xii
Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.
Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.
Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.
Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.
Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.
xiii
Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.
This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.
This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.
Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.
Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.
Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.
i
KARANGASEM, PALIYAN, GUNUNGKIDUL:
SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Sandra Setiyawati
NIM: 074114017
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan kebaikanNya selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dengan judul: ”Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul: Sebuah Kajian Folklor.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian sarjana dan memperoleh gelar S-1 Fakultas Sastra, Jurusan Santra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Walaupun banyak kendala yang dihadapi oleh penulis tetapi karena kasih dan pertolonganNya, penulis dapat menerima dan melewati semuanya dengan kesabaran. Penulis sangat sadar bahwa tanpa kasih dan kebaikan-Nya, penulis tidak dapat berbuat apa-apa.
Demikian juga, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapakan terima kasih kepada :
1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I dan Prof.Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing, membantu, dan memberi saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
Kata orang, “jujur itu
ajur” tetapi tidak demikian dengan
perkataan Bapak. “Jujur itu
mujur”
kalimat itulah yang selalu
ditekankan oleh Bapak ketika memberi
wejangan
sejak saya
masih kecil hingga sekarang. Kejujuran itu adalah alat untuk
memerdekakan diri. Ketika sekali saja kita meninggalkan
kejujuran maka hidup kita akan tersandera. Itulah didikan
Bapak saya. Saya bukan orang jujur tetapi saya selalu
berusaha untuk jujur kepada diri sendiri maupun orang lain.
“Dadio wong jujur nok”,
itulah kata-kata yang selalu saya
ix
x
1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual ... 9
1.7 Metode Penelitian... 13
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data... 13
1.7.2 Teknik Analisis Data... 16
xi
2.1 Pengantar... 18
2.2 Rasul Labuh ... 20
2.3 Rasul Gede ... 25
2.4 Rangkuman ... 35
BAB III SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN... 36
3.1 Pengantar... 36
3.2 Sesaji Guangan... 37
3.3 Sesaji Bale... 38
3.4 Sesaji Dalang... 39
3.5 Rangkuman ... 43
BAB IV NILAI DAN FUNGSI TRADISI RASULAN BAGI MASYARAKAT TROWONO A... 44
4.1 Pengantar... 44
4.2 Nilai... 45
4.3 Fungsi... 49
4.4 Rangkuman ... 54
BAB V PENUTUP... 55
5.1 Kesimpulan ... 55
5.2 Saran... 56
DAFTAR PUSTAKA... 57
xii
Setiyawati, Sandra. 2014. Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. (Sebuah Kajian Folklor). Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Rasulan, memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan, dan memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A.
Penelitian ini menggunakan Kajian Folklor yang mengutamakan Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Trowono A sebagai objek penelitian. Mula- mula peneliti melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara sebagai langkah pengumpulan data lapangan. Setelah itu, data dianalisis dan disajikan menggunakan metode deskripsi.
Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sangat terkenal di Gunungkidul. Hampir setiap daerah melaksanakan tradisi ini sampai saat ini. Rasulan merupakan tradisi pertanian yang dilakukan dua kali dalam setahun yakni Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan sebelum para petani menabur benih, sementara Rasul Gede dilakukan setelah para petani memanen hasil tanamannya. Rasul Labuh dilaksanakan secara sederhana yaitu hanya kenduri dan sesaji. Sementara itu, Rasul Gede dilakukan secara besar-besaran sebagai wujud rasa syukur masyarakat. Kenduri, sesaji, jamuan makan, pentas seni, olahraga, dan kirab budaya menjadi agenda rutin Rasul Gede.
Sesaji merupakan kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Trowono A khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sesaji yang rutin dilaksanakan adalah Sesaji Bale, Sesaji Guangan, dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale merupakan sesaji yang khusus diletakkan di Balai Dusun sebagai pusat kegiatan masyarakat khususnya saat pelaksanaan Rasulan. Sedangkan Sesaji Guangan merupakan sesaji yang diletakkan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Sementara itu, Sesaji Dalang merupakan sesaji yang dibuat khusus untuk nyajeni pentas wayang.
Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A juga memiliki nilai dan fungsi bagi masyarakat dusun tersebut. Nilai yang terkandung dalam Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai agama. Sementara itu, fungsi yang terkandung dalam Tradisi Rasulan antara lain, fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.
xiii
Setyawati, Sandra.2014. Rasulan Tradition at Trowono at Karangasem Paliyan Gunungkidul. (A folklore Study). Script S-1, Yogyakarta: Indonesian lecturer, Sanata Dharma University.
This study concerns about “Rasulan” tradition at Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. The purpose of this study are describing the rasulan tradition, expose many kinds of “sesaji” that include in rasulan tradition and expose the values and function of Rasulan tradition for Trowono A society.
This study uses the folklore study that emphasize Rasulan tradition at Trowono A as an object of the study. At the beginning the researcher doing observation and interview as tools to collect the field data. After all, the data been analyzed and served with description method.
Rasulan is famous tradition in Gunungkidul, Almost every region in Gunungkidul doing this tradition until this time. Rasulan is an agricultural tradition that is held twice in a year, that are called Rasul Labuh and Rasul Gede. Rasul Labuh held before the farmers are planting, and Rasul Gede held after harvest time. Rasl Labuh held in a simple way that the farmers only served “Kenduri” and “sesaji”. Meanwhile, Rasul Gede held in a huge way as a though of thanks to God from farmers. Doing kenduri, sesaji, food court, art festival, sport festival and cultural carnival are being a routine agenda in Rasul Gede.
Doing sesaji is an activity that never left by the trowono A society, especially at rasulan time. Sesaji that routinely held are Sesaji Bale, Sesaji Guangan dan Sesaji Dalang. Sesaji Bale is a special offering that placed in the village hall as a center of social activities, especially at rasulan time. Sesaji Guangan is an offering that placed in many placed that people assume it is has mystically power. And last, Sesaji Dalang is an offerings that especially given for puppet show.
