadi apabila

(50)

yang terinfeksi. Namun demikian Trypanosoma tersebut pada kenyataannya tidak mudah hidup dalam saluran pencernaan hewan tersebut karena adanya pH yang kurang sesuai untuk kelangsungan hidup Trypanosoma.

Vektor biologis

Bentuk penularan yang lain adalah melalui vektor biologi seperti kelelawar seperti yang pernah terjadi di Amerika Latin. Hal ini dapat terjadi setelah kelelawar tersebut menghisap darah kuda atau sapi. Sebagai hospes, kelelawar yang terinfeksi Trypanosoma dapat menderita dengan gejala-gejala klinis dan mati setelah 1 bulan. Namun demikian pada kasus kelelawar yang menderita Trypanosomiasis, parasit dapat eksis dan berkembangbiak dalam darah dan kemudian secara kronis ditemukan pada saliva. Pada kasus ini,

Trypanosoma yang berada di saliva rongga mulut siap untuk ditularkan ke ternak atau hewan melalui gigitan kelelawar tersebut. Jenis kelelawar Desmodus rotundus diketahui dapat berperan sebagai hospes, hospes reservoir dan vektor biologis dari Trypanosoma evansi.

Dari berbagai penularan yang mungkin terjadi pada suatu kejadian trypanosomiasis, masing-masing memiliki peran yang spesifik tergantung pada hospes dan siklus epidemiologis. Mi salnya pada kejadian penularan melalui gigitan insekta sangat penting pada ternak dan hewan besar, penularan melalui kelelawar memiliki peran penting pada kejadian trypanosomiasis pada kuda dan sapi di Amerika latin. Sementara itu penularan secara per oral dominan pada kelelawar dan rodensia.

Perkembangbiakan

Trypanosoma memperbanyak diri dengan cara binary

(51)

membentuk flagela dan membrana undulan yang baru. Kemudian sitoplasma juga akan membelah diri dari ujung anterior secara longitudinal. Protozoa ini hidup dalam darah dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Secara umum telah diketahui bahwa T. evansi ditularkan oleh lalat Tabanus, namun di dalam lalat tersebut tidak terjadi perkembangan trypanosoma. Pada penularan secara mekanik ini, daya tahan trypanosoma

dalam tubuh arthropoda di bagian proboscis tidak terlalu lama kira-kira hanya 10 ­ 15 menit. Penularan terjadi secara langsung dimana saat artropoda menghisap darah penderita yang mengdanung Trypanosoma, kurang dari (10 ­ 15 menit) menghisap darah hewan lainnya, sehingga trypanosoma yang terdapat didalam proboscis pada saat menghisap darah akan terlepas mengikuti aliran darah dan terjadilah penularan.

Gambar 16. Siklus hidup Trypanosoma sp.

Penularan secara biologi dapat terjadi saat trypanosoma

(52)

Secara mekanik Trypanosoma hampir semuanya ditularkan oleh lalat penghisap darah seperti Tabanus, Chrysops, Stomoxys, Haematopota, Lyperosia, Haematobia, selain itu terdapat arthropoda lain seperti nyamuk (AnopHeles), lalat (Musca), pinjal, kutu dan caplak yang mungkin dapat sebagai vektor. Secara mekanik murni (Trypanosoma sp.) tidak mengalami perkembangan di dalam tubuh lalat dan tidak tahan hidup lebih dari 10 ­ 15 menit di dalam proboscis vektor. Pada saat

outbreak, diketahui populasi lalat Tabanus juga meningkat.

Tabanus sp. diketahui sebagai pengumpul darah, dengan cara memotong kulit, lalat tersebut menusukan alat mulutnya ke dalam kulit, menghisap darah dan menularkan trypanosoma

ke ternak yang lain.

