dibagi 2 kategori, yaitu :
1. Obat yang digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi Trypanosoma evansi yang biasanya digunakan dalam waktu yang singkat. Obat-obatan ini dapat membunuh parasit namun tidak dapat mengeliminasi 100% Trypanosoma,
2. Obat yang digunakan untuk pengobatan dan
sekaligus pencegahan atau disebut kemoprofilaksis.
Obat-obatan ini tidak hanya membunuh parasit namun mencegah terjadinya infeksi baru atau reinfeksi adanya sirkulasi baru parasit. Hal ini mengingat adanya daya kerja dosis kuratif yang masih aktif dalam serum (Desquesnes et al., 2013).
Pengobatan dilakukan dengan 2 sasaran yaitu pengobatan pada hewan dan kontrol vektor. Pengobatan pada hewan menggunakan trypanosidal.
Trypanosidal dibedakan menjadi 2 yaitu curative drugs dan
preventive/curative drugs .Curative drugs mampu membunuh
trypanosoma sedangkan preventive /curative drugs mampu membunuh trypanosoma dan mencegah terjadinya infeksi baru karena mampu bertahan lama pada level terapeutik di dalam darah. Diminazene acetutare dan melarsomine merupakan
curative drugs sedangkan suramin, isometamidium kloride, dan quinapyrine termasuk preventive/curative drugs (Dia dan Desquesnes, 2004; Desquesnes et al., 2013a).
Pengobatan surra sampai masih bertumpu pada lima kelompok obat yang digunakan sejak tahun 1920 sampai sekarang. Obat-obat tersebut adalah suramin, isometamidium, diminazene, quinapyramine dan melarsomine (Subekti, 2014).
Tabel. 15. Metode diagnosis trypanosomiasis (OIE, 2013). Metode/ Tujuan Konfirmasi & identifi kasi kasus terduga Populasi bebas dari infeksi Efisiensi kebijakan eradikasi Konfirmasi kasus klinis Prevalensi infeksi- surveilans Kepentingan +++ - - ++ + ++ - - ++ + - - - + + murah HCT +++ +++ +++ +++ +++
Infeksi aktif & evaluasi hematokrit
BCT +++ - + +++ ++
Infeksi aktif & evaluasi hematokrit MAECT +++ - +++ - - Studi populasi kecil Isolasi/produ ksi Sensitivitas parasit In vitro - - - Produksi parasit
IFAT +++ ++ - - ++ Studi skala kecil ELISA +++ +++ +++ - +++ Studi populasi Diagnosis serologis IM +++ + +++ - - Identifikasi molekuler Deteksi infeksi aktif
WBF Cepat, infeksi buatan Apus darah tebal Propagasi parasit PCR +++ +++ +++ +++ +++ Jenis daerah
Daerah tertular Daerah endemis
Identifikasi agen Apus
darah tipis Morfologi parasit
Suramin. Suramin merupakan senyawa polisulfonat naftalen. mekanisme kerja suramin adalah dengan cara menginaktivasi beberapa enzim seperti tripsin, heksokinase, karboksilase, suksinat dehidrogenase dan kolin dehidrogenase
(Lopez-Lopez et al., 1994). Heksokinase merupakan enzim yang akan mengkonversi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat
dalam proses glikolisis. Glikolisis merupakan satu-satunya proses yang menjadi sumber energi untuk kehidupan parasit. Mekanisme kerja lainnya yang dilaporkan adalah suramin akan mengalami akumulasi pada lisosom, sehingga akan menyebabkan kerusakan lisosom (Seebeck dan Mäser, 2009). Kerusakan lisosom tersebut diperkirakan dapat menyebabkan kematian sel, yaitu Trypanosoma sp. tersebut akan mengalami
auto digesti oleh enzim protease yang terlepas dari lisosom yang rusak. Suramin juga telah dilaporkan menyebabkan hambatan pada enzim DNA dan RNA polimerase, DNA Topoisomerase II, reverse transcriptase, terminal deoxynucleotidyl transferase (Jindal et al., 1990; Bojanowski et al., 1992; Lopez- Lopez et al., 1994; Grdanison, 2001). Hambatan pada enzim- enzim tersebut akan mengakibatkan kegagalan replikasi DNA yang berujung pada kegagalan dalam proliferasi dari parasit (Subekti, 2014). Suramin direkomendasikan untuk terapi surra yang disebabkan oleh T. evansi dan T. b. rhodesiense, tetapi tidak direkomendasi untuk T. b. gambiense karena tidak efektif (Wilkinson & Kelly 2009; Gutiérrez et al. 2013). Dosis terapi untuk suramin pada umumnya adalah 5 10 mg kg secara intravena (Payne et al., 1994; Seri et al., 2002). Resistensi
T. evansi terhadap suramin dengan dosis 10 mg kg telah dilaporkan (Payne et al., 1994). Laporan ini berbeda dengan pernyataan Martindah dan Husein (2006) yang menyatakan hanya suramin efektif untuk pengendalian Surra di Indonesia karena tidak menimbulkan resistensi.
