• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm

JIK16' 5''LLL

TEOLOGI IBN ‘ARABI

C. Gagasan Hierarki Teologi Ibn ‘Arabî Walaupun Ibn ‘Arabî dikenal banyak orang sebagai tokoh sufi falsafi, tetapi

2. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm

ammad Saw h

dan risalah Nabi Mu

sejarawan Muslim bahwa akidah awam yang dijelaskan Ibn ‘Arabî merupakan akidah Sunnî; Asy‘ariyyah dan Mâturidiyyah. Apabila dibandingkan dengan kategorisasi

al-a al-akidal-ah yal-ang dijelal-askal-an pal-adal-a poin ini mak , al h Ni -Milal wa al Syahrastânî dalam

termasuk Sifâtiyyah; yakni golongan yang mengakui sifat-sifat Allah.176

2. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm

Tingkatan akidah ini juga disebut dengan akidah al-Nâsyiyyah al-Syâdiyyah.

Ibn ‘Arabî menjelaskan kaidah-kaidah teologi dengan ungkapan yang pendek, padat, tetapi rumit pada bagian secara naratif. Akidah ini dinamai dengan Risâlah al-Ma‘lûm min ‘Aqâ'id Ahl al-Rusûm.177 Walaupun argumentasi teologis yang dikemukakan di sini lebih banyak mirip dengan akidah Asy‘ariyyah, namun bukan berarti Ibn ‘Arabî secara otomatis disebut sebagai teolog Asy‘ariyyah yang utuh. Hal ini dikarenakan ia mengritisi setiap golongan yang memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio pada tingkatan akidah yang ketiga. Sedangkan Asy‘ariyyah termasuk golongan yang dinilainya memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio. Oleh karena itu selain Asy‘ariyyah, ia menilai bahwa kaum filosof, Mu‘tazilah lebih banyak keliru ketimbang memperoleh kebenaran dalam membangun argumentasi mengenai ketuhanan. Dalam mengungkapkan akidah ahl al-rusûm atau al-Syâdiyyah, sebenarnya

Ibn ‘Arabî menisbahkan kepada seseorang ulama yang bernama al-Syâdî. Namun ia tidak menjelaskan secara terperinci sosok al-Syâdî. Ia menuturkan mengenai al-Syâdî yang menyebutkan bahwa suatu kali empat orang ulama berkumpul di kubah Aryân tepat di bawah garis khatulistiwa. Mereka adalah ulama Maroko, Masyriq, Syam, dan 176 Al-Syahrastânî,

Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 73. 177 Ibn ‘Arabî,

Yaman. Mereka berdiskusi mengenai pelbagai ilmu dan perbedaan mengenai asmâ'

(nama) dan rusûm (simbol). Masing-masing ulama tersebut mengatakan bahwa tidak ada sisi positif suatu ilmu jika tidak memberikan kebahagiaan yang abadi kepada yang mendalaminya. Setelah itu, ia mengajak untuk mediskusikan ilmu yang paling mulia, yaitu akidah. Masing-masing mereka mengklaim mempunyai wawasan mengenai ilmu tersebut.178 Setelah itu, ulama dari Maroko atau Imam al-Maghribî mendapatkan giliran pertama untuk menjelaskan kerangka pemikirannya mengenai eksistensi (wujûd). Ia menjelaskan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada, lalu menjadi ada serta berlaku padanya hukum waktu, mengindikasikan ada zat yang membuatnya

(mukawwin).179 Imam al-Maghribî juga memberikan kaedah-kaedah lain mengenai prinsip

eksistensi. Ia menambahkan bahwa eksistensi sesuatu yang bergantung dengan kefanaan sesuatu yang lain, mengindikasikan bahwa eksistensinya tidak akan terwujud kecuali setelah yang lain binasa. Ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang mempunyai kemungkinan tarkîb (sistem) dan ta’lîf (susunan) pada eksistensi zatnya, niscaya akan binasa. Sesuatu yang terjadi pada dirinya keserupaan dengan yang selain dirinya niscaya hilang keutamaannya. Ungkapan yang paling menarik adalah ketika ia menjelaskan bahwa jika terdapat sesuatu yang lain pada substansinya, niscaya bisa dilihat. Ia menegaskan bahwa argumentasi rasional inilah yang dikemukakan mayoritas teolog Asy‘ariyyah ketika menjelaskan keniscayaan ru’yah (penyaksian).180 Adapun argumen rasional yang dimaksud adalah sebagaimana diinformasikan

ullu K "

