• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI DAN FUNGSI TRADISI RASULAN

BAGI MASYARAKAT TROWONO A

4.1 Pengantar

Bab ini akan menyajikan analisis nilai dan fungsi Tradisi Rasulan yang dilaksanakan oleh masyarakat Trowono A.

Rasulan sebagai suatu tradisi turun-temurun mempunyai berbagai nilai bagi masyarakatnya. Nilai yang dapat diambil dari Tradisi Rasulan meliputi nilai yang terdapat saat proses persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan atau evaluasi.

Allport, Vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995, 263) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan

bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transcendental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi karena anugerah Tuhan yang harus disyukuri.

Berdasarkan klasifikasi mengenai nilai-nilai tersebut, maka Tradisi Rasulan mempunyai nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama.

4.2 Nilai

4.2.1 Nilai Ekonomi

Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sesuai dengan pengertian tersebut maka Tradisi Rasulan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari nilai ekonomi. Tradisi Rasulan mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat Trowono A, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ekonomi terlihat jelas saat Tradisi Rasulan dilaksanakan, mulai dari proses kenduri sampai puncak kegiatan yakni kirab budaya. Pelaksanaan Rasulan dalam hal ini Rasul Gede, dapat berlangsung beberapa hari. Mulai hari pertama Rasulan, biasanya masyarakat, baik masyarakat Trowono A maupun masyarakat dari luar Trowono A, menjajakan dagangan atau berjualan di sekitar tempat pelaksanaan Rasulan. Hal tersebut, tentu mendatangkan

pemasukan bagi masyarakat Trowono A, maupun masyarakat Gunungkidul secara umum.

Selain berdampak langsung bagi masyarakat, Rasulan juga dapat mendatangkan pemasukan bagi daerah Gunungkidul. Pemasukan tersebut berasal dari wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung untuk melihat pelaksanaan Rasulan.

Melihat letak Trowono A yang berjarak tidak jauh dari pantai selatan, maka dimungkinkan para wisatawan yang datang melihat Rasulan, dapat juga mengunjungi pantai. Pantai terdekat dengan Trowono A yaitu Pantai Ngobaran, Pantai Nguyahan, dan Pantai Ngrenehan. Ketiga pantai tersebut belum begitu terkenal seperti pantai-pantai selatan yang lain. Oleh sebab itu, keberadaan Rasulan di Trowono A dapat sekaligus mempromosikan ketiga pantai trsebut.

4.2.2 Nilai Estetika

Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni, dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut maka rasulan termasuk di dalamnya. Secara nyata, nilai estetika terwujud dalam setiap rangkaian acara rasulan. Mulai dari persiapan sesaji sampai kirab.

Saat mempersiapkan sesaji, nilai estetika tergambar dari berbagai macam sesaji yang ditampilkan dengan rapi dan menarik. Wadah dari beberapa sesaji tidak dibuat dengan sembarangan misalnya panjang ilang sebagai wadah sesaji dalang hasil tani. Wadah tersebut selain dibuat untuk memperoleh fungsinya, juga tidak mengesampingkan nilai keindahan. Selain wadah sesaji juga wadah makanan untuk dibawa pulang oleh tamu undangan yakni sarangan.

4.2.3 Nilai Sosial

Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Rasulan jelas memiliki nilai sosial mulai dari persiapan sampai akhir rangkaian acara. Nilai-nilai sosial yang terdapat dalam rasulan antaralain gotong royong, toleransi, kebersamaan, musyawarah, silaturahim dsb.

Gotong royong dilakukan saat warga menyiapkan berbagai kebutuhan rasulan. Para ibu bergotong royong menyiapkan atau memasak makanan untuk kenduri, sesaji, pertandingan olahraga, pentas seni, kirab dan seluruh rangkaian acara rasulan. Para bapak menyiapkan tempat untuk kenduri, pentas seni (wayangan), kirab, pembagian makanan, wadah makanan saat kenduri (sarangan), wadah sesaji dll.