Setelah terbentuk Trypanosoma metasiklik, ada 2 tipe cara pembentukan dan penularannya antara lain:

1. Salivaria. Perkembangan Trypanosoma dimulai

dari mid-gut, kemudian berlangsung di daerah proventrikulus untuk selanjutnya ke kelenjar ludah. Penularan ke vertebrata terjadi melalui gigitan untuk (T. gambiense, T. rhodesiense dan T. brucei), T. vivax, T. uniforme, T. congolense, T. dimorpHon, T. simiae, T. suis.

2. Stercoraria. Perkembangan trypanosoma terjadi

awalnya di usus, kemudian akan mencapai hind-gut yang terletak di bagian belakang tubuh. Penularan dapat terjadi melalui mulut, dengan ikut termakannya tinja serangga (T. lewisi) atau luka gigitan serangga yang tercemar dengan tinja serangga penular pada (Trypanosoma cruzi).

(53)

pada hewan ternak sapi, kerbau dan kuda. Pemeriksaan pada hewan piara seperti kambing, domba, babi, anjing, kucing, kelinci, marmut dan hewan-hewan liar seperti tikus rumah, tikus sawah, babi hutan, kera, rusa, kijang, kancil, luwak, banteng dan sebagainya. Dengan demikian masih sangat sulit mengungkap peran hewan piara dan liar sebagai hospes reservoir bagi Trypanosoma evansi di Indonesia. Beberapa hewan liar yang pernah teridentifikasi secara alami T. evansi

(54)
(55)

Surra merupakan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi

Trypanosoma evansi melalui gigitan vektor. Hewan yang terinfeksi Surra dapat menunjukkan berbagai macam gejala klinis mulai dari subklinis, abortus, kematian dengan atau tanpa gejala vaskuler, syaraf atau genital. Gejala-gejala yang muncul akibat infeksi trypanosoma ini bervariasi kebanyakan bersifat letal pada kuda, akut atau kronis pada unta, berbagai macam variasi pada kerbau, akut pada anjing dan infeksi ringan pada babi, domba dan kambing. Epidemiologi dari Trypanosoma evansi ini tergantung pada karakteristik patogenitas pada masing-masing hospes, reservoir dan vektor serta lingkungannya. Infeksi penyakit Surra dikaitkan dengan keberadaan vektor lalat tabanus yang ternyata dapat terjadi sepanjang tahun. Penyakit Surra diketahui mortalitasnya rendah, namun morbiditasnya sangat tinggi. Penyakit ini telah menyebar di seluruh Indonesia, hanya mungkin di Papua belum banyak dilaporkan. Wabah Surra yang paling besar dan menimbulkan banyak kematian pada sapi dan kerbau telah terjadi pada tahun 1968 ­ 1969 pada saat penyakit tersebut menyerang Jawa Tengah (Adiwinata dan Dahlan, 1969; Dieleman, 1983). Pada tahun 1988, wabah terjadi di Pulau Madura. Melalui pemeriksaan MHCT diketahui T. evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa, dan 50% positif dari 147 ekor kerbau yang diperiksa (Payne et al.,

Bab VII

(56)

1990). Spesies Trypanosoma yang menginfeksi hewan yang telah teridentifikasi di Indonesia adalah Trypanosoma evansi, menyebabkan penyakit Surra.

Informasi terkait dampak infeksi Surra yang menyerang ternak di negara-negara endemik seperti Indonesia masih belum banyak dilaporkan. Hal ini terutama terkait dampak Surra pada hospes dalam suatu populasi yang dinamis, kerugian secara ekonomis yang diakibatkan karena kejadian penyakit, dampak sosial yang dialami oleh pemilik ternak yang ternaknya mati, produksi susu menurun, turunnya pertambahan daging, performance reproduksi hingga nilai sosial budaya yang tidak ternilai harganya. Dampak Surra pada suatu populasi ternak dilaporkan oleh Dargantes et al. (2009) yang meneliti Surra di wilayah Filipina selatan. Surra di daerah tersebut menimbulkan dampak negatif pada kerbau akibat kematian dan menurunnya potensi reproduksi kerbau. Kematian yang tinggi juga diamati pada anak kerbau yang baru lahir. Akibat kejadian ini, populasi kerbau menurun drastis di daerah tersebut.

Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh infeksi

(57)

menjadi sangat berarti khususnya pada peternak miskin yang hidupnya hanya bergantung pada ternaknya. Kerugian lain yang belum dihitung adalah adanya pengeluaran biaya ekstra karena munculnya resistensi obat Trypanosoma yang kurang efektif untuk pengobatan penyakit Surra.

(58)
(59)

Trypanosoma evansi adalah parasit darah, namun bentuk visceralnya dapat juga dijumpai di dalam jantung, otak, hepar, ren dan pulmo. Lamanya infeksi dan derajat patogenesitasnya te rgantung pada spesies dan virulensi dari strain Trypanosoma evansi. Pada trypanosoma yang menginfeksi tikus dan anjing dapat me nurunkan jumlah eritrosit dan hemoglobin dalam darah. Anemia yang terjadi terkait dengan munculnya reaksi imunologis. Ini dimungkinkan mengingat eritrosit akan bereaksi dengan adanya antigen trypanosoma, sebagai hasil reaksi imunologi dan destruksi eritrosit yang dimediasi sistem komplemen.

Ternak yang terinfeksi trypanosoma biasanya nampak lesu, be rat badan menurun, anemia, oedema di beberapa bagian tubuh, demam intermiten, pembesaran di nodus limfatikus prescapular, produksi susu menurun, salivasi, lakrimasi dan dapat terjadi abortus. Dilaporkan juga terjadi penurunan berat badan, PCV, eritrosit dan hemoglobin, peningkatan SGOT, SGPT dan globulin pada sapi dan kerbau yang terinfeksi T. evansi. Penyakit surra hampir selalu berakibat fatal pada kuda jika tidak diobati, kematian dapat terjadi dalam waktu 1 minggu sampai 6 bulan. Gejala-gejala yang nampak adalah urtikaria, hemoragi pada mukosa membran, temperatur meningkat, anemia, paralisa. Pada sapi dan kerbau, penyakit ini dapat berjalan perakut, akut, subakut dan kronis. Pada

Bab VIII

(60)

bentuk akut, ternak tampak lesu, mata terbuka, bergerak memutar, pireksia dan kematian dapat terjadi dalam waktu 6 ­ 12 jam, gejala-gejala syaraf dapat dikelirukan dengan anthraks, bentuk neurosis ketosis, tumor atau sista di otak. Pada bentuk subakut dan kronis, tampak gejala emasiasi.

Gejala Klinis

Pada hewan yang terserang Trypanosoma, menunjukkan de mam intermitten, urtikaria, anemia, oedema pada kaki-kaki, rambut rontok, kelemahan progresif, kondisi menurun dan kurang nafsu makan. Selain itu, konjuntivitis juga dapat terjadi. Kerusakan-kerusakan pada organ yang diakibatkan oleh surra antara lain splenomegali, pembesaran kelenjar limfe dan ginjal, infiltrasi leukosit pada parenkim hati, perdarahan dan peradangan parenkim ginjal.

Trypanosoma evansi dapat bertahan hidup dan

berkembang biak di cairan ekstraseluler dari hospes mamalia, terutama pada darah (Desquesnes et al., 2013). Kematian yang disebabkan Trypanosoma evansi umumnya akibat anemia yang berat (Onah et al., 1996). Nilai Packed Cell Volume (PCV) cenderung menurun pada semua mencit yang diinfeksi dan anemia progresif merupakan gejala klinis utama pada trypanosomiasis (Verdillo et al., 2012). Anemia (jumlah eritrosit dibawah nilai normal) umumnya bersifat menahun (kronis) sedangkan pada kondisi akut atau sub akut sangat jarang dijumpai. Infeksi Trypanosoma evansi pada mencitdapat mengakibatkan kematian sangat cepat (≤ 6 hari pasca infeksi) atau bahkan lebih lama (10 ­ 24 hari pasca infeksi) sebagaimana dilaporkan Subekti et al., (2013). Tingkat patogenisitas dari

