• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat di identifikasi beberapa permasalahan, yaitu:

1. Kurangnya fokus guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi sebuah permasalahan

2. Tidak adanya jam pelajaran bimbingan dan konseling

3. Kurangnya kontrol orang tua dalam mengawasi anaknya ketika masa liburan 4. Kurangnya fasilitas yang memadai untuk melakukan kegiatan bimbingan

5. Sifat sifat yang kurang baik santri sebelum mereka masuk pesantren C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini terarah dan tidak melebar maka penulis membatasi penelitian ini tentang bagaimana peran yang dilakukan oleh guru BK di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Tapak Sunan.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

2. Bagaimana proses bimbingan konseling yang berjalan di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

3. Apa saja yang menjadi faktor penghambat guru BK dalam mengatasi kenakalan siswa di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian harus memiliki tujuan dan manfaat, adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui peran guru BK dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan

b. Untuk mengetahui proses bimbingan konseling di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan

c. Untuk mengetahui langkah-langkah yang di lakukan oleh guru BK dalam mengatasi kenakalan remaja di MA Pondok Pesantren Tapak Sunan 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat akademik dan praktis, antara lain sebagai berikut:

a. Manfaat akademik

penelitian ini diharapkan dapat menambah keyakinan terhadap pentingnya kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah, guna mencapai tujuan yang diinginkan dalam kurikulum 2013 tentang pedidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis.

b. Manfaat Praktis

1) Manfaat bagi pihak sekolah dan guru, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam meningkatkan kualitas bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah, khususnya dalam hal mengatasi kenakalan remaja.

2) Manfaat bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan yang lebih kongkrit apabila penulis akan terjun dalam dunia pendidikan, khususnya mengenai kegiatan bimbingan dan konseling.

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Bimbingan dan Konseling

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan indonesia yang cerdas komperhensif, yaitu cerdas dan kompetitif maka diperlukan adanya pengembangan kurikulum.

Wibowo (2013) menyebutkan pengembangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Di samping kurikulum, terdapat sejumlah faktor diantaranya : lama peserta didik bersekolah, lama peserta didik tinggal di sekolah, pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi, buku pegangan guru dan buku babon (teks) untuk peserta didik, dan peran Guru Mata Pelajaran sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan dan Guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK) atau konselor yang membantu mengarahkan arah peminatan kelompok dan pendalaman materi mata pelajaran sesuai dengan kemampuan dasar umum (kecerdasan), bakat, minat dan kecenderungan umum setiap siswa.

Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dalam Pasal 1 ayat 6 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 disebut bahwa posisi guru bimbingan dan konseling yang disebut konselor sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 bahwa bimbingan dan konseling disiapkan untuk memfasilitasi satuan pendidikan dalam mewujudkan proses

pendidikan yang memperhatikan dan menjawab ragam kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai dengan karakteristik peserta didik.3

1. Pengertian bimbingan dan konseling

Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata

“Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti

“menunjukkan, membimbing, menuntut, ataupun membantu”.4

Istilah konseling berasal dari kata “counseling” adalah kata dalam bentuk mashdar dari “to counsel” secara etimologi berarti “to give advice” atau memberikan saran dan nasihat. Konseling juga memiliki arti memberikan nasihat, atau memberikan anjuran kepada orang lain secara tatap muka (face to face). Jadi, counseling berarti pemberian nasihat atau penasihatan kepada orang lain secara individual yang dilakukan dengan cara tatap muka. Dalam bahasa indonesia, pengertian konseling juga dikenal dengan istilah penyuluhan.5

Istilah bimbingan dan konseling yang dimaksud sebagai terjemahan istilah

“Guidance and Counselling”. Guidance diterjemahkan sebagai bimbingan dan Counselling diterjemahkan sebagai konseling, akan tetapi ada sebagian penadapat yang menterjemahkan Counselling sebagai penyuluhan.

