• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI

A. Implementasi Kebijakan Pendidikan 1. Pengertian Kebijakan Pendidikan

3. Formulasi Kebijakan

Secara teoritis kebijakan pendidikan yang dirancang dan dirumuskan untuk diimplementasikan sebenarnya tidak begitu saja dibuat. Da lam proses perumusannya para pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan terlebih dahulu mempertimbangkan secara masa-masa rasionalitas proses hasil serta efek samping yang ada.41

Formulasi Kebijakan (policy formulation) menurut Tjokroamidjojo sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik).42

Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari empat tahap yakni: pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, pengenalan masalah.43

Pemerintah Indonesia mencoba mengembangkan model perumusan kebijakan yang ideal. Proses perumusan kebijakan secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam urutan proses sebagai berikut:

40

Rohman, Politik, h. 136-137. 41

Ahmad Rusdiana, Kebijakan Pendidikan: Dari Filosofi ke Implementasi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 23.

42

Islamy, Irfan, Muhammad, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 24.

43

25 a. Munculnya Isu Kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah.

b. Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan, yang terdiri atas pejabat birokrasi terkait dan ahli kebijakan publik.

c. Setelah terbentuk rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik.

d. Draf-1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatakan dinas atau instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur.

e. Tim perumus merumuskan draf 2 yang merupakian draf final dari kebijakan.

f. Draf final ini kemudian diserahkan oleh pejabat berwenang, atau untuk kebijakan undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang-undangan telah diatur dalam UU No.10/2004, khusunya pasal 17 dan seterusnya.44

Proses perumusan kebijakan publik perlu memperhatikan secara seksama eksistensi orientasi dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat sebagai stakeholders dari kebijakan yang akan dibuat. Bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih.45

Agar pembuat kebijakan dapat merumuskan masalahnya dengan benar dan tepat, maka Patton dan Sawicki mengajukan tujuh tahap dalam merumuskan masalah, yaitu:

a. Pikirkan kenapa suatu gejala bisa dianggap sebagai masalah b. Tetapkan batasan masalah yang akan dipecahkan

44

Riant Nugroho, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Jakarta: PT Gramedia, 2006), h. 433.

45

26 c. Kumpulkan fakta dan informasi yang berhubungan dengan masalah d. Rumuskan tujuan dan sasaran yang akan dicapai

e. Identifikasi policy envelope (variable variable yang memengaruhi masalah)

f. Tunjukan biaya dan manfaat dari masalah yang hendak diatasi g. Rumuskan masalah kebijakannya dengan baik.46

Teori perumusuan formulasi kebijakan pendidikan sangat banyak. Adapun teori perumusan kebijakan pendidikan di antaranya yaitu sebagai berikut:

a. Teori Radikal (Radical Theory), menekankan kebebasan lembaga lokal dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan yang menyangkut penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah diserahkan pada daerah. Dengan demikian, negara atau pemerintah pusat tidak perlu menyusun rencana kebijakan pendidikan apabila kurang sesuai dengan kondisi lokal. Hal tersebut sangat penting terutama kondisi masing-masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan yang tidak dapat disamakan satu sama lain. Teori ini berasumsi bahwa tidak ada lembaga atau organ pendidikan lokal yang persis sama satu sama lain sehingga untuk menyusun kebijakan pendidikan yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya pada lembaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif flural serta mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri.

b. Teori Advokasi (Advocacy Theory), tidak menghiraukan perbedaan seperti karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis, serta kondisi lokal lainnya. Semua corak karakteristik dan perbedaan lingkungan tersebut menurut teori ini hanya perbedaan yang didasarkan pada pengamatan empiris semata. Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan pemberian kewenangan pemerintah pusat untuk membatasi kelas atau kelompok dominan yang

46

Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32.

27 dapat merugikan kelas marginal. Pemerintah pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan pendidikan antar daerah. Dengan demikian, ketimpangan pendidikan antar daerah dapat dikurangi.

c. Teori Transaktif (Transactive Theory), menekankan bahwa perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama dengan semua pihak terkait. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak, termasuk personalia lembaga pendidikan tingkat lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut kemudian dievolusikan atau digulirkan terlebih dahulu secara perlahan-lahan. Teori transaktif pada dasarnya, sangat menekankan harkat individu serta menjunjung tinggi kepentingan masing-masing pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai individu diteliti satu per satu dan diajak bersama dalam perumusan kebijakan pendidikan.

d. Teori Sinoptik (Synoptic Theory), menekankan bahwa dalam menyusun sebuah kebijakan diperlukan metode berpikir sistem. Objek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang sebagal satu kesatuan yang bulat dengan tujuan yang sering disebut dengan “misi”. Teori ini sering disebut teori sistem atau teori pendekatan sistem rasional, atau teori rasional komprehensif.

e. Teori lnkremental (Incremental Theory), menekankan pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari perencanaan kebijakan yang berjangka panjang. Setiap saat, setiap tahun, dan setiap periode waktu terjadi perubahan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, menurut teori inkremental, sangat sulit dan kurang cermat ketika kebijakan pendidikan yang berdimensi jangka panjang diterapkan pada suatu keadaan yang selalu berubah. Kebijakan pendidikan yang paling tepat adalah kebijakan yang berjangka pendek, yang relevan dengan masalah pada saat itu juga.47

Masing-masing teori tersebut memiliki kekhasan dan kelebihan tersendiri serta memiliki implikasi positif dan negatifnya apabila diterapkan. Suatu teori

47

28 hanya akan tepat atau memiliki banyak nilai positif ketika diterapkan pada konteks masalah yang relevan. Sekalipun demikian, tidak tertutup kemungkinan jika satu masalah akan dapat dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori.