• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang (Space)

2.6 Kajian Spasial

Lynch (1987), menyatakan dalam teorinya mengenai spatial rights, yaitu suatu pemahaman mengenai kebebasan sekaligus pengendalian dalam penggunaan ruang publik, terdiri dari beberapa aspek-aspek yaitu:

1. The right of presence, adalah hak untuk berada di ruang publik manapun,

dengan atau tanpa tujuan apapun, dengan kesadaran bahwa kita tidak bisa dilarang siapapun untuk berada di ruang publik tersebut. Aspek ini tidak terlepas dari aksesibilitas ruang publik, sebab hadirnya seseorang di ruang publik karena ruang tersebut dapat diakses secara leluasa, seperti adanya toko-toko dan pedagang kaki lima, menggambarkan jenis kelompok manusia hadir di tempat tersebut.

2. The right of use and action adalah hak menggunakan ruang publik secara

bebas tanpa perlu memikirkan apakah tempat tersebut adalah tempat yang tepat untuk kegiatan tersebut, selama kegiatan tersebut tidak mengganggu pengguna atau kelompok pengguna lainnya. Hak ini digunakan pedagang kaki lima dalam melakukan kegiatannya berdagang di ruang publik dan mengancam bagi kebebasan kelompok lainnya.

3. Appropriation, berkaitan dengan hak untuk membuat batas di ruang publik

dan kemudian menguasai tempat tersebut. Jika dikaitkan dengan pedagang kaki lima di ruang publik, maka batas yang dibuat merupakan kebutuhan tempat untuk kegiatan berdagang yang berhubungan langsung dengan pembelinya, walaupun bisa mengancam bagi yang lain.

4. The right of modification, dimana seorang pengguna berhak melakukan

perubahan terhadap ruang publik sesuai dengan keputusannya, tetapi dengan pertimbangan bahwa itu dapat menimbulkan kerusakan terhadap ruang tersebut dan bahwa orang lain pun mempunyai hak terhadap ruang itu. Perubahan ruang publik dari pengguna sebelumnya akan diterima pengguna yang akan datang, masalah yang muncul kemudian adalah perubahan itu tidak selalu dapat diterima oleh publik dan sangat berkaitan dengan pengguna masa depan.

5. The right of disposition, yaitu kepemilikan oleh sekelompok orang

terhadap suatu ruang publik secara pengakuan dan bukan berdasarkan aspek legalitas. Aspek ini berkaitan dengan hak untuk mengurangi akses publik ke ruang tersebut untuk alasan keamanan, kebersihan dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap pengguna ruang publik. Dari keterangan teori Lynch (1987) di atas tidak semuanya dapat diterapkan di Indonesia, sebab seluruh kota-kota di Indonesia mempunyai budaya tersendiri dalam menggunakan ruang publik kota sebagai sarana berjualan (pasar tradisonal). Budaya Indonesia yang beragam membuat beberapa pasar mempunyai ciri khas tersendiri dalam pemanfaatan ruang publik kota.

Pasar sebagai salah satu ruang kegiatan ekonomi merupakan tempat berkumpulnya untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap induvidu dalam masyarakat, pemenuhan kebutuhan tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hidup juga untuk memperbaiki kondisi manusianya, menurut (Buie, S, 1996). Pasar lalu berkembang menjadi pusat kegiatan sosial. Hal ini yang menyebabkan pasar sebuah pusat dan menyebar dari pusat tersebut.

Hak-hak alami seseorang atas ruang harus dapat dikendalikan supaya tidak mengalami pertentangan dengan orang lain yang mempunyai hak terhadap ruang publik tersebut. Konflik yang paling sering terjadi di ruang publik di kota-kota di Indonesia adalah ditimbulkan oleh pemenuhan hak pedagang kaki lima di ruang publik, untuk itu diperlukan perubahan pandangan pada masyarakat dan pemerintah kota, bahwa pedagang kaki lima dapat menjadi daya tarik bagi ruang publik, terutama di pusat-pusat kegiatan kota karena mereka dapat menarik pembeli, apabila lokasi pedagang kaki lima ini diatur untuk menghindari konflik. Padahal dalam jangka panjang keberadaan public space sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi perkotaan. Makin luas urban open space di kota, makin banyak orang yang berkumpul pada simpul/node tersebut dan makin tinggi gedung-gedung di sekelilingnya (nilai ekonomi lahan makin tinggi sehingga intensitas penggunaan lahan makin tinggi pula).

Dalam desain ruang terbuka publik, yang dicari adalah keseimbangan antara keterbukaan dan pembatasan, dimana ruang publik tersebut tetap dapat menampung penggunaan yang beragam. Penggunaan ruang publik adalah suatu indikator dari perkembangan atau perubahan sosial masyarakat. Untuk mendesain

ruang terbuka publik yang baik, seseorang harus mengerti bagaimana perkembangan tatanan sosial di tempat tersebut. Kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan struktur sosial pada masalah penempatan pedagang kaki lima di ruang publik. Struktur ini sudah ada sejak lama dan sudah harus menjadi bagian integral dari masyarakat kota.

Perancangan dan perencanaan ruang terbuka publik yang baik adalah kemampuan untuk mencapai dan memelihara keseimbangan antara hak dan kebutuhan yang berpotensi dalam menimbulkan konflik. Keseimbangan ini perlu dicapai agar hak seseorang atau sekelompok orang dalam mempertahankan posisinya di ruang publik tidak mengganggu orang lain yang juga membutuhkan ruang publik untuk tujuan yang berbeda. Hak-hak alami seseorang atas ruang publik harus dapat dikendalikan supaya tidak mengalami pertentangan dengan orang lain yang juga mempunyai hak terhadap ruang publik tersebut.

