• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENGATASI KENAKALAN SANTRI DI MADRASAH ALIYAH (MA) PONDOK PESANTREN TAPAK SUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENGATASI KENAKALAN SANTRI DI MADRASAH ALIYAH (MA) PONDOK PESANTREN TAPAK SUNAN"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENGATASI KENAKALAN SANTRI DI MADRASAH ALIYAH (MA) PONDOK PESANTREN TAPAK SUNAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun oleh:

Mohammad Nasrudin NIM: 1113011000061

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2020 M/1441 H

(2)

i

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v ABSTRAK

Mohammad Nasrudin, NIM 1113011000061. “Peran Bimbingan Dan Konseling Dalam Mengatasi Kenakalan Santri Di Madrasah Aliyah (Ma) Pondok Pesantren Tapak Sunan”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

faktor utama kenakalan yang terjadi di Pondok Pesantren adalah perilaku santrinya sebelum masuk pondok pesantren, artinya perilaku buruk sebelum mereka masuk pondok pesantren terkadang masih terbawa dan menyebabkan kenakalannya terulang kembali ketika mereka masuk pondok pesantren, karena posisi pondok pesantren adalah sebagai pusat keagamaan dimana tentunya karakter para santri akan dibentuk religius, banyak diantara santri yang bertempat tinggal di kota kota besar dan membawa perilaku buruknya ke dalam pondok pesantren.

dalam mengatasi kenakalan para santri, guru bimbingan konseling memiliki peran yang berbeda dengan guru guru bimbingan konseling pada umumya, dimana di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan program kegiatan bimbingan konseling sangat berpengaruh dengan keberadaan Kyai (Pengasuh Pondok Pesantren), keputusan keputusan yang diambil oleh guru bimbingan konseling haruslah disepakati oleh Kyai. Dalam memberikan hukuman pun guru pembimbing hanya leluasa ketika santri melakukan pelanggaran dalam kategori ringan, selain itu dua kategori pelanggaran, yaitu pelanggaran sedang dan berat, guru pembimbing harus melaporkan kasusnya kepada pengasuh pondok pesantren (Kyai). Jadi dalam kasus kenakalan sedang dan berat guru pembimbing hanya menjadi monitor atau pengawas, bukan sebagai eksekutor atau orang yang memiliki wewenang besar dalam memberikan sebuah sanksi.

Kegiatan yang direncanakan oleh guru bimbingan konseling akan dilaporkan kepada pengasuh pondok pesantren untuk nantinya di tanda tangani. Jadi segala tindak tanduk guru pembimbing haruslah berkoordinasi terlebih dahulu dengan pengasuh pondok pesantren selagi kenakalan yang dilakukan adalah jenis pelanggaran sedang sampai berat. Pemberian sanksi yang diberikan oleh guru bimbingan konseling pada dasarnya adalah sanksi yang sudah dibuat oleh seluruh elemen madrasah, dari Kyai, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru pembimbing serta para dewan guru yang lain. Dimana kegiatan ini biasanya dilakukan pada awal tahun ajaran baru. Setelah mencapai kesepakatan maka selanjutnya program kegiatan bimbingan konseling akan disampaikan kepada wali santri dalam sebuah pertemuan khusus yang nantinya akan diwakilkan oleh kepala sekolah dan wakilnya.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat islam, iman dan ikhsan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Dan tidak lupa pula shalawat beriring salam senantiasa tercurahakan kepada manusia yang paling mulia Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, para sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Selama mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari akan berbagai macam masalah dan hambatan yang telah dilalui. Namun, berkat doa dan usaha yang tidak pernah putus serta berbagai dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Abdul Haris, M.Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Rusdi Jamil M.Ag., Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegururan.

4. Dr. Dimyati, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta arahan dari awal hingga skripsi ini selesai. Segala kebaikan yang telah Bapak berikan akan selalu terkenang bagi diri penulis. Semoga keberkahan hidup senantiasa mengiringi dan semoga senantiasa dalam lindungan SWT.

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dari awal perkuliahan sampai pada akhir perkuliahan. Semoga Bapak dan Ibu Dosen sekalian selalu dalam keberkahan dan lindungan Allah SWT.

6. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Ibu Isti serta Ibu Farah selaku staff Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah

(8)

vii

Jakarta yang telah membantu banyak dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum. Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta meminjamkan referensi buku yang penulis butuhkan.

8. Arif Sholahuddin MA. Selaku Kepala Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tapak Sunan, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Madrasah ini dan telah membantu banyak dalam kegiatan penelitian di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan.

9. Seluruh dewan guru dan staff Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tapak Sunan, yang telah bersedia membantu serta bekerja sama selama penulis melakukan penelitian ini.

10. Seluruh santri wan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tapak Sunan, yang telah bersikap kooperatif dalam penelitian ini.

11. Orangtua, Kepada Ibu Musfi’ah dan Bapak M. Ilham, yang selalu mendoakan penulis, memberikan dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis agar dapat menyelesaikan studi dan meraih kesuksesan.

12. Luthfi Intan Winarni, Ahamad Ginanjar, Abdul Rahman, Ahmad Faisal dan Alvino Tegar Prasetyo yang telah banyak membantu dalam memberikan masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

13. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2013, terutama kelas B semoga diberikan kesuksesan dunia dan akhirat.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun ikut membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH ... iii

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Bimbingan dan Konseling ... 6

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling ... 7

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling ... 8

3. Jenis dan Layanan Bimbingan dan Konseling ... 11

4. Pendekatan Bimbingan dan Konseling ... 12

B. Pondok Pesantren ... 13

1. Pengertian dan Sejarah Pondok Pesantren ... 14

2. Unsur-unsur Pondok Pesantren ... 15

C. Kenakalan Remaja ... 21

1. Pengertian Kenakalan remaja ... 21

2. Tipe Kenakalan Remaja ... 22

3. Teori-Teori Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja ... 25

4. Penanggulangan Kenakalan Remaja ... 27

(10)

ix BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Penelitian ... 30

B. Latar Penelitian (Setting) ... 30

C. Metode Penelitian ... 31

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

1. Observasi ... 33

2. Wawancara ... 34

3. Studi Dokumentasi ... 35

E. Teknik Analisis Data ... 36

F. Teknik Keabsahan Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum Madrasah Aliyah Pondok Pesatren Tapak Sunan ... 38

