• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul : sebuah kajian folklor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul : sebuah kajian folklor."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

xii

Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.

Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.

Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.

Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

(2)

xiii

Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.

This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.

This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.

Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.

Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.

Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.

(3)

i

KARANGASEM, PALIYAN, GUNUNGKIDUL:

SEBUAH KAJIAN FOLKLOR

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Sandra Setiyawati

NIM: 074114017

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan kebaikanNya selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dengan judul: ”Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul: Sebuah Kajian Folklor.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian sarjana dan memperoleh gelar S-1 Fakultas Sastra, Jurusan Santra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Walaupun banyak kendala yang dihadapi oleh penulis tetapi karena kasih dan pertolonganNya, penulis dapat menerima dan melewati semuanya dengan kesabaran. Penulis sangat sadar bahwa tanpa kasih dan kebaikan-Nya, penulis tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikian juga, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapakan terima kasih kepada :

1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I dan Prof.Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing, membantu, dan memberi saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)
(10)

viii

Kata orang, “jujur itu

ajur” tetapi tidak demikian dengan

perkataan Bapak. “Jujur itu

mujur”

kalimat itulah yang selalu

ditekankan oleh Bapak ketika memberi

wejangan

sejak saya

masih kecil hingga sekarang. Kejujuran itu adalah alat untuk

memerdekakan diri. Ketika sekali saja kita meninggalkan

kejujuran maka hidup kita akan tersandera. Itulah didikan

Bapak saya. Saya bukan orang jujur tetapi saya selalu

berusaha untuk jujur kepada diri sendiri maupun orang lain.

“Dadio wong jujur nok”,

itulah kata-kata yang selalu saya

(11)

ix

(12)

x

1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual ... 9

1.7 Metode Penelitian... 13

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data... 13

1.7.2 Teknik Analisis Data... 16

(13)

xi

2.1 Pengantar... 18

2.2 Rasul Labuh ... 20

2.3 Rasul Gede ... 25

2.4 Rangkuman ... 35

BAB III SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN... 36

3.1 Pengantar... 36

3.2 Sesaji Guangan... 37

3.3 Sesaji Bale... 38

3.4 Sesaji Dalang... 39

3.5 Rangkuman ... 43

BAB IV NILAI DAN FUNGSI TRADISI RASULAN BAGI MASYARAKAT TROWONO A... 44

4.1 Pengantar... 44

4.2 Nilai... 45

4.3 Fungsi... 49

4.4 Rangkuman ... 54

BAB V PENUTUP... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA... 57

(14)

xii

Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.

Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.

Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.

Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.

(15)

xiii

Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.

This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.

This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.

Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.

Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.

Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trowono A merupakan sebuah dusun yang terletak tujuh kilometer dari

pantai selatan, tepatnya di Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul,

Yogyakarta. Lokasinya berbukit, sedikit gersang, dan lahan pertaniannya berupa

tegalan. Trowono A sebagai lokasi penelitian merupakan sebuah dusun yang

mayoritas penduduknya petani. Daerah kering tidak menyurutkan antusias

masyarakat untuk tetap bercocok tanam. Tidak selalu padi yang ditanam

melainkan jagung, kedelai, dan singkong di musim kemarau.

Trowono A merupakan salah satu dusun yang masyarakatnya masih

mempunyai kesadaran yang cukup tinggi dalam melestarikan tradisi. Tidak

hanya Rasulan, tetapi juga tradisi-tradisi atau ritual yang lain seperti Gejog

Lesung, Bersih Telaga, dan upacara-upacara seperti upacara perkawinan,

kelahiran yang masih selalu dilaksanakan sampai saat ini. Meskipun demikian,

Rasulan tetap menjadi tradisi atau ritual yang keberadaannya selalu menjadi

pusat perhatian masyarakat setempat maupun masyarakat yang berasal dari

daerah lain.

Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebut dengan

(17)

secara keseluruhan. Setiap desa di Gunungkidul melaksanakan tradisi rasulan

setiap tahunnya. Rasulan dilakukan dua kali dalam setahun, sebelum para petani

menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang dilakukan sebelum

nyebar disebut Rasul Labuh sedangkan Rasulan setelah panen disebut Rasul

Gede. Pelaksanaan Rasulan dilakukan tidak secara bersamaan atau serentak,

melainkan bergantian sesuai kesepakatan warga desa masing-masing. Rasulan

dapat dilakukan per dusun, kelompok dusun, atau desa.

Dalam Tradisi Rasulan juga terdapat gagasan dan tindakan religius dalam

hal pertanian. Gagasan dan tindakan religius tersebut terwujud dalam doa-doa

dan ritual dan di dalamnya adalah sesaji yang dilakukan sebelum para petani

menanam padi dan setelah panen. Di dalam setiap ritual yang dilakukan, sesaji

memegang peranan penting sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap

sesuatu di luar manusia.

Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara adat yang ada di

Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap penting

karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan makhluk

kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam

bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul, perayaan Rasulan

juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka selalu

memperoleh perlindungan-Nya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan

(18)

yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu

yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).

