• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling

Tujuan bimbingan dan penyuluhan di sekolah tidak terlepas dari tujuan dari pendidikan dan pengajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Tujuan dari pendidikan dan pengajaran di Indonesia tercantum dalam undang-undang No. 12 tahun 1954 dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi:

“Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang cakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung-djawab tentang kesedjahteraan masyarakat dan tanah air”

Dengan demikian maka tujuan dari bimbingan dan penyuluhan di sekolah ialah membantu tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran dan membantu individu untuk mencapai kesejahteraan.

Fungsi bimbingan dan penyuluhan dalam proses pendidikan dan pengajaran ialah untuk membantu pendidikan dan pengajaran. Karena itu maka segala langkah dari bimbingan dan penyuluhan harus sejalan dengan langkah-langkah yang diambil oleh segi pendidikan. Adalah suatu hal yang wajar dengan adanya bimbingan dan penyuluhan itu diharapkan pendidikan akan berlangsung lebih lancar, karena pendidikan akan mendapatkan bantuan dari bimbingan dan penyuluhan.8 Berikut adalah beberapa fungsi bimbingan dan konseling;

a. Fungsi Pemahaman

Yaitu membantu peserta didik agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma

7 Jhon Mc Leod, “Pengantar konseling teori dan studi kasus”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.5

8 Bimo Walgito, “Bimbingan dan penyuluhan di Sekolah”, (Yogyakarta : Andi Offset, 1986), h.25

agama). Berdasarkan pemahaman ini, individu diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.

b. Fungsi Pencegahan (preventif)

Ada suatu slogan yang berkembang dalam bidang kesehatan, yaitu

“mencegah lebih baik daripada mengobati”. Slogan ini relevan dengan bidang bimbingan dan konseling yang sangat mendambakan setiap individu tidak mengalami suatu masalah. Pencegahan diterima sebagai sesuatu yang baik dan perlu dilaksanakan. Bagi konselor profesionalyang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang dapat meghalangi perkembangan individu, upaya pencegahan tidak sekedar merupakan ide yang bagus, tetapi merupakan suatu keharusan yang bersifat etis (Horner & McElhaney, 1993).

c. Fungsi Pemeliharaan

Adalah fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terpeliharanya dan terkembangkannya berbagai potensi siswa dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan.9

d. Fungsi Pengembangan

Yaitu hal-hal yang dipandang sudah bersifat positif dijaga agar tetap baik dan dimantapkan. Dengan demikian dapat diharapkan peserta didik dapat mencapai perkembangan kepribadian secara optimal. 10

e. Fungsi Penyaluran (distrubutive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahliandan ciri-ciri kepribadian yang lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu

9 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16

10 Hallen A, op.cit. h. 57

bekerjasama dengan peserta didik lainnya didalam maupun diluar lembaga pendidikan.

f. Fungsi Penyesuaian Diri (adjustive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

g. Fungsi Penyesuaian Lembaga (adaptif)

Yaitu fungsi yang membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, gurur, atau dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhann individu (siswa) dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai individu. Pembimbing atau konselor dapat membantu para guru atau dosen dalam memilih dan menyusun materi pelajaran, memilih metode, dan proses pembelajaran, maupun mengadaptasikan bahan ajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatan individu.11

h. Fungsi Pengentasan

Melalui fungsi ini, pelayanan bimbingan dan konseling akan menghasilkan teratasinya berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling ini berusaha membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didik. Proses perkembangan pada diri individu tidak semuanya selalu berjalan lancar dan berhasil, seperti kita sedang mengerjakan PR matematika, terkadang ada soal yang mudah kita selesaikan dan ada yang sulit.untuk menyelesaikan soalnya pun tidak hanya berfikir dan dikira-kira, namun membutuhkan rumus yang benar dalam mengatasi kesulitan soal tersebut. Begitu juga dengan perkembangan anak, sebagaimana diungkapkan oleh Syaodih bahwa