(61)

SGOT dan SGPT karena kerusakan hati (Tizard, 1985; Kathiria dan Avsatti, 1985; Stephen, 1986). Perubahan histopatologik yang terjadi pada pemeriksaan otak yaitu oedema/kongesti pembuluh darah selaput otak, Pemeriksaan ginjal yaitu kongesti pembuluh darah, degenerasi sel tubulus dan glomerulus. Pemeriksaan hati yaitu kongesti pembuluh darah dan degenerasi sel parenkim (Ressang, 1984).

Gejala klinis lainnya yang tampak yaitu kulit kusam, kehilangan nafsu makan, aborsi, edema, gejala syaraf kadang-kadang diamati, seperti kejang periodik. Infeksi

Trypanosoma evansi pada hewan kuda, masa inkubasi 1 ­ 4 minggu dengan gejala klinis: demam fluktuatif saat parasitemia tinggi (41,5 °C hingga 44 °C), kelemahan, lesu, anemia, penurunan berat badan, pada kulit baik lokal atau menyeluruh pecah, pendarahan petekie pada kelopak mata terutama membran niktitan, perdarahan pada mukosa vulva dan vagina, pendarahan di ruang anterior mata, aborsi dan gejala saraf (Stephen, 1986). Infeksi Trypanosoma evansipada hewan sapi dan kerbau menghasilkan anemia, kehilangan berat badan, susu dan produksi daging dan kerugian sebagai tenaga kerja, yang paling sering terjadi pada kondisi kronis yang dapat menyebabkan hewan tersebut tidak bermanfaat. Kadang-kadang dalam kondisi akut, cepat menyebabkan kematian. Demam, anemia, abortus dan penurunan berat badan mengarah ke gangguan siklus estrus telah dicatat pada sapi di Indonesia (Payne et al., 1993).

Gejala Klinis

(62)

hospes (Gardiner dan Mahmoud, 1990). Perubahan patologi yang disebabkan surra tidak spesifik. Perubahan yang tampak berupa emasiasi, pembesaran limfogldanula, pembesaran hati dan ginjal, asites, oedema, hidrotoraks, hidroperikardium, perdarahan petekie di parenkim hati dan ginjal, perdarahan otak dan batang otak, meningoensefalitis non supuratif serta adanya darah di cairan serebrospinal dan miokarditis pada kasus kronis (Dieleman, 1986; OIE, 2013).

Pada Kuda dan Unta

Gejala-gejala spesifik akibat infeksi Trypanosoma evansi pada kuda dan unta sangat bervariasi. Pada unta yang menderita Trypanosomiasis akut dapat mengalami demam tinggi, anemia, kelemahan, dan berakibat kematian. Hal ini juga dapat berakibat fatal dalam beberapa bulan hingga 2 ­ 3 tahun. Gejala-gejala sakit muncul seperti adanya demam 41°C, hewan kelihatan lemah, lesu, bulu berdiri, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan, abortus, oedem (bagian bawah tubuh, skrotum). Gejala-gejala syaraf dapat terlihat seperti kejang-kejang. Gejala-gejala ini dapat berjalan lama hingga 3 tahun, namun demikian dapat menghilang bila kuda dapat bertahan hidup hingga 3 tahun (Stephen, 1986).

(63)

Gambar 18 . Kebengkakan pada daerah sekitar abdomen kuda (Drh. Martono, A. P.).