Tradisi Rasulan memiliki berbagai nilai dan fungsi bagi masyarakat. Secara

umum nilai dan fungsi tersebut timbul karena adanya penghayatan masyarakat

terhadap Tradisi Rasulan.

Melihat latar belakang masalah tersebut, maka, skripsi ini mengambil judul

Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. Judul

tersebut dipilih karena dua alasan. Pertama, pelestarian tradisi dan sebagai upaya

mendokumentasikan sebuah tradisi. Kedua, sebagai negara agraris, tradisi yang

berkaitan dengan pertanian harus tetap diperhatikan dan dilestarikan. Rasulan

sebagai tradisi masyarakat Gunungkidul secara umum memiliki potensi menjadi

aset pariwisata jika tradisi tersebut dilestarikan, dikelola, dan dipublikasikan

dengan baik. Oleh sebab itu, penulis sebagai masyarakat asli Gunungkidul

memilih Rasulan sebagai objek penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai uraian di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah

sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A?

1.2.2 Apa sajakah sesaji yang terdapat dalam ritual Rasulan di Dusun Trowono A?

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa

penelitian ini bertujuan untuk:

1.3.1 Mendeskripsikan pelaksanaan ritual Rasulan di Dususn Trowono A.

1.3.2 Memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan

di Dusun Trowono A.

1.3.3 Memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun

Trowono A.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini anatara lain manfaat secara

teoritis dan manfaat praktis. Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka dapat

disimpulkan bahwa manfaat hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1.4.1 Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan

tentang folklor di Indonesia dan dapat digunakan sebagai bahan diskusi

masyarakat secara umum maupun dalam ruang lingkup akademisi.

1.4.2 Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai wujud apresiasi

terhadap Tradisi Rasulan melalui pendokumentasian pelaksanaan

Rasulan. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian atau dokumentasi

ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Trowono A sebagai sarana

pengenalan Tradisi Rasulan kepada generasi muda Trowono A, juga

(20)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai rasulan dengan objek penelitian Dusun Trowono A

belum pernah dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian dengan objek penelitian

tradisi rasulan pernah dilakukan oleh Markus Yuwono dengan judul penelitian

“Perubahan Tradisi Rasulan di Gunungkidul Setelah 1998”. Penelitian ini berisi

deskripsi dan analisa mengenai perkembangan tradisi rasulan di Gunungkidul

ketika masyarakat menghadapi perubahan setelah krisis ekonomi 1997. Hasil

penelitian yang dilakukan Markus Yuwono menunjukkan bahwa masyarakat

Gunungkidul adalah masyarakat yang majemuk dan terbuka bagi kebudayaan

baru.

Studi ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Markus Yuwono.

Perbedaan tersebut terletak pada lokasi penelitian dan hal penelitian. Markus

Yuwono meneliti tentang perubahan pelaksanaan Rasulan yang terjadi setelah

krisis ekonomi 1997 sedangkan penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan

tradisi Rasulan secara khusus di Dusun Trowono A.

1.6 Landasan Teori

Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya dalam bidang budaya,

diperlukan teori-teori atau pendekatan yang sesuai dengan objeknya. Pendekatan

ini dapat digunakan sebagai alat pengupas yang diharapkan mendukung

(21)

Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan teori folklor dan folkbelief

sebagai bagian dari folklor sebagian lisan untuk memaparkan hasil penelitian.

1.6.1 Folklor

Folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Jika dieja menjadi folk

artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’. Folk adalah kelompok atau kolektif

yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan

kelompok lain. Lore merupakan wujud tradisi dari lore. Tradisi tersebut

dituturkan secara oral (lisan) dan turun-temurun. Folklor berarti tradisi rakyat

yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor

(Endraswara, 2005: 11)

Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari

folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi

yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat

mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan

pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai

alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat terpenuhi.

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan

diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional

dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja,

(22)

Menurut Brunvand via Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat

digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor

lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3)

folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang

bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk

ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti

logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan

tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional,

seperti tekateki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita

prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor

lisan juga mempunyai fungsi sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan

yang terpendam.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun

cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi

menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang

tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah,

bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan

perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan

tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak

isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat

(23)

Folk belief atau Kepercayaan Rakyat merupakan bagian dari folklor

sebagian lisan, selain permainan rakyat. Kepercayaan rakyat atau sering kali

juga disebut “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan

Barat dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga

secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berhubung kata “takhyul”

mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli folklor modern lebih

senang menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau keyakinan

rakyat daripada “takhyul” (supersititious), karena takhyul berarti “hanya

khayalan belaka”, (sesuatu yang) hanya di angan-angan saja (sebenarnya tidak

ada) (Poerwadarminto dalam Danandjaja, 1984:153).