1. Tinjauan Historis Madrasah Aliyah Pondok Pesatren Tapak Sunan .. 38

2. Profil Madrasah ... 39

3. Visi dan Misi Madrasah Aliyah Pondok Pesatren Tapak Sunan ... 39

4. Struktur Organisasi MA Pondok Pesatren Tapak Sunan ... 40

5. Sarana dan Prasarana ... 41

6. Keadaan Guru Madrasah Aliyah Pondok Pesatren Tapak Sunan ... 41

7. Data Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesatren Tapak Sunan ... 43

B. Pelaksanaan Bimbingan Konseling MA Pondok Pesantren Tapak Sunan . 43 1. Program Bimbingan Konseling ... 44

2. Kondisi Guru Pembimbing... 45

3. Kondisi Peserta Didik (Santri) ... 45

4. Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan BK ... 51

C. Analisis Peran Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Kenakalan Santri di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan ... 51

D. Bentuk Sanksi dalam Mengatasi Kenakalan Santri di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan ... 54

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

(11)

x

C. Penutup ... 57 DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Sarana dan Prasarana MA Pondok Pesantren Tapak Sunan Tabel 4.2 Data Pendidik dan Tendik MA Pondok Pesantren Tapak Sunan Tabel 4.3 Data Santri MA Pondok Pesantren Tapak Sunan Tahun Ajaran

2019/2020

Tabel 4.4 Data Santri MA Pondok Pesantren Tapak Sunan yang Melanggar Tabel 4.5 Daftar Jenis Pelanggaran MA Pondok Pesantren Tapak Sunan Tabel 4.6 Jenis Pelanggaran Peserta Didik

(13)

xii

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Grafik Pelanggaran Santri

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bimbingan Konseling atau biasa disebut dengan BK, adalah salah satu dari komponen penting dalam dunia pendidikan. Para pakar dan praktisi pendidikan pada umumnya sependapat bahwa tujuan akhir semua kegiatan pendidikan adalah perkembangan yang utuh dan optimal para peserta didik. Yang dimaksud dengan perkembangan yang utuh adalah perkembangan seluruh aspek kemanusiaan, yaitu aspek jasmani dan rohani, aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap, aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Sedangkan perkembangan yang optimal adalah perkembangan mencapai batas atas kemampuan anak.1

Jika guru pada umumnya dititik beratkan pada melakukan tugas untuk membuat siswa pandai pada aspek kognitif, maka salah satu tugas penting BK adalah untuk mengarahkan siswa pada aspek afektif dan atau spiritual, seperti mengarahkan siswa kepada minatnya, mengarahkan siswa kepada pilihan yang benar saat mereka mendapatkan masalah, dan mengarahkan siswa kepada akhlaq yang mulia. Tugas BK tidaklah mudah karena untuk membuat siswa berkembang secara optimal dibutuhkan waktu lama, serta melalui sebuah pendekatan pendekatan yang sangat jauh berbeda dengan pendekatan seorang guru, di saat mereka sedang mengajar di dalam kelas.

Sebuah peristiwa yang sangat sering dialami dan dihadapi oleh para guru di sekolah adalah siswa yang sering membolos, merokok, tawuran, meminum minuman keras dan masih banyak lagi. Masalah masalah tersebut harus dihilangkan, dan itu adalah salah satu tugas yang dibebankan secara khusus kepada BK, guru yang berada dalam kelas dan melakukan sebuah pengajaran saja tidaklah mampu merubah hal tersebut, karena pada umumnya apa yang dilakukan guru dikelas adalah sebuah pengajaran yang lebih berkonsenterasi pada aspek pengetahuan atau kognitif.

1 Martin Handoko dan Theo Riyanto, “bimbingan dan Konseling di Sekolah”, (Jogjakarta : PT Kanisius, 2010), h.11

(15)

Peran Bimbingan dan Konseling menjadi sangat penting dalam sebuah lembaga pendidikan, dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai tingkat menengah atas (SMA). Peran BK menjadi penting karena membantu anak berkembang dari aspek sosial, spiritual, dan psikomotorik. Namun, walaupun hampir di setiap sekolah telah disediakan guru/petugas Bimbingan dan Konseling, tidak semua guru atau petugas tersebut mendapatkan peran dan fungsinya secara tepat.2 Bahkan, terkadang yang ditugaskan menjadi guru BK merupakan guru kelas sebuah bidang studi, artinya guru tersebut tidak bisa fokus dalam menangani sebuah permasalahan dan mengamati apa yang dilakukan peserta didikanya.

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang tertua yaitu Pondok Pesantren, memiliki ciri khas dimana, di dalam sebuah pondok Pesantren pasti terdapat seorang Kyai yang menjadi pengasuh pondok pesantren dan teladan bagi para peserta didik (santri) serta para guru atau ustadz yang menjadi pengajarnya.

Apa yang diperintahkan oleh sang Kyai, para santri akan langsung melaksanakannya. Saat seorang santri melakukan sebuah pelanggaran maka Kyai yang akan menghukum santri tersebut. Lalu bagaimanakah peran BK di dalam sebuah lembaga pendidikan yang mengasramakan peserta didiknya dalam satu kompleks (pondok pesantren). Dimana ilmu agama adalah menjadi sasaran utama dalam lembaga pendidikan tersebut. Seberapa besar peran dari guru Bimbingan dan Konseling dalam mengatasi sebuah masalah yang di alami oleh para peserta didik (santri).

Apa yang menjadi kegiatan guru Bimbingan dan Konseling di sebuah Pondok Pesantren, yang notabene peran Kyai hampir sama dengan apa yang menjadi kegiatan Bimbingan dan Konseling. Berbagai kenakalan remaja yang ada di sebuah Pondok Pesantren tidak kalah berbahayanya dengan kenakalan remaja yang ada di dalam sebuah lembaga pendidikan lainnya. Pelanggaran yang sering dilakukan para santri adalah merokok, kabur (keluar dari pondok tanpa izin), pacaran, membolos, tidak mengikuti aturan aturan pondok dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, guru Bimbingan dan Konseling yang ada di Pondok Pesantren

2 Martin Handoko dan Theo Riyanto, op.cit. h. 1

(16)

tidak boleh merasa tenang, walaupun ada seorang Kyai disana. Sudah sepantasnya guru BK harus ikut andil dalam mengatasi kenakalan kenakalan peserta didiknya, tidak hanya diam dan menunggu perintah dari Kyai. Harus ada sebuah langkah yang diambil oleh guru BK untuk mengatasi kenakalan kenakalan tersebut.

