• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Fungsi dan Urgensi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Eksistensi suatu lembaga ditentukan oleh kemampuannya dalam melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat beragam. Tidak jarang terjadi keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau digantikan oleh lembaga baru yang lebih mampu melayani kebutuhan stakeholder setempat. Suatu lembaga atau organisasi mampu bertahan dalam dinamika masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan.

Menurut Soekanto (2001) dalam Silalahi (2006), pada dasarnya lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Adapun tujuan sebuah kelembagaan yang berlaku dalam sebuah masyarakat/komunitas/organisasi antara lain:

1. Unsur pelaksana kegiatan penelitian yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan penelitian, mengusahakan dan mengendalikan sumber daya penelitian. 2. Unsur pelaksana kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertugas

mengkoordinasi, memantau, dan menilai serta mendokumentasikan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, dan ikut mengusahakan sumber daya yang diperlukan.

3. Unsur pelaksana kegiatan kerjasama yang bertugas mengkoordinasikan, memantau dan menilai serta mendokumentasikan kegiatan kerjasama, serta ikut mengusahakan sumber daya yang diperlukan.

Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) terhadap sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya, dan aturan- aturan perwakilan (rules of representation) dalam pemanfaatan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan intitusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sagat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya (Sinukaban, 2007).

Menurut Pakpahan (1989) dalam Games H (2010), pada umumnya kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property rights), dan aturan representatif. Batas yudisriksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan di masyarakat. Konsep batas yudisriksi dapat mencakup wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yudisriksi menjelaskan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing unsur hirarki sosial yang ada dalam struktur kelembagaan. Hak kepemilikan (property rights) mengandung makna sosial, muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligation) yang didefenisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa yang ada dalam proses pengambilan keputusan.

2.4. Hak Kepemilikan dalam Sumberdaya Perikanan sebagai Kelembagaan

Hak kepemilikan (property rights) atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu yang disebut bisa berupa barang (fisik), jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat intangible. Masalah hak kepemilikan (property rights) menjadi hal pokok dalm keberhasilan efisiensi alokasi sumberdaya dan bekerjanya pasar. Kegagalan dalam menentukan dengan jelas hak kepemilikan juga akan menimbulkan eksternalitas, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam. Jika hak kepemilikan atas sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak ada hak yang sah yang memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumberdaya (Fauzi, 2006). Fauzi (2006), mendefenisikan hak kepemilikan sebagai klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut.

Hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari (Gibb dan Bromley, 1999 dalam Fauzi, 2006):

1. State property, dimana klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah

2. Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi).

3. Common property atau Communal property, dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.

Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan, yang disebut dengan open acces. Dengan pemahaman di atas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas. Adapun unsur-unsur property rights antara lain: pengakuan, penghormatan, penegakan dan perlindungan, sanksi, dan biaya transaksi. Selain itu Tietenberg (1992) mengidentifikasi karakteristik property rights, yaitu: eklusivitas, transferability, dan enforceability.

Tabel 3. Tipe Hak Kepemilikan Beserta Hak-Hak dan Kewajibannya

Tipe Rezim Kepemilikan Pemilik Pemilik/Pemegang Akses

Hak Kewajiban

Kepemilikan pribadi Individu Akses, pemanfaatan, control

Mencegah

pemanfaatan yang merugikan sosial Kepemilikan bersama Kolektif Akses, pemanfaatan,

kontrol (pengecualian kepada non pemilik

Merawat, mengatur tingkat pemanfaatan

Kepemilikan negara Negara/warga negara Akses, pemanfaatan, kontrol (menentukan aturan) Menjaga tujuan/manfaat sosial Akses terbuka (tanpa

kepemilikan)

Tidak ada Pemanfaatan Tidak ada Sumber: Hanna, 1995

2.5. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Peran Kelembagaan Terkait

Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau seluruh pihak yang terlibat.

Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) lebih lanjut menyatakan bahwa setidaknya ada lima teori dalam mengidentifikasi sebab-sebab konflik, yaitu:

1) Teori hubungan masyarakat, yaitu konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dala suatu kelompok masyarakat.

2) Teori negosiasi prinsip, yaitu konflik yang disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

3) Teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia: fisik, mental, sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.

4) Teori indentitas, yaitu asumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.

5) Teori kesalahpahaman antar budaya, yaitu konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.

Lebih lanjut Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) mengidentifikasi sembilan alat bantu untuk menganalisis konflik, yaitu:

1. Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan konflik ini terdiri dari;

a. Pra konflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik;

b. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka;

c. Krisis, ini merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan kekerasan terjasi paling hebat;

d. Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan genjatan senjata;

e. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke kondisi lebih normal di antara kedua pihak.

2. Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar dan objektif, tetapi untuk memahami pandangan-pandangan orang-orang yang terlibat.

3. Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya.

4. Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan konteks bagi masing-masing

pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi.

5. Analogi bawang Bombay (atau Donat), merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik.

6. Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik.

7. Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi kekuatan- kekuatan yang mempengaruhi konflik.

8. Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang tidak stabil.

9. Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholders dalam suatu konflik.

2.6. Penelitian Terdahulu

Silalahi (2006) melakukan penelitian mengenai Efektifitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan sebagai Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan (Kasus Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan, Kelurahan Pelabuhanratu, Kecamatan

Pelabuhan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelembagaan ekonomi dalam masyarakat nelayan dan meneliti efektifitas kelembagaan TPI sebagai kelembagaan perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah yaitu Koperasi Mina Sirna Laut. Salah satu unit kerja kelembagaan ini adalah pelelangan ikan. Akan tetapi pada kenyataannya pelelangan ikan tidak terlaksana. Hal ini disebabkan tidak berfungsinya koperasi yang diakibatkan oleh sedikitnya jumlah anggota yang aktif di KUD.

Berdasarkan hasil penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa TPI Pelabuhanratu ini dikatakan belum efektif. Hal ini ditinjau dari pencapaian tujuan dan pengaruh internal maupun eksternal TPI. Hal ini dilihat melalui tidak adanya proses pelelangan yang dilakukan di TPI Kelurahan Pelabuhanratu dan tidak melembaganya TPI pada masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dan pengembangan sistem kelembagaan TPI.

Wahyudi (2005) melakukan penelitian terkait dengan Konflik Agraria dalam Pemanfaatan Wilayah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) (kasus perebutan wilayah penangkapan ikan antara nelayan kecil dan nelayan besar di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi). Penelitian ini mempelajari proses terjadinya konflik agraria dan struktur konflik agrarian yang terjadi dalam pemanfaatan wilayah penangkapan ikan.

Penelitian ini menyatakan bahwa benturan kepentingan dan klaim terhadap penguasaan fishing ground menyebabkan hubungan antar berbagai pihak (subjek agraria) dalam pemanfaatan wilayah tangkap ikan mewujud pada suatu hubungan

sosial dissosiatif berupa konflik agrarian. Konflik agraria, yakni pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok nelayan besar (arad dan purse seine) terhadap wilayah tangkap nelayan kecil tradisional. Selain benturan kepentingan dan pertentangan klaim, ketimpangan teknologi antar kelompok nelayan kecil sehingga tidak dapat memberikan kecukupan penghasilan yang memadai untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Ketimpangan tersebut memicu terjadinya konflik.

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa kasus-kasus tersebut mencerminkan penetrasi kepentingan ekonomi para pemilik modal (pemilik arad dan purse seine), pertentangan klaim terhadap penguasaan fishing ground, toleransi aparat terhadap pelanggaran hukum oleh pemilik arad dan purse seine. Kasus lainnya adalah adanya persaingan yang tidak seimbang antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan karena perbedaan tingkat teknologi penangkapan dengan kecenderungan bahwa nelayan kecil kalah dalam persaingan tersebut.

Suhana (2008) melakukan penelitian tentang Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis peran lembaga yang ada di Teluk Pelabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, menganalisis secara ekonomi sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Pelabuhanratu, dan mendesain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu.

pemerintah, masyarakat, akademisi, dan aparat kemanan. 2) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 184.615.000,00. 3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 9.962.500. 4) Berdasarkan tingkat diskonto 12% terlihat bahwa dalam jangka waktu lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibangdingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan sebesar Rp 25.521.874,33. 5) Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha, dan perguruan tinggi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

 

Penelitian ini diawali dengan terlebih dahulu meninjau sisi sumberdaya perikanan tangkap yang kemudian akan digunakan untuk melihat tingkat supply dan demand perikanan tangkap sebagai sumberdaya yang bersifat common pool resources dan open access. Terbatasnya supply perikanan dengan tingkat demand yang tidak terbatas, sehingga diperlukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang efisien ditinjau dari sisi keadilan, pemerataan hasil tangkapan, kepemilikan nelayan, dan konflik yang terjadi.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak efisien karena sifat perikanan itu sendiri yang common property dan open access sangatlah rentan dari sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Untuk itu perlu dikaji analisis kelembagaan non-pasar dalam hal ini kelembagaan sebagai aturan main perikanan yang ada di perairan Pelabuhanratu terkait sumberdaya perikanan baik kelembagaan formal maupun kelembagaan non-formal. Untuk melihat keefektifan kelembagaan perikanan yang ada di Pelabuhanratu dapat dilakukan dengan menggunakan analisis konten/isi. Analisis konten/isi dilakukan dengan menganalisis Undang-Undang Perikanan yang ada dan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan efisien.

Selanjutnya dilakukan analisis stakeholder terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Analisis ini dilakuan untuk mengetahui siapa saja, apa peran, dan

bagaimana pelaksanaan tugas dari setiap stakeholder yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Analisis stakeholder ini juga dilakukan untuk melihat interaksi antar stakeholder dan konflik pemanfaatan sumberdaya ikan antar stakeholder yang ada. Analisis ini penting dilakukan dengan harapan konflik dapat diatasi. Selanjutnya hasil dari penelitian ini adalah merekomendasikan kelembagaan non-pasar yang dapat megatur pengelolaan sumberdaya ikan yang efisien. Secara sistematis kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Sumberdaya

Perikanan Tangkap

Limited Supply Inefisiensi Alokasi Uncontrolled Demand

Rekomendasi Kelembagaan Kelembagaan Non- pasar (Non-market Institution) Over Fishing Inequity Kepemilikan Nelayan/Poperty Konflik Penggunaan  Kebutuhan Manusia yang Meningkat Tergantung Resource System (Supply, Over fishing, dan Konflik) Common Pool Resources (Non- Ecludable) Subtractable Analisis Formal dan Non-Formal Analisis aktor/stakeholder  Peran aktor  Konflik pemanfaatan

 

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang analisis fungsi kelembagaan perikanan ini dilaksanakan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kelembagaan non-pasar dalam efisiensi alokasi sumberdaya perikanan di lokasi tersebut belum optimal. Pertimbangan lain dalam pemilihan lokasi penelitian adalah adanya konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan di lokasi penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari 2012 - Maret 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan melalui kuisioner. Data primer meliputi tigkat pendapatan, tingkat penangkapan ikan, analisis peran dan fungsi kelembagaan terkait mekanisme pengelolaan perikanan, peran kelembagaan dan pihak terkait dalam mengatasi konflik pemanfataan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, Syahbandar, Kantor Kelurahan Pelabuhanratu, dan literatu-literatur serta studi/penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian. Data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan, data potensi perikanan di Pelabuhanratu, data hasil tangkapan ikan di perairan Pelabuhanratu, dan kelembagaan perikanan setempat beserta peran masing-masing

 

stakeholder yang terkait. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tujuan, Jenis, dan Sumber Data Penelitian

No. Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data

1. Mengidentifikasi kelembagaan non-pasar yang mengalokasikan sumberdaya perikanan di Pelabuhanratu Sekunder dan primer Studi pustaka, literatur, dan wawacara 2. Menganalisis peran dan fungsi kelembagaan

non-pasar dalam mengatasi konflik pemanfaatan dan mengalokasikan sumberdaya perikanan di Pelabuhanratu

Sekunder Studi pustaka, literatur, dan

wawacara 3. Menganalisis peran aktor dalam kelembagaan

non-pasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Pelabuhanratu.

