• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4.7 Penampang melintang jalan

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil

5.2.2 Fisik, Objek Penelitian Terhadap Teori Kajian Spasial a. Kajian Spasial

5.2.2 Fisik, Objek Penelitian Terhadap Teori Kajian Spasial a. Kajian Spasial

Kevin Lynch (1987), menyatakan dalam teorinya mengenai spatial rights, yaitu suatu pemahaman mengenai kebebasan sekaligus pengendalian dalam penggunaan ruang publik.

Aspek kebebasan dalam menggunakan ruang publik (The right of presence) adalah hak untuk berada di ruang publik manapun, dengan atau tanpa

tujuan apapun, dengan kesadaran bahwa kita tidak bisa dilarang siapapun untuk berada di ruang publik tersebut. Ruang publik harus dapat digunakan secara leluasa dan aman oleh pemakainya. Dengan demikian harus mempunyai aksesibilitas yang baik Aspek ini tidak terlepas dari aksesibilitas ruang publik, mengingat kawasan penelitian adalah jalan inner ring road Kota Medan. Adanya kemudahan aksesibilitas menyebabkan seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan aktivitas didalamnya. Pasar sebagai generator aktivitas membuat pedagang kaki lima berbondong membuka daerah teritori di dalamnya, sehingga batas antara ruang publik dan lokasi kegiatan pasar tidak jelas lagi daerahnya.

The right of use and action adalah hak menggunakan ruang publik secara

bebas tanpa perlu memikirkan apakah tempat tersebut adalah tempat yang tepat untuk kegiatan tersebut, selama kegiatan tersebut tidak mengganggu pengguna atau kelompok pengguna lainnya. Kadang-kadang hak ini digunakan pedagang kaki lima dalam melakukan kegiatannya berdagang di ruang publik dan mengancam bagi kebebasan kelompok lainnya.

Sumber: Hasil analisa penelitian, 2009

Gambar 5.19 Batas ruang publik dan daerah teritori PKL tidak jelas

Badan jalan Badan jalan Median jalan Trotoar Trotoar Bahu jalan Bahu jalan Ruko Ruko

Gambar 5.20 Penampang melintang jalan dan Penyebaran Pedagang Kaki Lima

Legenda :

- Pedagang kaki Lima - Pedagang ruko

Legenda : ● Pedagang sayuran ● Pedagang cabai dll ● Pedagang buah ● Pedagang kelapa ● Pedagang ikan ● Pedagang telor ● Pedagang CD ● Pedagang emas

Appropriation, berkaitan dengan hak untuk membuat teritori di ruang

publik dan kemudian menguasai tempat tersebut. Jika dikaitkan dengan pedagang kaki lima di ruang publik, maka batas yang dibuat merupakan kebutuhan tempat untuk kegiatan berdagang yang berhubungan langsung dengan pembelinya, walaupun bisa mengancam bagi yang lain. Disinilah dibutuhkan spatial control bagi mereka yang ingin menguasai ruang publik. Daerah teritori pedagang kaki lima merupakan cerminan terhadap kebutuhan akan tempat untuk kegiatan berdagang yang berhubungan langsung dengan pembelinya. Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, alasan pedagang kaki lima menggunakan ruang publik (Gambar 5.5) sebagai sarana berdagang karena banyaknya pembeli (95 responden). Inilah yang menjadi dasar mengapa jumlah pedagang kaki lima terus bertambah dan penggunaan ruang publik menjadi tak terkontrol.

The right of modification, dimana seorang pengguna berhak melakukan

perubahan terhadap ruang publik sesuai dengan keputusannya, tetapi dengan pertimbangan bahwa itu dapat menimbulkan kerusakan terhadap ruang tersebut dan bahwa orang lain pun mempunyai hak terhadap ruang itu. Perubahan ruang publik dari pengguna sebelumnya akan diterima pengguna yang akan datang, masalah yang muncul kemudian adalah perubahan itu tidak selalu dapat diterima oleh publik dan sangat berkaitan dengan pengguna masa depan seperti pedagang kaki lima di Jalan Arif Rahman Hakim Pasar Sukaramai dimana perubahan ruang publik dari pedestrian menjadi areal pedagang kaki lima dan terpaksa diterima oleh pejalan kaki, pengendera kenderaan juga pemilik bangunan.