Permasalah yang sulit untuk diatasi yaitu komunikasi antara guru dengan orang tua / wali santri. Ketika para santri dalam masa liburan, maka disanalah peran daripada orang tua / wali santri, untuk senantiasa mengawasi putra putrtinya agar tidak kembali lagi ke dalam lingkungan yang kurang baik, yang akan merusak apa yang telah mereka dapat ketika belajar di dalam pesantren. Tanpa adanya kerjasama antara guru dengan orang tua, maka akan sangat sulit untuk membendung kenakalan kenakalan mereka. Jejak historis atau riwayat santri yang memiliki sifat negatif sebelum mereka masuk pondok pesantren, terkadang menular kepada santri santri yang lain.

Seorang guru BK di Pondok Pesantren mempunyai cara tersendiri dalam mengatasi kenakalan kenakalan para santrinya. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, yang menjadikan guru BK sebagai pusat pemecahan masalah para peserta didiknya, di Pondok Pesantren yang mengambil peran tersebut bukanlah seorang guru BK, akan tetapi seorang Kyai. Lalu bagaimana peran guru Bimbingan dan Konseling di sebuah Pondok Pesantren, seperti apa sistem BK berjalan di pondok pesantren. Maka dari itu, penulis tertarik untuk membuat skripsi yang berjudul “PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENGATASI KENAKALAN SANTRI DI MADRASAH ALIYAH (MA) PONDOK PESANTREN TAPAK SUNAN”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat di identifikasi beberapa permasalahan, yaitu:

1. Kurangnya fokus guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi sebuah permasalahan

2. Tidak adanya jam pelajaran bimbingan dan konseling

3. Kurangnya kontrol orang tua dalam mengawasi anaknya ketika masa liburan 4. Kurangnya fasilitas yang memadai untuk melakukan kegiatan bimbingan

(17)

5. Sifat sifat yang kurang baik santri sebelum mereka masuk pesantren C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini terarah dan tidak melebar maka penulis membatasi penelitian ini tentang bagaimana peran yang dilakukan oleh guru BK di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tapak Sunan.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

2. Bagaimana proses bimbingan konseling yang berjalan di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

3. Apa saja yang menjadi faktor penghambat guru BK dalam mengatasi kenakalan siswa di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian harus memiliki tujuan dan manfaat, adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui peran guru BK dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan

b. Untuk mengetahui proses bimbingan konseling di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan

c. Untuk mengetahui langkah-langkah yang di lakukan oleh guru BK dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat akademik dan praktis, antara lain sebagai berikut:

a. Manfaat akademik

penelitian ini diharapkan dapat menambah keyakinan terhadap pentingnya kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah, guna mencapai tujuan yang diinginkan dalam kurikulum 2013 tentang pedidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis.

(18)

b. Manfaat Praktis

1) Manfaat bagi pihak sekolah dan guru, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam meningkatkan kualitas bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah, khususnya dalam hal mengatasi kenakalan remaja.

2) Manfaat bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan yang lebih kongkrit apabila penulis akan terjun dalam dunia pendidikan, khususnya mengenai kegiatan bimbingan dan konseling.

(19)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Bimbingan dan Konseling

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan indonesia yang cerdas komperhensif, yaitu cerdas dan kompetitif maka diperlukan adanya pengembangan kurikulum.

Wibowo (2013) menyebutkan pengembangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Di samping kurikulum, terdapat sejumlah faktor diantaranya : lama peserta didik bersekolah, lama peserta didik tinggal di sekolah, pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi, buku pegangan guru dan buku babon (teks) untuk peserta didik, dan peran Guru Mata Pelajaran sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan dan Guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK) atau konselor yang membantu mengarahkan arah peminatan kelompok dan pendalaman materi mata pelajaran sesuai dengan kemampuan dasar umum (kecerdasan), bakat, minat dan kecenderungan umum setiap siswa.

Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dalam Pasal 1 ayat 6 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 disebut bahwa posisi guru bimbingan dan konseling yang disebut konselor sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 bahwa bimbingan dan konseling disiapkan untuk memfasilitasi satuan pendidikan dalam mewujudkan proses

(20)

pendidikan yang memperhatikan dan menjawab ragam kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai dengan karakteristik peserta didik.3

1. Pengertian bimbingan dan konseling

Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata

“Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti

“menunjukkan, membimbing, menuntut, ataupun membantu”.4

Istilah konseling berasal dari kata “counseling” adalah kata dalam bentuk mashdar dari “to counsel” secara etimologi berarti “to give advice” atau memberikan saran dan nasihat. Konseling juga memiliki arti memberikan nasihat, atau memberikan anjuran kepada orang lain secara tatap muka (face to face). Jadi, counseling berarti pemberian nasihat atau penasihatan kepada orang lain secara individual yang dilakukan dengan cara tatap muka. Dalam bahasa indonesia, pengertian konseling juga dikenal dengan istilah penyuluhan.5

Istilah bimbingan dan konseling yang dimaksud sebagai terjemahan istilah

“Guidance and Counselling”. Guidance diterjemahkan sebagai bimbingan dan Counselling diterjemahkan sebagai konseling, akan tetapi ada sebagian penadapat yang menterjemahkan Counselling sebagai penyuluhan.

Penyuluhan dalam pengertian lebih mengarah kepada usaha-usaha suatu badan, lembaga baik itu pemerintah maupun non pemerintah (swasta) yang sifatnya untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan keterampilan warga masyarakat berkenaan dengan hal tertentu.6

Kata “konseling” mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, bimbingan atau pemecahan masalah, tugas konseling adalah memberikan kesempatan kepada “klien” untuk mengeksplorasi, menemukan, dan

3 Aimmatul Husna, dkk, “Tingkat Pemahaman Konselor Terhadap Implementasi Bimbingan Dan Konseling Dalam Kurikulum 2013”. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application. Vol. 3 No. 4, Desember 2014, 8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk. 20 Mei 2020

4 Hallen A, “Bimbingan dan konseling”, (Jakarta : ciputat pers, 2002), h.3

5 Samsul Munir Amin, “Bimbingan dan Konseling Islam”, (Jakarta : Amah,2010), h.10-11

6 Eva Arifin, “teknik konseling di media massa”, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), h.12

(21)

menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.7

Dari beberapa sumber diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang kenselor atau pembimbing untuk memberikan jalan keluar atas segala masalah atau problematika dalam kehidupan si klien (siswa dalam dunia pendidikan).

