• Tidak ada hasil yang ditemukan

trypanosomiasis sebagai akibat gigitan insekta penggigit. Ini me rupakan metode penularan yang sangat penting pada

Trypanosoma evansi yang sering terjadi pada ternak besar seperti sapi, kerbau, kuda, unta dan satwa liar seperti rusa. Penularan secara mekanik pada prinsipnya merupakan

penularan yang non spesifik yang dapat terjadi karena gigitan

insekta seperti lalat yang menghisap darah pada hospes yang terinfeksi Trypanosoma evansi. Proses ini tidak terjadi secara terus menerus melainkan dapat diselingi dengan istirahat, khususnya terjadi akibat gangguan gerakan hospes yang

Bab VI

Penularan

merasa kurang nyaman akibat kehadiran lalat. Setelah itu, lalat yang telah menghisap darah akan terbang ke lokasi yang lain pada hospes yang sama atau hospes yang lain, ataupun ke lokasi sekitar kdanang menunggu saat yang aman untuk menghisap darah hospes kembali. Pada saat lalat menghisap darah hospes, bagian anterior dari lalat berisi sejumlah darah berkisar antara 1 ­ 12 ml pada lalat tabanidae dan 0,03 ml pada lalat Stomoxys. Sisa dari darah yang belum diinfeksikan ke hospes tersebut dimasukkan ke hospes yang lain pada gigitan berikutnya. Suatu model matematis telah dikembangkan oleh Desquesnes et al., (2009) dengan mengamati beban lalat

Tabanidae yang menghisap darah sapi. Sebanyak 20 ­ 30

ekor lalat menghisap darah sapi akan signifikan infeksinya

bila tingkat parasitemia berada di atas 106 Trypanosoma/ml. Namun pada unta diperlukan 108 trypanosoma/ml. Temuan ini sangat berarti khususnya jika ingin meneliti lebih jauh tingkat penyebaran Trypanosoma dengan dikaitkan lalat penggigit seperti Tabanus sp., Stomoxys sp., Haematobia sp. dan

Hippobosca sp..

Dalam tubuh lalat penggigit, trypanosoma pada umumnya tidak bertahan lama. Pada Trypanosoma vivax

misalnya hanya ber tahan hingga 30 menit pada lalat Tabanus, sementara pada lalat Stomoxys lebih singkat lagi (Ferenc et al.,

1988). Mekanisme penularan ini diperkirakan dapat terjadi secara efektif dalam waktu yang singkat dengan jeda waktu kurang dari 30 menit. Penularan yang cepat hanya terjadi pada kelompok ternak yang sama. Penularan yang cepat pada kejadian Trypanosomiasis dapat terjadi dari jaringan insekta melalui proses regurgitasi pada proses pengambilan darah oleh insekta. Proses penundaan infeksi ke ternak dapat terjadi misalnya pada Trypanosoma vivax yang dapat bertahan hingga 5 ­ 7 jam dalam tubuh lalat Tabanus. Selama waktu tersebut Trypanosoma dapat hidup dalam tubuh lalat. Mekanisme penularan secara mekanik pada Trypanosoma evansi merupakan hal yang sering terjadi pada lalat tabanus dan Stomoxys. Meskipun demikian pada unta dan kuda,

lalat Hippobosca sp berperan penting. Bentuk penularan yang lain selain mekanik menurut Desquesnes et al. (2013) masih dimungkinkan yaitu:

Kontaminasi Luka

Kontaminasi luka melalui vektor adalah adanya kontaminasi karena luka, penularan iatrogenik yang disebabkan oleh kontaminasi alat-alat bedah yang tidak steril atau alat-alat suntik selama proses vaksinasi yang kurang steril. Proses ini dapat menularkan Trypanosoma pada ternak atau hewan yang lain.

Transplasental

Penularan secara transplasental telah dilaporkan pada kejadian Trypanosoma equiperdum dan T. brucei. Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui plasenta induk. Pada induk yang terinfeksi Trypanosoma dijumpai adanya Trypanosoma pada fetus yang dilahirkan. Meskipun bentuk penularan secara vertikal ini kurang menimbulkan dampak dalam Trypanosomiasis, namun pada suatu daerah yang terkena wabah Trypanosomiasis perlu diperhitungkan mengingat kemungkinan peranan hospes sebagai karier atau reservoir. Multiplikasi parasit pada kejadian ini dapat terjadi sebagai akibat adanya cekaman dalam waktu yang lama pada masa subklinis.

