3. Hutan Kota PT JIEP Sejarah Singkat
5.3 Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota
Salah satu peranan hutan kota adalah sebagai penyangga daerah di sekitarnya dari penurunan kualitas lingkungan. Tanaman turut berperan dalam menjaga keseimbangan ekologis pada lingkungan. Tanaman dalam ekosistem berperan sebagai produsen utama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial. Energi yang dihasilkan oleh vegetasi merupakan sumber hara mineral dan perubah terbesar lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan (Irwan 2008). Beberapa fungsi ekologis tanaman antara lain modifikasi suhu udara, kontrol kelembaban udara, penahan angin, peredam kebisingan, kontrol polusi dan sebagai wadah keanekaragaman hayati.
Hutan Kota UI merupakan hutan kota penyangga lingkungan akademik kampus, kawasan ini juga sering dijadikan tempat penelitian oleh mahasiswa, dan oleh sebab itu hutan kota ini memang direncanakan sebagai wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, yang diupayakan dalam bentuk tiga ekosistem yaitu pepohonan yang berasal dari Wales Barat, pepohonan yang berasal dari Wales Timur dan vegetasi asli Jakarta dan sekitarnya (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011). Hutan kota UI juga dimanfaatkan sebagai wahana penelitian keanekaragaman hayati bagi mahasiswa biologi, farmasi, geografi,
kimia dan fakultas sastra, serta sebagai kawasan rekreasi baik bagi masyarakat kampus maupun masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan kriteria fungsi ekologis pohon di Hutan Kota UI sebagai kawasan penyangga lingkungan pendidikan, seluruh kriteria pohon yaitu peredam kebisingan, kontrol kelembaban udara dan modifikasi suhu bernilai baik untuk memenuhi ketiga kriteria tersebut. Selain itu fungsi hutan kota sebagai plasma nutfah juga membantu sebagai penyuluhan mahasiswa tentang arti penting lingkungan tata hijau di wilayah perkotaan, Pramuka maupun pecinta alam (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011).
Hutan Kota Srengseng terletak di tengah permukiman penduduk sehingga sangat berguna menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar. Iklim mikro dan cuaca suatu kota dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Di Amerika Serikat, dampak adanya gejala pulau panas perkotaan telah diukur dan disebabkan oleh area luas yang menyerap panas permukaan yang dikombinasikan dengan jumlah tinggi energi yang digunakan dalam kota. Semua ekosistem alami (RTH) di daerah perkotaan akan membantu untuk mengurangi perbedaan ini. Oleh sebab itu keberadaan vegetasi sangat penting. Sebuah pohon besar dapat mentranspirasikan air 450 liter/hari dan mengkonsumsi 1.000 MJ energi panas untuk menggerakkan proses evaporasi (Bolund dan Hunhammar 1999).
Kebisingan akibat lalu lintas dan sumber – sumber lain dapat menciptakan masalah kesehatan bagi masyarakat di daerah perkotaan. Jarak dari sumber kebisingan merupakan salah satu faktor kunci dalam hal ini. Faktor lainnya adalah karakter tanah, hamparan rumput dapat menurunkan 3 dB (A) dibandingkan dengan perkerasan beton. Mengembangkan area dengan tanah lunak dan area bervegetasi dapat menurunkan tingkat kebisingan. Vegetasi juga berkontribusi sebagai penghalang intrusi visual dari lalu lintas sehingga dampaknya menjadi berkurang dan pohon yang evergreen sangat penting dalam hal ini (Bolund dan Hunhammar 1999). Berdasarkan hasil penelitian Hutan Kota Srengseng memenuhi kriteria dengan baik untuk meredam kebisingan.