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Tujuan bimbingan dan penyuluhan di sekolah tidak terlepas dari tujuan dari pendidikan dan pengajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Tujuan dari pendidikan dan pengajaran di Indonesia tercantum dalam undang- undang No. 12 tahun 1954 dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi:

“Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang cakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung-djawab tentang kesedjahteraan masyarakat dan tanah air”

Dengan demikian maka tujuan dari bimbingan dan penyuluhan di sekolah ialah membantu tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran dan membantu individu untuk mencapai kesejahteraan.

Fungsi bimbingan dan penyuluhan dalam proses pendidikan dan pengajaran ialah untuk membantu pendidikan dan pengajaran. Karena itu maka segala langkah dari bimbingan dan penyuluhan harus sejalan dengan langkah-langkah yang diambil oleh segi pendidikan. Adalah suatu hal yang wajar dengan adanya bimbingan dan penyuluhan itu diharapkan pendidikan akan berlangsung lebih lancar, karena pendidikan akan mendapatkan bantuan dari bimbingan dan penyuluhan.8 Berikut adalah beberapa fungsi bimbingan dan konseling;

a. Fungsi Pemahaman

Yaitu membantu peserta didik agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma

7 Jhon Mc Leod, “Pengantar konseling teori dan studi kasus”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.5

8 Bimo Walgito, “Bimbingan dan penyuluhan di Sekolah”, (Yogyakarta : Andi Offset, 1986), h.25

(22)

agama). Berdasarkan pemahaman ini, individu diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.

b. Fungsi Pencegahan (preventif)

Ada suatu slogan yang berkembang dalam bidang kesehatan, yaitu

“mencegah lebih baik daripada mengobati”. Slogan ini relevan dengan bidang bimbingan dan konseling yang sangat mendambakan setiap individu tidak mengalami suatu masalah. Pencegahan diterima sebagai sesuatu yang baik dan perlu dilaksanakan. Bagi konselor profesionalyang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang dapat meghalangi perkembangan individu, upaya pencegahan tidak sekedar merupakan ide yang bagus, tetapi merupakan suatu keharusan yang bersifat etis (Horner & McElhaney, 1993).

c. Fungsi Pemeliharaan

Adalah fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terpeliharanya dan terkembangkannya berbagai potensi siswa dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan.9

d. Fungsi Pengembangan

Yaitu hal-hal yang dipandang sudah bersifat positif dijaga agar tetap baik dan dimantapkan. Dengan demikian dapat diharapkan peserta didik dapat mencapai perkembangan kepribadian secara optimal. 10

e. Fungsi Penyaluran (distrubutive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahliandan ciri-ciri kepribadian yang lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu

9 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16

10 Hallen A, op.cit. h. 57

(23)

bekerjasama dengan peserta didik lainnya didalam maupun diluar lembaga pendidikan.

f. Fungsi Penyesuaian Diri (adjustive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

g. Fungsi Penyesuaian Lembaga (adaptif)

Yaitu fungsi yang membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, gurur, atau dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhann individu (siswa) dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai individu. Pembimbing atau konselor dapat membantu para guru atau dosen dalam memilih dan menyusun materi pelajaran, memilih metode, dan proses pembelajaran, maupun mengadaptasikan bahan ajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatan individu.11

h. Fungsi Pengentasan

Melalui fungsi ini, pelayanan bimbingan dan konseling akan menghasilkan teratasinya berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling ini berusaha membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didik. Proses perkembangan pada diri individu tidak semuanya selalu berjalan lancar dan berhasil, seperti kita sedang mengerjakan PR matematika, terkadang ada soal yang mudah kita selesaikan dan ada yang sulit.untuk menyelesaikan soalnya pun tidak hanya berfikir dan dikira-kira, namun membutuhkan rumus yang benar dalam mengatasi kesulitan soal tersebut. Begitu juga dengan perkembangan anak, sebagaimana diungkapkan oleh Syaodih bahwa

“banyaknya masalah yang dihadapi anak dan pemuda bukan saja dapat

11 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16-17

(24)

menghambat perkembangan mereka, tetapi juga dapat menimbulkan frustasi konflik, maladjusment dan mengganggu kebahagiaan hidupnya”.12

3. Jenis dan Layanan Bimbingan Konseling a. Layanan Orientasi

layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap linkungan yang baru dimasukinya.13 Adapun kegiatan yang dilakukan dalam layanan orientasi adalah layanan informasi, yaitu mmeberikan keterangan tentang berbagai hal berkenaan dengan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar (KBM), guru-guru, para siswa lama, lingkungan fisik sekolah, kantin sekolah, ruang bimbingan dan konseling, kantro guru dan kepala sekolah, perpustakaan, laboratorium, mushola sekolah, dan sebagainya.14

b. Layanan Informasi

Layanan informasi adalah layanan bimbingan yang berupa pemberian penerangan,penjelasan, pengarahan.15 Layanan infromasi dilakukan sepanjang tahun jika diperlukan siswa dan orang tuanya demi kemajuan studi.

Karena itu layanan yang satu ini harus diprogramkan dengan baik. Jika pada layanan orientasi disebutkan layanan informasi, adalah karena berkaitan dengan keperluan siswa baru. Namun, jika para siswa baru telah menjadi siswa senior, mereka tetap memerlukan layanan informasi. Demikian juga trehadap orang tua siswa, sepanjang tahun selama anaknya di sekolah tersebut mungkin masih memerlukan layanan berbagai informasi.16

c. Layanan Penempatan dan Penyaluran

Menurut Prayitno layanan penempatan adalah “suatu kegiatan bimbingan yang dilakukan untuk membantu individu atau kelompok yang

12 Syaodih & Nana Sukmadinata, Bimbingan dan konseling dalam praktek, mengembangkan potensi dan kepribadian siswa, (Bandung : Maestro, 2007), h. 28

13 Prayitno, dan Eman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), h. 255

14 Sofyan S. Willis, Komseling Individual, Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabet, 2013), cet-7, h.

33

15 Elfi Mu’awanah, dan Rifa Hidayah, Bimbingan Konseling Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009), h. 66

16 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h.33

(25)

mengalami mismatch (ketidaksesuaian antara potensi dengan usaha pengembangan, dan penempatan individu pada lingkungan yang cocok bagi dirinya serta pemberian kesempatan kepada individu untuk berkembang secara optimal)”.17

d. Layanan Pembelajaran (Bimbingn Belajar)