Rasulan tradition in Trowono A also has values and fuctions for the society. Values that remain in Rasulan tradition at Trowono A are economic value, esthetic value, social value, and religion value. Functions that includes in Rasulan tradition are magio function, religious function, factitives function, and intensification function.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trowono A merupakan sebuah dusun yang terletak tujuh kilometer dari
pantai selatan, tepatnya di Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul,
Yogyakarta. Lokasinya berbukit, sedikit gersang, dan lahan pertaniannya berupa
tegalan. Trowono A sebagai lokasi penelitian merupakan sebuah dusun yang
mayoritas penduduknya petani. Daerah kering tidak menyurutkan antusias
masyarakat untuk tetap bercocok tanam. Tidak selalu padi yang ditanam
melainkan jagung, kedelai, dan singkong di musim kemarau.
Trowono A merupakan salah satu dusun yang masyarakatnya masih
mempunyai kesadaran yang cukup tinggi dalam melestarikan tradisi. Tidak
hanya Rasulan, tetapi juga tradisi-tradisi atau ritual yang lain seperti Gejog
Lesung, Bersih Telaga, dan upacara-upacara seperti upacara perkawinan,
kelahiran yang masih selalu dilaksanakan sampai saat ini. Meskipun demikian,
Rasulan tetap menjadi tradisi atau ritual yang keberadaannya selalu menjadi
pusat perhatian masyarakat setempat maupun masyarakat yang berasal dari
daerah lain.
Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebut dengan
secara keseluruhan. Setiap desa di Gunungkidul melaksanakan tradisi rasulan
setiap tahunnya. Rasulan dilakukan dua kali dalam setahun, sebelum para petani
menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang dilakukan sebelum
nyebar disebut Rasul Labuh sedangkan Rasulan setelah panen disebut Rasul
Gede. Pelaksanaan Rasulan dilakukan tidak secara bersamaan atau serentak,
melainkan bergantian sesuai kesepakatan warga desa masing-masing. Rasulan
dapat dilakukan per dusun, kelompok dusun, atau desa.
Dalam Tradisi Rasulan juga terdapat gagasan dan tindakan religius dalam
hal pertanian. Gagasan dan tindakan religius tersebut terwujud dalam doa-doa
dan ritual dan di dalamnya adalah sesaji yang dilakukan sebelum para petani
menanam padi dan setelah panen. Di dalam setiap ritual yang dilakukan, sesaji
memegang peranan penting sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap
sesuatu di luar manusia.
Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara adat yang ada di
Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap penting
karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan makhluk
kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam
bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul, perayaan Rasulan
juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka selalu
memperoleh perlindungan-Nya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan
yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu
yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).
Tradisi Rasulan memiliki berbagai nilai dan fungsi bagi masyarakat. Secara
umum nilai dan fungsi tersebut timbul karena adanya penghayatan masyarakat
terhadap Tradisi Rasulan.
Melihat latar belakang masalah tersebut, maka, skripsi ini mengambil judul
Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A Karangasem Paliyan Gunungkidul. Judul
tersebut dipilih karena dua alasan. Pertama, pelestarian tradisi dan sebagai upaya
mendokumentasikan sebuah tradisi. Kedua, sebagai negara agraris, tradisi yang
berkaitan dengan pertanian harus tetap diperhatikan dan dilestarikan. Rasulan
sebagai tradisi masyarakat Gunungkidul secara umum memiliki potensi menjadi
aset pariwisata jika tradisi tersebut dilestarikan, dikelola, dan dipublikasikan
dengan baik. Oleh sebab itu, penulis sebagai masyarakat asli Gunungkidul
memilih Rasulan sebagai objek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai uraian di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A?
1.2.2 Apa sajakah sesaji yang terdapat dalam ritual Rasulan di Dusun Trowono A?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa
penelitian ini bertujuan untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan pelaksanaan ritual Rasulan di Dususn Trowono A.
1.3.2 Memaparkan berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi Rasulan
di Dusun Trowono A.
1.3.3 Memaparkan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi masyarakat Dusun
Trowono A.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini anatara lain manfaat secara
teoritis dan manfaat praktis. Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa manfaat hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1.4.1 Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan
tentang folklor di Indonesia dan dapat digunakan sebagai bahan diskusi
masyarakat secara umum maupun dalam ruang lingkup akademisi.
1.4.2 Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai wujud apresiasi
terhadap Tradisi Rasulan melalui pendokumentasian pelaksanaan
Rasulan. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian atau dokumentasi
ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Trowono A sebagai sarana
pengenalan Tradisi Rasulan kepada generasi muda Trowono A, juga
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai rasulan dengan objek penelitian Dusun Trowono A
belum pernah dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian dengan objek penelitian
tradisi rasulan pernah dilakukan oleh Markus Yuwono dengan judul penelitian
“Perubahan Tradisi Rasulan di Gunungkidul Setelah 1998”. Penelitian ini berisi
deskripsi dan analisa mengenai perkembangan tradisi rasulan di Gunungkidul
ketika masyarakat menghadapi perubahan setelah krisis ekonomi 1997. Hasil
penelitian yang dilakukan Markus Yuwono menunjukkan bahwa masyarakat
Gunungkidul adalah masyarakat yang majemuk dan terbuka bagi kebudayaan
baru.
Studi ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Markus Yuwono.
Perbedaan tersebut terletak pada lokasi penelitian dan hal penelitian. Markus
Yuwono meneliti tentang perubahan pelaksanaan Rasulan yang terjadi setelah
krisis ekonomi 1997 sedangkan penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan
tradisi Rasulan secara khusus di Dusun Trowono A.
1.6 Landasan Teori
Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya dalam bidang budaya,
diperlukan teori-teori atau pendekatan yang sesuai dengan objeknya. Pendekatan
ini dapat digunakan sebagai alat pengupas yang diharapkan mendukung
Dalam tugas akhir ini penulis menggunakan teori folklor dan folkbelief
sebagai bagian dari folklor sebagian lisan untuk memaparkan hasil penelitian.
1.6.1 Folklor
Folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Jika dieja menjadi folk
artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’. Folk adalah kelompok atau kolektif
yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan
kelompok lain. Lore merupakan wujud tradisi dari lore. Tradisi tersebut
dituturkan secara oral (lisan) dan turun-temurun. Folklor berarti tradisi rakyat
yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor
(Endraswara, 2005: 11)
Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari
folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi
yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat
mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat terpenuhi.