Penyuluhan dalam pengertian lebih mengarah kepada usaha-usaha suatu badan, lembaga baik itu pemerintah maupun non pemerintah (swasta) yang sifatnya untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan keterampilan warga masyarakat berkenaan dengan hal tertentu.6

Kata “konseling” mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, bimbingan atau pemecahan masalah, tugas konseling adalah memberikan kesempatan kepada “klien” untuk mengeksplorasi, menemukan, dan

3 Aimmatul Husna, dkk, “Tingkat Pemahaman Konselor Terhadap Implementasi Bimbingan Dan Konseling Dalam Kurikulum 2013”. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application. Vol. 3 No. 4, Desember 2014, 8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk. 20 Mei 2020

4 Hallen A, “Bimbingan dan konseling”, (Jakarta : ciputat pers, 2002), h.3

5 Samsul Munir Amin, “Bimbingan dan Konseling Islam”, (Jakarta : Amah,2010), h.10-11

6 Eva Arifin, “teknik konseling di media massa”, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), h.12

menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.7

Dari beberapa sumber diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang kenselor atau pembimbing untuk memberikan jalan keluar atas segala masalah atau problematika dalam kehidupan si klien (siswa dalam dunia pendidikan).

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Tujuan bimbingan dan penyuluhan di sekolah tidak terlepas dari tujuan dari pendidikan dan pengajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Tujuan dari pendidikan dan pengajaran di Indonesia tercantum dalam undang-undang No. 12 tahun 1954 dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi:

“Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang cakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung-djawab tentang kesedjahteraan masyarakat dan tanah air”

Dengan demikian maka tujuan dari bimbingan dan penyuluhan di sekolah ialah membantu tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran dan membantu individu untuk mencapai kesejahteraan.

Fungsi bimbingan dan penyuluhan dalam proses pendidikan dan pengajaran ialah untuk membantu pendidikan dan pengajaran. Karena itu maka segala langkah dari bimbingan dan penyuluhan harus sejalan dengan langkah-langkah yang diambil oleh segi pendidikan. Adalah suatu hal yang wajar dengan adanya bimbingan dan penyuluhan itu diharapkan pendidikan akan berlangsung lebih lancar, karena pendidikan akan mendapatkan bantuan dari bimbingan dan penyuluhan.8 Berikut adalah beberapa fungsi bimbingan dan konseling;

a. Fungsi Pemahaman

Yaitu membantu peserta didik agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma

7 Jhon Mc Leod, “Pengantar konseling teori dan studi kasus”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.5

8 Bimo Walgito, “Bimbingan dan penyuluhan di Sekolah”, (Yogyakarta : Andi Offset, 1986), h.25

agama). Berdasarkan pemahaman ini, individu diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.

b. Fungsi Pencegahan (preventif)

Ada suatu slogan yang berkembang dalam bidang kesehatan, yaitu

“mencegah lebih baik daripada mengobati”. Slogan ini relevan dengan bidang bimbingan dan konseling yang sangat mendambakan setiap individu tidak mengalami suatu masalah. Pencegahan diterima sebagai sesuatu yang baik dan perlu dilaksanakan. Bagi konselor profesionalyang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang dapat meghalangi perkembangan individu, upaya pencegahan tidak sekedar merupakan ide yang bagus, tetapi merupakan suatu keharusan yang bersifat etis (Horner & McElhaney, 1993).

c. Fungsi Pemeliharaan

Adalah fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terpeliharanya dan terkembangkannya berbagai potensi siswa dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan.9

d. Fungsi Pengembangan

Yaitu hal-hal yang dipandang sudah bersifat positif dijaga agar tetap baik dan dimantapkan. Dengan demikian dapat diharapkan peserta didik dapat mencapai perkembangan kepribadian secara optimal. 10

e. Fungsi Penyaluran (distrubutive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahliandan ciri-ciri kepribadian yang lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu

9 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16

10 Hallen A, op.cit. h. 57

bekerjasama dengan peserta didik lainnya didalam maupun diluar lembaga pendidikan.

f. Fungsi Penyesuaian Diri (adjustive)

Yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

g. Fungsi Penyesuaian Lembaga (adaptif)