Masa inkubasi penyakit ini pada kuda berlangsung antara 1 hingga 4 bulan dan terkadang hingga 8 minggu. Setelah itu muncul gejala-gejala sebagai berikut: kelemahan, lethargi, anemia, kehilangan berat badan, hemoragi petekie pada mata, hemoragi vulva dan vagina, abortus, perubahan pada alat gerak lokomosi seperti gejala syaraf pada kaki depan dan belakang, sering disebut “mal de caderas” serta oedema submaksila, kaki bagian bawah, abdomen, testis dan selangkangan (Desquesnes et al., 2013).

(64)

Gambar 20. Bengkak di bawah perut, skrotum dan kaki belakang (Drh. Martono AP).

(65)

Gambar 21. Kelemahan pada kuda yang dapat berakhir dengan roboh (drh. Martono A.P.).

Gambar 22 . Kuda yang mati akibat infeksi Surra (Foto Alan P. Dargantes).

(66)

klinis terlihat lebih ringan dibdaning pada kuda (Sylva et al.,

1995).

Surra pada unta bersifat akut dengan demam tinggi (41°C), anemia, kelemahan dan kematian (Parsani et al., 2008). Gejala klinis lainnya yang tampak yaitu kulit kusam, kehilangan nafsu makan, aborsi, oedema, gejala syaraf kadang-kadang diamati, seperti kejang periodik. Infeksi Trypanosoma evansi

pada hewan kuda, masa inkubasi 1 ­ 4 minggu dengan gejala klinis: demam fluktuatif saat parasitemia tinggi (41,5°C hingga 44°C), kelemahan, lesu, anemia, penurunan berat badan, pada kulit baik lokal atau menyeluruh pecah, pendarahan petekie pada kelopak mata terutama membran niktitan, perdarahan pada mukosa vulva dan vagina, pendarahan di ruang anterior mata, aborsi dan gejala syaraf (Stephen, 1986).

Gambar 23. Morfologi Trypanosomaevansi pada unta (Desquesnes et al., 2013)

Gejala pada Sapi dan Kerbau

(67)

satu daerah ke daerah yang lain di dunia sangat bervariasi. Situasi kejadian Surra pada sapi dan kerbau di Amerika Latin, Afrika dan di Asia berbeda. Kejadian Surra di beberapa daerah di India misalnya pernah tercatat dengan tingkat mortalitas tinggi hingga lebih dari 98% (Gill, 1977). Sapi yang secara eksperimental diinfeksi dengan T. evansi di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh yang tinggi, kehilangan berat badan, anemia, terkadang dengan gejala syaraf dan dapat berakibat dengan kematian (Payne et al.,

1978).

(68)

Gambar 25. Trypanosoma evansi yang menginfeksi sapi (Desquesnes et al., 2013)

(69)

Gambar 26 . Kekurusan yang terlihat pada kerbau yang terinfeksi Surra (A.P. Dargantes)

Pada kejadian akut bahkan dapat berakibat pada kematian. Gejala terkait reproduksi juga teramati misalnya adanya siklus estrus yang tidak teratur. Pada kejadian akut dapat disertai dengan gejala syaraf seperti meningoensefalitis (Desquesnes et al., 2013).

(70)

Pada kerbau teramati adanya gejala-gejala kelemahan dalam beberapa minggu hingga bulan yang dapat berakibat dengan kematian pada gejala akut dalam beberapa jam saja. Pada sapi perah teramati adanya gejala-gejala seperti demam, abortus, penurunan produksi susu (Chobjit et al., 2006). Infeksi

Trypanosoma evansi pada hewan sapi dan kerbau menghasilkan anemia, kehilangan berat badan, susu dan produksi daging dan kerugian sebagai tenaga kerja, yang paling sering terjadi pada kondisi kronis yang dapat menyebabkan hewan tersebut tidak bermanfaat. Kadang-kadang dalam kondisi akut, cepat menyebabkan kematian. Demam, anemia, aborsi dan penurunan berat badan mengarah ke gangguan siklus estrus telah dicatat pada sapi di Indonesia (Payne et al., 1993).