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja,
Menurut Brunvand via Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor
lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3)
folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang
bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk
ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti
logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan
tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional,
seperti tekateki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita
prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor
lisan juga mempunyai fungsi sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan
yang terpendam.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi
menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang
tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah,
bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan
perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan
tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak
isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
Folk belief atau Kepercayaan Rakyat merupakan bagian dari folklor
sebagian lisan, selain permainan rakyat. Kepercayaan rakyat atau sering kali
juga disebut “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan
Barat dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga
secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berhubung kata “takhyul”
mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli folklor modern lebih
senang menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau keyakinan
rakyat daripada “takhyul” (supersititious), karena takhyul berarti “hanya
khayalan belaka”, (sesuatu yang) hanya di angan-angan saja (sebenarnya tidak
ada) (Poerwadarminto dalam Danandjaja, 1984:153).
Berdasarkan teori folklor danfolkbelief, Tradisi Rasulan merupakan bagian
dari folklor sebagian lisan. Tradisi Rasulan dapat dikategorikan sebagai folklor
sebagian lisan karena di dalam Tradisi Rasulan terdapat benda-benda atau
artefak yang dibuat oleh masyarakat sebagai wujud keyakinan atau kepercayaan
mereka terhadap sesuatu atau kehidupan di luar manusia. Benda-benda atau
artefak tersebut antara lain sesaji, sarangan (wadah makanan yang terbuat dari
daun kelapa yang dianyam), panjang ilang (wadah sesaji yang terbuat dari janur
atau daun kelapa yang masih berwarna kuning), dan patung-patung tiruan
sebagai perwujudan atau simbol makhluk-makhluk jahat yang diarak saat kirab
1.6.2 Nilai dan Fungsi Ritual
“Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang
mempunyai ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti setiap organisasi
kompleks dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis
ataupun rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara
tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial”, (Dhavamony, 1995: 175).
1.6.2.1 Nilai
Allport, Vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995, 263)
mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori,
ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat
penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme,
empirisme, dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari
berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika
berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut
antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan
kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan
antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik
berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi
usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di
muka bumi karena anugerah Tuhan yang harus disyukuri.
Berdasarkan klasifikasi mengenai nilai-nilai tersebut, Tradisi Rasulan
mempunyai nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat. Nilai-nilai
tersebut antara lain nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, dan nilai
agama.
1.6.2.2 Fungsi
Ritus dapat dibedakan atas empat macam (Dhavamony, 1995:
175-176). (1)Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan
yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para
leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang
mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada
pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan
menjadi khas; dan (4)Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain
meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual faktitif berbeda
dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari sekadar pengungkapan
atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan korban untuk
para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang
diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.
lainnya, yakni (5) Ritual intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah
kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan
dan panenan. Orang yang menginginkan panenan berhasil akan
melaksanakan ritual intensifikasi.
Upacara-upacara tersebut sesungguhnya memiliki
penjelasan-penjelasan yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri
sosiologis. Dengan lain perkataan, ritual yang dilaksanakan memiliki
fungsi-fungsi sosiologis tertentu. Mengikuti pembagian Dhavamony (1995:
175-176) mengenai lima macam ritual seperti telah diungkapkan di atas,
maka upacara dan tindakan-tindakan ritual dalam tradisi Rasulan dapat
dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fungsi ini berkaitan erat
dengan alasan-alasan mistis yang melatar-belakanginya. Penjelasan ini
sekaligus mengungkapkan fungsi ritus bagi masyarakatnya.
1. Fungsi Magis
“Magi (sihir) adalah suatu fenomen yang sangat dikenal dan
umumnya dipahami, namun tampaknya sangat sulit dirumuskan
dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah
kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara
langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan
antarmereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan
usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang
Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang
bekerja karena daya-daya mistis (pola-pola pikiran yang dihubungkan
dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa).
2. Fungsi Religius
Menurut KBBI, kata religius memiliki arti bersifat religi,
sementara religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati
di atas manusia. Kultus leluhur, juga bekerja dengan cara ini. 1
penghormatan resmi dl agama; upacara keagamaan; ibadat; 2 sistem
kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang,
paham, atau benda;
3. Fungsi Faktitif
Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Dia tidak saja
mewujudkan korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun
juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok
dalam konteks peranan sekular mereka.
4. Fungsi Intensifikasi
Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang
mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan dan
1.7 Metode Penelitian
Metode merupakan cara dan prosedur yag akan ditempuh oleh peneliti
dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini
disajikan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam
hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan
penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53). Dalam hal ini metode
penelitian yang akan digunakan untuk memecahkan masalah meliputi metode
dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data.
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data
1.7.1.1 Observasi
Sutrisno Hadi via Sugiyono (1999: 139) mengemukkan bahwa
observasi meupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik
pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan
dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila
responden yang diamati tidak terlalu besar.
Dari segi proses pengumpulan data, observasi dapat dibedakan
menjadi (1) participant observation (observasi berperan serta) yaitu
peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati
observation (observasi nonpartisipan) yaitu peneliti tidak terlibat dan
hanya sebagai peneliti independent (Sugiyono, 1999: 139).
Dari segi instrumentasi yang digunakan, maka observasi dapat
dibedakan menjadi (1) observasi terstruktur yaitu observasi yang
dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, dimana
tempatnya. Jadi observasi terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu
dengan pasti tentang variabel yang akan diamati, (2) observasi tidak
terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis
tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak
tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati (Sugiyono, 1999: 140).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi
terstruktur, observasi yang telah dirancang secara sistematis, karena
penulis sudah mengetahui tentang apa yang akan diamati dan dimana
tempatnya yaitu peneliti mengamati proses Tradisi Rasulan yang
dilakukan oleh masyarakat Dusun Trowono A. Selain observasi
terstruktur, penulis juga menggunakan teknik observasi berperan serta
(participant observation) karena peneliti terlibat dengan kegiatan
sehari-hari masyarakat Trowono A sebagai narasumber.