Berdasarkan teori folklor danfolkbelief, Tradisi Rasulan merupakan bagian

dari folklor sebagian lisan. Tradisi Rasulan dapat dikategorikan sebagai folklor

sebagian lisan karena di dalam Tradisi Rasulan terdapat benda-benda atau

artefak yang dibuat oleh masyarakat sebagai wujud keyakinan atau kepercayaan

mereka terhadap sesuatu atau kehidupan di luar manusia. Benda-benda atau

artefak tersebut antara lain sesaji, sarangan (wadah makanan yang terbuat dari

daun kelapa yang dianyam), panjang ilang (wadah sesaji yang terbuat dari janur

atau daun kelapa yang masih berwarna kuning), dan patung-patung tiruan

sebagai perwujudan atau simbol makhluk-makhluk jahat yang diarak saat kirab

(24)

1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual

“Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang

mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi

kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis

ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara

tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial”, (Dhavamony, 1995: 175).

1.6.2.1 Nilai

Allport, Vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995, 263)

mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori,

ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat

penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme,

empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari

berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika

berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut

antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan

kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan

antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik

berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan

bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi

(25)

usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di

muka bumi karena anugerah Tuhan yang harus disyukuri.

Berdasarkan klasifikasi mengenai nilai-nilai tersebut, Tradisi Rasulan

mempunyai nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat. Nilai-nilai

tersebut antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai

agama.

1.6.2.2 Fungsi

Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995:

175-176). (1)Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan

yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para

leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang

mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada

pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan

menjadi khas; dan (4)Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau

kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain

meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda

dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan

atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk

para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang

diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.

(26)

lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah

kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan

dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan

melaksanakan ritual intensifikasi.

Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki

penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri

sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki

fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995:

175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di atas,

maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Rasulan dapat

dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat

dengan alasan-alasan mistis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini

sekaligus mengungkapkan fungsi ritus bagi masyarakatnya.

1. Fungsi Magis

“Magi (sihir) adalah suatu fenomen yang sangat dikenal dan

umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan

dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah

kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara

langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan

antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan

usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang

(27)

Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya-daya mistis (pola-pola pikiran yang dihubungkan

dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa).

2. Fungsi Religius

Menurut KBBI, kata religius memiliki arti bersifat religi,

sementara religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati

di atas manusia. Kultus leluhur, juga bekerja dengan cara ini. 1

penghormatan resmi dl agama; upacara keagamaan; ibadat; 2 sistem

kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang,

paham, atau benda;

3. Fungsi Faktitif

Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau

kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Dia tidak saja

mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun

juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok

dalam konteks peranan sekular mereka.

4. Fungsi Intensifikasi

Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang

mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan dan

(28)

1.7 Metode Penelitian

Metode merupakan cara dan prosedur yag akan ditempuh oleh peneliti

dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini

disajikan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan

cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam

hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan

penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53). Dalam hal ini metode

penelitian yang akan digunakan untuk memecahkan masalah meliputi metode

dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data.

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

1.7.1.1 Observasi

Sutrisno Hadi via Sugiyono (1999: 139) mengemukkan bahwa

observasi meupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang

tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang

terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik

pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan

dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila

responden yang diamati tidak terlalu besar.

Dari segi proses pengumpulan data, observasi dapat dibedakan

menjadi (1) participant observation (observasi berperan serta) yaitu

peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati

(29)

observation (observasi nonpartisipan) yaitu peneliti tidak terlibat dan

hanya sebagai peneliti independent (Sugiyono, 1999: 139).

Dari segi instrumentasi yang digunakan, maka observasi dapat

dibedakan menjadi (1) observasi terstruktur yaitu observasi yang

dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, dimana

tempatnya. Jadi observasi terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu

dengan pasti tentang variabel yang akan diamati, (2) observasi tidak

terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis

tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak

tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati (Sugiyono, 1999: 140).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi

terstruktur, observasi yang telah dirancang secara sistematis, karena

penulis sudah mengetahui tentang apa yang akan diamati dan dimana

tempatnya yaitu peneliti mengamati proses Tradisi Rasulan yang

dilakukan oleh masyarakat Dusun Trowono A. Selain observasi

terstruktur, penulis juga menggunakan teknik observasi berperan serta

(participant observation) karena peneliti terlibat dengan kegiatan

sehari-hari masyarakat Trowono A sebagai narasumber.

1.7.1.2 Wawancara

Wawancara sebagai suatu roses tanya jawab lisan, yaitu dua orang

atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka

(30)

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara atau informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan

social yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara

mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin,

2008: 108)

1.7.1.3 Dokumentasi

Teknik ini berupa informasi yang berasal dari catatan penting baik

dari lembaga atau organisasi maupun perseorangan, baik berupa tulisan

maupun lisan. Teknik dokumentasi dilakukan dengan wawancara

mendalam, menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari

responden atau informan agar informasi yang detail diperoleh peneliti

(Hamidi, 2004: 72-78)

Dalam melakukan penelitian, pengumpulan data merupakan tahap yang

penting. Dalam proses pengumpulan data, peneliti memerlukan teknik untuk

memperoleh data-data yang diperlukan yaitu teknik pengumpulan data

lapangan. Pengumpulan data di lapangan merupakan salah satu aspek penting

dalam proses penelitian budaya. Dalam pengumpulan data di lapangan ada

beberapa langkah yang akan dilakukan. Langkah-langkah tersebut antara lain

(31)

pengumpulan data yang mencakup wawancara, pengamatan (observasi),

perekaman atau pencatatan, dan pengarsipan.