(71)

Gambar 28. Ternak kerbau yang diambil sampel darah dari Kabupaten Brebes

Pada hewan dan ternak, tingkat infeksi Trypanosoma

diketahui bervariasitergantung pada lokasi dan spesies induk semang (host). Hasil yang pernah dilakukan untuk Trypanosomiasispada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tingkat prevalensi berkisar antara 5,8 ­ 7%. Selain itu diketahui prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur ternak (Partoutomo, 1996). Sementara itu diperoleh hasil prevalensi yang rendah di Pulau Lombok yang kemungkinan terjadi karena terkait daerahnya yang kering sehingga lalat sebagai vektor Trypanosoma tidak hidup dengan baik. Survey yang dilakukan oleh Davidson et al. (1999, 2000) di Jawa Tengah meliputi 5 kabupaten yaitu: Batang, Pemalang, Pekalongan, Brebes dan Tegal, menunjukkan bahwa dengan MHCT, 4% kerbau positif mengdanung parasit T.evansi, dan dengan Ag-ELISA lebih dari 50% menunjukkan hasil positif Trypanosomiasis. Ada beberapa faktor yang menjadikan infeksi T.evansi pada pemeriksaan dengan HMCT yaitu cara pengambilan sampel, derajat parasitemia, jenis hewan dan penyebaran parasit di alam. Kerbau diduga lebih peka terhadap

(72)

sebagai reservoir. Kerbau menunjukkan parasitemia lebih lama dan lebih tinggi daripada sapi sehingga kerbau diduga merupakan sumber penularan yang potensial bagi ternak sapi maupun kuda (Partoutomo et al., 1996 dan Partoutomo, 1996). Faktor pemeliharaan juga dapat mempengaruhi perkembangan Trypanosomiasis pada ternak dan menjadi ancaman bagi ternak yang baru datang dari daerah lain atau luar negeri yang bebas T.evansi. Ini terbukti dengan adanya kematian 12 ekor dari 131 ekor kerbau yang diimpor dari Australia karena Trypanosomiasis (Payne et al., 1990). Kerbau impor tersebut ternyata lebih rentan, dengan ditdanai Surra klinis dan kematian yang cukup banyak, sedangkan kerbau lokal yang ditempatkan di daerah yang sama tidak ada yang sakit (Partoutomo et al., 1996). Menurut Partoutomo et al.

(1995) gejala kronis trypanosomiasis pada kerbau berupa bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus dan nampak lemah, serta menunjukkan tdana-tdana paresis. Pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala klinis pada kerbaunampak lebih jelas dibdaningkan sapi dan lebih jelas pada hewan muda daripada hewan dewasa. Infeksi kronis juga ditdanai dengan kenaikan suhu badan antara hari ke 1 – 5 pasca infeksi yang selanjutnya suhu badan berfluktuasi pada nilai normal. Faktor pemicu terjadinya Trypanosomiasis (Surra) antara lain: cara pemeliharaan, hewan dalam transportasi, serta ada atau tidaknya infeksi campuran.

(73)

tidaknya pengaruh stress. Stress merupakan fenomena yang sejak lama diduga sebagai faktor penyebab timbulnya wabah Trypanosomiasis.

Gejala klinis dari infeksi Trypanosoma evansi tidak bersifat khas (patognomonis) oleh karena itu pemeriksaan gejala klinis harus ditunjang dengan pengujian di laboratorium untuk mengkonfirmasi adanya agen penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik) seperti Wet Blood Film dan pengecatan apus darah tipis,

Hematocrit Centrifugation Technique (HCT) dan inokulasi pada mencit. Uji parasit ini dapat langsung diterapkan di lapangan sebagai screening test. Uji serologi dilakukan dengan metode

Card Agglutination Test(CATT) untuk Trypanosoma evansi. Uji molekuler menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Gejala pada Domba dan kambing

(74)

mortum seperti pembesaran limfa dan nodus limfatikus. Pada kambing seringkali tidak nampak gejala spesifik terhadap infeksi Trypanosoma evansi. Infeksi buatan pada kambing menunjukkan gejala klinis demam yang berfluktuasi, emasiasi, anemia, batuk-batuk, pembesaran testis dan mungkin sedikit diare (Desquesnes et al., 2013).