Layanan pembelajaran atau bimbingan belajar yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik mengembangkan diri berkenaan dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajarnya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, dan kesenian.18

e. Layanan Konseling Individual

Yaitu bantuan yang di berikan oleh konselor kepada seorang siswa dengan tujuan berkembangnya potensi siswa, mampu mengatasi masalah sendiri, dan dapat menyesuaikan diri secara positif.

f. Layanan Konseling Kelompok

Layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang diberikan kepada sekelompok siswa untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang menghambat perkembangan siswa.19

4. Pendekatan Bimbingan dan Konseling

Dilihat dari pendekatan bimbingan dan konseling, pendekatan ini dibagi menjadi 4 pendekatan, yaitu pendekatan krisis, pendekatan remedial, pendekatan preventif, dan pendekatan perkembangan.

a. Pendekatan Krisis

Pendekatan krisis adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami krisis atau masalah. Bimbingan ini bertujuan untuk mengatasi krisis atau masalah yang dialami individu. Dalam pendekatan ini,

17 Prayitno, dan Eman Amti, Op. Cit. h. 255

18 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h. 60

19 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h. 35

(26)

konselor menunggu klien yang datang, selanjutnya mereka memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang dirasakan klien.20

b. Pendekatan Remedial

Pendekatan remedial adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu yang selanjutnya berupa untuk memperbaikinya. Strategi yang digunakan dalam pendekatan ini, seperti mengajarkan kepada murid keterampilan tertentu seperti keterampilan belajar, membaca, menulis, merangkum, menyimak, dan sebagainya.21 c. Pendekatan Preventif

Pendekatan preventif adalah upaya bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu (siswa) dan mencoba untuk mencegah jangan sampai terjadi masalah terhadap diri individu. Dalam pendekatan ini konselor berupaya untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.22

B. Pondok Pesantren

Pondok pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan islam karena merupakan lembaga yang berupaya menanamkan nilai-nilai islam di dalam diri para santri. Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, yakni jika ditinjau dari sejarah pertumbuhannya, komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, pola kehidupan warganya, serta pola adopsi terhadap berbagai macam inovasi yang dilakukannya dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan baik pada ranah konsep ,aupun praktik.23

20 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81

21 Amin Budiman & Setiawati, Bimbingan Konseling, (Jakarta : Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h. 27

22 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81-82

23 Abdul Halim Soebahar, “modernisasi pesantren”, (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2013), h. 33

(27)

1. Pengertian dan Sejarah Pondok Pesantren

Pesantren berasal dari kata santri yang mendapatkan awalan pe- dan akhiran –an yang bermakna tempat para santri. Ada pula yang mengatakan pesatren sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua dan dianggap sebagai budaya asli (indigenous) Indonesia. Pesantren memiliki akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan pendidikan pesantren telah ada jauh sebelum kedatangan islam ke negeri ini, yakni pada masa Hindu-Buddha.

Pada saat itu, pesantren merupakan lembaga keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Buddha.24 Ada pendapat lain yang menghubungkan kata santri berasal dari kata cantrik (bahasa sanskerta atau mungkin jawa) yang berarti ‘orang yang selalu mengikuti guru’. Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut pawiyatan.

Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti ‘guru mengaji’.25

Sebagai unit lembaga pendidikan dan sekaligus lembaga dakwah, pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada 1399 M yang berfokus pada penyebaran agama islam di Jawa. Selanjutnya, tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning. Pesantren tersebut kemudian dipindahkan ke kawasan Ampel di seputar Delta Surabaya – karena ini pulalah Raden Rahmat akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Selanjutnya, putra dan putri dari Sunan Ampel mulai mendirikan beberapa pesantren baru, seperti Pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pesantren Demak oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Fungsi pesantren pada awalnya hanyalah sebagai media islamisasi yang memadukan tiga unsur, yaitu ibadah dan menanamkan iman, tabligh untuk

24 Abdullah Idi, dan Safarina, “etika pendidikan”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h.153

25 Muhammad Rifa’I, “sejarah pendidikan nasional”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.32

(28)

menyebarkan islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. 26

2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren

Setiap pesantren ternyata berproses dan bertumbuh kembang dengan cara yang berbeda-beda di berbagai tempat, baik dalam bentuk maupun kegiatan-kegiatan kurikulernya. Namun, di antara perbedaan-perbedaan tersebut masih bisa diidentifikasi adanya pola yang sama. Persamaan pola tersebut, menurut A. Mukti Ali, dapat dibedakan dalam dua segi, yaitu segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik trediri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada seriap pondok pesantren, yaitu: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa. (c) masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang non-fisik, adalah pengajian (pengajaran agama). Pengajian ini disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum nyaris seragam, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi standar kehidupan dan perkembangan pondok pesantren. Hamper senada dengan A.

Mukti Ali, Zamakhsyari Dhofier juga merumuskan pola yang sama. Hanya saja, Dhofier menitikberatkan komponen non-fisik pada pengajaran kitab- kitab islam klasik. Pasalnya, tegas Dhofier, tanpa pengajaran kitab-kitab islam klasik tersebut, pesantren dapat dianggap tidak asli lagi (indigenous).

Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah dikemukakan di sini bahwa komponen utama pesantren secara umum terdiri dari kiai, santri, mushalla/masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.27

1)

Kiai

Dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pesantrendisebut demikian karena kiailah yang bertugas memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri-meskipun

26 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 33-34

27 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 37

(29)

pada umumnya kiai juga memiliki beberapa asisten atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ustadz” atau “santri senior”. Kiai dalam pengertian umum, adalah pendiri dan pemimpin pesantren. Ia dikenal sebagai seorang muslim terpelajar yang membaktikan hidupnya semata-mata di jalan Allah dengan mendalami dan menyebarluaskan ajaran-ajaran islam melalui kegiatan pendidikan.

Masyarakat tradisional berpandangan bahwa seseorang mendapatkan predikat “kiai” karena ia diterima masyarakat sebagai kiai, di mana hal ini antara lain ditandai dengan berdatangnya orang-orang yang meminta nasehat kepadanya atau bahkan mengizinkan anak mereka untuk belajar kepadanya. Dengan kata lain, tidak ada persyaratan-persyaratan formal tertentu bagi siapapun untuk menjadi seorang kiai. Namun, dalam konteks ini, ada beberapa hal yang menurut Karel A. Steenbrink biasanya dijadikan sebagai tolak ukur, yaitu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya.