Diminazene. Diminazene adalah derivat diamine. Diamidine
merupakan molekul dikationik (diamidin aromatik) yang secara struktural terdiri atas dua gugus kationik fungsional yang dipisahkan oleh spacer region (Gillingwater, 2007). Diminazene
seringkali digunakan pada ruminansia, tetapi penggunaannya pada kuda dan anjing sangat terbatas karena rendahnya toleransi kedua spesies tersebut pada diminazene (Desquesnes
et al., 2013a). Diminazene dilaporkan memiliki rata-rata waktu paruh sekitar 5,94 hari (2,63 9,25 hari) pada sapi, 22 jam (14 30 jam) pada kambing dan 9,3 jam pada domba. Diminazene
terikat pada protein plasma setelah pemberian secara intramuskular. Diminazene terikat protein plasma sekitar 60 90% pada kambing, pada domba sekitar 65 85%, sedangkan pada sapi sebesar 38,01 91,1% (Miller, 2003). Diminazene
diserap oleh Trypanosoma melalui sistem transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter system, P2) yang memiliki fungsi untuk menyerap nukleosida inang (Delespaux, 2005; Gillingwater et al., 2009; Ldanfear, 2011). Hal ini disebabkan karena semua protozoa parasitik tidak memiliki kemampuan mensintesis nukleosida sendiri (Ldanfear, 2011). Diminazene
dapat bertindak sebagai inhibitor kompetitif bagi penyerapan nukleosida oleh Trypanosoma. Diminazene juga diketahui bekerja sebagai interkalator pada DNA kinetoplastida (kDNA) seperti isometamidium. Diminazene memiliki afinitas
yang kuat pada pasangan basa A-T (adenine-timin) sehingga lebih aktif berikatan pada runutan DNA yang kaya pasangan basa A-T khusunya di wilayah cekungan minor (minor groove) dari DNA dan diikuti dengan penghambatan sejumlah enzim seperti topoisomerase dan nuklease (Gillingwater, 2007; Kuriakose et al., 2012; Gutiérrez et al., 2013). Diminazene
dapat digunakan untuk T. b. brucei, T. congolense, T. vivax dan
T. evansi (Gutiérrez et al., 2013). Trypanosomiasis oleh T. b. brucei, T. congolense dan T. vivax dapat diobati dengan dosis 3,5 7 mg/kg secara intramuskular. Adapun pada Surra yang disebabkan oleh T. evansi, dosis terapinya adalah 7 mg/ kg secara intramuskular (Desquesnes et al,. 2013a; Gutiérrez
et al., 2013). Anjing yang terinfeksi T. b. brucei walaupun diterapi dengan dosis 7 mg/kg-1 dilaporkan tetap terjadi
relaps (Gutiérrez et al., 2013). Kucing yang terinfeksi T. evansi, pemberian diminazene dengan dosis 3,5 mg/kg selama lima hari berturut-turut hanya memberikan kesembuhan sebesar 85,7% (Gutiérrez et al., 2013).