Menurut KBBI, toleransi merupakan sikap atau sifat toleran. Sementara toleran merupakan bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,

membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sikap toleran dapat terlihat ketika prosesi rasulan berlangsung. Masyarakat Trowono A mayoritas beragama Islam. Saat pelaksanaan rasulan terutama saat kenduri dilakukan, masyarakat minoritas (tidak beragama islam) ikut melaksanakan kenduri dengan doa secara Islam.

Musyawarah juga menjadi kebiasaan masyarakat Trowono A saat akan melaksanakan berbagai acara yang sifatnya kolektif begitu juga saat akan melaksanakan rasulan. Beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelumnya, warga dusun sudah terlebih dahulu ngrembug (bermusyawarah) mengenai hajat warga dusun yang dilakukan dua kali dalam setahun ini. Di dalam bermusyawarah, warga mengedepankan asas kebersamaan yang dalam peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Peribahasa tersebut diaplikasikan oleh warga, salah satunya dalam menanggung biaya rasulan atau iuran. Iuran tidak hanya dalam bentuk uang tetapi dapat berbentuk barang. Besarnya iuran juga tidak selalu sama tetapi disesuaikan dengan kemampuan setiap warga. Hal inilah yang menunjukkan kebersamaan warga.

Silaturahim atau silaturahmi juga mengandung nilai sosial untuk masyarakatnya. Jamuan makan pada setiap rumah terasa jelas sebagai

tindakan sosial yakni ajang silaturahmi. Kerabat, saudara yang jarang berkumpul biasanya berkumpul pada saat rasulan.

4.2.4 Nilai Agama

Nilai agama begitu kental terasa saat ritual sesaji maupun kenduri dilakukan. Doa-doa Islam dilantunkan dalam proses persiapan sesaji. Sebelum berbagai macam sesaji diletakkan pada tempat yang sudah ditentukan, kaum sebagai pemangku adat melafalkan doa terlebih dahulu di depan berbagai macam sesaji yang akan disebar. Hal ini dilakukan agar Tuhan sebagai pemilik kehidupan merestui segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat.

Selain dari pada tindakan yang terwujud dalam setiap prosesi adat, hakikat dari tradisi rasulan juga merupakan nilai agama atau religi. Rasulan sebagai tindakan rasa syukur warga terhadap pemeliharaan Tuhan dalam hal pertanian inilah yang sangat terasa nilai agamanya karena sebagai manusia beragama, pastilah diajarkan untuk senantiasa bersyukur dalam segala hal.

4.3 Fungsi

“Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial”, (Dhavamony, 1995: 175).

Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995: 175-176). (1) Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2)Tindakan religius,kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4)Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. Chaple dan Coon mengusulkan perlunya ditambahkan satu jenis ritual lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan melaksanakan ritual intensifikasi.

Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995: 175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di atas, maka upacara dan tindakan-

tindakan ritual dalam tradisi Rasulan dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat dengan alasan-alasan mistis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini sekaligus mengungkapkan fungsi ritus bagi masyarakatnya. Berdasarkan fungsi-fungsi ritus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Tradisi Rasulan mempunyai fungsi antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

4.3.1 Fungsi Magis

“Magi (sihir) adalah suatu fenomen yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi”, (Dhavamony:47).

Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis (pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa). Bertolak dari pengertian tersebut maka tradisi rasulan memiliki fungsi magi. Fungsi magi dalam tradisi rasulan terletak pada ritual sesaji kepada roh-roh yang dianggap mendiami tempat- tempat tertentu di dusun setempat. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat mempunyai keyakinan bahwa apabila roh-roh tersebut diperlakukan dengan

baik, minimal dihargai keberadaannya yaitu dengan cara diberi sesaji, maka roh-roh tersebut tidak akan megganggu aktivitas warga khususnya dalam bidang pertanian.