1.7.2 Teknik Analisis Data

Analisis data menjadi pekerjaan utama dalam suatu penelitian. Pada tahap

analisis data, penulis akan menggunakan teknik transkripsi. Transkripsi

merupakan pengubahan dari bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis.

Setelah mengubah bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis, peneliti

menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis data. “Metode penelitian

kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat

postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah,

(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai

instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi

(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2011 :

9). Selain menggunakan metode kualitatif, peneliti juga mengacu pada teknik

hermeneutika dalam menganalisis data. “Hermeneutika mengarah pada

penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh

manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi oleh interpretasi yang telah

dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka

sendiri”, (Smith :1984, via Tri Nugroho Adi dalam

(32)

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/11/03/teori-teori-penunjang-dalam-penelitian-kualitatif/ diunduh pada 9 mei 2014, jam 23:12). Setelah

menganalisis data, penulis menggunakan metode deskripsi untuk menyajikan

hasil analisis data.

1.8 Sistematika Penyajian

Makalah ini disajikan dalam lima bab yaitu pendahuluan, pembahasan yang

terdiri dari tiga bab yaitu deskripsi bagaimana Rasulan dilaksanakan,

macam-macam sesaji yang terdapat dalam Rasulan, dan makna serta fungsi Tradisi

Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A. Satu bab penutup berupa

kesimpulan penulis. Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini,

peneliti menyusun ke dalam bab, yaitu : Bab I merupakan pendahuluan, yang

berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan

sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan mengenai prosesi

pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A. Bab III merupakan

pemaparan mengenai berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi

Rasulan. Bab IV merupakan pemaparan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi

masyarakat Dusun Trowono A. Bab V merupakan penutup yang berisi

(33)

BAB II

PELAKSANAAN TRADISI RASULAN

2.1 Pengantar

Dusun Trowono A merupakan sebuah dusun dengan seratus tujuh puluh lima

kepala keluarga yang terbagi dalam enam RT (Rukun Tetangga). Pedukuhan

Trowono A merupakan pedukuhan yang mayoritas penduduknya petani dan juga

pemeluk Islam. Dari seratus tujuh puluh lima kepala keluarga, hanya satu kepala

keluarga yang beragama Kristen dan pada setiap rumah, minimal satu orang

bermata pencaharian tani.

Dunia pertanian sudah menjadi urat nadi kehidupan warga dusun. Meskipun

kondisi geografis yang berbukit dan sekilas terlihat tandus karena berupa tegalan,

juga terasering, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi

berlangsungnya kehidupan pertanian. Telaga dan ledeng menjadi sumber air

selain tadah hujan. Padi, jagung, kedelai, dan singkong merupakan andalan hasil

tani warga setiap musimnya (hasil wawancara dengan Pak Harto Wiharjo, kepala

Dusun Trowono A).

Apresiasi warga terhadap tradisi pertanian terlihat jelas dari kesungguhan

penduduk meminta dan mensyukuri panen melalui Rasulan. Kemeriahan yang

tercipta semakin menjiwai sisi religius dan semangat gotong royong serta

toleransi diantara warga Dusun Trowono A. Hal ini menunjukkan bahwa

(34)

Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebutmerti desa

yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Gunungkidul khususnya

masyarakat Dusun Trowono A. secara etimologi atau asal kata, Rasulan jelas

berasal dari kata rasul dan mendapat akhiran –an. Menurut KBBI, ra·suln1 orang

yg menerima wahyu Tuhan untuk disampaikan kpd manusia. Sedangkan, akhiran

–an memberikan makna sifat. Berdasarkan definisi tersebut, dapat juga diartikan

bahwa Rasulan merupakan pewahyuan atau penyebaran nilai-nilai Ketuhanan

atau nilai-nilai kebaikan melalui sebuah tradisi atau budaya. Jika pengertian atau

definisi tersebut diuji atau diaplikasikan dalam pelaksanaan Rasulan saat ini,

maka jelas terbukti bahwa Rasulan merupakan pengungkapan nilai-nilai religi

selain juga nilai-nilai yang lain. Hal tersebut terlihat dari hakikat Rasulan itu

sendiri, yakni ungkapan rasa syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Rasulan di dusun Trowono A dilakukan dua kali dalam setahun yakni

sebelum para petani menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang

dilakukan sebelum nyebar disebut rasul labuh dan setelah panen disebut Rasul

Gede.

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai klasifikasi Rasulan dan rangkaian

kegiatan yang dilaksanakan saat Rasulan. Rasulan dibagi menjadi dua yaitu Rasul

Labuh dan Rasul Gede. Rangkaian acara dalam Rasul Labuh meliputi kenduri dan

sesaji. Sedangkan dalam Rasul Gede meliputi kenduri, jamuan makan, pentas

(35)

2.2 Rasul Labuh

Rasul labuh merupakan bagian dari tradisi rasulan yang dilaksanakan

sebelum para petani menebar benih padi. Melalui Rasul Labuh ini, masyarakat

Trowono A khususnya para petani meminta kepada Tuhan agar benih yang

ditanam atau dilabuh diberikan kesuburan dan terhindar dari penyakit tanaman.