Isometamidium. Ethidium merupakan derivat dari fenantridin yang digunakan sebagai trypanosidal. Sintesis isometamidium berasal dari penggabungan 3 aminobenzene formamidine dari diminazene dengan ethidium (Wainwright
2010). Mekanisme kerja pada isometamidumserupa dengan diminazene, karena adanya persamaan struktur
3 aminobenzene formamidine (Subekti, 2014). Pengubahan struktur tersebut menyebabkan isometamidium tidak lagi bekerja sebagai interkalator klasik sebagaimana ethidium, tetapi lebih terikat pada cekungan minor (minor groove) DNA sebagaimana ditemukan pada diminazene. Isometamidium lebih terkonsentrasi pada kinetoplastida (Delespaux 2005). Isometamidium terikat dengan protein plasma sebesar 86,71 93,03% (Sinha et al., 2013). Isometamidium di metabolisme di dalam hati dan sulit diabsorbsi di pencernaan (Boibessot et al., 2006). Isometamidium umumnya digunakan untuk pengobatan surra yang disebabkan T. evansi dengan dosis terapi 0,5 1 mg/kg secara intramuskular pada unta, ruminansia dan kuda (Desquesnes et al., 2013a; Gutiérrez et al., 2013). Dosis yang sama digunakan untuk penyakit nagana yang disebabkan
T. b. brucei, T. congolense dan T. vivax (Gutiérrez et al., 2013). Waktu paruh dari isometamidium paling lama sekitar 298 hari (Wesongah et al., 2004), namun bahan obat tersebut tetap beredar dalam sirkulasi darah mencapai 4 5 bulan pasca injeksi (Desquesnes et al., 2013a). Sapi yang menunjukkan parasitemia tinggi dilakukan 2 kali pengobatan, pengobatan pertama menggunakan isometamidium maupun diminazene
diberikan setengah dosis diikuti satu dosis penuh lima hari kemudian. Kuda memiliki toleransi yang rendah pada pengobatan yang menggunakan isometamidium dan diminazene, sehingga aplikasinya direkomendasikan agar dosis terbagi dalam waktu lima jam (Desquesnes et al. 2013a).
Quinapirine. Quinapyramine merupakan golongan
quinoline pyrimidine yang digunakan sebagai trypanosidal (Gillingwater, 2007). Quinapyramine methylsulpHate digunakan sebagai trypanosidal untuk tujuan kuratif sedangkan kombinasi quinapyramine methylsulpHate dan quinapyramin chloride (3:2) diaplikasikan untuk tujuan profilaksis dalam kisaran 4 6 bulan pasca pemberian subkutan (Röttcher
menyelimuti permukaan Trypanosoma dengan bertindak seperti deterjen kationik karena adanya muatan positif pada strukturnya. Hal tersebut akan menghambat aktivitas berbagai protein atau enzim di permukaan Trypanosoma
sehingga menyebabkan terjadinya “starving out” pada parasit (Ormerod, 1951). Menurut Gillingwater (2007) mekanisme kerja quinapyramine kemungkinan terjadi secara tidak langsung dengan menghambat sintesis protein melalui pemindahan ion- ion magnesium dan poliamine dari ribosom. Quinapyramine
juga diserap oleh parasit melalui sistem transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter system, P2) sebagaimana halnya diminazene dan melarsomine. Sistem transporter untuk nukleosida (P2) tersebut berfungsi untuk menyerap nukleosida inang, apabila fungsi sistem transporter untuk nukleosida (P2) terganggu, maka aliran masuk (uptake) dari nukleosida inang ke dalam tubuh parasit juga akan terganggu, sehingga
fisiologi Trypanosoma akan mengalami gangguan (Gutiérrez et