Yaitu fungsi yang membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, gurur, atau dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhann individu (siswa) dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai individu. Pembimbing atau konselor dapat membantu para guru atau dosen dalam memilih dan menyusun materi pelajaran, memilih metode, dan proses pembelajaran, maupun mengadaptasikan bahan ajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatan individu.11

h. Fungsi Pengentasan

Melalui fungsi ini, pelayanan bimbingan dan konseling akan menghasilkan teratasinya berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling ini berusaha membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh peserta didik. Proses perkembangan pada diri individu tidak semuanya selalu berjalan lancar dan berhasil, seperti kita sedang mengerjakan PR matematika, terkadang ada soal yang mudah kita selesaikan dan ada yang sulit.untuk menyelesaikan soalnya pun tidak hanya berfikir dan dikira-kira, namun membutuhkan rumus yang benar dalam mengatasi kesulitan soal tersebut. Begitu juga dengan perkembangan anak, sebagaimana diungkapkan oleh Syaodih bahwa

“banyaknya masalah yang dihadapi anak dan pemuda bukan saja dapat

11 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, ”Landasan Bimbingan dan Konseling”, (Bandung : Rosdakarya, 2012), h. 16-17

menghambat perkembangan mereka, tetapi juga dapat menimbulkan frustasi konflik, maladjusment dan mengganggu kebahagiaan hidupnya”.12

3. Jenis dan Layanan Bimbingan Konseling a. Layanan Orientasi

layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap linkungan yang baru dimasukinya.13 Adapun kegiatan yang dilakukan dalam layanan orientasi adalah layanan informasi, yaitu mmeberikan keterangan tentang berbagai hal berkenaan dengan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar (KBM), guru-guru, para siswa lama, lingkungan fisik sekolah, kantin sekolah, ruang bimbingan dan konseling, kantro guru dan kepala sekolah, perpustakaan, laboratorium, mushola sekolah, dan sebagainya.14

b. Layanan Informasi

Layanan informasi adalah layanan bimbingan yang berupa pemberian penerangan,penjelasan, pengarahan.15 Layanan infromasi dilakukan sepanjang tahun jika diperlukan siswa dan orang tuanya demi kemajuan studi.

Karena itu layanan yang satu ini harus diprogramkan dengan baik. Jika pada layanan orientasi disebutkan layanan informasi, adalah karena berkaitan dengan keperluan siswa baru. Namun, jika para siswa baru telah menjadi siswa senior, mereka tetap memerlukan layanan informasi. Demikian juga trehadap orang tua siswa, sepanjang tahun selama anaknya di sekolah tersebut mungkin masih memerlukan layanan berbagai informasi.16

c. Layanan Penempatan dan Penyaluran

Menurut Prayitno layanan penempatan adalah “suatu kegiatan bimbingan yang dilakukan untuk membantu individu atau kelompok yang

12 Syaodih & Nana Sukmadinata, Bimbingan dan konseling dalam praktek, mengembangkan potensi dan kepribadian siswa, (Bandung : Maestro, 2007), h. 28

13 Prayitno, dan Eman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), h. 255

14 Sofyan S. Willis, Komseling Individual, Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabet, 2013), cet-7, h.

33

15 Elfi Mu’awanah, dan Rifa Hidayah, Bimbingan Konseling Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009), h. 66

16 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h.33

mengalami mismatch (ketidaksesuaian antara potensi dengan usaha pengembangan, dan penempatan individu pada lingkungan yang cocok bagi dirinya serta pemberian kesempatan kepada individu untuk berkembang secara optimal)”.17

d. Layanan Pembelajaran (Bimbingn Belajar)

Layanan pembelajaran atau bimbingan belajar yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik mengembangkan diri berkenaan dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajarnya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, dan kesenian.18

e. Layanan Konseling Individual

Yaitu bantuan yang di berikan oleh konselor kepada seorang siswa dengan tujuan berkembangnya potensi siswa, mampu mengatasi masalah sendiri, dan dapat menyesuaikan diri secara positif.

f. Layanan Konseling Kelompok

Layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang diberikan kepada sekelompok siswa untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang menghambat perkembangan siswa.19