The right of disposition, yaitu kepemilikan oleh sekelompok orang

terhadap suatu ruang publik secara pengakuan dan bukan berdasarkan aspek legalitas. Aspek ini berkaitan dengan hak untuk mengurangi akses publik ke ruang tersebut untuk alasan keamanan, kebersihan dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap pengguna ruang publik. Walaupun penggunaan ruang publik tidak jelas legalitasnya, tetapi pembayaran/pengutipan restribusi dianggap sebagai pelegalitasan penggunaan lahan. Pengutipan restribusi yang dilakukan setiap hari membuat pedagang kaki lima merasa nyaman berdagang di ruang publik, tanpa mengindahkan peraturan yang ada. Ini menjadi pertimbangan kepada pembuat kebijakan dan peraturan (pemerintah setempat), untuk lebih memperhatikan sektor informal perkotaan.

Penggunaan ruang publik dalam daerah penelitian sangat semrawut. Tidak jelasnya kaplingan dan tidak terstrukturnya penggunaan ruang yang ada. Bentuk dan luas alat bantu berdagang tidak ada yang sama, kerena disesuaikan dengan jumlah dan variasi dagangan. Blok-blok lapak tidak jelas serta jalan untuk pembeli hanya berupa jalan kecil yang sempit dan tidak teratur.

b. Hubungan Lokasi Berdagang dengan Jenis Dagangan

Pasar Sukaramai merupakan pasar yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti sembako, sayur, buah-buahan, ikan, daging dan lain-lain. Sesuai dengan namanya pasar ini ’suka ramai’ dikunjungi oleh pembeli dari segala penjuru Kota Medan. Harga yang murah serta dagangan yang bervariasi membuat pembeli ramai berkunjung ke Pasar Sukaramai.

26% 42% 17% 11% 4% Buah-buahan Sayur-sayuran

Hasil laut Daging (ayam/sapi)

dan lain-lain

Sumber: Hasil analisa penelitian, 2009 Gambar 5.22 Jenis dagangan responden

Tabel 5.8 adalah hasil tabulasi silang antara lokasi berdagang dengan jenis dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Dari hasil crosstab dan bambar 5.22 dapat dilihat bahwa buah-buahan banyak mengambil lokasi di badan jalan (26%). Sayur-sayuran mengambil tempat di trotoar jalan (39%). Sedangkan bahu jalan digunakan untuk menjual hasil laut (17 %) serta daging (ayam/sapi) lebih memilih bahu jalan sebagai lokasi berdagang (11 %).

Tabel 5.9 adalah hasil ch-square dari hubungan antara lokasi berdagang dengan jenis alat bantu berdagang. Hasil chisquare hitung adalah sebesar 282,892 sedangkan hasil chisquare tabel dengan derajat kebebasan (df) 12 adalah 21,026. Hal ini menunjukkan bahwa chisquare hitung > chisquare tabel. Interpretasi dari ini adalah bahwa Ho ditolak dan Hi diterima dengan kata lain terdapat hubungan antara lokasi berdagang dengan jenis dagangan pada lokasi tersebut.

c. Hubungan Lokasi Berdagang dengan Jenis Alat Bantu

Jenis alat bantu berdagang pada lokasi penelitian diklassifikasikan atas lapak (dagangan yang digelar diatas tanah), Becak barang (kenderaan roda 3),

49% 35%

4%

7% 5%

Lapak Beca barang Kereta doromg Meja Dan lain-lain

Kereta dorong (kenderaan roda 2 yang didorong oleh pedagang), meja (segi empat, persegi panjang) dan lain-lain (pedagang asongan). Dari gambar 5.23 dapat bahwa lokasi berdagang di bahu jalan umumnya menggunakan meja sebagai alat bantu berdagang (30%), untuk lokasi berdagang di badan jalan umumnya menggunakan lapak (27 %), sedangkan trotoar juga alat bantu berdagangnya berupa lapak sebanyak 22 %.