al., 2013; Subekti, 2014). Quinapyramine umumnya digunakan untuk pengobatan trypanosomiasis yang disebabkan oleh T .b. brucei, T. congolense, T. vivax dan T. evansi pada dosis 3 5 mg/kg-1 secara subkutan, pada kuda dan unta, dosis terapi untuk quinapyramine dapat ditingkatkan hingga mencapai 8 mg/kg-1. Penggunaan quinapyramine harus dilakukan dengan hati-hati karena Trypanosoma sp. yang resisten terhadap quinapyramine juga resisten terhadap diminazene dan
isometamidium (Gutiérrez et al., 2013; Desquesnes et al., 2013a). Melarsomine. Ilmuwan Swiss yaitu Ernest Friedheim dilaporkan telah mensintesis melarsen, dan derivatnya yaitu
melarsen oxide yang lebih kuat efek trypanosidalnya tetapi juga lebih toksik (Steverding, 2010). Friedheim selanjutnya menggabungkan antara melarsen oxide dengan dimercaprol
(BAL, British Anti Lewisite) sehingga diperoleh melarsoprol
(Seebeck dan Mäser, 2009; Steverding 2010). Efek sitotoksik
melarsoprol jika dibdaningkan dengan melarsen oxide diketahui 100 kali lebih rendah sedangkan efek trypanosidalnya hanya 2,5 kali lebih rendah. Melarsoprol digunakan sebagai trypanosidal
untuk trypanosomiasis pada manusia sekitar tahun 1949 (Steverding, 2010). Friedheim kemudian mengembangkan
melarsomine yang merupakan trypanosidal terbaru (Syakalima
et al., 1995). Melarsomine disintesis dengan mengkonjugasikan
melarsen oxide dengan dua cystamine (Berger dan Fairlamb, 1994; Youssif et al. 2007) Mekanisme kerja melarsomine
belum dapat dijelaskan secara pasti. Melarsomine dilaporkan diserap oleh Trypanosoma melalui sistem transporter untuk nukleosida (nucleoside transporter system, P2) yang memiliki fungsi untuk menyerap nukleosida inang (Gutiérrez et al., 2013). Oleh karena sifatnya sebagai inhibitor kompetitif maka penyerapan nukleosida oleh Trypanosoma akan terhambat, adanya hambatan transpor nukleosida seperti adenosine dan
adenine akan mengganggu metabolisme Trypanosoma tersebut untuk berkembang biak (Wilkinson dan Kelly, 2009). Enzim 6PGDH (6-pHospHogluconate dehydrogenase) pada Trypanosoma
dilaporkan dihambat aktivitasnya oleh sejumlah trypanosidal seperti melarsomine, melarsoprol dan suramin (Hanau et al., 1996; Barrett dan Gilbert, 2002). Enzim 6PGDH penting bagi
Trypanosoma diduga berkaitan dengan substrat enzim tersebut yaitu 6PG yang merupakan penghambat utama enzim glikolitik phosphoglucose isomerase. Apabila enzim 6GPDH dihambat oleh trypanosidal seperti melarsomine, maka akan terjadi penimbunan 6PG di dalam Trypanosoma sp. yang akan memicu hambatan isomerase. Konsekuensi penimbunan 6PG akan menyebabkan lebih banyak glukosa 6-fosfat yang dipaksa masuk ke dalam pentose pHospHate pathway
(PPP) daripada ke jalur glikolisis, dan hal ini menyebabkan peningkatan lebih lanjut kdanungan seluler 6PG. Hal tersebut akan semakin menghambat proses isomerase yang mengarah pada pembentukan umpan balik positif yang fatal, karena
Trypanosoma sp. sepenuhnya bergantung pada proses glikolisis untuk produksi energinya (Barrett dan Gilbert, 2002). Proses glikolisis pada Trypanosoma sp. 50 kali lebih besar dibdaningkan dengan sel normal pada mamalia. Trypanosoma sp. bereplikasi setiap 6 8 jam, sedangkan sel mamalia pada umumnya hanya