Alhasil, kiai merupakan komponen yang paling esensial dan vital di tubuh pesantren. Karena itulah, tentu sangat wajar apabila dikatakan bahwa bertumbuh dan berkembangnya suatu pesantren sangat tergantung pada kemampuan sang kiai.28

2)

Santri

Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya dijadikan tolak ukur sejauhmana suatu pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklasifikasikan istilah “santri” ini ke dalam dua kategori, yaitu “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah santri yang bertenpat tinggal di pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama. Termasuk dalam kategori yang disebut terakhir ini adalah mereka yang mengaji di

28 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 38-39

(30)

langgar-langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang harinya mereka pulang ke rumah.

Para santri dengan usia mereka yang bervariasi–ada yang dewasa, remaja, dan ada pula yang masih anak-anak–tinggal bersama di pesantren.

Hal ini sejatinya sangatlah potensial untuk menghasilkan suatu proses sosialisasi yang berkualitas di antara mereka. Namun demikian, tidaklah menutup kemungkinan pula bahwa potensi ini justru bisa memunculkan perilaku-perilaku menyimpang di kalangan santri, yakni dengan terlalu cepatnya perkembangan psikis santri berusia anak-anak dan remaja karena pengaruh tingkah laku yang ditunjukkan oleh teman-teman mereka yang sudah dewasa. Akibatnya, mereka pun menjadi dewasa (dalam arti negatif) sebelum waktunya29

Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri ini dapat digolongkan kepada dua kelompok:

a. Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia mondok (tinggal) di pesantren.

b. Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke tempat kediamannya masing- masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara rumahnya dan pesantren.

3)

Masjid

Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud, karena di tempat ini setidak-tidaknya seorang Muslim lima kali sehari semalam melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak hanya untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidkan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan unsur-unsur social kemasyarakatan serta pendidikan.30

29 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 39-40

30 Haidar Putra Daulay, “pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia”, (Jakarta : Kencana, 2012), h. 20-21

(31)

Masjid merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Ia dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mrndidik para santri, seperti praktek sembahyang berjamaah lima waktu, khutbah, shalat jum’at, dan pengajian kitab-kitab klasik.

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pondok pesantren merupakan manifestasi universalitas sistem pendidikan tradisional. Dalam hal ini, ia mengadopsi sistem pendidikan islam sebagaimana dipraktekan oleh Rasulullah saw.. yang menjadikan masjid sebagai pusatnya. Kini sistem tersebut seolah-olah masih tampak dalam praktek pendidikan di pondok pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa masjid sudah menjadi pusat pendidikan islam sejak zaman Nabi Saw.. Di mana pun kaum muslimin berada, demikian kata Zamakhsyari Dhofier, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Artinya pemandangan semacam ini telah berlangsung di dunia islam selama 14 abad lamanya. Bahkan, hingga saat ini pun–khususnya di daerah di mana umat islam belum begitu terpengaruh oleh kehidupan barat–masih banyak didapati para ulama yang dengan penuh pengabdian mengajar murid-muridnya di masjid, sekaligus memberikan mereka wejangan dan anjuran supaya meneruskan tradisi yang telah terbentuk sejak zaman permulaan islam tersebut.

Penting untuk ditegaskan di sini bahwa pesantren, khususnya di Jawa, selalu memelihara tradisi ini. Kiai mengajar murid-muridnya di masjid yang dianggapnya sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan kedisiplinan di kalangan santri terutama dalam mendirikan shalat lima waktu. Di masjid pulalah para santri mendapatkan gemblengan mental, pengetahuan-pengetahuan agama, dan lain sebagainya. Tak ayal, setiap kiai yang hendak merintis suatu pondok pesantren lumrahnya mendirikan mushalla/langgar/masjid terlebih dahulu di dekat rumahnya.

(32)

Kebanyakan langkah ini diambil atas perintah gurunya yang menilai bahwa ia kompeten untuk memimpin sebuah pesantren.31

4)

Pondok

Istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, penginapan. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai. Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kiai.32

Keberadaan pondok atau asrama merupakan ciri khas utama dari tradisi pesantren. Hal ini pula yang membedakan pesantren dengan sistem tradisional lainnya yang kini banyak dijumpai di masjid-masjid di berbagai negara. Bahkan, ia juga tampak berbeda dengan sistem pendidikan surau/masjid yang belakangan ini tumbuh pesat di Indonesia.

Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para santri tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan seorang kiai. Asrama para santri tersebut berada di kompleks pesantren, di mana sang kiai juga bertempat tinggal di situ dengan fasilitas utama berupa mushalla/langgar/masjid sebagai tempat ibadah, ruang belajar, dan pusat kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini pada umumnya dikelilingi pagar atau dinding tembok yang berguna untuk mengontrol keluar masuknya santri menurut peraturan yang berlaku di suatu pesantren.

Menurut Dhofier, sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang agama islam telah menarik minat para santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut, secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kiai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa,

31 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 40-41

32 Haidar Putra Daulay, op. cit. h. 19-20

(33)

dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang memadai untuk menampung para santri sehingga keberadaan suatu asrama khusus bagi mereka menjadi sesuatu yang niscaya. Ketiga, adanya hubungan interpersonal yang khas yang terjalin antara seorang kiai dan para santri.

Dalam konteks ini, para santri menganggap kiai tak ubahnya ayah bagi mereka, sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan tuhan yang harus senantiasa dilindungi dan dibimbing. Relasi timbal balik semacam ini dianggap telah memunculkan suasana keakraban sehingga mereka merasa butuh untuk saling berdekatan satu sama lain.33

5)

Pengajaran kitab klasik

Kitab-kitab islam klasik, terutama karangan para ulama yang bermadzhab Syafi’i, merupakan satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di pesantren. Tujuan utama dari pengajaran ini adalah untuk mendidik calon-calon ulama– tentunya hal ini berlaku terutama bagi para santri yang tinggal di pesantren dalam waktu yang relatif panjang. Adapun mereka yang tinggal dalam rentang waktu yang pendek–dan tidak bercita- cita menjadi ulama–biasanya mempunyai tujuan untuk menimba pengalaman terutama dalam hal pendalaman jiwa keagamaan.