Per oral

Bentuk penularan per oral dapat terjadi apabila

Trypanosoma yang tertelan pada hewan atau ternak yang mengalami luka pada mukosa rongga hewan ternak yang menderita Trypanosomiasis. Pada beberapa kejadian Trypanosomiasis pada anjing dan kucing yang hidup di sekitar abatoir yang menyembelih hewan ternak yang menderita Trypanosomiasis kemudian dagingnya dimakan oleh anjing atau kucing tersebut. Pada bentuk ini anjing pemburu atau karnivora liar dapat terinfeksi karena makan daging hewan

yang terinfeksi. Namun demikian Trypanosoma tersebut pada kenyataannya tidak mudah hidup dalam saluran pencernaan hewan tersebut karena adanya pH yang kurang sesuai untuk kelangsungan hidup Trypanosoma.

Vektor biologis

Bentuk penularan yang lain adalah melalui vektor biologi seperti kelelawar seperti yang pernah terjadi di Amerika Latin. Hal ini dapat terjadi setelah kelelawar tersebut menghisap darah kuda atau sapi. Sebagai hospes, kelelawar yang terinfeksi Trypanosoma dapat menderita dengan gejala- gejala klinis dan mati setelah 1 bulan. Namun demikian pada kasus kelelawar yang menderita Trypanosomiasis, parasit dapat eksis dan berkembangbiak dalam darah dan kemudian secara kronis ditemukan pada saliva. Pada kasus ini,

Trypanosoma yang berada di saliva rongga mulut siap untuk ditularkan ke ternak atau hewan melalui gigitan kelelawar tersebut. Jenis kelelawar Desmodus rotundus diketahui dapat berperan sebagai hospes, hospes reservoir dan vektor biologis dari Trypanosoma evansi.

Dari berbagai penularan yang mungkin terjadi pada suatu kejadian trypanosomiasis, masing-masing memiliki

peran yang spesifik tergantung pada hospes dan siklus

epidemiologis. Mi salnya pada kejadian penularan melalui gigitan insekta sangat penting pada ternak dan hewan besar, penularan melalui kelelawar memiliki peran penting pada kejadian trypanosomiasis pada kuda dan sapi di Amerika latin. Sementara itu penularan secara per oral dominan pada kelelawar dan rodensia.

Perkembangbiakan

Trypanosoma memperbanyak diri dengan cara binary

longitudinal fission. Awalnya kinetoplast membelah diri, kemudian diikuti oleh pembelahan inti. Bagian tubuh yang

membentuk flagela dan membrana undulan yang baru.

Kemudian sitoplasma juga akan membelah diri dari ujung anterior secara longitudinal. Protozoa ini hidup dalam darah dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Secara umum telah diketahui bahwa T. evansi ditularkan oleh lalat Tabanus, namun di dalam lalat tersebut tidak terjadi perkembangan trypanosoma. Pada penularan secara mekanik ini, daya tahan trypanosoma

dalam tubuh arthropoda di bagian proboscis tidak terlalu lama kira-kira hanya 10 ­ 15 menit. Penularan terjadi secara langsung dimana saat artropoda menghisap darah penderita yang mengdanung Trypanosoma, kurang dari (10 ­ 15 menit) menghisap darah hewan lainnya, sehingga trypanosoma yang terdapat didalam proboscis pada saat menghisap darah akan terlepas mengikuti aliran darah dan terjadilah penularan.

Gambar 16. Siklus hidup Trypanosoma sp.

Penularan secara biologi dapat terjadi saat trypanosoma

yang terhisap oleh arthropoda penghisap darah. Dalam tubuh artropoda mungkin hanya akan terjadi pendewasaan, perbanyakan atau penggdanaan dan perkembangbiakan.

Secara mekanik Trypanosoma hampir semuanya ditularkan oleh lalat penghisap darah seperti Tabanus, Chrysops, Stomoxys, Haematopota, Lyperosia, Haematobia, selain itu terdapat arthropoda lain seperti nyamuk (AnopHeles), lalat (Musca), pinjal, kutu dan caplak yang mungkin dapat sebagai vektor. Secara mekanik murni (Trypanosoma sp.) tidak mengalami perkembangan di dalam tubuh lalat dan tidak tahan hidup lebih dari 10 ­ 15 menit di dalam proboscis vektor. Pada saat

outbreak, diketahui populasi lalat Tabanus juga meningkat.