berproliferasi setiap 24 jam (Bernard dan Herzel, 2006; Khan, 2007). Gangguan pada glikolisis akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup Trypanosoma sp. (Barrett dan Gilbert, 2002; Khan, 2007). Melarsomine juga berikatan sangat kuat dengan thiol intraseluler, terutama trypanothione reductase yang berperan penting dalam keseimbangan redoks di dalam tubuh Trypanosoma sp. (Gillingwater, 2007). Mekanisme aksi dari melarsomine yang mengakibatkan lisis dari parasit merupakan mekanisme gabungan dari berbagai mekanisme aksi yang belum dapat ditetapkan secara pasti sebagaimana juga terjadi pada suramin (Seebeck dan Mäser, 2009). Senyawa arsenik juga diduga dapat berikatan dengan fosfor, mengganggu proses perbaikan DNA dengan menghambat enzim ligase, mengganggu metilasi DNA serta meningkatkan radikal oksigen (reactive oxygen species, ROS) (Hughes et al., 2011). Melarsomine direkomendasikan untuk pengobatan Surra yang disebabkan oleh T. evansi dan T.b. brucei (Desquesnes et al. 2013a; Gutiérrez et al. 2013). Dosis terapi untuk melarsomine
adalah 0,25 mg/kg untuk kuda dan unta secara intramuskular, untuk ruminansia dan babi dosisnya 0,5 0,75 mg/kg secara intramuskular (Gutiérrez et al., 2013). Menurut Desquesnes et al. (2013) dosis untuk unta adalah 0,25 mg/kg, untuk kuda sebesar 0,25 0,5 mg/kg, untuk sapi adalah 0,5 mg/kg dan untuk kerbau adalah 0,75 mg/kg.
Usaha pengendalian penyakit terutama tergantung pada kemoterapi, namun ini juga dihadapkan pada berbagai kendala. Masalah utama adalah mahalnya harga obat, kesulitan dalam diagnosa, ketersediaan beberapa obat yang baik dan berkembangnya resistensi obat. Obat yang ada untuk mengatasi trypanosomiasis sebagai contoh adalah
diminazen aceturat (Berenil) quinapyramine sulphate dan
chloride (Triquin, Antrycide Prosalt) dan Quinapyramine sulphate
(Triquin-S dan Antrycide) untuk pengobatan dan pencegahan
trypanosmiasis pada hewan. Diminazena dipertimbangkan
sebagai obat yang efektif untuk mengobati Trypanosomiasis
cymelarsan sulit didapat di pasaran. Studi komparasi terhadap efikasi diminazene, suramin dan quinapyramine terhadap T. evansi juga telah dilakukan pada tikus-tikus yang diujicoba.
Setelah pemberian berenil (diminazene aceturate) @ 5 mg/kg
berat badan, penurunan jumlah trypanosoma secara progresif
terjadi dengan pemeriksaan darah apus trypanosoma tidak
terlihat setelah pemberian 8 jam. Suramin dan Quinapyramine
dapat menurunkan jumlah trypanosomiasis setelah 4 8 jam
pemberian dan 2 3 hari estelah kejadian trypanosoma hilang
dari peredaran. Efikasi pemberian Suramin, Quinapyramine,
diminazene dan isometamedim telah dievaluasi pada kerbau
yang terinfeksi Trypanosoma. Evaluasi perbdaningan telah
dilakukan terhadap 4 macam obat tersebut, Quinapyramine dan
Isometamedim merupakan agen terapeutik yang baik, Namun
untuk profilaksis Quinapyramine terbukti lebih baik daripada
Isometamedim. Pemberian Quinapyramin untuk pengobatan
surra pada kuda dapat diberikan dengan dosis tunggal secara subkutan sebanyak 5 mg/kg bb. Dosis 3 mg/kg bb diberikan pada sapi efektif untuk pengobatan. Pemberian Suramin dosis 4 g intra vena bb efektif.