“banyaknya masalah yang dihadapi anak dan pemuda bukan saja dapat

11 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16-17

menghambat perkembangan mereka, tetapi juga dapat menimbulkan frustasi konflik, maladjusment dan mengganggu kebahagiaan hidupnya”.12

3. Jenis dan Layanan Bimbingan Konseling a. Layanan Orientasi

layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap linkungan yang baru dimasukinya.13 Adapun kegiatan yang dilakukan dalam layanan orientasi adalah layanan informasi, yaitu mmeberikan keterangan tentang berbagai hal berkenaan dengan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar (KBM), guru-guru, para siswa lama, lingkungan fisik sekolah, kantin sekolah, ruang bimbingan dan konseling, kantro guru dan kepala sekolah, perpustakaan, laboratorium, mushola sekolah, dan sebagainya.14

b. Layanan Informasi

Layanan informasi adalah layanan bimbingan yang berupa pemberian penerangan,penjelasan, pengarahan.15 Layanan infromasi dilakukan sepanjang tahun jika diperlukan siswa dan orang tuanya demi kemajuan studi.

Karena itu layanan yang satu ini harus diprogramkan dengan baik. Jika pada layanan orientasi disebutkan layanan informasi, adalah karena berkaitan dengan keperluan siswa baru. Namun, jika para siswa baru telah menjadi siswa senior, mereka tetap memerlukan layanan informasi. Demikian juga trehadap orang tua siswa, sepanjang tahun selama anaknya di sekolah tersebut mungkin masih memerlukan layanan berbagai informasi.16

c. Layanan Penempatan dan Penyaluran

Menurut Prayitno layanan penempatan adalah “suatu kegiatan bimbingan yang dilakukan untuk membantu individu atau kelompok yang

12 Syaodih & Nana Sukmadinata, Bimbingan dan konseling dalam praktek, mengembangkan potensi dan kepribadian siswa, (Bandung : Maestro, 2007), h. 28

13 Prayitno, dan Eman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), h. 255

14 Sofyan S. Willis, Komseling Individual, Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabet, 2013), cet-7, h.

33

15 Elfi Mu’awanah, dan Rifa Hidayah, Bimbingan Konseling Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009), h. 66

16 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h.33

mengalami mismatch (ketidaksesuaian antara potensi dengan usaha pengembangan, dan penempatan individu pada lingkungan yang cocok bagi dirinya serta pemberian kesempatan kepada individu untuk berkembang secara optimal)”.17

d. Layanan Pembelajaran (Bimbingn Belajar)

Layanan pembelajaran atau bimbingan belajar yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik mengembangkan diri berkenaan dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajarnya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, dan kesenian.18

e. Layanan Konseling Individual

Yaitu bantuan yang di berikan oleh konselor kepada seorang siswa dengan tujuan berkembangnya potensi siswa, mampu mengatasi masalah sendiri, dan dapat menyesuaikan diri secara positif.

f. Layanan Konseling Kelompok

Layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang diberikan kepada sekelompok siswa untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang menghambat perkembangan siswa.19

4. Pendekatan Bimbingan dan Konseling

Dilihat dari pendekatan bimbingan dan konseling, pendekatan ini dibagi menjadi 4 pendekatan, yaitu pendekatan krisis, pendekatan remedial, pendekatan preventif, dan pendekatan perkembangan.

a. Pendekatan Krisis

Pendekatan krisis adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami krisis atau masalah. Bimbingan ini bertujuan untuk mengatasi krisis atau masalah yang dialami individu. Dalam pendekatan ini,

17 Prayitno, dan Eman Amti, Op. Cit. h. 255

18 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h. 60

19 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h. 35

konselor menunggu klien yang datang, selanjutnya mereka memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang dirasakan klien.20

b. Pendekatan Remedial

Pendekatan remedial adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu yang selanjutnya berupa untuk memperbaikinya. Strategi yang digunakan dalam pendekatan ini, seperti mengajarkan kepada murid keterampilan tertentu seperti keterampilan belajar, membaca, menulis, merangkum, menyimak, dan sebagainya.21 c. Pendekatan Preventif