1.7.1.2 Wawancara
Wawancara sebagai suatu roses tanya jawab lisan, yaitu dua orang
atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara atau informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
social yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara
mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin,
2008: 108)
1.7.1.3 Dokumentasi
Teknik ini berupa informasi yang berasal dari catatan penting baik
dari lembaga atau organisasi maupun perseorangan, baik berupa tulisan
maupun lisan. Teknik dokumentasi dilakukan dengan wawancara
mendalam, menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari
responden atau informan agar informasi yang detail diperoleh peneliti
(Hamidi, 2004: 72-78)
Dalam melakukan penelitian, pengumpulan data merupakan tahap yang
penting. Dalam proses pengumpulan data, peneliti memerlukan teknik untuk
memperoleh data-data yang diperlukan yaitu teknik pengumpulan data
lapangan. Pengumpulan data di lapangan merupakan salah satu aspek penting
dalam proses penelitian budaya. Dalam pengumpulan data di lapangan ada
beberapa langkah yang akan dilakukan. Langkah-langkah tersebut antara lain
pengumpulan data yang mencakup wawancara, pengamatan (observasi),
perekaman atau pencatatan, dan pengarsipan.
1.7.2 Teknik Analisis Data
Analisis data menjadi pekerjaan utama dalam suatu penelitian. Pada tahap
analisis data, penulis akan menggunakan teknik transkripsi. Transkripsi
merupakan pengubahan dari bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis.
Setelah mengubah bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis, peneliti
menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis data. “Metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2011 :
9). Selain menggunakan metode kualitatif, peneliti juga mengacu pada teknik
hermeneutika dalam menganalisis data. “Hermeneutika mengarah pada
penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh
manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi oleh interpretasi yang telah
dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka
sendiri”, (Smith :1984, via Tri Nugroho Adi dalam
http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/11/03/teori-teori-penunjang-dalam-penelitian-kualitatif/ diunduh pada 9 mei 2014, jam 23:12). Setelah
menganalisis data, penulis menggunakan metode deskripsi untuk menyajikan
hasil analisis data.
1.8 Sistematika Penyajian
Makalah ini disajikan dalam lima bab yaitu pendahuluan, pembahasan yang
terdiri dari tiga bab yaitu deskripsi bagaimana Rasulan dilaksanakan,
macam-macam sesaji yang terdapat dalam Rasulan, dan makna serta fungsi Tradisi
Rasulan bagi masyarakat Dusun Trowono A. Satu bab penutup berupa
kesimpulan penulis. Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini,
peneliti menyusun ke dalam bab, yaitu : Bab I merupakan pendahuluan, yang
berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan
sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan mengenai prosesi
pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Trowono A. Bab III merupakan
pemaparan mengenai berbagai macam sesaji yang terdapat dalam Tradisi
Rasulan. Bab IV merupakan pemaparan nilai dan fungsi Tradisi Rasulan bagi
masyarakat Dusun Trowono A. Bab V merupakan penutup yang berisi
BAB II
PELAKSANAAN TRADISI RASULAN
2.1 Pengantar
Dusun Trowono A merupakan sebuah dusun dengan seratus tujuh puluh lima
kepala keluarga yang terbagi dalam enam RT (Rukun Tetangga). Pedukuhan
Trowono A merupakan pedukuhan yang mayoritas penduduknya petani dan juga
pemeluk Islam. Dari seratus tujuh puluh lima kepala keluarga, hanya satu kepala
keluarga yang beragama Kristen dan pada setiap rumah, minimal satu orang
bermata pencaharian tani.
Dunia pertanian sudah menjadi urat nadi kehidupan warga dusun. Meskipun
kondisi geografis yang berbukit dan sekilas terlihat tandus karena berupa tegalan,
juga terasering, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi
berlangsungnya kehidupan pertanian. Telaga dan ledeng menjadi sumber air
selain tadah hujan. Padi, jagung, kedelai, dan singkong merupakan andalan hasil
tani warga setiap musimnya (hasil wawancara dengan Pak Harto Wiharjo, kepala
Dusun Trowono A).
Apresiasi warga terhadap tradisi pertanian terlihat jelas dari kesungguhan
penduduk meminta dan mensyukuri panen melalui Rasulan. Kemeriahan yang
tercipta semakin menjiwai sisi religius dan semangat gotong royong serta
toleransi diantara warga Dusun Trowono A. Hal ini menunjukkan bahwa
Tradisi Rasulan merupakan tradisi bersih desa atau sering disebutmerti desa
yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Gunungkidul khususnya
masyarakat Dusun Trowono A. secara etimologi atau asal kata, Rasulan jelas
berasal dari kata rasul dan mendapat akhiran –an. Menurut KBBI, ra·suln1 orang
yg menerima wahyu Tuhan untuk disampaikan kpd manusia. Sedangkan, akhiran
–an memberikan makna sifat. Berdasarkan definisi tersebut, dapat juga diartikan
bahwa Rasulan merupakan pewahyuan atau penyebaran nilai-nilai Ketuhanan
atau nilai-nilai kebaikan melalui sebuah tradisi atau budaya. Jika pengertian atau
definisi tersebut diuji atau diaplikasikan dalam pelaksanaan Rasulan saat ini,
maka jelas terbukti bahwa Rasulan merupakan pengungkapan nilai-nilai religi
selain juga nilai-nilai yang lain. Hal tersebut terlihat dari hakikat Rasulan itu
sendiri, yakni ungkapan rasa syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan.
Rasulan di dusun Trowono A dilakukan dua kali dalam setahun yakni
sebelum para petani menanam padi atau nyebar dan setelah panen. Rasulan yang
dilakukan sebelum nyebar disebut rasul labuh dan setelah panen disebut Rasul
Gede.
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai klasifikasi Rasulan dan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan saat Rasulan. Rasulan dibagi menjadi dua yaitu Rasul
Labuh dan Rasul Gede. Rangkaian acara dalam Rasul Labuh meliputi kenduri dan
sesaji. Sedangkan dalam Rasul Gede meliputi kenduri, jamuan makan, pentas
2.2 Rasul Labuh
Rasul labuh merupakan bagian dari tradisi rasulan yang dilaksanakan
sebelum para petani menebar benih padi. Melalui Rasul Labuh ini, masyarakat
Trowono A khususnya para petani meminta kepada Tuhan agar benih yang
ditanam atau dilabuh diberikan kesuburan dan terhindar dari penyakit tanaman.
Rasul Labuh biasanya dilakukan pada Jumat Legi sekitar bulan Juni.