Sumber: Hasil analisa penelitian, 2009

Tabel 5.8 Crosstab Lokasi Berdagang dengan Jenis Dagangan

Jenis Dagangan

Buah-buahan Sayur-sayuran Hasil laut

Daging

(ayam/sapi) Dan lain-lain

Total

Lokasi Berdagang

Badan jalan Count

26 1 0 0 0 27

% of Total 26.0% 1.0% .0% .0% .0% 27.0%

Trotoar Count 0 39 0 0 0 39

% of Total .0% 39.0% .0% .0% .0% 39.0%

Bahu jalan Count 0 2 17 11 0 30

% of Total .0% 2.0% 17.0% 11.0% .0% 30.0%

Dan lain-lain Count 0 0 0 0 4 4

% of Total .0% .0% .0% .0% 4.0% 4.0%

Count 26 42 17 11 4 100

Total

% of Total 26.0% 42.0% 17.0% 11.0% 4.0% 100.0%

Tabel 5.9 Chisquare Lokasi Berdagang dengan Jenis Dagangan

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 282.892(a) 12 .000

Likelihood Ratio 216.705 12 .000

Linear-by-Linear Association 87.868 1 .000

N of Valid Cases

100

Pengguna bahu jalan cenderung menggunakan meja sebagai alat bantu berdagang karena lokasi di bahu jalan dianggap ’lebih permanen’ dibanding dengan lokasi lain (trotoar dan badan jalan). Lokasi berdagang di trotoar maupun badan jalan cenderung menggunakan lapak, karena lokasi berdagang dianggap ’tidak permanen’. Dengan kata lain apabila ada penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah, lebih cepat menggulung dagangan dibanding dengan menggunakan alat bantu meja.

Tabel 5.11 adalah hasil chisquare dari hubungan antara lokasi berdagang dengan jenis alat bantu berdagang. Hasil chisquare hitung adalah sebesar 198,744 sedangkan hasil chisquare tabel dengan derajat kebebasan (df) 12 adalah 21,026. Hal ini menunjukkan bahwa chisquare hitung > chisquare tabel. Interpretasi dari ini adalah bahwa Ho ditolak dan Hi diterima dengan kata lain terdapat hubungan antara lokasi berdagang dengan jenis alat bantu berdagang pada lokasi tersebut. d. Konflik Kepentingan Penggunaan Ruang Publik Kota

Tempat berdagang yang tepat berupa lokasi yang ramai dilewati orang merupakan kebutuhan yang sangat essensial bagi pedagang kaki lima. Namun, pada saat yang bersamaan kebutuhan ini dapat menimbulkan konflik dengan pengguna ruang publik lainnya. Sebagai sesama pengguna ruang publik (sebagai sarana sirkulasi) dibutuhkan keleluasaan dan kenyamanan dalam pergerakan.

Tabel 5.10 Crosstab Lokasi Berdagang dengan Jenis Alat Bantu

Jenis Alat Bantu

Lapak

Becak Barang

Kereta

Dorong Meja Dan lain-lain

Total

Badan jalan Count 27 0 0 0 0 27

Lokasi

Berdagang % of Total

27.0% .0% .0% .0% .0% 27.0%

Trotoar Count 22 5 7 5 0 39

% of Total 22.0% 5.0% 7.0% 5.0% .0% 39.0%

Bahu jalan Count 0 0 0 30 0 30

% of Total .0% .0% .0% 30.0% .0% 30.0% Count 0 0 0 0 4 4 Dan lain-lain % of Total .0% .0% .0% .0% 4.0% 4.0% Count 49 5 7 35 4 100 Total % of Total 49.0% 5.0% 7.0% 35.0% 4.0% 100.0%

Tabel 5.11 Chisquare Lokasi Berdagang dengan Jenis Alat Bantu

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 198.744(a) 12 .000

Likelihood Ratio 146.013 12 .000

Linear-by-Linear Association 72.549 1 .000

N of Valid Cases 100

Cara berdagang pedagang kaki lima umumnya menimbulkan gangguan bagi pengguna ruang publik lainnya, baik pejalan kaki maupun pengendara. Konflik inipun terjadi pada lokasi penelitian yaitu koridor Jalan Arif Rahman Hakim dan Jalan Aksara. Keberadaan pasar yang tepat berada di persimpangan jalan membuat kesemrawutan semakin jelas. Apalagi berkurangnya daerah manfaat jalan akibat pedagang kaki lima berdagang pada badan jalan.

Pedagang kaki lima merupakan lahan pekerjaan yang mudah karena tidak membutuhkan keahlian khusus dan modal usaha sedikit, sehingga banyak masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan memilih pekerjaan ini sebagai sandaran hidup, sesuai dengan ciri-ciri pedagang kaki lima oleh Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994). Pedagang kaki lima disebut juga dengan pedagang informal yang secara formalitas tidak jelas legalitasnya. Penggunaan ruang-ruang publik yang tidak terkendali sebagai lokasi berdagang jelas mengganggu ketertiban masyarakat. Pengguna jalan tidak mempunyai lokasi yang nyaman untuk bersirkulasi. Pengguna kenderaan umum akan mengalami kemacetan akibat badan jalan diambil untuk lokasi berdagang (Jalan Arif Rahman Hakim dan jalan Aksara mempunyai 2 lajur jalan tetapi hanya satu lajur jalan yang dapat digunakan). Banyaknya jumlah pedagang kaki lima yang menduduki jalan menyebabkan ruas jalan menjadi hilang dan lahan parkir berkurang.

Sumber: Hasil analisa penelitian, 2009

Gambar 5.24 Penggunaan ruang publik yang tak terkendali

Berdasarkan teori Absori et.al. (2006), menyatakan pedagang kaki lima sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya. Pada kawasan penelitian dapat dilihat bahwa 100 % pedagang kaki lima menempati public space. Pedagang kaki lima yang menempati trotoar (39 %), bahu jalan (30%),

badan jalan (27 %) dan taman/median jalan (4%). e. Penataan Pedagang Kaki Lima

Tujuan utama penataan adalah menciptakan ruang publik dimana tersedianya tempat untuk pedagang kaki lima tanpa mengubah fungsi utama ruang publik itu sendiri. Mempertahankan keberadaan pedagang kaki lima di ruang publik dengan penataan agar dapat berintegrasi dengan fungsi dan kegiatan ruang publik maupun fungsi dan kawasan kegiatan. Ruang publik di kawasan penelitian berfungsi sebagai daerah aksesibilitas dalam bentuk jalan dan trotoar sebagai tempat pedestrian tidak berfungsi maksimal akibat adanya kegiatan lain didalamnya. Dengan bertambahnya jumlah pedagang kaki lima mambuat semakin hilangnya lahan-lahan sirkulasi publik. Untuk itu perlu penataan yang baik agar

kawasan penelitian menjadi kawasan yang nyaman dan kondusif bagi pengguna jalan dan pengguna ruang publik. Adapun konsep penataan yang diusulkan antara lain

a. Ruang yang kondusif bagi pejalan kaki

Pejalan kaki di kawasan ini memerlukan ruang tidak hanya untuk berjalan tetapi untuk berhenti sejenak, berbelanja, bersosialisasi dan lain-lain. Untuk itu perlu didukung oleh adanya jalan yang membuat mereka leluasa dalam menggunakan ruang publik. Sebaiknya trotoar sebagai daerah sirkulasi tidak digunakan sebagai lokasi berdagang. Jan (1987) menyatakan sangat penting bagi pejalan kaki untuk berjalan dengan leluasa tanpa terganggu, baik karena ada benda penghalang maupun karena keberadaan orang lain yang memaksa pejalan kaki bergerak untuk menghindar. Dari kepadatan ruang publik kawasan Jalan Arif Rahman Hakim dan Jalan Aksara dalam kondisi terdesak (Tabel 2.2) dimana Pejalan kaki yang sedang berdiri tidak saling bersentuhan tetapi berada dalam jarak yang kurang nyaman, sirkulasi sama sekali terhalang. Perlu penanganan yang serius dari pemerintah setempat dalam menangani ini. Adanya peraturan dan kebijakan yang ketat terhadap penggunaan trotoar dan bahu jalan yang harus dipatuhi oleh pedagang kaki lima.

b. Ruang bagi pedagang kaki lima

Pedagang kaki lima harus dianggap sebagai salah satu unsur atau pemakai ruang publik. Keberadaan pedagang kaki lima yang berjumlah cukup besar menempati ruang publik dan keberadaaanya yang dekat dengan konsumen maka ruang publik bagi pedagang kaki lima harus disediakan. Alternatif-alternatif penanganan pedagang kaki lima antara lain:

1. Menempatkan pedagang kaki lima di lokasi yang nyaman dan strategis.

2. Pelebaran pedestrian walaupun hal ini akan terkait dengan lahan yang tersedia. Kemungkinan ini akan mengurangi lebar jalan serta mengurangi jumlah lajur kenderaan.

3. Penyediaan lahan parkir yang khusus sehingga lahan parkir yang ada sebelumnya dapat menampung padagang kaki lima.

4. Membuat jam-jam tertentu (misalnya diluar jam sibuk) untuk pedagang kaki lima untuk berjualan sehingga pada jam-jam sibuk kemacetan yang disebabkan pedagang kaki lima bisa terhindarkan. 5. Bila memungkinkan mengurangi jumlah pedagang kaki lima.

6. Penentuan dan peraturan yang jelas tentang luas lahan berdagang, artinya luas lahan yang digunakan sudah ditentukan, agar penambahan daerah teritori dapat dibatasi.

Penggusuran pedagang kaki lima yang dilakukan pemerintah bukanlah satu solusi yang tepat. Peraturan yang dibuat bukan hanya untuk sesaat, karena

biasanya pedagang kaki lima akan kembali apabila petugas penggusuran sudah tidak berada di lokasi.

Dokumen terkait