Pendekatan preventif adalah upaya bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu (siswa) dan mencoba untuk mencegah jangan sampai terjadi masalah terhadap diri individu. Dalam pendekatan ini konselor berupaya untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.22

B. Pondok Pesantren

Pondok pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan islam karena merupakan lembaga yang berupaya menanamkan nilai-nilai islam di dalam diri para santri. Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, yakni jika ditinjau dari sejarah pertumbuhannya, komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, pola kehidupan warganya, serta pola adopsi terhadap berbagai macam inovasi yang dilakukannya dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan baik pada ranah konsep ,aupun praktik.23

20 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81

21 Amin Budiman & Setiawati, Bimbingan Konseling, (Jakarta : Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h. 27

22 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81-82

23 Abdul Halim Soebahar, “modernisasi pesantren”, (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2013), h. 33

1. Pengertian dan Sejarah Pondok Pesantren

Pesantren berasal dari kata santri yang mendapatkan awalan pe- dan akhiran –an yang bermakna tempat para santri. Ada pula yang mengatakan pesatren sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua dan dianggap sebagai budaya asli (indigenous) Indonesia. Pesantren memiliki akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan pendidikan pesantren telah ada jauh sebelum kedatangan islam ke negeri ini, yakni pada masa Hindu-Buddha.

Pada saat itu, pesantren merupakan lembaga keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Buddha.24 Ada pendapat lain yang menghubungkan kata santri berasal dari kata cantrik (bahasa sanskerta atau mungkin jawa) yang berarti ‘orang yang selalu mengikuti guru’. Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut pawiyatan.

Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti ‘guru mengaji’.25

Sebagai unit lembaga pendidikan dan sekaligus lembaga dakwah, pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada 1399 M yang berfokus pada penyebaran agama islam di Jawa. Selanjutnya, tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning. Pesantren tersebut kemudian dipindahkan ke kawasan Ampel di seputar Delta Surabaya – karena ini pulalah Raden Rahmat akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Selanjutnya, putra dan putri dari Sunan Ampel mulai mendirikan beberapa pesantren baru, seperti Pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pesantren Demak oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Fungsi pesantren pada awalnya hanyalah sebagai media islamisasi yang memadukan tiga unsur, yaitu ibadah dan menanamkan iman, tabligh untuk

24 Abdullah Idi, dan Safarina, “etika pendidikan”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h.153

25 Muhammad Rifa’I, “sejarah pendidikan nasional”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.32

menyebarkan islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. 26

2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren

Setiap pesantren ternyata berproses dan bertumbuh kembang dengan cara yang berbeda-beda di berbagai tempat, baik dalam bentuk maupun kegiatan-kegiatan kurikulernya. Namun, di antara perbedaan-perbedaan tersebut masih bisa diidentifikasi adanya pola yang sama. Persamaan pola tersebut, menurut A. Mukti Ali, dapat dibedakan dalam dua segi, yaitu segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik trediri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada seriap pondok pesantren, yaitu: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa. (c) masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang non-fisik, adalah pengajian (pengajaran agama). Pengajian ini disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum nyaris seragam, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi standar kehidupan dan perkembangan pondok pesantren. Hamper senada dengan A.

Mukti Ali, Zamakhsyari Dhofier juga merumuskan pola yang sama. Hanya saja, Dhofier menitikberatkan komponen non-fisik pada pengajaran kitab-kitab islam klasik. Pasalnya, tegas Dhofier, tanpa pengajaran kitab-kitab-kitab-kitab islam klasik tersebut, pesantren dapat dianggap tidak asli lagi (indigenous).

Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah dikemukakan di sini bahwa komponen utama pesantren secara umum terdiri dari kiai, santri, mushalla/masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.27

1)

Kiai

Dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pesantrendisebut demikian karena kiailah yang bertugas memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri-meskipun

26 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 33-34

27 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 37

pada umumnya kiai juga memiliki beberapa asisten atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ustadz” atau “santri senior”. Kiai dalam pengertian umum, adalah pendiri dan pemimpin pesantren. Ia dikenal sebagai seorang muslim terpelajar yang membaktikan hidupnya semata-mata di jalan Allah dengan mendalami dan menyebarluaskan ajaran-ajaran islam melalui kegiatan pendidikan.

Masyarakat tradisional berpandangan bahwa seseorang mendapatkan predikat “kiai” karena ia diterima masyarakat sebagai kiai, di mana hal ini antara lain ditandai dengan berdatangnya orang-orang yang meminta nasehat kepadanya atau bahkan mengizinkan anak mereka untuk belajar kepadanya. Dengan kata lain, tidak ada persyaratan-persyaratan formal tertentu bagi siapapun untuk menjadi seorang kiai. Namun, dalam konteks ini, ada beberapa hal yang menurut Karel A. Steenbrink biasanya dijadikan sebagai tolak ukur, yaitu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya.

Alhasil, kiai merupakan komponen yang paling esensial dan vital di tubuh pesantren. Karena itulah, tentu sangat wajar apabila dikatakan bahwa bertumbuh dan berkembangnya suatu pesantren sangat tergantung pada kemampuan sang kiai.28

2)

Santri

Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya dijadikan tolak ukur sejauhmana suatu pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklasifikasikan istilah “santri” ini ke dalam dua kategori, yaitu “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah santri yang bertenpat tinggal di pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama. Termasuk dalam kategori yang disebut terakhir ini adalah mereka yang mengaji di

28 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 38-39

langgar-langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang harinya mereka pulang ke rumah.

Para santri dengan usia mereka yang bervariasi–ada yang dewasa, remaja, dan ada pula yang masih anak-anak–tinggal bersama di pesantren.

Hal ini sejatinya sangatlah potensial untuk menghasilkan suatu proses sosialisasi yang berkualitas di antara mereka. Namun demikian, tidaklah menutup kemungkinan pula bahwa potensi ini justru bisa memunculkan perilaku-perilaku menyimpang di kalangan santri, yakni dengan terlalu cepatnya perkembangan psikis santri berusia anak-anak dan remaja karena pengaruh tingkah laku yang ditunjukkan oleh teman-teman mereka yang sudah dewasa. Akibatnya, mereka pun menjadi dewasa (dalam arti negatif) sebelum waktunya29

Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri ini dapat digolongkan kepada dua kelompok:

a. Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren.

b. Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke tempat kediamannya masing-masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara rumahnya dan pesantren.

3)

Masjid

Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud, karena di tempat ini setidak-tidaknya seorang Muslim lima kali sehari semalam melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak hanya untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidkan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan unsur-unsur social kemasyarakatan serta pendidikan.30

29 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 39-40

30 Haidar Putra Daulay, “pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia”, (Jakarta : Kencana, 2012), h. 20-21

Masjid merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Ia dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mrndidik para santri, seperti praktek sembahyang berjamaah lima waktu, khutbah, shalat jum’at, dan pengajian kitab-kitab klasik.