Rasul Labuh biasanya dilakukan pada Jumat Legi sekitar bulan Juni.

Saat menjalankan Rasul Labuh, masyarakat biasanya hanya melaksanakan

upacara kenduri dan sesaji. Kenduri dan sesaji tersebut merupakan ekspresi

masyarakat dalam menyampaikan permintaan. Jika kenduri merupakan ekspresi

permintaan kepada Tuhan, sesaji merupakan wujud penghormatan masyarakat

kepada makhluk ciptaan Tuhan yang lain yaitu roh atau makhluk halus yang

dipercaya menempati tempat-tempat tertentu di Dusun Trowono A.

Penghormatan tersebut bukan merupakan penyembahan tetapi merupakan

tindakan harmonisasi.

2.2.1 Kenduri

Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau

selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam

menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia

ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan

makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.1Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebut kenduren merupakan sebuah ritual

(36)

yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa,

khususnya masyarakat Gunungkidul.

Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A.

Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa

begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim

sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.

Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di

balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun

datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi

putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng

dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari keberhasilan

panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang dikumpulkan tidak

berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan banyak sedikitnya panen

yang dihasilkan oleh warga.

Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok

antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji,

pembacaan doa, dan pembagian makanan.

2.2.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya

Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan

kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah dikumpulkan

(37)

itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan syukur dan jadi alat

pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua menyatu”, kata

Widodo melalui wawancara pribadi 21 Juni 2013.

Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala

keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut dikumpulkan,

kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi ditempatkan di

meja besar di balai, lauk pauk ditempatkan menjadi satu sesuai jenisnya di

tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua makanan dikumpulkan

dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut kemudian dibagi-bagikan

kembali secara merata dengan sarangan sebagai tempatnya.

Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti

kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh

bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara

bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak

mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga

dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.

Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai

makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang,

jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan

oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di

balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai

(38)

2.2.1.2 Mendoakan Makanan

Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian)

kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri.

Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga

dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai

kekuatan ilahi sehingga semua aktifitas di dalam kehidupan dipusatkan

kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan.

Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam

ritual kenduri.

Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk

mong dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau lebih dikenal

sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara Islam karena

sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti dari doa kenduri

Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang telah dilimpahkan

oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang telah dipanen oleh

masyarakat dusun Trowono A.

2.2.1.3 Membagi-bagikan Makanan

Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi

tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan

kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu

(39)

makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang dibawa

dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah berupa

sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun kelapa

yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang hendak dibagikan

kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara warga setempat

dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan. Hal tersebut

hanyalah masalah teknis karena jika warga setempat datang ke balai dusun

dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok, tamu

undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk. Oleh

sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan yang

mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh warga

dusun.

2.2.1.4 Menyiapkan Sesaji

Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam

pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale.

Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan

makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil

dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau, dan

gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat sesaji

(40)

Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon

besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan agar

tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus

penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan

Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon

Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe

anom.

Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang

dibagikan kepada warga yang mengikuti kenduri ditambah dengan gantal

kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini

ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain

untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi

seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan

tidak mengganggu jalannya acara.

2.3 Rasul Gede

Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan setelah para petani

memanen hasil tanamannya. Masyarakat Trowono A khususnya para petani

mengucap atau mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan untuk hasil panen

yang diperoleh melalui tradisi Rasul Gede ini. Rasul Gede biasanya dilakukan

(41)

Rasul labuh dan Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan

sekali dalam setahun. Kedua tradisi tersebut sama-sama tradisi bersih desa atau

dusun tetapi keduanya berbeda dalam hal tujuan dan rangkaian acara atau

kegiatan. Jika rasul labuh merupakan ritual meminta, rasul gede merupakan ritual

mengucap syukur. Dalam pelaksanaan tradisi ini, ada beberapa hal atau tahapan

yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul, khususnya dusun Trowono A.

Beberapa hal tersebut antara lain:

2.3.1 Kenduri

Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau

selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam

menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia

ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan

makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.2Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebutkendurenmerupakan sebuah ritual

yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa,

khususnya masyarakat Gunungkidul.

Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A.

Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa

begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim

sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.

(42)

Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di

balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun

datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi

putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng

dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari

keberhasilan panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang

dikumpulkan tidak berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan

banyak sedikitnya panen yang dihasilkan oleh warga.

Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok

antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji,

pembacaan doa, dan pembagian makanan.

2.3.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya

Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan

kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah

dikumpulkan akan berubah menjadi satu. “Ini hajatnya orang banyak

sehingga maknanya itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan

syukur dan jadi alat pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua

menyatu”, kata Widodo/50.

Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala

keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut

dikumpulkan, kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi

(43)

sesuai jenisnya di tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua

makanan dikumpulkan dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut

kemudian dibagi-bagikan kembali secara merata dengan sarangan sebagai

tempatnya.

Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti

kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh

bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara

bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak

mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga

dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.

Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai

makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang,

jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan

oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di

balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai

makanan tersebut dibuat untuk bahan sesaji danmong.

2.3.1.2 Mendoakan Makanan

Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian)

kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri.

Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga

dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai

(44)

kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan.

Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam

ritual kenduri.

Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk

mong atau bancakan dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau

lebih dikenal sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara

Islam karena sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti

dari doa kenduri Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang

telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang

telah dipanen oleh masyarakat dusun Trowono A.

2.3.1.3 Membagi-bagikan Makanan

Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi

tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan

kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu

undangan secara merata. Hanya saja jika masyrakat Trowono A mendapat

makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang

dibawa dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah

berupa sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari

daun kelapa yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang

hendak dibagikan kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara

warga setempat dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan.

(45)

balai dusun dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok,

tamu undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk.

Oleh sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan

yang mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh

warga dusun.

2.3.1.4 Menyiapkan Sesaji

Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam

pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale.

Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan

makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil

dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau,

dan gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat

sesaji terbuat dari bambu yang disebut ancak.

Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon

besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan

agar tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus

penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan

Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon

Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe

anom.

Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang

(46)

kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini

ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain

untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi

seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan

tidak mengganggu jalannya acara.

2.3.2 Jamuan Makan

Rasulan tidak hanya budaya bersih desa pada umumnya. Yang menarik

dari tradisi ini salah satunya adalah jamuan makan di setiap rumah sebagai

sarana silaturahim atau bertemunya sanak saudara, kerabat, bahkan orang asing

pun akan diterima atau disambut dengan baik apabila bersedia berkunjung.

Setiap warga dusun membuat hidangan untuk dihidangkan kepada para

tamu yang berkunjung ketika Rasulan. Hidangan tidak harus mewah tetapi

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing warga sebagai tuan rumah.

Hidangan yang dipersiapkan merupakan simbol dari rasa syukur atas hasil

panen yang diperoleh para petani. Meskipun demikian, warga yang tidak

berprofesi sebagai petani juga melakukan hal yang sama sebagai wujud

kebersamaan dan solidaritas, juga upaya melestarikan tradisi dan memperluas

pemaknaan.

Jamuan makan sebagai sarana silaturahim ini juga merupakan rangkaian

acara Rasulan, hanya saja sifatnya lebih tidak terikat dalam rangkaian upacara

(47)

begitu juga sebaliknya, tuan rumah boleh menjamu tamu setiap saat. Meskipun

demikian, para tamu biasanya berkunjung setelah acara kenduri selesai

dilaksanakan.

2.3.3 Olahraga

Menurut KBBI, olah·ra·ga n gerak badan untuk menguatkan dan

menyehatkan tubuh. Kegiatan olahraga sering kali dilakukan sebagai salah satu

penyemarak Rasulan, terutama Rasul Gede. Berbagai pertandingan olahraga

antar RT (Rukun Tetangga) diadakan, seperti pertandingan bola voli,

sepakbola, bola kasti dan lain-lain. Kegiatan olahraga ini biasanya dilakukan

pada sore hari bisa setelah kenduri atau sebelum dan sesudah hari Jumat Legi,

tergantung kesepakatan warga.

Selain sebagai penyemarak, diadakannya kegiatan olahraga juga bertujuan

untuk lebih mengakrabkan antar anggota masyarakat Dusun Trowono A.

Meskipun bersifat pertandingan, tetapi warga masyarakat tidak menganggap hal

tersebut sebagai persaingan. Filosofi yang dapat dipetik dari kegiatan olahraga

ini adalah melatih sportifitas, berusaha tanpa kenal lelah, melatih bekerjasama.

2.3.4 Pentas Seni

Gelar seni budaya biasanya dilaksanakan pada tahap akhir pelaksanaan

Rasul Gede. Kesenian yang biasa digelar antara lain jathilan, wayang kulit,

(48)

Dari berbagai jenis kesenian tersebut yang paling sering digelar adalah wayang

kulit.

Wayang kulit merupakan sebuah kesenian yang sudah mendarah daging

dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Pada acara Rasulan, pagelaran

wayang kulit sudah biasa diadakan sejak jaman leluhur. Alur ceritanya yang

luwes menjadi salah satu alasan pagelaran wayang tetap diadakan, selain

sebagai upaya masyarakat Trowono A untuk melestarikan kesenian wayang.

melalui wayang, masyarakat dapat mengetahui dan memaknai cerita yang

dimainkan oleh dalang sebagai tuntunan hidup. Lakon yang dimainkan oleh

dalang dalam acara Rasulan pakemnya antara lain, Prabu Watu Gunung,

Mikukuhan, dan Sri Mulih. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan

dipentaskan lakon yang lain jika masyarakat menginginkan lakon yang lain.

Sesaji Raja Soya merupakan salah satu lakon yang pernah dipentaskan di

Trowono A saat Rasulan. Ketiga lakon tersebut pada intinya adalah

mengisahkan tentang tradisi pertanian.

Wayang kulit dipentaskan pada malam hari. Sebelum dalang naik pentas,

pemangku adat biasanya meletakkan sesaji di sebelah kanan dan kiri atas geber.