4.3.2 Fungsi Religius

Menurut KBBI, kata religius memiliki arti bersifat religi, sementara religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Kultus leluhur, juga bekerja dengan cara ini. 1 penghormatan resmi dl agama; upacara keagamaan; ibadat;2 sistem kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang, paham, atau benda;

Sejalan dengan pengertian tersebut maka rasulan juga memiliki fungsi religius terhadap warga Dusun Trowono A. Fungsi religius terletak pada tindakan masyarakat dalam melakukan doa. Doa tidak hanya dilakukan pada saat kenduri berlangsung tetapi juga saat menyiapkan sesaji. Hal ini tentu menunjukkan sisi religius masyarakat Trowono A.

4.3.3 Fungsi Faktitif

Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.

Tradisi Rasulan juga berfungsi secara faktitif. Tindakan faktitif masyarakat dusun teletak pada penyusunan kekuatan dalam hal materi sebagai sarana pelaksanaan rangkaian kegiatan rasulan. Sebelum melaksanakan Tradisi Rasulan, masyarakat Trowono A terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk membahas masalah pengumpuan dana yang akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rasulan. Biasanya dana Rasulan diperoleh dari iuran masing-masing warga.

4.3.4 Fungsi Intensifikasi

Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan dan hasil panen.

Fungsi intensifikasi sangat jelas terlihat dalam tradisi rasulan. Bahkan pelaksanaan ritus ini dilandasi oleh motivasi intensifikasi khususnya dalam ritual rasul labuh. Pada ritual rasul labuh, para petani melakukan doa permintaan kepada Tuhan agar tanah yang ditanami menjadi subur sehingga benih yang ditanam dapat bertumbuh dengan baik. Selain melakukan doa, para petani juga melakukan ritual seperti sesaji yang dipersembahkan kepada roh-roh penghuni dusun. Dengan demikian diharapkan roh-roh tersebut tidak mengganggu aktifitas para petani dalam bercocok tanam. Selain doa dan sesaji, para petani juga melakukan upaya agar tanah yang akan ditanami menjadi subur dengan melakukan penggemburan tanah sebelum melakukan penanaman.

4.4 Rangkuman

Tradisi Rasulan memiliki nilai dan fungsi yang baik jika dimaknai dengan baik oleh masyarakat khususnya masyarakat Trowono A. Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain nilai ekonomi, sosial, estetika, dan agama. Selain nilai-nilai, Tradisi Rasulan juga memiliki fungsi yaitu fungsi religius, faktitif, intensifikasi, dan fungsi magis.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Tradisi Rasulan sebagai sebuah folklor mempunyai peranan untuk masyarakatnya. Selain sebagai perekat rasa persaudaraan, Tradisi Rasulan juga mengajarkan masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Sang Pemberi Kehidupan. Sebagai tradisi pertanian, Rasulan juga mengingatkan kembali akan kekayaan alam yang dimiliki selain juga mendidik generasi muda untuk selalu melestarikan tradisi pertanian maupun pertanian itu sendiri.

Pada bab dua diuraikan mengenai Tradisi Rasulan. Rasulan terdiri dari dua macam yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh merupakan ritual rasulan sebelum para petani menanam padi sedangkan Rasul Gede merupakan Ritual Rasulan setelah para petani panen. Rangkaian acara Rasul Labuh meliputi kenduri dan sesaji sementara rangkaian acara Rasul Gede meliputi kenduri, sesaji, jamuan makan, olahraga, pentas seni, dan kirab budaya.

Pada bab tiga diuraikan mengenai macam-macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan. Sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan baik Rasul Labuh maupun Rasul Gede antara lain sesaji guangan, sesaji bale, dan sesaji dalang. Sesaji guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sesaji bale merupakan sesaji yang diletakkan di balai dusun

tempat berlangsungnya kenduri dan kegiatan lainnya bekaitan dengan pelaksanaan Rasulan. Sementara sesaji dalang merupakan sesaji yang khusus dibuat untuk pentas seni wayang.