Obat yang ada untuk mengatasi trypanosomiasis
(Tabel 16) sebagai contoh adalah diminazen aceturat (Berenil)
quinapyramine sulphate dan chloride (Triquin, Antrycide
Prosalt) dan Quinapyramine sulphate (Triquin-S dan Antrycide)
untuk pengobatan dan pencegahan trypanosmiasis pada
hewan. Diminazena dipertimbangkan sebagai obat yang
efektif untuk mengobati Trypanosomiasis pada kerbau.,
sejak suramin, tribazene hydrochloride dan cymelarsan sulit
didapat di pasaran. Studi komparasi terhadap efikasi diminazene, suramin dan quinapyramine terhadap T. evansi juga telah dilakukan pada tikus-tikus yang diujicoba. Setelah pemberian berenil (diminazene aceturate) @ 5 mg/kg berat
badan, penurunan jumlah trypanosoma secara progresif
terjadi dengan pemeriksaan darah apus tripanosoma tidak
terlihat estela pemberian 8 jam. Suramin dan Quinapyramine
pemberian, dan 2 3 hari estelah kejadian trypanosoma hilang dari peredaran. Efikasi pemberian Suramin, Quinapyramine,
diminazene dan isometamedim telah dievaluasi pada kerbau
yang terinfeksi Trypanosoma. Evaluasi perbdaningan telah
dilakukan terhadap 4 macam obat tersebut, Quinapyramine
dan Isometamidium (Samorin, Trypamidium) merupakan agen
terapeutik yang baik, Namun untuk profilaksis Quinapyramine
terbukti lebih baik daripada Isometamidium (Trypamidium).
Tabel 16. Ikhtisar obat-obat untuk penyakit Surra Nama generik Nama
dagang Persentasi larutan Dosis Rute pembe- rian Keterangan Suramin Naganol 10 % 10 mg/kg (1 ml/10 kg) IV Digunakan untuk unta Diminazene aceturate Berenil, Tryponil 2,5 % 1 mg/kg (1 ml/25 kg)
IM Untruk kuda dan ruminansia kecil, Larut pada air panas Homidium Chloride Ethidium C, Novidium 10 % 5 mg/kg (1 ml/20 kg)
IM Larut pada air dingin Quinapyra- mine methyl sulphate Antrycide 10 % 5 mg/kg (1 ml/20 kg)
SC Untuk unta dan kuda Melcy Cymelarsan 0,5 % 0,25-0,5 mg/kg (1-2 ml/20 kg) IM atau SC Terdaftar untuk unta Isometamidi- um chloride Samorin, Trypamid- ium 1 – 2 % 0,25 – 0,5 mg/kg (1,25-25 ml/50 kg) dan (2,5 ml/50 kg) IM Untuk sapi, untuk kuratif dosis rendah, profilaksis dosis tinggi.
Pemberian Quinapyramin untuk pengobatan surra pada kuda dapat diberikan dengan dosis tunggal secara subkutan sebanyak 5 mg/kg bb. Untuk dosis penyembuhan pada kuda dapat diberikan diminazene aceturate 7 8 mg/kg bb intra muskular dengan diberikan cukup pakan dan minum pada kuda. Pada kasus relapse dapat diberikan Cymelarsan 0,5 mg/kg dan juga quinapyramine 8 mg/kg. Dosis kombinasi
Quinapyramine sulphate dan quinapyramine chloride dapat diberikan rasio 3:2 pada kuda untuk pencegahan Surra. Dosis 3 mg/kg bb diberikan pada sapi efektif untuk pengobatan. Pemberian Suramin dosis 4 gr/kg bb intra vena efektif. Pada saat ini diketahui banyak terjadi resistensi obat diminazene aceturate (Berenil, Veridium) di beberapa wilayah Mindanao, Filipina Selatan. Untuk itu diperlukan suatu pengujian terhadap resistensi obat-obatan Trypanosoma yang beredar di Indonesia.