Sekunder dan primer

Studi pustaka dan wawancara 4. Menganalisis efektivitas fungsi kelembagaan

non-pasar dengan menggunakan indikator unsustainability, inequity, dan prosperity

Sekunder dan Primer

Studi pustaka dan wawancara

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Terdapat dua subjek penelitian dalam pengambilan sampel penelitian ini, yaitu informan dan responden. Informan adalah orang-orang atau pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Informan yang diutamakan adalah tokoh-tokoh masyarakat adat yang berhubungan dengan kelembagaan nelayan setempat. Pemilihan informan utama dari tokoh-tokoh masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah orang- orang yang mengetahui secara mendalam terkait kelembagaan dan peran kelembagaan perikanan setempat.

Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling, dimana responden ditentukan berdasarkan pertimbangan keterwakilan informasi tentang objek penelitian. Nelayan yang dijadikan sampel adalah nelayan sekitar perairan

 

Pelabuhanratu terkait penjualan ikan hasil tangkapan dan lembaga yang mengaturnya. Total responden yang akan diambil dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel dengan berdasarkan metode desktiptif-korelasionel Gay, yakni sejumlah minimal 30 subjek (Muhamad, 2008). Jumlah sampel ini juga merupakan jumlah minimum sampel yang biasanya digunakan pada penelitian sosial ekonomi. Selain nelayan, responden lain yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, staf Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, Staf Syahbandar Pelabuhanratu, dan Pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, yaitu staf-staf yang memang berpotensi memberikan informasi terkait data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriftif-kualitatif dengan panduan kuisioner. Data-data tersebut terlebih dahulu dilakukan pengkodean guna untuk menyeragamkan data. Selanjutnya data tersebut dipresentasekan berdasarkan jawaban responden melalui analisis deskriptif berupa tabel frekuensi dan grafik. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan software Microsoft Excell 2007 dan Minitab14.

4.4.1. Identifikasi Kelembagaan Non-Pasar

Identifikasi kelembagaan non-pasar ini dilakukan untuk mengidentifikasi kelembagaan non-pasar yang mengatur pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. kelembagaan non-pasar dalam hal ini kelembagaan sebagai aturan main baik formal maupun non-formal. Secara lengkap identifikasi

 

kelembagaan non-pasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Identifikasi Kelembagaan Non-Pasar Sumberdaya Ikan di Pelabuhanratu

Peraturan Hal yang Diatur

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Alat penangkapan ikan dan kapal perikanan, jumlah tangkapan, daerah, jalur, waktu atau musim penangkapan ikan, pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan

Larangan penangkapan ikan dengan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak

Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan RI No. PER. 03/MEN/2009 Tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengankutan Ikan di Laut Lepas Menteri Kelautan dan

Perikanan RI

Jenis-jenis alat penangkapan ikan, pencegahan pencemaran, minimalisasi ikan by catch, dan mencatat dan melaporkan hasil tangkapan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI NOMOR PER. 16/MEN/2010 tentang Pemberian Kewenangan Penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 – 60 GT kepada Gubernur

Penggunaan alat tangkap purse seine pelagis besar, pukat udang, pukat ikan, dan longline

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. PER. 02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan alat bantu penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Negara RI

Jalur penangkapan Ikan dan jenis alat penangkapan ikan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap

Kelestarian sumberdaya ikan

Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/Ik.120/4/99 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan

Larangan penggunaan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 1 inch dan purse seine cakalang (tuna) dengan ukuran mata jaring kurang 3 inch Peraturan Daerah Kab. Sukabumi No. 3 Tahun

2002 tentang Izin Usaha Perikanan

Larangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak, bahan-bahan yang mengandung racun, trawl, dan menggunakan alat tangkap yang menggunakan mata jaring di bawah 5 cm.

Keputusan Bupati Sukabumi No. 493 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Izin Usaha Perikanan

 

4.4.2. Analisis Isi/Konten

Analisis isi/konten dimaksudkan untuk memahami peraturan perundang- undangan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi serta menganalisis kelembagaan perikanan lokal baik formal maupun non-formal yang ada di Pelabuhanratu. Analisis ini penting dilakukan untuk mengetahui substansi kelembagaan formal dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Melalui analisis ini diharapkan akan diperoleh data dan informasi terkait Rule of The Game perikanan di perairan Pelabuhanratu dan bagaimana keefektifan dalam pelaksanaan peran dan tugas masing-masing. Analisis