Tabanus sp. diketahui sebagai pengumpul darah, dengan cara memotong kulit, lalat tersebut menusukan alat mulutnya ke dalam kulit, menghisap darah dan menularkan trypanosoma

ke ternak yang lain.

Setelah terbentuk Trypanosoma metasiklik, ada 2 tipe cara pembentukan dan penularannya antara lain:

1. Salivaria. Perkembangan Trypanosoma dimulai

dari mid-gut, kemudian berlangsung di daerah proventrikulus untuk selanjutnya ke kelenjar ludah. Penularan ke vertebrata terjadi melalui gigitan untuk (T. gambiense, T. rhodesiense dan T. brucei), T. vivax, T. uniforme, T. congolense, T. dimorpHon, T. simiae, T. suis.

2. Stercoraria. Perkembangan trypanosoma terjadi

awalnya di usus, kemudian akan mencapai hind- gut yang terletak di bagian belakang tubuh. Penularan dapat terjadi melalui mulut, dengan ikut termakannya tinja serangga (T. lewisi) atau luka gigitan serangga yang tercemar dengan tinja serangga penular pada (Trypanosoma cruzi).

Penularan Trypanosoma evansi ke hewan-hewan piaraan di Indonesia hingga saat belum banyak dilaporkan. Kebanyakan kegiatan surveilance dilakukan oleh Instansi Pemerintah di indonesia seperti Balai Veteriner, Dinas Peternakan, Karantina Hewan, Balai Penelitian Veteriner atau Perguruan-perguruan Tinggi dengan mengambil sampel

pada hewan ternak sapi, kerbau dan kuda. Pemeriksaan pada hewan piara seperti kambing, domba, babi, anjing, kucing, kelinci, marmut dan hewan-hewan liar seperti tikus rumah, tikus sawah, babi hutan, kera, rusa, kijang, kancil, luwak, banteng dan sebagainya. Dengan demikian masih sangat sulit mengungkap peran hewan piara dan liar sebagai hospes reservoir bagi Trypanosoma evansi di Indonesia. Beberapa

hewan liar yang pernah teridentifikasi secara alami T. evansi

di Indonesia misalnya tapir (Tapirus indicus), rusa tutul (Axis axis), orangutan (Pongo pygmaeus), rusa jawa (Cervus timorensis), kucing emas (Felis temminchi) dan harimau jawa (Adiwinata, 1957).

Surra merupakan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi

Trypanosoma evansi melalui gigitan vektor. Hewan yang terinfeksi Surra dapat menunjukkan berbagai macam gejala klinis mulai dari subklinis, abortus, kematian dengan atau tanpa gejala vaskuler, syaraf atau genital. Gejala-gejala yang muncul akibat infeksi trypanosoma ini bervariasi kebanyakan bersifat letal pada kuda, akut atau kronis pada unta, berbagai macam variasi pada kerbau, akut pada anjing dan infeksi ringan pada babi, domba dan kambing. Epidemiologi dari Trypanosoma evansi ini tergantung pada karakteristik patogenitas pada masing-masing hospes, reservoir dan vektor serta lingkungannya. Infeksi penyakit Surra dikaitkan dengan keberadaan vektor lalat tabanus yang ternyata dapat terjadi sepanjang tahun. Penyakit Surra diketahui mortalitasnya rendah, namun morbiditasnya sangat tinggi. Penyakit ini telah menyebar di seluruh Indonesia, hanya mungkin di Papua belum banyak dilaporkan. Wabah Surra yang paling besar dan menimbulkan banyak kematian pada sapi dan kerbau telah terjadi pada tahun 1968 ­ 1969 pada saat penyakit tersebut menyerang Jawa Tengah (Adiwinata dan Dahlan, 1969; Dieleman, 1983). Pada tahun 1988, wabah terjadi di Pulau Madura. Melalui pemeriksaan MHCT diketahui T. evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa, dan 50% positif dari 147 ekor kerbau yang diperiksa (Payne et al.,

Bab VII

Dokumen terkait