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pondok pesantren merupakan manifestasi universalitas sistem pendidikan tradisional. Dalam hal ini, ia mengadopsi sistem pendidikan islam sebagaimana dipraktekan oleh Rasulullah saw.. yang menjadikan masjid sebagai pusatnya. Kini sistem tersebut seolah-olah masih tampak dalam praktek pendidikan di pondok pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa masjid sudah menjadi pusat pendidikan islam sejak zaman Nabi Saw.. Di mana pun kaum muslimin berada, demikian kata Zamakhsyari Dhofier, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Artinya pemandangan semacam ini telah berlangsung di dunia islam selama 14 abad lamanya. Bahkan, hingga saat ini pun–khususnya di daerah di mana umat islam belum begitu terpengaruh oleh kehidupan barat–masih banyak didapati para ulama yang dengan penuh pengabdian mengajar murid-muridnya di masjid, sekaligus memberikan mereka wejangan dan anjuran supaya meneruskan tradisi yang telah terbentuk sejak zaman permulaan islam tersebut.

Penting untuk ditegaskan di sini bahwa pesantren, khususnya di Jawa, selalu memelihara tradisi ini. Kiai mengajar murid-muridnya di masjid yang dianggapnya sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan kedisiplinan di kalangan santri terutama dalam mendirikan shalat lima waktu. Di masjid pulalah para santri mendapatkan gemblengan mental, pengetahuan-pengetahuan agama, dan lain sebagainya. Tak ayal, setiap kiai yang hendak merintis suatu pondok pesantren lumrahnya mendirikan mushalla/langgar/masjid terlebih dahulu di dekat rumahnya.

Kebanyakan langkah ini diambil atas perintah gurunya yang menilai bahwa ia kompeten untuk memimpin sebuah pesantren.31

4)

Pondok

Istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, penginapan. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai. Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kiai.32

Keberadaan pondok atau asrama merupakan ciri khas utama dari tradisi pesantren. Hal ini pula yang membedakan pesantren dengan sistem tradisional lainnya yang kini banyak dijumpai di masjid-masjid di berbagai negara. Bahkan, ia juga tampak berbeda dengan sistem pendidikan surau/masjid yang belakangan ini tumbuh pesat di Indonesia.

Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para santri tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan seorang kiai. Asrama para santri tersebut berada di kompleks pesantren, di mana sang kiai juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas utama berupa mushalla/langgar/masjid sebagai tempat ibadah, ruang belajar, dan pusat kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini pada umumnya dikelilingi pagar atau dinding tembok yang berguna untuk mengontrol keluar masuknya santri menurut peraturan yang berlaku di suatu pesantren.

Menurut Dhofier, sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang agama islam telah menarik minat para santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut, secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kiai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa,

31 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 40-41

32 Haidar Putra Daulay, op. cit. h. 19-20

dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang memadai untuk menampung para santri sehingga keberadaan suatu asrama khusus bagi mereka menjadi sesuatu yang niscaya. Ketiga, adanya hubungan interpersonal yang khas yang terjalin antara seorang kiai dan para santri.

Dalam konteks ini, para santri menganggap kiai tak ubahnya ayah bagi mereka, sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan tuhan yang harus senantiasa dilindungi dan dibimbing. Relasi timbal balik semacam ini dianggap telah memunculkan suasana keakraban sehingga mereka merasa butuh untuk saling berdekatan satu sama lain.33

5)

Pengajaran kitab klasik

Kitab-kitab islam klasik, terutama karangan para ulama yang bermadzhab Syafi’i, merupakan satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di pesantren. Tujuan utama dari pengajaran ini adalah untuk mendidik calon-calon ulama– tentunya hal ini berlaku terutama bagi para santri yang tinggal di pesantren dalam waktu yang relatif panjang. Adapun mereka yang tinggal dalam rentang waktu yang pendek–dan tidak bercita-cita menjadi ulama–biasanya mempunyai tujuan untuk menimba pengalaman terutama dalam hal pendalaman jiwa keagamaan.

Meskipun dewasa ini mayoritas pesantren telah memasukkan materi-materi pengetahuan umum ke dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, pengajaran kitab-kitab islam klasik tetaplah dilestarikan.

Hal ini bertujuan untuk mempertahankan tujuan utama dari pesnatren itu

Hal ini bertujuan untuk mempertahankan tujuan utama dari pesnatren itu