Saat menjalankan Rasul Labuh, masyarakat biasanya hanya melaksanakan
upacara kenduri dan sesaji. Kenduri dan sesaji tersebut merupakan ekspresi
masyarakat dalam menyampaikan permintaan. Jika kenduri merupakan ekspresi
permintaan kepada Tuhan, sesaji merupakan wujud penghormatan masyarakat
kepada makhluk ciptaan Tuhan yang lain yaitu roh atau makhluk halus yang
dipercaya menempati tempat-tempat tertentu di Dusun Trowono A.
Penghormatan tersebut bukan merupakan penyembahan tetapi merupakan
tindakan harmonisasi.
2.2.1 Kenduri
Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau
selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam
menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia
ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan
makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.1Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebut kenduren merupakan sebuah ritual
yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa,
khususnya masyarakat Gunungkidul.
Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A.
Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa
begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim
sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.
Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di
balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun
datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi
putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng
dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari keberhasilan
panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang dikumpulkan tidak
berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan banyak sedikitnya panen
yang dihasilkan oleh warga.
Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok
antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji,
pembacaan doa, dan pembagian makanan.
2.2.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya
Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan
kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah dikumpulkan
itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan syukur dan jadi alat
pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua menyatu”, kata
Widodo melalui wawancara pribadi 21 Juni 2013.
Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala
keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut dikumpulkan,
kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi ditempatkan di
meja besar di balai, lauk pauk ditempatkan menjadi satu sesuai jenisnya di
tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua makanan dikumpulkan
dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut kemudian dibagi-bagikan
kembali secara merata dengan sarangan sebagai tempatnya.
Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti
kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh
bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara
bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak
mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga
dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.
Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai
makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang,
jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan
oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di
balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai
2.2.1.2 Mendoakan Makanan
Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian)
kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri.
Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga
dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai
kekuatan ilahi sehingga semua aktifitas di dalam kehidupan dipusatkan
kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan.
Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam
ritual kenduri.
Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk
mong dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau lebih dikenal
sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara Islam karena
sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti dari doa kenduri
Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang telah dilimpahkan
oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang telah dipanen oleh
masyarakat dusun Trowono A.
2.2.1.3 Membagi-bagikan Makanan
Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi
tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan
kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu
makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang dibawa
dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah berupa
sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun kelapa
yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang hendak dibagikan
kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara warga setempat
dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan. Hal tersebut
hanyalah masalah teknis karena jika warga setempat datang ke balai dusun
dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok, tamu
undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk. Oleh
sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan yang
mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh warga
dusun.
2.2.1.4 Menyiapkan Sesaji
Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam
pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale.
Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan
makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil
dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau, dan
gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat sesaji
Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon
besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan agar
tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus
penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan
Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon
Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe
anom.
Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang
dibagikan kepada warga yang mengikuti kenduri ditambah dengan gantal
kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini
ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain
untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi
seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan
tidak mengganggu jalannya acara.
2.3 Rasul Gede
Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan setelah para petani
memanen hasil tanamannya. Masyarakat Trowono A khususnya para petani
mengucap atau mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan untuk hasil panen
yang diperoleh melalui tradisi Rasul Gede ini. Rasul Gede biasanya dilakukan
Rasul labuh dan Rasul Gede merupakan tradisi pertanian yang dilakukan
sekali dalam setahun. Kedua tradisi tersebut sama-sama tradisi bersih desa atau
dusun tetapi keduanya berbeda dalam hal tujuan dan rangkaian acara atau
kegiatan. Jika rasul labuh merupakan ritual meminta, rasul gede merupakan ritual
mengucap syukur. Dalam pelaksanaan tradisi ini, ada beberapa hal atau tahapan
yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul, khususnya dusun Trowono A.
Beberapa hal tersebut antara lain:
2.3.1 Kenduri
Tahap pertama yang dilakukan dalam acara Rasulan adalah kenduri atau
selamatan. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam
menghadapi segala peristiwa yang terjadi baik itu berupa peristiwa bahagia
ataupun duka cita. Sedangkan menurut KBBI, kenduri merupakan perjamuan
makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat.2Kenduri dilaksanakan di balai dusun. Kenduri atau yang biasa disebutkendurenmerupakan sebuah ritual
yang biasanya dilakukan dalam setiap upacara pada masyarakat suku Jawa,
khususnya masyarakat Gunungkidul.
Kenduri selalu dilaksanakan pada Jumat Legi oleh masyarakat Trowono A.
Jumat Legi dianggap sebagai hari besar atau hari baik bagi masyarakat Jawa
begitupun oleh masyarakat Trowono A. Jumat sebagai hari besar umat muslim
sedangkanlegiatau manis berkaitan dengan segala sesuatu yang baik.
Saat kenduri dilaksanakan, masyarakat Dusun Trowono A berkumpul di
balai dusun dengan membawa nasi beserta lauk pauk. Biasanya warga dusun
datang ke balai dusun dengan membawa tenggok atau bakul yang berisi nasi
putih beserta lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, sambal goreng, bakmi goreng
dan sebagainya. Nasi dan lauk pauk tersebut merupakan simbol dari
keberhasilan panen. Meskipun demikian, banyak sedikitnya makanan yang
dikumpulkan tidak berbanding lurus juga tidak berbanding terbalik dengan
banyak sedikitnya panen yang dihasilkan oleh warga.
Adapun dalam hal ini prosesi kenduri terbagi menjadi empat bagian pokok
antara lain pengumpulan makanan berdasarkan jenisnya, penyiapan sesaji,
pembacaan doa, dan pembagian makanan.
2.3.1.1 Pengumpulan Makanan Berdasarkan Jenisnya
Pengumpulan makanan dilakukan sebagai wujud ungkapan
kebersamaan warga dusun. Dari yang awalnya terpisah, setelah
dikumpulkan akan berubah menjadi satu. “Ini hajatnya orang banyak
sehingga maknanya itu dari berbagai unsur, baik itu dari segi ucapan
syukur dan jadi alat pemersatu. Jadi, dari orang kaya, orang miskin, semua
menyatu”, kata Widodo/50.