4. Pendekatan Bimbingan dan Konseling

Dilihat dari pendekatan bimbingan dan konseling, pendekatan ini dibagi menjadi 4 pendekatan, yaitu pendekatan krisis, pendekatan remedial, pendekatan preventif, dan pendekatan perkembangan.

a. Pendekatan Krisis

Pendekatan krisis adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami krisis atau masalah. Bimbingan ini bertujuan untuk mengatasi krisis atau masalah yang dialami individu. Dalam pendekatan ini,

17 Prayitno, dan Eman Amti, Op. Cit. h. 255

18 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h. 60

19 Sofyan S. Willis, Op. Cit. h. 35

konselor menunggu klien yang datang, selanjutnya mereka memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang dirasakan klien.20

b. Pendekatan Remedial

Pendekatan remedial adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu yang selanjutnya berupa untuk memperbaikinya. Strategi yang digunakan dalam pendekatan ini, seperti mengajarkan kepada murid keterampilan tertentu seperti keterampilan belajar, membaca, menulis, merangkum, menyimak, dan sebagainya.21 c. Pendekatan Preventif

Pendekatan preventif adalah upaya bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu (siswa) dan mencoba untuk mencegah jangan sampai terjadi masalah terhadap diri individu. Dalam pendekatan ini konselor berupaya untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.22

B. Pondok Pesantren

Pondok pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan islam karena merupakan lembaga yang berupaya menanamkan nilai-nilai islam di dalam diri para santri. Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, yakni jika ditinjau dari sejarah pertumbuhannya, komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, pola kehidupan warganya, serta pola adopsi terhadap berbagai macam inovasi yang dilakukannya dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan baik pada ranah konsep ,aupun praktik.23

20 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81

21 Amin Budiman & Setiawati, Bimbingan Konseling, (Jakarta : Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h. 27

22 Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Op. Cit, h. 81-82

23 Abdul Halim Soebahar, “modernisasi pesantren”, (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2013), h. 33

1. Pengertian dan Sejarah Pondok Pesantren

Pesantren berasal dari kata santri yang mendapatkan awalan pe- dan akhiran –an yang bermakna tempat para santri. Ada pula yang mengatakan pesatren sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua dan dianggap sebagai budaya asli (indigenous) Indonesia. Pesantren memiliki akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan pendidikan pesantren telah ada jauh sebelum kedatangan islam ke negeri ini, yakni pada masa Hindu-Buddha.

Pada saat itu, pesantren merupakan lembaga keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Buddha.24 Ada pendapat lain yang menghubungkan kata santri berasal dari kata cantrik (bahasa sanskerta atau mungkin jawa) yang berarti ‘orang yang selalu mengikuti guru’. Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut pawiyatan.

Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti ‘guru mengaji’.25

Sebagai unit lembaga pendidikan dan sekaligus lembaga dakwah, pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada 1399 M yang berfokus pada penyebaran agama islam di Jawa. Selanjutnya, tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning. Pesantren tersebut kemudian dipindahkan ke kawasan Ampel di seputar Delta Surabaya – karena ini pulalah Raden Rahmat akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Selanjutnya, putra dan putri dari Sunan Ampel mulai mendirikan beberapa pesantren baru, seperti Pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pesantren Demak oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Fungsi pesantren pada awalnya hanyalah sebagai media islamisasi yang memadukan tiga unsur, yaitu ibadah dan menanamkan iman, tabligh untuk

24 Abdullah Idi, dan Safarina, “etika pendidikan”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h.153

25 Muhammad Rifa’I, “sejarah pendidikan nasional”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.32

menyebarkan islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. 26

2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren

Setiap pesantren ternyata berproses dan bertumbuh kembang dengan cara yang berbeda-beda di berbagai tempat, baik dalam bentuk maupun kegiatan-kegiatan kurikulernya. Namun, di antara perbedaan-perbedaan tersebut masih bisa diidentifikasi adanya pola yang sama. Persamaan pola tersebut, menurut A. Mukti Ali, dapat dibedakan dalam dua segi, yaitu segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik trediri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada seriap pondok pesantren, yaitu: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa. (c) masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang non-fisik, adalah pengajian (pengajaran agama). Pengajian ini disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum nyaris seragam, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi standar kehidupan dan perkembangan pondok pesantren. Hamper senada dengan A.