Kota merupakan lingkungan yang penuh dengan tekanan bagi warganya. Aspek rekreasi yang memungkinkan untuk bermain dan beristirahat menjadi jasa lingkungan yang paling dihargai di perkotaan. Salah satunya adalah keberadaan ruang terbuka hijau dengan campuran nilai kultural dan estetika. Keberadaan binatang seperti burung dan ikan juga diperhitungkan dalam hal ini sebagai bentuk wadah keanekaragaman hayati. RTH sangat penting bagi psikologis. Salah satu contohnya adalah studi tentang respon seseorang yang berada di bawah tekanan dalam lingkungan yang berbeda (Ulrich, Simons, Losito, Fiorito, Miles dan Zelson dalam Bolund dan Hunhammar 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang yang menjadi eksperimen dibawa ke suatu lingkungan yang alami, terjadi penurunan tingkat stress yang cepat, sedangkan jika seseorang tersebut dibawa ke lingkungan perkotaan maka tingkat stress tetap tinggi atau bahkan meningkat. Studi ini menyiratkan bahwa ruang terbuka hijau dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis warga kota.
Kawasan industri PT. JIEP mempunyai tipe hutan kota penyangga kawasan industri dengan luas sebesar 8,9 hektar yang telah dikukuhkan oleh SK Gubernur. Namun dengan luas kawasan industri sebesar 570 hektar dan letak hutan kota yang terpusat pada satu lokasi saja maka luas hutan kota ini dirasa kurang untuk mengurangi pencemaran yang terjadi akibat aktivitas industri di
kawasan ini. Lokasi dan struktur vegetasi penting untuk kemampuannya dalam menyaring udara. Pereduksi polusi ini terutama disebabkan oleh vegetasi yang menyaring polutan dan partikel dari udara (Bolund dan Hunhammar 1999).
Berdasarkan BPLHD Provinsi DKI Jakarta tahun 2010, pengambilan sampel kualitas udara ambien yaitu parameter NO2 pengambilan sampel di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 14,43 µg/Nm3/24 jam (baku mutu NO2 = 92,00 µg/Nm3/24 jam). Parameter SO2 yang pengambilan sampelnya di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 7,89 µg/Nm3/24 jam (baku mutu = 260 µg/Nm3/24 jam). Selain itu terdapat partikel yang menjadi salah satu pencemar udara yaitu parameter debu (TSP) yang diambil pada kawasan industri PT. JIEP memiliki konsentrasi yang tinggi, dan hampir setiap bulan nilainya melebihi baku mutu dengan rata – rata 301,92 µg/Nm3/24 jam (baku mutu TSP = 230 µg/Nm3/24 jam). Dan Parameter Timbal (Pb) pengambilan sampel di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 0,015 µg/Nm3/24 jam (baku mutu NO2 = 2,00 µg/Nm3/24 jam). Baku mutu udara ambient merupakan ukuran batas atau kadar zat, energi, dan atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya (PP RI No. 41 Tahun 1999). Berdasarkan data kualitas udara PT. JIEP di atas yang menjadi parameter kritis adalah TSP (Debu) yang disebabkan karena aktivitas industri seperti kegiatan pembakaran.
Menurut hasil penelitian di lapang, fungsi ekologis pohon di Hutan Kota PT. JIEP ini hanya 30% jenis pohon yang memiliki kategori baik sebagai penyerap polutan gas yang berarti kurang baik untuk memenuhi kriteria fisik dalam menyerap polutan gas. Selain penyerap polutan gas, tanaman mereduksi polusi dengan cara menjerap partikel pada berbagai bagian permukaan tanaman. Tingkat pencemaran debu (TSP) pada hutan kota ini sudah melampaui baku mutu sehingga diperlukan tanaman yang dapat menjerap partikel dengan baik. Partikel dapat direduksi tanaman melalui proses penjerapan oleh permukaan tanaman. Permukaan tanaman baik permukaan daun maupun batang tanaman dapat menjerap partikel. Penjerapan, jenis tanaman yang baik adalah jenis yang memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar dapat berupa permukaan daun maupun permukaan ranting dan batang (Desianti 2011). Selain itu, hutan kota yang terdiri dari beberapa lapis tanaman, lapisan semak, dan pohon disebut lebih efektif dalam menjerap partikel karena membentuk struktur yang lebih rapat.