Tenggok beserta makanan yang dibawa masing-masing kepala
keluarga dikumpulkan menjadi satu. Setelah makanan tersebut
dikumpulkan, kemudian dipisah-pisahkan sesuai jenisnya. Seluruh nasi
sesuai jenisnya di tempat yang telah disediakan warga. Setelah semua
makanan dikumpulkan dan dipisahkan sesuai jenisnya, makanan tersebut
kemudian dibagi-bagikan kembali secara merata dengan sarangan sebagai
tempatnya.
Pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak yang mengikuti
kenduri kecuali tamu undangan. Pembagian makanan hanya dilakukan oleh
bapak-bapak. Hal tersebut bukan berarti membeda-bedakan antara
bpak-bapak dan ibu-ibu tetapi hanya merupakan pembagian tugas. Bapak-bpak-bapak
mengumpulkan dan membagi-bagikan makanan sementara ibu-ibu warga
dusun menyiapkan makanan ringan ataupacitanuntuk kenduren dan sajen.
Selain makanan yang dibawa oleh setiap keluarga, adapula berbagai
makanan berupa nasi uduk, ingkung, tumpeng, sega liwet, jenang abang,
jenang putih, jenang baro-baro, dan sega golong yang telah dipersiapkan
oleh ibu-ibu warga masyarakat Trowono A. Makanan tersebut dimasak di
balai dusun atau di rumah salah satu warga, sesuai kesepakatan. Berbagai
makanan tersebut dibuat untuk bahan sesaji danmong.
2.3.1.2 Mendoakan Makanan
Menurut KBBI doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian)
kepada Tuhan. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan kenduri.
Sebagai masyarakat beragama, doa tidak pernah ditinggalkan oleh warga
dusun pada setiap rangkaian acara. Masyarakat meyakini dan mempercayai
kepada Sang Pencipta alam semesta demikian halnya dengan Rasulan.
Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan lepas dari doa terlebih lagi dalam
ritual kenduri.
Berbagai makanan yang telah dikumpulkan termasuk bahan untuk
mong atau bancakan dan juga sesaji didoakan oleh pemimpin adat atau
lebih dikenal sebagai kaum oleh masyarakat. Doa dilaksanakan secara
Islam karena sebagian besar masyarakat Trowono A beragama Islam. Inti
dari doa kenduri Rasul Gede ini adalah mengucap syukur atas berkah yang
telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa hasil pertanian yang
telah dipanen oleh masyarakat dusun Trowono A.
2.3.1.3 Membagi-bagikan Makanan
Setelah berbagai makanan didoakan, makanan tersebut kecuali nasi
tumpeng, sega liwet, jenang-jenangan, dan sega golong, dibagi-bagikan
kepada seluruh warga masyarakat yang mengikuti kenduri, termasuk tamu
undangan secara merata. Hanya saja jika masyrakat Trowono A mendapat
makanan dengan wadah berupa tenggok atau wadah lain sesuai yang
dibawa dari rumah, tamu undangan mendapat makanan dengan wadah
berupa sarangan. Sarangan merupakan sebuah wadah yang terbuat dari
daun kelapa yang dianyam sehingga dapat menampung makanan yang
hendak dibagikan kepada tamu undangan. Perbedaan wadah berkat antara
warga setempat dengan tamu undangan tidak berarti membeda-bedakan.
balai dusun dengan membawa nasi dan lauk pauk menggunakan tenggok,
tamu undangan datang ke balai dusun tanpa membawa nasi dan lauk pauk.
Oleh sebab itu sarangan menjadi alternatif, selain bahan pembuat sarangan
yang mudah diperoleh, juga hemat biaya karena dapat dibuat sendiri oleh
warga dusun.
2.3.1.4 Menyiapkan Sesaji
Masyarakat Dusun Trowono A mengenal dua macam sesaji dalam
pelaksanaan kenduri. Sesaji tersebut adalah sesaji guangan dan sesaji bale.
Sesaji guangan dan sesaji bale terdiri dari makanan yang sama dengan
makanan yang dibagikan kepada warga tetapi dalam porsi yang lebih kecil
dan ditambah dengan gantal kembang (bunga kanthil beserta tembakau,
dan gambir yang digulung menggunakan daun sirih). Wadah atau tempat
sesaji terbuat dari bambu yang disebut ancak.
Sesaji guangan yaitu sesaji yang akan diletakkan di pohon-pohon
besar, telaga, dan tempat-tempat yang dianggap keramat dengan tujuan
agar tercipta hubungan yang harmonis antara warga dengan makhluk halus
penghuni tempat-tempat yang dikeramatkan tanpa bermaksud meduakan
Tuhan. Tempat keramat yang diberi sesaji oleh warga antara lain pohon
Epek yang terletak di Pasar Trowono, Pace, Bulu, Ngunut, Telaga, Jambe
anom.
Seperti sesaji guangan, sesaji bale terdiri dari berbagai makanan yang
kembang. Namun sesaji bale hanya diletakkan di balai dusun. Sesaji ini
ditujukan kepada makhluk halus penunggu Balai Dusun Trowono A. Selain
untuk makhluk halus, sesaji tersebut juga ditujukan untuk ngemong-mongi
seluruh warga masyarakat agar terhindar dari segala peristiwa buruk dan
tidak mengganggu jalannya acara.
2.3.2 Jamuan Makan
Rasulan tidak hanya budaya bersih desa pada umumnya. Yang menarik
dari tradisi ini salah satunya adalah jamuan makan di setiap rumah sebagai
sarana silaturahim atau bertemunya sanak saudara, kerabat, bahkan orang asing
pun akan diterima atau disambut dengan baik apabila bersedia berkunjung.
Setiap warga dusun membuat hidangan untuk dihidangkan kepada para
tamu yang berkunjung ketika Rasulan. Hidangan tidak harus mewah tetapi
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing warga sebagai tuan rumah.
Hidangan yang dipersiapkan merupakan simbol dari rasa syukur atas hasil
panen yang diperoleh para petani. Meskipun demikian, warga yang tidak
berprofesi sebagai petani juga melakukan hal yang sama sebagai wujud
kebersamaan dan solidaritas, juga upaya melestarikan tradisi dan memperluas
pemaknaan.
Jamuan makan sebagai sarana silaturahim ini juga merupakan rangkaian
acara Rasulan, hanya saja sifatnya lebih tidak terikat dalam rangkaian upacara
begitu juga sebaliknya, tuan rumah boleh menjamu tamu setiap saat. Meskipun
demikian, para tamu biasanya berkunjung setelah acara kenduri selesai
dilaksanakan.