Meskipun dewasa ini mayoritas pesantren telah memasukkan materi-materi pengetahuan umum ke dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, pengajaran kitab-kitab islam klasik tetaplah dilestarikan.

Hal ini bertujuan untuk mempertahankan tujuan utama dari pesnatren itu sendiri, yaitu dalam rangka mendidik calon-calon ulama yang setia pada paham-paham islam tradisional. Seluruh kitab islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu: (a) bahsa, (b) al- Quran, (c) hadis, (d) tauhid, (e) fiqih, dan (f) tasawuf.

Pesantren dalam perkembangannya juga memperkenalkan pengetahuan-pengetahuan umum kepada para santrinya. Ini merupakan isyarat yang nyata bahwa program pendidikan di pesnatren harus mengacu

33 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 42

(34)

pada sistem pendidikan nasional yang, dalam pengamatan Nurcholis Madjid, dianggap memiliki kecenderungan ke konvergensi, yaitu suatu bentuk hasil dari saling pengertian (mutual understanding) dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima, atau disebut elektif-inkorporatif, yakni mengambil ajaran-ajaran kefilsafatan yang merupakan kenyataan dan kebenaran atau disebut elektis, dengan dilepaskan dari dasar sistem atau filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan atau dimasukkan dalam struktur filsafat pancasila. Pengetahuan-pengetahuan umum yang dimaksud di sini adalah meliputi kurikulum pendidikan keterampilan, matematika, fisika, kimia, dan bahasa sehingga pesantren tidak sekedar mengajarkan pengetahuan- pengetahuan agama saja, tetapi juga pengetahuan umum.

Ringkasnya, setiap pesantren yang secara konsisten berupaya melakukan standarisasi sistem pendidikan berdasarkan ketentuan undang- undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, dan peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, sudah semestinya melakukan pembenahan-pembenahan dalam banyak aspeknya.34

C. Kenakalan Remaja (Juvenile delinquency)

1. Pengertian Kenakalan Remaja (Juvenile delinquency)

Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara emosional kepada anak-anak dan remaja disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang.

34 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 41-44

(35)

Anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara emosional. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.

Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, artinya: anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada anak muda, sifat-sifat khas pada periode remaja.

Delintquent berasal dari kata latin ðelinquere” yang berarti: terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal,pelanggar aturan pemnuat rebut, pangacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.35

2. Tipe Kenakalan Remaja

Tipe delinkuensi menurut struktur kepribadian ini dibagi atas:

a) Delinkuensi terisolir

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen;

merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor berikut:

1) Kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam; akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru.

2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah-daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultural kriminal.

3) Pada umumnya anak delinkuen ini berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen dan mengalami banyak frustasi.

35 Kartini Kartono, “Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 6

(36)

4) Sebagai jalan keluarnya, anak memuaskan semua kebutuhan dasarnya ditengah lingkungan anak-anak kriminal. Gang delinkuen memberikannya alternative hidup yang menyenangkan.

5) Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur.

Ringkasnya, delinkuensi terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekuritas dari dan di dalam kelompok gangnya.36

b) Delinkuensi neurotik

Pada umumnya anak-anak delinkuen tipe ini menderita gangguan kejiawaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, merasa tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka itu antara lain ialah:

1) Tingkah laku delinkuennya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultural gangnya yang kriminal itu saja; juga bukan usaha untuk mendapatkan prestise sosial dan simpati dari luar.

2) Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan.

3) Biasanya, anak remaja delinkuen seperti ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekan jenis kejahatan tertentu.

4) Anak delinkuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari linkungan yang konvensional yang cukup baik kondisi sosial-ekonominya.

5) Anak delinkuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, da nada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak-anak remaja lainnya.

36 Kartini Kartono, Op. Cit., h.49-51

(37)

6) Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda. Misalnya, para penyundut api (pyromania, suka membakar).

7) Perilakunya memperlihatkan kualitas komplusif (paksaan). Kualitas sedemikia ini tidak terdapat pada tipe delinkuen terisolir.37

c) Delinkuensi psikopatik

Delinkuen psikopatik ini sedikit jumlahnya; akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. ciri-ciri tingkah laku mereka ialah:

1) Hamper seluruh anak delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam linhkungan keluarga yang ekstrim, brutal diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyiakan anak-anaknya.

2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa atau melakukan pelanggaran. Karena itu sering meledak dan tidak terkendali.

3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan implusif.

4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku. Juga tidak perduli terhadap norma subkultural gangnya sendiri.

5) Acapkali mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.38

d) Delinkuensi defek mental

Defek (defect, defectus) artinya: rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri: selalu melakukan tindak a-sosial atau anti-sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya.

37 Kartini Kartono, Op. Cit., h.52-53

38 Kartini Kartono, Op. Cit., h. 53-54

(38)

Kelemahan dan kegagalan para remaja delinkuen tipe ini ialah:

mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat; juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Selalu saja mereka ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan.39

3. Teori-Teori Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja

Kejahatan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai sabab-musabab yang majemuk; jadi sifatnya multi- kasual. Para sarjana menggolongkannya menurut beberapa teori, sebagai berikut:

a) Teori Biologis

Tingkah-laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung:

1) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah- laku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial.

2) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku delinkuen.

3) Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah-laku delinkuen atau sosiopatik.

Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidius (sejenis pwnyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.40 b) Teori Psikogenis (psikologi dan psikiatris)

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen anak- anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor

39 Kartini Kartono, Op. Cit., h. 54-55

40 Kartini Kartono, Op. Cit., h. 25-26

(39)

intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain.

Argumen sentral teori ini adalah sebagai berikut: delinkuen merupakan “bentuk penyelesaian”atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak yang delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung, jelas membuahka masalah psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, delinkuen atau kejahatan anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak remaja itu sendiri.

c) Teori Sosiogenis

Para sosiologis berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atau konsep- dirinya.

d) Teori Subkultural

Tiga teori yang terdahulu (biologis, psikogenis dan sosiogenis) sangat popular sampai tahun-tahun 50-an. Sejak tahun 1950 ke atas banyak terdapat perhatian pada aktivitas-aktivitas gang yang terorganisir dengan subkultular-subkulturalnya. Adapun sebabnya ialah:

(40)

1) Bertambahnya dengan cepat jumlah kejahatan, dan meningkatnya kualitas kekerasan serta kekejaman yang dilakukan oleh anak-anak remaja yang memiliki subkultural delinkuen.