Mukti Ali, Zamakhsyari Dhofier juga merumuskan pola yang sama. Hanya saja, Dhofier menitikberatkan komponen non-fisik pada pengajaran kitab-kitab islam klasik. Pasalnya, tegas Dhofier, tanpa pengajaran kitab-kitab-kitab-kitab islam klasik tersebut, pesantren dapat dianggap tidak asli lagi (indigenous).

Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah dikemukakan di sini bahwa komponen utama pesantren secara umum terdiri dari kiai, santri, mushalla/masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.27

1)

Kiai

Dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pesantrendisebut demikian karena kiailah yang bertugas memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri-meskipun

26 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 33-34

27 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 37

pada umumnya kiai juga memiliki beberapa asisten atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ustadz” atau “santri senior”. Kiai dalam pengertian umum, adalah pendiri dan pemimpin pesantren. Ia dikenal sebagai seorang muslim terpelajar yang membaktikan hidupnya semata-mata di jalan Allah dengan mendalami dan menyebarluaskan ajaran-ajaran islam melalui kegiatan pendidikan.

Masyarakat tradisional berpandangan bahwa seseorang mendapatkan predikat “kiai” karena ia diterima masyarakat sebagai kiai, di mana hal ini antara lain ditandai dengan berdatangnya orang-orang yang meminta nasehat kepadanya atau bahkan mengizinkan anak mereka untuk belajar kepadanya. Dengan kata lain, tidak ada persyaratan-persyaratan formal tertentu bagi siapapun untuk menjadi seorang kiai. Namun, dalam konteks ini, ada beberapa hal yang menurut Karel A. Steenbrink biasanya dijadikan sebagai tolak ukur, yaitu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya.

Alhasil, kiai merupakan komponen yang paling esensial dan vital di tubuh pesantren. Karena itulah, tentu sangat wajar apabila dikatakan bahwa bertumbuh dan berkembangnya suatu pesantren sangat tergantung pada kemampuan sang kiai.28

2)

Santri

Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya dijadikan tolak ukur sejauhmana suatu pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklasifikasikan istilah “santri” ini ke dalam dua kategori, yaitu “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah santri yang bertenpat tinggal di pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama. Termasuk dalam kategori yang disebut terakhir ini adalah mereka yang mengaji di

28 Abdul Halim Soebahar, op. cit. h. 38-39

langgar-langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang harinya mereka pulang ke rumah.

Para santri dengan usia mereka yang bervariasi–ada yang dewasa, remaja, dan ada pula yang masih anak-anak–tinggal bersama di pesantren.

Hal ini sejatinya sangatlah potensial untuk menghasilkan suatu proses sosialisasi yang berkualitas di antara mereka. Namun demikian, tidaklah menutup kemungkinan pula bahwa potensi ini justru bisa memunculkan perilaku-perilaku menyimpang di kalangan santri, yakni dengan terlalu cepatnya perkembangan psikis santri berusia anak-anak dan remaja karena pengaruh tingkah laku yang ditunjukkan oleh teman-teman mereka yang sudah dewasa. Akibatnya, mereka pun menjadi dewasa (dalam arti negatif)

Hal ini sejatinya sangatlah potensial untuk menghasilkan suatu proses sosialisasi yang berkualitas di antara mereka. Namun demikian, tidaklah menutup kemungkinan pula bahwa potensi ini justru bisa memunculkan perilaku-perilaku menyimpang di kalangan santri, yakni dengan terlalu cepatnya perkembangan psikis santri berusia anak-anak dan remaja karena pengaruh tingkah laku yang ditunjukkan oleh teman-teman mereka yang sudah dewasa. Akibatnya, mereka pun menjadi dewasa (dalam arti negatif)