2.3.3 Olahraga
Menurut KBBI, olah·ra·ga n gerak badan untuk menguatkan dan
menyehatkan tubuh. Kegiatan olahraga sering kali dilakukan sebagai salah satu
penyemarak Rasulan, terutama Rasul Gede. Berbagai pertandingan olahraga
antar RT (Rukun Tetangga) diadakan, seperti pertandingan bola voli,
sepakbola, bola kasti dan lain-lain. Kegiatan olahraga ini biasanya dilakukan
pada sore hari bisa setelah kenduri atau sebelum dan sesudah hari Jumat Legi,
tergantung kesepakatan warga.
Selain sebagai penyemarak, diadakannya kegiatan olahraga juga bertujuan
untuk lebih mengakrabkan antar anggota masyarakat Dusun Trowono A.
Meskipun bersifat pertandingan, tetapi warga masyarakat tidak menganggap hal
tersebut sebagai persaingan. Filosofi yang dapat dipetik dari kegiatan olahraga
ini adalah melatih sportifitas, berusaha tanpa kenal lelah, melatih bekerjasama.
2.3.4 Pentas Seni
Gelar seni budaya biasanya dilaksanakan pada tahap akhir pelaksanaan
Rasul Gede. Kesenian yang biasa digelar antara lain jathilan, wayang kulit,
Dari berbagai jenis kesenian tersebut yang paling sering digelar adalah wayang
kulit.
Wayang kulit merupakan sebuah kesenian yang sudah mendarah daging
dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Pada acara Rasulan, pagelaran
wayang kulit sudah biasa diadakan sejak jaman leluhur. Alur ceritanya yang
luwes menjadi salah satu alasan pagelaran wayang tetap diadakan, selain
sebagai upaya masyarakat Trowono A untuk melestarikan kesenian wayang.
melalui wayang, masyarakat dapat mengetahui dan memaknai cerita yang
dimainkan oleh dalang sebagai tuntunan hidup. Lakon yang dimainkan oleh
dalang dalam acara Rasulan pakemnya antara lain, Prabu Watu Gunung,
Mikukuhan, dan Sri Mulih. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan
dipentaskan lakon yang lain jika masyarakat menginginkan lakon yang lain.
Sesaji Raja Soya merupakan salah satu lakon yang pernah dipentaskan di
Trowono A saat Rasulan. Ketiga lakon tersebut pada intinya adalah
mengisahkan tentang tradisi pertanian.
Wayang kulit dipentaskan pada malam hari. Sebelum dalang naik pentas,
pemangku adat biasanya meletakkan sesaji di sebelah kanan dan kiri atas geber.
Peletakan sesaji tersebut bertujuan agar tidak terjadi peristiwa buruk selama
pertunjukan wayang berlangsung. Sesaji tersebut berupa gula jawa setangkep,
pisang raja satu lirang, kelapa satu buah, dan gantal kembang. Sesaji tersebut
dikemas dalam wadah yang terbuat dari janur kuning bernama panjang ilang.
Tujuan dilaksanakannya gelar seni budaya ini selain untuk melestarikan
budaya yang perlahan mulai asing di telinga masyarakat terutama anak muda,
juga untuk menarik wisatawan.
2.3.5 Kirab Budaya
Menurut KBBI, kirab merupakan perjalanan bersama-sama atau
beriring-iring secara teratur dan berurutan dari muka ke belakang dulu suatu rangkaian
upacara (adat, keagamaan, dsb); pawai.
Kirab di Dusun Trowono A termasuk dalam rangkaian kegiatan Rasulan.
Kirab budaya dilakukan sebagai penutup rangkaian kegiatan Rasulan atau dapat
disebut sebagai puncak acara. Selayaknya puncak acara, kirab menjadi kegiatan
yang paling meriah diantara kegiatan rasulan yang lain. Oleh sebab itu, kirab
budaya menjadi pusat perhatian masyarakat, tidak hanya masyarakat Trowono
tetapi juga masyarakat dari luar Trowono.
Berbagai macam simbol atau lambang yang mewakili tradisi, kebiasaan,
dan adat dihadirkan dalam kirab budaya. Ada kelompok masyarakat yang
menampilkan jathilan, gunungan, tarian, gejog lesung, pakaian adat, kereta
tradisional, patung yang terbuat dari kertas yang melambangkan yang baik dan
yang jahat dan lain-lain.
Seluruh masyarakat antusias dalam mengikuti kirab. Hal ini terlihat dari
banyaknya warga yang mengikuti bahkan bersedia menampilkan berbagai
tetap terlihat kompak. Kirab dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat
Trowono A mulai dari RT 1 sampai RT 6.
2.4 Rangkuman
Seperti yang telah terpapar, bab ini menjelaskan tentang proses pelaksanaan
Tradisi Rasulan. Tradisi Rasulan memilik rangkaian acara. Rangkaian acara
Rasulan tidak sama antara Rasul Labuh dan Rasul Gede. Rasul Labuh dilakukan
secara sederhana karena masyarakat sedang memulai menanam sehingga tidak
memungkinkan jika masyarakat melakukan ritual secara besar-besaran.
Sedangkan Rasul Gede dilaksanakan secara meriah atau besar-besaran (ditandai
dengan banyaknya rangkaian acara) karena masyarakat sudah mempunyai hasil
panen sehingga dari segi ketersediaan dana, masyarakat mampu mencukupi
BAB III
SESAJI YANG TERDAPAT DALAM TRADISI RASULAN
3.1 Pengantar
Sesaji‘sajen’yaitu sajian yang berupa makanan, bunga dan sebagainya yang
disajikan untuk mahkluk halus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 929;
Poerwadarminto, 1939: 537).
Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultis dilaksanakan
dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk
sederhana seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan
atau di ladang, sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di
tempat-tempat suci atau umum (Dhavamony, 1995: 168).