Pengukuran jumlah cadangan karbon pada suatu hutan kota dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh pohon. Berdasarkan analisis cadangan karbon yang dilakukan oleh Lubis (2013) pada Hutan Kota UI, Hutan Kota Srengseng dan Hutan Kota PT. JIEP diperoleh total nilai serapan CO2 sebesar 809,31 ton/ha. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI (634,40 ton/ha), kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng (88,15 ton/ha) dan hutan kota PT JIEP (86,76 ton/ha). Hal ini menjelaskan bahwa selain sebagai konservasi keanekaragaman hayati dan hidrologi, lanskap hutan kota juga memiliki nilai tambah dalam mengurangi keberadan gas CO2 khususnya di DKI Jakarta.
Hutan Kota PT. JIEP sebagai hutan kota penyangga kawasan industri memiliki peranan besar dalam penyerapan CO2. Sepuluh jenis spesies yang memiliki C-stock terbesar pada lanskap hutan kota PT JIEP adalah mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni (L) Jacq.), angsana (Pterocarpus indicus Willd.), bungur (Lagerstroemia speciosa Auct.),akasia crasicarpa (Acacia crassicarpa A.
Cunn. Ex Benth.), glodogan tiang (Polyalthia longifolia Sonn.), lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit),tanjung (Mimusops elengi L.),melinjo (Gnetum gnemon L.), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla King), dan kenari(Canarium littorale Blume) (Lubis 2013).
5.4 Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Kota berdasarkan Analisis SWOT
Rekomendasi pengelolaan hutan kota bertujuan mengembangkan potensi dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi agar kinerja hutan kota di DKI Jakarta dalam kondisi yang prima. Rekomendasi ini dihasilkan dari penentuan prioritas konservasi, yaitu ekosistem hutan kota termasuk dari perspektif stakeholder. Kemudian menetapkan tujuan pengelolaan yaitu konservasi keragaman tanaman hutan kota dengan menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari hutan kota tersebut. Dihasilkan sepuluh prioritas dari rekomendasi pengelolaan hutan kota ini.
Prioritas utama adalah strategi optimalisasi pengelolaan hutan kota dengan menjalin kerja sama dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD dan masyarakat dengan skor 3,25. Hal ini dipengaruhi oleh empat faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Strategi ini untuk meningkatkan pengelolaan hutan kota dengan melibatkan seluruh pihak agar ikut menjaga kualitas hutan kota.
Prioritas kedua dalam rangka konservasi keragaman tanaman di hutan kota adalah meningkatkan jenis tanaman lokal yang memiliki kondisi fisik pohon yang baik dengan skor 3,00. Hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Strategi ini berkaitan dengan pemilihan jenis tanaman lokal yang berkondisi baik untuk konservasi keragaman tanaman lokal di hutan kota serta memudahkan pengelolaan. Strategi ini perlu diketahui oleh setiap stakeholder betapa pentingnya meningkatkan keragaman tanaman dengan pemilihan jenis pohon lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik biofisik masing-masing sehingga pola penanaman pada setiap daerah akan berbeda dan akan meningkatkan keanekaragaman hayati.
Prioritas ketiga adalah meningkatkan keragaman jenis vegetasi dengan mengutamakan jenis lokal dan sesuai dengan tipe hutan kota dengan skor 2,85. Strategi ini dipengaruhi oleh dua faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Hal ini perlu diketahui oleh semua stakeholder betapa pentingnya meningkatkan keragaman tanaman dengan pemilihan jenis pohon lokal yang sesuai dengan tipe hutan kota agar dapat mengurangi dampak lingkungan.
Prioritas keempat adalah membangun jalinan kerja sama dengan pemerintah dan pihak swasta untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan kualitas hutan kota dengan skor 2,17. Hal ini dipengaruhi oleh satu faktor kelemahan dan empat faktor peluang. Strategi ini membantu meningkatkan kualitas hutan kota dengan memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk bekerja sama dengan pengelola.
Prioritas kelima adalah sosialisasi peranan hutan kota serta pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota yang baik dengan skor 1,92. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor kelemahan dan tiga faktor peluang. Strategi ini berkaitan dengan pemaparan dan pemahaman tentang pentingnya hutan kota dan segala hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota kepada pengelola hutan kota.