Pada bab empat diuraikan mengenai nilai dan fungsi yang terdapat dalam Tradisi Rasulan. Merujuk pada teori tentang nilai budaya yang dikemukakan oleh Alport Vernom dan Lindzey, nilai yang terdapat dalam Tradisi Rasulan mencakup nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sedangkan fungsi yang terdapat dalam Tradisi Rasulan sesuai dengan klasifikasi Davamony mengenai fungsi mencakup fungsi magi, fungsi religius, fungsi intensifikasi, dan fungsi faktitif.

5.2 Saran

Studi lebih lanjut dapat mengungkap lebih mendalam tentang arti simbol- simbol yang terdapat dalam Tradisi Rasulan. Studi tersebut bertujuan agar masyarakat khususnya generasi penerus Tradisi Rasulan, dapat memahami secara utuh makna dari simbol-simbol yang dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Budiaman. 1997.Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakata: Kencana Prenada Media Group.

Danandjaja, James. 2002.Folklor Indonesia (Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain).

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Dhavamony, Mariasusai. 1995.Fenomenologi Agama.Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2005. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Hadi, Sutrisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis, Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Pemberton, John. 2003.Jawa (On The Subject Of Java).Yogyakarta: Mata Bangsa Poerwadarminto. 1997.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode Dan Teknik Penelitian Sastra Dari

Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (cet. Ke-14).

Bandung: Alfabeta.

Suriasumantri, Jujun. S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan Sejarah Teori Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera

Yuwono, Markus. 2004. “Perubahan Tradisi Rasulan di Gunungkidul Setelah 1998”. Skripsi pada Program Studi Sastra Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

SumberOn Line:

Zenzaenal, 2013. “Catatan Tentang Deskripsi Tembal”, Stable URL : http.blogspot.com. diunduh pada 12/04/ 2013, 10.05.

Adi, Tri Nugroho. 2011. “Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif”, Stable URL : http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/11/03/teori- teori-penunjang-dalam-penelitian-kualitatif/diunduh pada 09/06/ 2014, 23:12.

Sumber Wawancara :

Mohamad Sato, 60 tahun, pedagang, kaum yang bertugas memimpin kenduri Rasulan.

Purwosumarto, 70 tahun, petani, warga Dusun Trowono A yang bertugas menyiapkan sesaji dalam Ritual Rasulan.

Suwartinah, 50 tahun, petani, warga Dusun Trowono A yang bertugas membantu menyiapkan sesaji dan makanan dalam Ritual Rasulan.

Widodo, 50 tahun, Pegawai Negeri Sipil, warga Dusun Trowono A. Ricky Taruna, 20 tahun, mahasiswa semester 4, Institut Seni Indonesia.

BIODATA PENULIS

Sandra Setiyawati, lahir 21 Mei 1988 di Gunungkidul. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Banyusoco I pada tahun 2000. Pada tahun 2003 menyelesaikan pendidikan di SLTP N 1 Playen. Setelah menyelesaikan pendidikan di SLTP N I Playen, penulis bersekolah di SMU N I Playen Gunungkidul sampai tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yaitu di Universitas Sanata Dharma Fakultas Pendidikan prodi Pendidikan Akuntansi sampai tahun 2007. Tahun 2007 sampai 2014, penulis menimba ilmu mengenai sastra Indonesia di Fakultas Sastra prodi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Selama menempuh pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, penulis juga pernah aktif berorganisasi di Bengkel Sastra, Sastra Indonesia. Sedangkan di luar kampus, penulis juga pernah bekerja free lance di Penerbit dan Percetakan. Selain itu, selama masa perkuliahan penulis juga pernah menjadi asisten dosen yang juga menjabat sebagai redaktur senior pada salah satu harian surat kabar di Yogyakarta. Mulai 2011 sampai sekarang penulis belajar berwirausaha.

Balai Dusun Trowono A

Pada saat membuat sarangan Pengumpulan makanan

Ingkung Gunungan Kirap

Kirab budaya Kirab budaya

Kirab budaya Kirab budaya

Dokumen terkait