Kajian mengenai resistensi obat telah dilakukan pada strain yang lain di Afrika terhadap Trypanosoma congolense yang di la kukan pada hewan percobaan (Geerts dan Holmes, 1999) menggantikan metode kultur in vitro yang dilakukan oleh Kaminsky (1990). Suatu metode standarisasi in vivo pengujian anti Trypanosoma sudah dilakukan pada hewan percobaan (Eisler et al., 2000). Namun demikian metode komparasi yang dilakukan pada hewan percobaan dengan hewan ruminansia besar dapat menghasilkan tingkat resistensi yang berbeda mengingat kondisi biologis dan patogentitas antara kedua inang tersebut berbeda. Hal ini mengingat inang tetap Trypanosoma evansi adalah ternak ruminansia besar, sementara untuk hewan pengerat seperti mencit dan tikus adalah Trypanosoma theileri. Meskipun demikian metode pengujian tingkat resistensi yang dilakukan pada ternak percobaan yang dibuat in vivo tentu akan menelan biaya yang besar, mengingat ternak sapi harus dipelihara dengan infeksi buatan oleh trypanosoma dan diikuti hingga minimal 100 hari untuk melihat gambaran darah, patologis, parasitologis dan klinis sapi setelah diinfeksi. Selain itu perlu kajian infeksi alami oleh gigitan vektor lalat penghisap darah seperti
Stomoxys dan Tabanus sp.
Dari hasil-hasil riset yang telah dicapai tersebut ternyata
masih ada kendala signifikan yaitu masalah kerugian yang
nyata akibat dari kematian ternak dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Pemberian obat Surra yang tidak
sesuai dengan aturan dapat memicu timbulnya resistensi
Trypanosoma. Resistensi terhadap obat anti-trypanosoma dapat
didefinisikan sebagai hilangnya sensitivitas obat tersebut
terhadap strain yang ditujukan sesuai dengan komposisi obat yang telah dirancang sebelumnya (FAO, 1998). Banyak kasus resistensi yang teramati pada kejadian ini di daerah yang disebabkan oleh:
1. Pemberian obat oleh personel di lapangan yang tidak memahami penyakit Surra;
2. Pemberian obat diberikan oleh personel yang tidak membaca dosis aturan yang dianjurkan; 3. Pemberian obat tidak sesuai dengan jarak antar
waktu yang direkomendasikan;
4. Penentuan berat badan dan umur ternak yang tidak tepat sehingga berpengaruh pada kurangnya dosis yang seharusnya;
5. Ternak telah mendapat pengobatan dengan dosis profilaksis namun tetap dipelihara pada lokasi wabah dalam waktu yang lama.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu ada penelitian resistensi obat terhadap penyakit Surra untuk mencegah meluasnya strain Trypanosoma yang resisten dan memberikan rekomendasi obat yang sesuai untuk daerah tertular
Trypanosoma.
Vaksin untuk pencegahan penyakit Surra belum diproduksi dan obat-obatan yang direkomendasikan untuk pengobatan penyakit Surra yaitu suramin, isometamidium klorida dan diminizena aceturate. Suramin diketahui paling efektif untuk mengobati trypanosomiasis akan tetapi sediaan ini tidak dijumpai di Indonesia (Partoutomo, 1996).