Sesaji memegang peranan penting dalam setiap upacara maupun ritual adat
yang ada di Gunungkidul, begitu juga dengan Tradisi Rasulan. Sesaji dianggap
penting karena masyarakat meyakini adanya kehidupan lain selain kehidupan
makhluk kasat mata yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat
khususnya dalam bidang pertanian. “Menurut kepercayaan rakyat Gunungkidul,
perayaan Rasulan juga dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar mereka
selalu memperoleh perlindunganNya dan dihindarkan dari bencana. Dan sejalan
yang mbaureksa desa yang menurut kepercayaan mereka adalah makhluk tertentu
yang dianggap sebuah roh pelindung desa,” (Pemberton,2003:329).
Sesaji merupakan bagian penting dalam setiap upacara adat pada masyarakat
Jawa, khususnya masyarakat Trowono A. Dalam setiap upacara atau ritual adat,
keberadaan sesaji tidak boleh luput dari perhatian penyelenggara atau pemangku
adat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat terhadap
roh-roh yang berada di sekitar manusia yang konon (dapat mengganggu berjalannya
suatu ritual atau upacara, bahkan dipercaya dapat mengganggu kesuburan) ikut
terlibat dalam kehidupan manusia jika keberadaannya diabaikan. Sesaji yang
terdapat dalam rangkaian acara pada saat Rasulan antara lain sesaji bale, sesaji
guangan, dan sesaji dalang.
Bab ini akan menguraikan tentang berbagai macam sesaji dan unsure-unsur
sesaji yang terdapat saat Tradisi Rasulan dilaksanakan. Sesaji-sesaji tersebut
antara lain, sesaji bale, sesaji guangan, dan sesaji dalang. Setelah berbagai macam
sesaji dan unsur-unsurnya diuraikan, bab ini akan diakhiri dengan rangkuman.
3.2 Sesaji Guangan
Sesaji guangan merupakan sesaji yang berupa nasi uduk, nasi putih, sega
golong, dan lauk pauk. Sesaji tersebut diberi nama Sesaji Guangan karena sesaji
tersebut peletakkannya disebar di beberapa tempat. Sesaji tersebut sama persis
dengan makanan yang dibagi-bagikan kembali kepada masyarakat dusun tetapi
yang dipercaya mendiami tempat-tempat tertentu yang dianggap penting atau
keramat. Tempat keramat yang selalu diberi sesaji oleh warga antara lain pohon
epek yang berada di Pasar Trowono, pace, bulu, ngunut, Telaga Jambe Anom.
Dengan demikian, masyarakat berharap makhluk penghuni dusun tidak
mengganggu jalannya rangkaian acara Rasulan juga kehidupan masyarakat.
Sesaji Guangan
3.3 Sesaji Bale
Sesaji bale merupakan sesaji Rasulan yang diletakkan di balai dusun. Serupa
dengan sesaji guangan, sesaji bale juga berupa nasi uduk, nasi putih, sego golong,
dan lauk pauk ditambah dengan gantal kembang. Tujuan diadakannya sesaji bale
ini sama dengan sesaji guangan hanya saja sesaji bale khusus diletakkan di balai,
tepatnya di pojok sebuah ruangan. Sesaji diletakkan di pojok ruangan karena
Sesaji Bale
3.4 Sesaji Dalang
Sesaji atau sajen dalang merupakan sesaji yang dibuat atau dipersiapkan
untuk pagelaran wayang. Sajen dalang terdiri dari dua sesaji. Sesaji yang pertama
yaitu sesaji yang diletakkan dibawah geber yang disebut dengan gantal komplit
sedangkan sesaji yang kedua adalah sesaji yang diletakkan di pojok atas kanan
dan kiri geber yang disebut sajen hasil tani. Sesaji yang pertama atau gantal
komplit terdiri dari kemenyan, enjet, gambir, tembakau, beras, telur, daun sirih,
kembang kanthil, melati, dan menur. Benda-benda tersebut diwadahkan dalam
satu piring dan diletakkan dibawah geber, dekat dengan dalang saat memainkan
wayang. Sementara sajen hasil tani berupa padi dan degan atau kelapa muda yang
diletakkan pada wadah yang terbuat dari janur yaitu daun kelapa yang masih
Sajen Dalang (gantal komplit) Sajen Dalang (hasil tani)
Adapun Unsur-Unsur yang Terdapat dalam Sesaji secara keseluruhan, (sejaji
bale, sesaji guangan dan sesaji dalang) antara lain:
1. Ingkung
Ingkung merupakan ayam kampung yang dimasak secara utuh tanpa
dipotong-potong. Dalam Tradisi Rasulan, ingkung mempunyai makna
“inggala njungkung” artinya segeralah bersujud kepada Tuhan, sebagai ciri
khas orang yang mengikuti nabi atau rasul (Widodo/50/tokoh masyarakat).
2. Tumpeng
Tumpeng merupakan nasi gurih yang berwarna putih/ kuning yang
berbentuk kerucut. Tumpeng diletakkan di tengah-tengah tambir (wadah
yang terbuat dari anyaman bambu, biasa digunakan masyarakat Jawa untuk
membersihkan beras atau napeni ). Sementara di pinggir tumpeng diberi
berbagai macam sayuran dan lauk pauk. Tumpeng berarti metu dalan sing
maka tumpeng berarti, jika sebagai petani kita bekerja melalui jalan yang
lurus atau benar, niscaya panen yang diperoleh akan melimpah seperti yang
ditunjukkan dalam nasi tumpeng.
Dalam nasi tumpeng juga terdapat kedelai hitam yang menyimbolkan
dosa atau noda yang harus segera dihilangkan. Selain kedelai hitam juga
terdapat kerupuk putih yang melambangkan kesucian karena ketika dosa
telah diampuni, maka segalanya menjadi ringan dan mudah terutama dalam
bidang pertanian.
3. Sega liwet
Sega liwet yaitu beras yang ditanak sampai benar-benar matang,
menggambarkan tahapan manusia menginjak usia lanjut. Dalam usia lanjut,
pada umumnya mereka sudah melalui berbagai rintangan dalam hidup.
Apabila mereka sudah lulus dari rintangan tersebut, maka digambarkan
dengan sajen nasi putih, yang berarti jiwanya sudah bersih kembali.
Keinginan mereka sudah lebih terbatas dan tidak menginginkan yang
macam-macam, yang digambarkan dengan lauk srundeng, lauk yang sangat
sederhana dalam menu makanan. Biasanya mereka sudah tidak mencari
gelimangan harta benda di dunia, tetapi sudah ingin lebih mengabdikan dan