2) Meningkatnya jumlah kriminalitas mengakibatkan sangat besarnya kerugian dan kerusakan secara universal, terutama terdapat di negara-negara industri yang sudah maju, disebabkan oleh meluasnya kejahatan anak-anak remaja.

4. Penanggulangan Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja sudah menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Pada satu sisi mereka sedang berupaya untuk menemulan jati dirinya, sementara disisi lain pengaruh lingkungan dan pergaulan cenderung menjauhkan dari tertanamnya nilai-nilai integritas kepribadian. Para guru senantiasa melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kenakalan remaja tersebut.

Setidaknya kita mengenal ada dua upaya, yaitu upaya yang bersifat preventif atau pencegahan, serta upaya yang bersifat kuratif atau upaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Upaya yang bersifat preventif adalah upaya untuk mencegah timbulnya masalah-masalah dikemudian hari. Upaya preventif ini lebih baik dari pada upaya yang bersifat kuratif. Pembuatan aturan atau tata tertib termasuk salah satu upaya preventif.

Adanya kejelasan aturan atau tata tertib yang bersifat mengikat bagi seluruh warga dalam dunia pendidikan akan meminimalisasi terjadinya pelanggaran- pelanggaran.41

a) Preventif

Tindakan preventif yang dilakukan antara lain berupa:

1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga.

2) Perbaikan lingkungan.

3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis.

4) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja.

41 Namora Lumongga Lubis, “memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik”, (Jakarta:

Kencana, 2011), h. 257

(41)

5) Membentuk badan kesejahteraan anak-anak.

6) Mengadakan pantiasuhan.

7) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif, pengkoreksian diri dan asistensi untuk hidup mandiri.

8) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap anak delinkuen, disertai dengan program yang korektif.

9) Mengadakan pengadilan anak.

10) Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak dan remaja.

11) Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).

12) Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan remaja.

13) Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar.

14) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja delinkuen dan yang nondelinkuen, dan lain-lain.42

b) Kuratif

Selanjutnya tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak delinkuen antara lain berupa:

1) Menghilangkan semua sebab musabab timbulnya kejahatan remaja, baik yang berupa pribadi familial, sosial ekonomis dan kultural.

2) Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang rua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang sehat bagi anak anak ramaja.

3) Memindahkan anak anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke tengah lingkungan sosial yang lebih baik.

4) Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan berdisiplin.

42 Kartini Kartono, Op. Cit., h. 95-96

(42)

5) Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi.

6) Menggiatkan organisasi pemuda dengan program program latihan vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen itu bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat.

7) Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan.

8) Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya.43

43 Kartini Kartono, Op. Cit., h. 96-97

(43)

30 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Penelitian 1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian atau lokasi yang penulis jadikan objek dalam penelitian ini adalah di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan yang berlokasi di Jl. Kayu Manis AMD 28 RT 003/005 Condet Balekambang, Kec. Kramatjati, Jakarta Timur, DKI Jakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Peran Bimbingan dan Konseling Dalam Mengatasi Kenakalan Santri di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan”

dilaksanakan pada tahun pelajaran 2019/2020.

B. Latar Penelitian (Setting)

Penelitian ini dilakukan di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan yang letaknya di Kramar Jati, Jakarta Timur, dimana Pesantren tersebut merupakan yayasan dari KH. Drs. Muhammad Nuruddin Munawwar yang sudah berdiri sejak tahun 1990. Dari jenjang RA, MI, MTs, dan MA. Pondok Pesantren Tapak Sunan adalah sebuah pesantren yang berada ditengah tengah kepadatan kota, yang mengedepankan aspek aspek religius sebagai tujuan utama.

Letaknya yang berada ibu kota menjadikan Pondok Pesantren Tapak Sunan sebuah alternatif pendidikan bagi masyarakat yang bertujuan untuk mendidik anaknya agar memiliki ilmu umum serta ilmu agama yang kuat, tidak kalah dengan pesatren pesantren ternama lainnya di beragai daerah. Alumni Pondok Pesantren Tapak Sunan tidak hanya mampu bersaing dalam hal keagamaan akan tetapi dalam hal ilmu umum juga, terbukti dari para alumninnya banyak yang melanjutkan pendidikannya ke universitas universitas ternama di Indonesia, seperti UI, UIN, UNJ.

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian, dimana perpaduan antara madrasah dengan pesantren menjadikan sebuah keunikan

Gambar

Tabel 4.1  Sarana dan Prasarana MA Pondok Pesantren Tapak Sunan  Tabel 4.2  Data Pendidik dan Tendik MA Pondok Pesantren Tapak Sunan  Tabel 4.3  Data  Santri  MA  Pondok  Pesantren  Tapak  Sunan  Tahun  Ajaran
Grafik Pelanggaran Santri

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menemukan bahwa latar belakang pendidikan Dewan Direksi tidak memberikan pengaruh pada kinerja keuangan yang diukur menggunakan return on assets

Bappenas bekerja sama dengan Australia Awards in Indonesia, Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya (PMIE UB) Malang, dan Macquarie University memberikan beasiswa

III. Instalasi Rekam Medis wajib melakukan pengkodean penyakit terhadap seluruh diagnosa, tindakan atau penunjang yang tercatat dalam dokumen rekam medis setelah

• Dari tulisannya tersebut kita melihat bahwa pada awal abad pertama setelah masehi, Pliny berhasil mengidentifikasi adanya bahaya debu di tempat kerja dan menuliskan

Uji coba dilakukan sebanyak 10 kali dengan tulisan yang sama, presentase tulisan Arab sambung yang dapat dipisah menjadi pola huruf pembentuknya yaitu 44% untuk huruf Arab yang

Mengadopsi teknologi dengan aplikasi penyimpanan arsip perlu didukung tidak hanya oleh satu pihak tetapi oleh semua pihak mengingat kearsipan merupakan wadah dari

Banyaknya ruang publik alternatif di kota Bandung serta semangat komunitas anak muda yang mempeloporinya, membuat penulis tertarik untuk mengekspos dan

Tujuan dari analisis pendekatan konsep sub-structure adalah untuk mendapatkan konsep sub-structure yang sesuai dengan bentuk bangunan, material bangunan yang akan digunakan