Peletakan sesaji tersebut bertujuan agar tidak terjadi peristiwa buruk selama

pertunjukan wayang berlangsung. Sesaji tersebut berupa gula jawa setangkep,

pisang raja satu lirang, kelapa satu buah, dan gantal kembang. Sesaji tersebut

dikemas dalam wadah yang terbuat dari janur kuning bernama panjang ilang.

(49)

Tujuan dilaksanakannya gelar seni budaya ini selain untuk melestarikan

budaya yang perlahan mulai asing di telinga masyarakat terutama anak muda,

juga untuk menarik wisatawan.

2.3.5 Kirab Budaya

Menurut KBBI, kirab merupakan perjalanan bersama-sama atau

beriring-iring secara teratur dan berurutan dari muka ke belakang dulu suatu rangkaian

upacara (adat, keagamaan, dsb); pawai.

Kirab di Dusun Trowono A termasuk dalam rangkaian kegiatan Rasulan.

Kirab budaya dilakukan sebagai penutup rangkaian kegiatan Rasulan atau dapat

disebut sebagai puncak acara. Selayaknya puncak acara, kirab menjadi kegiatan

yang paling meriah diantara kegiatan rasulan yang lain. Oleh sebab itu, kirab

budaya menjadi pusat perhatian masyarakat, tidak hanya masyarakat Trowono

tetapi juga masyarakat dari luar Trowono.

Berbagai macam simbol atau lambang yang mewakili tradisi, kebiasaan,

dan adat dihadirkan dalam kirab budaya. Ada kelompok masyarakat yang

menampilkan jathilan, gunungan, tarian, gejog lesung, pakaian adat, kereta

tradisional, patung yang terbuat dari kertas yang melambangkan yang baik dan

yang jahat dan lain-lain.

Seluruh masyarakat antusias dalam mengikuti kirab. Hal ini terlihat dari

banyaknya warga yang mengikuti bahkan bersedia menampilkan berbagai

(50)

tetap terlihat kompak. Kirab dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat

Trowono A mulai dari RT 1 sampai RT 6.

2.4 Rangkuman

Seperti yang telah terpapar, bab ini menjelaskan tentang proses pelaksanaan

Tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan memilik rangkaian acara. Rangkaian acara

Rasulan tidak sama antara Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan

secara sederhana karena masyarakat sedang memulai menanam sehingga tidak

memungkinkan jika masyarakat melakukan ritual secara besar-besaran.

Sedangkan Rasul Gede dilaksanakan secara meriah atau besar-besaran (ditandai

dengan banyaknya rangkaian acara) karena masyarakat sudah mempunyai hasil

panen sehingga dari segi ketersediaan dana, masyarakat mampu mencukupi

(51)

BAB III

SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN

3.1 Pengantar

Sesaji‘sajen’yaitu sajian yang berupa makanan, bunga dan sebagainya yang

disajikan untuk mahkluk halus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 929;

Poerwadarminto, 1939: 537).

Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan

dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk

sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan

atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di

tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).

Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara maupun ritual adat

yang ada di Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap

penting karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan

makhluk kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat

khususnya dalam bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul,

perayaan Rasulan juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka

selalu memperoleh perlindunganNya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan

(52)

yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu

yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).

Sesaji merupakan bagian penting dalam setiap upacara adat pada masyarakat

Jawa, khususnya masyarakat Trowono A. Dalam setiap upacara atau ritual adat,

keberadaan sesaji tidak boleh luput dari perhatian penyelenggara atau pemangku

adat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat terhadap

roh-roh yang berada di sekitar manusia yang konon (dapat mengganggu berjalannya

suatu ritual atau upacara, bahkan dipercaya dapat mengganggu kesuburan) ikut

terlibat dalam kehidupan manusia jika keberadaannya diabaikan. Sesaji yang

terdapat dalam rangkaian acara pada saat Rasulan antara lain sesaji bale, sesaji

guangan, dan sesaji dalang.

Bab ini akan menguraikan tentang berbagai macam sesaji dan unsure-unsur

sesaji yang terdapat saat Tradisi Rasulan dilaksanakan. Sesaji-sesaji tersebut

antara lain, sesaji bale, sesaji guangan, dan sesaji dalang. Setelah berbagai macam

sesaji dan unsur-unsurnya diuraikan, bab ini akan diakhiri dengan rangkuman.

3.2 Sesaji Guangan

Sesaji guangan merupakan sesaji yang berupa nasi uduk, nasi putih, sega

golong, dan lauk pauk. Sesaji tersebut diberi nama Sesaji Guangan karena sesaji

tersebut peletakkannya disebar di beberapa tempat. Sesaji tersebut sama persis

dengan makanan yang dibagi-bagikan kembali kepada masyarakat dusun tetapi

(53)

yang dipercaya mendiami tempat-tempat tertentu yang dianggap penting atau

keramat. Tempat keramat yang selalu diberi sesaji oleh warga antara lain pohon

epek yang berada di Pasar Trowono, pace, bulu, ngunut, Telaga Jambe Anom.

Dengan demikian, masyarakat berharap makhluk penghuni dusun tidak

mengganggu jalannya rangkaian acara Rasulan juga kehidupan masyarakat.

Sesaji Guangan

3.3 Sesaji Bale

Sesaji bale merupakan sesaji Rasulan yang diletakkan di balai dusun. Serupa

dengan sesaji guangan, sesaji bale juga berupa nasi uduk, nasi putih, sego golong,

dan lauk pauk ditambah dengan gantal kembang. Tujuan diadakannya sesaji bale

ini sama dengan sesaji guangan hanya saja sesaji bale khusus diletakkan di balai,

tepatnya di pojok sebuah ruangan. Sesaji diletakkan di pojok ruangan karena

(54)

Sesaji Bale

3.4 Sesaji Dalang

Sesaji atau sajen dalang merupakan sesaji yang dibuat atau dipersiapkan

untuk pagelaran wayang. Sajen dalang terdiri dari dua sesaji. Sesaji yang pertama

yaitu sesaji yang diletakkan dibawah geber yang disebut dengan gantal komplit

sedangkan sesaji yang kedua adalah sesaji yang diletakkan di pojok atas kanan

dan kiri geber yang disebut sajen hasil tani. Sesaji yang pertama atau gantal

komplit terdiri dari kemenyan, enjet, gambir, tembakau, beras, telur, daun sirih,

kembang kanthil, melati, dan menur. Benda-benda tersebut diwadahkan dalam

satu piring dan diletakkan dibawah geber, dekat dengan dalang saat memainkan

wayang. Sementara sajen hasil tani berupa padi dan degan atau kelapa muda yang

diletakkan pada wadah yang terbuat dari janur yaitu daun kelapa yang masih

(55)

Sajen Dalang (gantal komplit) Sajen Dalang (hasil tani)

Adapun Unsur-Unsur yang Terdapat dalam Sesaji secara keseluruhan, (sejaji

bale, sesaji guangan dan sesaji dalang) antara lain:

1. Ingkung

Ingkung merupakan ayam kampung yang dimasak secara utuh tanpa

dipotong-potong. Dalam Tradisi Rasulan, ingkung mempunyai makna

inggala njungkung” artinya segeralah bersujud kepada Tuhan, sebagai ciri

khas orang yang mengikuti nabi atau rasul (Widodo/50/tokoh masyarakat).

2. Tumpeng

Tumpeng merupakan nasi gurih yang berwarna putih/ kuning yang

berbentuk kerucut. Tumpeng diletakkan di tengah-tengah tambir (wadah

yang terbuat dari anyaman bambu, biasa digunakan masyarakat Jawa untuk

membersihkan beras atau napeni ). Sementara di pinggir tumpeng diberi

berbagai macam sayuran dan lauk pauk. Tumpeng berarti metu dalan sing

(56)

maka tumpeng berarti, jika sebagai petani kita bekerja melalui jalan yang

lurus atau benar, niscaya panen yang diperoleh akan melimpah seperti yang

ditunjukkan dalam nasi tumpeng.

Dalam nasi tumpeng juga terdapat kedelai hitam yang menyimbolkan

dosa atau noda yang harus segera dihilangkan. Selain kedelai hitam juga

terdapat kerupuk putih yang melambangkan kesucian karena ketika dosa

telah diampuni, maka segalanya menjadi ringan dan mudah terutama dalam

bidang pertanian.

3. Sega liwet

Sega liwet yaitu beras yang ditanak sampai benar-benar matang,

menggambarkan tahapan manusia menginjak usia lanjut. Dalam usia lanjut,

pada umumnya mereka sudah melalui berbagai rintangan dalam hidup.

Apabila mereka sudah lulus dari rintangan tersebut, maka digambarkan

dengan sajen nasi putih, yang berarti jiwanya sudah bersih kembali.

Keinginan mereka sudah lebih terbatas dan tidak menginginkan yang

macam-macam, yang digambarkan dengan lauk srundeng, lauk yang sangat

sederhana dalam menu makanan. Biasanya mereka sudah tidak mencari

gelimangan harta benda di dunia, tetapi sudah ingin lebih mengabdikan dan

Referensi

Dokumen terkait

(1) Kepala Dinas Kesehatan membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada

Dengan demikian terjadi ketidaksesuaian dalam penerimaan upah kepada para pekerja dengan UMK yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kudus.. Sebagaimana dari hasil

Sistem ini didasarkan pada satu konsep layanan yang bisa dikatakan tidak terbatas bagi turis ataupun konsumen yang akan berwisata. Konsep layanan untuk memuaskan turis atau

Ukuran Perusahaan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap Audit Delay pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2015, hal ini

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model penelitian Kurt Lewin. Penelitian ini terdiri dari empat tahapan setiap siklusnya, yaitu: perencanaan,

Apabila Saudara tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan tersebut diatas dan tidak membawa dokumen yang disyaratkan, akan dinyatakan gugur/tidak memenuhi persyaratan

It was a nice day and she felt calm and content to be there, memories came back from her younger days: when she knew she loved John, the the weather conditions had been equal

Atas dasar latar belakang, identifikasi serta rumusan masalah yang telah di uraikan, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan partisipasi