Ruang terbuka publik merupakan tempat bagi komunitas kehidupan sosial suatu kota untuk memanifestasikan kegiatannya di ruang kota. Bagi pedagang kaki lima bahkan merupakan tempat untuk menunjukkan identitasnya sebagai salah satu penghuni kota yang membutuhkan wadah untuk kegiatannya. Komunitas sosial akan selalu berusaha memanfaatkan ruang publik yang sifatnya bebas tersebut semaksimal mungkin. Jika tidak ada pengendalian maka ketertiban sosial akan terganggu. Di sinilah pemahaman teoritik dalam bab ini berperan, yaitu untuk mengetahui aspek-aspek yang penting untuk dijadikan pertimbangan bagi konsep penataan pedagang kaki lima di ruang publik dan bagi bentuk

pengendalian yang tetap menghargai kebebasan publik dalam menggunakan ruang publik kota.

Beberapa aspek penting dalam penataan ruang publik untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pedagang kaki lima di ruang publik kota, yang dapat diambil dari kajian teori di atas, adalah:

a. Aspek kebebasan dalam menggunakan ruang publik. Ruang publik harus dapat digunakan secara leluasa dan aman oleh pemakainya, dengan demikian harus mempunyai aksesibilitas yang baik bagi setiap kelompok masyarakat kota.

b. Aspek kontrol dalam penggunaan ruang publik. Ruang publik merupakan bagian integral kehidupan kota dan menjadi milik publik, sehingga menggunakan ruang harus ada aturan-aturan sosialnya. Walaupun setiap orang berhak menggunakan ruang publik, tetap harus ada pengendaliannya dan harus memperhatikan untuk siapa atau untuk apa ruang publik tersebut sehingga dapat ditentukan siapa yang harus mendapat prioritas yang lebih besar dalam penataan.

c. Aspek besaran ruang yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan di ruang publik. Setiap pengguna ruang publik membutuhkan ruang untuk keberadaannya. Pejalan kaki mempunyai ruang minimal untuk sirkulasi dan pedagang kaki lima harus dapat memanfaatkan ruang yang ada untuk kegiatan berdagangnya. Besaran ini dapat dihitung berdasarkan ukuran standard dan studi ruang gerak dan penerapannya harus semaksimal mungkin mendekati kondisi ideal.

d. Aspek pedagang kaki lima sebagai pendukung kegiatan di ruang publik. Keberadaannya harus dapat ditampung di ruang publik dan bukan diasingkan atau disingkirkan dari kegiatan publik. Pembahasan dalam studi literature menunjukkan bahwa pedagang kaki lima juga merupakan pengguna ruang publik. Sehingga dalam penataan pedagang kaki lima di ruang publik keberadaannya dapat diberi fungsi atau arti yang lebih, misalnya sebagai salah satu perabot urban atau perabot ruang publik. Pedagang kaki lima merupakan salah satu unsur ruang publik yang mempunyai kebutuhan untuk kegiatannya dan harus dapat berintegrasi dengan unsur lainnya.

Ruang trotoar dan badan jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima untuk berdagang yang mempunyai fungsi dan kegiatan yang berlangsung di dalamnya dapat menciptakan ambiguitas atau multi identitas, Soja (2000). Dengan demikian trotoar dan badan jalan yang dipergunakan pedagang untuk kegiatan sehari-hari dapat dinyatakan sebagai ruang paradoks atau ruang hybrid, Bhabha (1994). Oleh karena itu trotoar dan badan jalan sudah seharusnya dianggap sebagai sebuah hasil ruang yang beragam dengan tingkat keterbukaan yang tinggi, (Jhonston, 2000).

Lynch (1996), juga menyatakan bahwa sebuah kawasan seharusnya memiliki fleksibilitas untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Alexander (1975), bahwa fleksibilitas bagian - bagian dari sebuah kawasan dapat meningkatkan keeratan struktur kawasan secara keseluruhan. Peristiwa – peristiwa pada kawasan kota mampu menjadi perekat pembentukan fisik kota/kawasan karena berlangsung secara alamiah.

Teori-teori kajian spasial yang berkaitan dengan tesis Kajian Spasial Perilaku Pedagang Kaki Lima dalam Pemanfaatan Ruang publik kota sesuai dengan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas didapat temuan sebagai berikut :

Tabel 2.4 Teori Kajian Spasial

No Kajian Spasial Kevin Lynch

(1987)

Alexander (1975)

Putnam (1993)

1 Aksesibilitas ruang publik

2 Ruang publik digunakan sebagai

ruang sosial masyarakat

3 Fleksibilitas peristiwa dan

penggunaan ruang publik

Dari hasil paparan teori-teori menunjukan bahwa pertentangan atau munculnya faktor tarik menarik yang wujudnya perebutan ruang sebagai faktor mediasi, menjadi komoditas karena memiliki nilai guna dan tukar yang tinggi. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia yang dapat menimbulkan konflik ruang sesama pedagang, karena tidak ada lagi keselarasan antara ruang yang tercipta dengan peristiwa yang berlangsung.

Semua lapisan masyarakat berhak untuk berada dan mempergunakan ruang publik selama tidak mengganggu pengguna ruang publik lainnya, hak-hak alami seseorang atas ruang publik harus dapat dikendalikan agar tidak terjadi pertentangan dengan orang lain yang juga mempunyai hak atas ruang publik tersebut. Adanya keseimbangan antara keterbukaan dan pembatasan karena ruang publik merupakan tempat bagi kehidupan sosial masyarakat.

29 BAB III

Dokumen terkait