Pengamatan parasitemia terhadap infeksi Trypanosoma evansi pada mencit telah dilakukan dengan menggunakan
3 teknik. Pertama metode pemeriksaan natif menggunakan
dengan pengamatan menggunakan MHCT (Microhaematocrit centrifugation Technique) dan BCT (Buffy Coat Technique) menurut OIE (2012). Mencit dinyatakan sembuh apabila tes darah menggunakan natif, MCHT dan BCT tidak ditemukan parasit T. evansi sampai penelitian berakhir. Data yang diperoleh dari kelompok perlakuan adalah jumlah kematian dan jumlah mencit hidup dari masing-masing dosis uji, selanjutnya dilakukan penghitungan keberhasilan daya tripanosidal (%). Data dari kelompok kontrol adalah antigenitas parasit yaitu daya patogenitas parasit yang menyebabkan mencit tak mampu bertahan hidup. Hasil penelitian selama 60 hari menunjukan bahwa obat Diminazene aceturate mempunyai efektifitas yang berbeda terhadap
isolat T.evansi dari daerah Brebes dan Pemalang. Diminazene aceturate bekerja efektif pada isolat Pemalang dosis 3,5 dan 7 mg/kg BB dengan total kesembuhan 100% pada hewan coba, tetapi sama sekali tidak efektif pada dosis 1 mg/kg BB dengan total kematian 100%. Pada isolat Brebes hanya efektif pada dosis 7 mg/kb BB, sedangkan pada dosis 1 dan 3 mg/ kg BB terjadi kematian mencit sebesar 100% dan pada dosis 5 mg/kg BB terjadi kemantian mencit sebesar 20 %. Dosis yang paling tinggi 7 mg/kg BB bersifat kuratif untuk kedua isolate (Nurcahyo, et al., 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Macareg et.al (2013) dengan cara menginfeksi mencit dengan T.evansi isolat Pulau Luzon, Visayas dan Mindanao. Pada Isolat Luzon, obat
dimianzene aceturate efektif pada dosis 5 mg/kg BB (100% mencit sembuh) dan gagal sembuh pada dosis yang lebih rendah. Isolat Visayas membutuhkan dosis 10mg/kg BB untuk kesembuhan 100%, dimana dosis 1, 3, dan 5 mg/kg BB hanya menunjukkan kesembuhan sebesar 0%, 60% dan 80%. Sedangkan pada isolate Mindanao, dosis 3 mg/kg BB sudah bisa menyembuhkan 100% mencit yang terinfeksi, tetapi pada dosis 1 mg/kg BB prosentase kesembuhan hanya 20%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di T.evansi Philipina dari
trypanosidal. Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian yang menggunakan isolat dari Jawa Tengah, dimana Isolat Pemalang dosis 3, 5 dan 7 mg/kg BB menunjukkan kesembuhan 100%. T.evansi Isolat Brebes, obat dosis 7 mg/ kg BB menujukan kesembuhan 100%, sedangkan 5mg/kg BB kesembuhan 80%, dosis 1 dan 3 mg/kg BB kesembuhan yang dicapai sebesar 0%. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa isolat T. evansi dari daerah Jawa Tengah mempunyai
sensitifitas yang berbeda tergantung pada keragaman yang
dimiliki. Eisler et.al. (2001) menyatakan bahwa Trypanosidal dikatakan efektif apabila terbukti dapat menyembuhkan 80% hewan coba. Dosis DA pada isolate pertama (Brebes) mempengaruhi tingkat kehidupan mencit yang diberi perlakuan injeksi T.evansi (P< 0,05). Berbeda dengan isolate
2 (Pemalang) yang tidak menunjukkan hasil yang signifikan
(Nurcahyo et al., 2017).
Pengendalian trypanosomiasis di Indonesia menurut Dirkeswan (2014) yaitu: ternak yang menderita Surra atau tersangka sakit diisolasi sehingga terlindung dari lalat (dengan penutupan kdanang dan penggunaan insektisida); apabila penyakit Surra ditemukan lebih dalam satu halaman dari suatu kampung atau desa, maka ternak yang sakit atau tersangka sakit pada wilayah tersebut, harus diasingkan sejak fajar sampai matahari terbenam, kecuali jika pada ternak tersebut telah dilakukan tindakan pencegahan; pintu masuk halaman kampung atau desa yang terdapat ternak sakit atau tersangka sakit, harus dipasang papan yang menyatakan adanya penyakit hewan menular Surra, disertai dengan bahasa daerah setempat; ternak sebagaimana tersebut pada