, Syahrastânî bahwa para teolog Asy‘ariyyah menetapkan kaedah

-oleh al

Ungkapan ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang

". â an yur u hh yashi mawjûd 178 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 179 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 180 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66-67.

ada niscaya bisa dilihat. Dalam hal ini faktor yang membuatnya bisa dilihat adalah aspek "ada". Dalam konteks ini, Allah adalah Zat Yang Maha Ada, sehingga sangat memungkinkan untuk bisa dilihat.181 Setelah itu, giliran ulama dari Masyriq atau Imam al-Masyriqî menyampaikan

penjelasan mengenai wawasan yang dikuasainya. Ia menyebutkan bahwa zat yang tidak terhalang kemampuannya karena ada wujud manusia, maka kemampuan manusia senantiasa tunduk padanya. Mengenai sifat qidam dan baqâ', ia menjelaskan bahwa zat yang menerima kemungkinan masa permulaan dan akhir, maka zat tersebut tentu mempunyai mukhashshish (penentu). Kata ini mengisyaratkan makna subjek yang memberikan sifat khusus tersebut. Dalam ungkapan lain, ulama al-Masyriqî menyebutkan bahwa zat mukhashshish merupakan sumber dari irâdah (kehendak) dalam hukum akal dan alam. Mengenai irâdah, ia menjelaskan bahwa seandainya Allah Yang Maha Berkehendak (murîd) menginginkan sesuatu yang belum pernah ada, maka tentulah sesuatu yang tidak ada tersebut menjadi objek yang dikehendaki

(murâd) karena ketiadaannya semula.182 Imam al-Masyriqî juga menambahkan mengenai kesempurnaan sifat qadîm. Ia menjelaskan bahwa zat yang qadîm tidak menerima kemungkinan permulaan. Seandainya terjadi pada zatnya sesuatu di luar sifat ini, maka tentulah zat tersebut menjadi tidak sempurna karena ketiadaan sifat tersebut. Zat yang diakui kesempurnaannya oleh hukum akal dan nash ada yang tidak disifati oleh kekurangan.183 Selain itu, Imam al-Masyriqî menjelaskan mengenai sifat-sifat yang lain. Ia

mengungkapkan bahwa seandainya Allah tidak melihat dan mendengar hamba-Nya, tentulah Dia lebih jahil daripada hamba-Nya. Sedangkan penisbahan sifat jahil 181 Al-Syahrastani, al-Milal, h. 80. 182 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 183 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67.

kepada-Nya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Ia juga menambahkan penegasan mengenai keesaan Allah. Dalam hal ini, ia menyebutkan bahwa pembahasan mengenai kuantitas tidaklah mampu menyangkal hakikat sifat Allah Yang Maha Esa. Pada giliran berikut, Imam al-Syâmî menyampaikan pemikiran teologis yang

mengarah kepada kritikan terhadap Mu‘tazilah. Di antara gagasan yang diajukan adalah penjelasan mengenai konsep kekuasaan Allah. Ia menegaskan bahwa semua argumen yang cenderung kepada penolakan aspek ketuhanan adalah sia-sia. Anggapan bahwa pada alam semesta terdapat sesuatu yang terjadi di luar kehendak Allah adalah asumsi yang keliru. Ia menilai bahwa orang yang berasumsi seperti itu tidak memahami substansi tauhid.184 Imam al-Syâmî menolak sikap sebagian aliran kalâm seperti Mu‘tazilah yang

mewajibkan sesuatu aktivitas atau sifat pada Allah, seperti memasukkan orang kafir ke neraka dan orang beriman ke sorga. Hal ini dikarenakan sikap tersebut akan berujung pada konklusi bahwa Allah terbatas dengan objek sifat yang diwajibkan. Hal tersebut, dinilai al-Syâmî, mustahil terdapat pada Allah.185 Ia juga menjelaskan mengenai konsep taklîf (pembebanan hukum).