Infeksi alami Trypanosoma evansi pada hewan domba dan kam bing umumnya ringan atau tanpa gejala klinis (Boehringer dan Prosen, 1961). Laporan dari berbagai sumber mengatakan bahwa hewan domba dan kambing bukan merupakan hospes utama dari Trypanosoma evansi, sehingga sulit untuk menyimpulkan kerentanannya (Desquesnes, 2013). Infeksi Trypanosoma evansi pada babi sering kronis dengan gejala klinis demam intermitten, anemia, kehilangan berat badan, aborsi dan ruam kulit serta kelumpuhan kaki belakang (Sirivan et al., 1995).

Gejala pada Anjing

(75)

Gambar 29. Anjing pemburu di Sumatra Barat sering terinfeksi Surra (Foto drh. Budi Santoso)

Gambar 30. Deposit fibrin di mukosa mata anjing yang terinfeksi Surra (Desquesnes et al., 2013)

(76)

dan kadang-kadang paresis bagian belakang, miokarditis (Desquesnes, 2004). Trypanosoma evansi yang diinfeksi secara eksperimental pada kucing hanya menyebabkan gejala ringan, seperti demam, apatis, hyporexia dan muntah (Da Silva et al., 2009) serta nyeri otot, hiperproteinaemia, hiperglobulinaemia dan hipoalbuminemia (Da Silva et al., 2010). Pada kucing, infeksi secara alami akibat Trypanosomiasis jarang terjadi.

Gejala pada Babi

Gejala-gejala klinis pada babi sangat jarang dijumpai. Namun pada infeksi buatan dapat terlihat adanya gejala-gejala kronis seperti demam intermiten, anemia, kehilangan berat badan, abortus dan paralisis pada kaki belakang. Mengingat infeksi Surra jarang terjadi, maka seringkali infeksi Surra kurang teramati.

(77)

Gambar 32. Babi yang terinfeksi Trypanosoma evansi dapat mengalami paralisa pada kaki bagian belakang (Desquesnes et al.,

2013)

Gejala pada Satwa Liar

Gejala-gejala klinis pernah dilaporkan pada beberapa satwa liar seperti leopard, hyena dan harimau (Rao et al., 1995). Selain itu pada pengamatan terhadap gajah di Asia yang terinfeksi Surra teramati adanya demam, anemia, anoreksia, oedema di daerah muka, belalai, leher, bawah abdomen, gerakan yang lamban, mengantuk pada gajah di Myanmar (Stephen, 1986). Sedangkan di Thaildan, gajah-gajah yang terinfeksi menunjukkan adanya infeksi yang moderat.

Pada rusa, gejala yang diamati bervariasi seperti adanya gejala-gejala fatal dan akut pada antelope, rusa totol dan rusa timorensis dengan menunjukan adanya anemia, kehilangan berat badan dan abortus. Pada rusa sambar nampak adanya demam akut, kehilangan berat badan secara cepat, emasiasi dan anemia. Kondisi ini dapat berakibat pada kematian (Gill, 1977). Pada penangkaran rusa di Cina selatan kematian dapat mencapai 20%. Sementara itu di Thaildan, pada Hog deer

(78)

Gambar

Gambar 5. Bagan klasifikasi Trypanosoma evansi
Gambar 6. Morfologi Trypanosoma evansi (Schmidt dan Roberts, 2009)
Gambar 15. Keragaman lalat Tabanus sp.
Gambar   20. Bengkak di bawah perut, skrotum dan kaki
+7

Referensi

Dokumen terkait