Prioritas keenam adalah pemilihan jenis tanaman sesuai dengan tipe hutan kota dengan skor 1,78. Strategi ini dipengaruhi oleh tiga faktor kekuatan dan dua faktor ancaman. Hal ini berkaitan dengan fungsi hutan kota yang didominasi oleh pepohonan sebagai penyedia jasa lingkungan. Setiap hutan kota memiliki tipe masing-masing sesuai fungsi terhadap kawasan di sekitarnya. Oleh sebab itu pemilihan jenis pohon juga perlu disesuaikan dengan tipe hutan kotanya.
Prioritas ketujuh adalah pelatihan bagi SDM di lapang agar berkompeten dan berdedikasi tinggi untuk monitoring dan evaluasi kondisi hutan kota dengan skor 1,18. Strategi ini dipengaruhi oleh empat faktor kelemahan dan satu faktor peluang. Pelatihan bagi SDM sebagai pihak pengelola ini sangt penting untuk menjaga kualitas hutan kota.
Ketujuh strategi di atas memiliki skor di atas 1,00 dan dijadikan tujuh strategi prioritas. Kemudian strategi selanjutnya adalah peningkatan ketegasan pengelola terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota dengan skor 0,86. Peningkatan ketegasan ini dimaksud untuk mencegah kerusakan mekanik pada tanaman maupun fasilitas hutan kota akibat ulah manusia. Strategi ini dipengaruhi oleh dua faktor kelemahan dan satu faktor ancaman.
Strategi kesembilan adalah pemantapan political will yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota dengan skor 0,74. Strategi ini dipengaruhi oleh tiga faktor kelemahan dan satu faktor ancaman. Political will yang dimaksud adalah pembuatan Perda tentang pengembangan hutan kota di setiap daerah sehingga pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan hutan kota di daerahnya.
Strategi terakhir adalah penetapan insentif yang konkrit dan konsisten bagi pihak privat (swasta dan masyarakat) yang ikut berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas hutan kota dengan skor 0,52. Pada PP 63 Tahun 2002 dijelaskan bahwa penunjukkan lokasi hutan kota minimal seluas 0,25 ha. Luasan tersebut sangat sulit ditemukan di kawasan perkotaan terutama Jakarta, oleh sebab itu pemberian insentif terhadap pihak privat baik itu swasta dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kuantitas hutan kota.
Pengelolaan hutan kota sangat berarti bagi perlindungan lingkungan hidup manusia, tumbuhan dan satwa liar karena fungsinya yang sangat besar bagi kenyamanan suatu kota. Oleh karena itu program pemeliharaan yang baik dapat melestarikan kehadiran hutan kota yang ada menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman. Serupa halnya dengan taman, pemeliharaan hutan kota ini dimaksudkan untuk menjaga dan merawat areal hutan kota dengan segala fasilitasnya agar kondisinya tetap baik atau sebisa mungkin dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan rancangan atau desain semula (Arifin dan Arifin 2005). Aspek kunci dari ilmu tentang tanaman yang relevan dengan konservasi bagi tanaman yaitu difokuskan pada tipe tanaman, bagaimana mereka hidup, dan bagaimana manusia mengelola dan menggunakannya (Hamilton dan Hamilton 2006).
Permasalahan utama dalam pengembangan RTH dan hutan kota tidak saja meliputi aspek teknis (pemilihan jenis yang sesuai tujuan dan fungsi RTH dan hutan kota, perolehan bibit secara mudah dan cepat), tetapi juga aspek kelembagaan (aturan main, sumber daya manusia, struktur unit pengelola, dan sumber-sumber pembiayaan) (Subarudi, Samsoedin dan Waryono 2010). Tidak lupa juga untuk mengusung edukasi dan penghargaan tentang keragaman tanaman berdasarkan target dari Global Strategy for Plant Conservation yaitu pentingnya
keragaman tanaman dan kebutuhan untuk konservasi dengan cara komunikasi (sosialisasi), edukasi dan program public-awareness (Hamilton dan Hamilton 2006). Sepuluh rekomendasi pengelolaan hutan kota yang disajikan berdasarkan kondisi di lapang dan wawancara dengan para ahli yang terkait diharapkan mampu membuat hutan kota menjadi lebih baik sehingga manfaat yang dihasilkan akan maksimal.