Sebagaimana diyakini kalangan Sunnî, taklîf dengan sesuatu yang melebihi kesanggupan mukallaf adalah boleh secara rasio. Ia menilai hal tersebut terbukti secara rasio dan nash. Selain itu, ia mengaitkan dengan pembicaraan mengenai keadilan Allah. Ia menegaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, atribut kezaliman dan ketidakadilan tidak layak

184 Ibn ‘Arabî,

al-Futûhât, v. 1 h. 67. 185 Ibn ‘Arabî,

dinisbahkan kepada-Nya, karena ada pemberlakuan suatu hukum dalam kekuasaan-Nya.186 Selain itu, Imam al-Syâmî menjelaskan mengenai konsep penilaian keburukan

yang menjadi perdebatan antara Asy‘ariyyah dan

) n î s h ta ( dan kebaikan ) h î taqb (

Mu‘tazilah. Ia lebih cenderung kepada konsep Asy‘ariyyah bahwa kedua hal itu mesti berdasarkan syari'at dan urgensi kemaslahatan. Ia menolak konsep Mu‘tazilah yang beranggapan bahwa kebaikan dan keburukan dikarenakan substansi suatu objek itu sendiri. Oleh karenanya, ia menilai bahwa asumsi mengenai kebaikan dan keburukan dikarenakan substansi pada objek itu sendiri, sebagai pemikiran yang bodoh.187 Ia juga menjelaskan mengenai kemampuan akal dalam mencapai pengetahuan.

Terkadang akal mampu mencapai pengetahuan dengan sendirinya, dan terkadang tidak mampu sendiri kecuali dengan bantuan sarana lain. Keadaan ini mengindikasikan keberadaan zat Allah yang menciptakan sarana agar akal sampai pada pengetahuan. Imam al-Syâmî juga menjelaskan mengenai posibilitas pengutusan para rasul.

Posibiltas pengutusan mereka tidak mustahil secara rasio. Para rasul adalah makhluk yang paling mengenal urgensi dan jalan kebaikan. Mengenai perbedaan nabi palsu dan nabi yang asli (shâdiq), ia memberikan argumentasi teologis dengan menjelaskan pelbagai posibilitas lain. Seandainya seorang nabi palsu bisa membawa ajaran yang mirip dengan nabi yang asli, maka akan terjadi perubahan substansi kebenaran. Hal ini berarti qudrah (kekuasaan) Allah berubah menjadi kelemahan. Bahkan, kebohongan menjadi mungkin diatributkan kepada Allah. Semua posibilitas ini dinilai oleh al-Syâmî sebagai sesuatu yang sangat mustahil.188

186 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 187 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 188 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.

Pada giliran terakhir Imam al-Yamânî menyampaikan argumen teologis. Ia

terlebih dahulu menjelaskan argumen kebangkitan manusia di akhirat. Sesuatu yang menjadi binasa setelah diciptakan, sangat memungkinkan dikembalikan sebagaimana semula. Mengenai kejadian luar biasa seperti mukjizat dan keramat, ia menjelaskan bahwa zat yang sanggup menerbangkan burung di udara, tentulah sanggup menerbangkan semua benda.189 Ungkapan ini merupakan premis untuk menyatakan bahwa Allah berkuasa menggerakkan semua benda di alam semesta. Imam al-Yamânî juga menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan dalam

argumentasi teologis. Ia menegaskan bahwa mempertahankan keharmonisan agama Islam mesti dilakukan. Namun hal itu tidak mungkin tewujud kecuali dengan kondisi negeri yang damai. Oleh karena itu, pengangkatan seorang pemimpin merupakan sebuah keniscayaan pada setiap zaman.190 Menarik, ia juga menyebutkan kriteria seorang pemimpin, sehingga

pengangkatannya menjadi sah. Kriteria tersebut secara umum adalah laki-laki, baligh, berakal sehat, berilmu, bukan budak, warâ‘, punya keberanian dan kecukupan, keturunan Quraysy, serta sehat indera pendengaran dan penglihatan.191 Konsep ini

niyyah â Sulth -m al â k h A -al Mawardî pengarang

-jika dibandingkan dengan gagasan al

terlihat sama. Bahkan al-Yamânî menyebutkan kriteria pemimpin harus seorang laki-laki, sedangkan al-Mawardî tidak menyebutkan sebelumnya.192 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, semua argumentasi teologis yang disampaikan oleh empat ulama di atas merupakan akidah ahl al-rusûm atau al-Syâdiyyah. Sebenarnya, argumentasi yang dikemukakan Ibn ‘Arabî berdasarkan narasi dari al-Syâdî mempunyai konklusi yang sama dengan akidah awam. Hanya saja 189 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.

190 Ibn ‘Arabî,

al-Futûhât, v. 1 h. 68. 191 Ibn ‘Arabî,

al-Futûhât, v. 1 h. 68. 192 Al-Mawardî,

akidah al-Syâdiyyah dibangun dengan argumentasi teologis yang bersifat induktif dan menggunakan metode ilmu manthiq (logika). Sedangkan akidah awam lebih cenderung bersifat deduktif.

3. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-Ikhtishâsh