KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP
TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
Arrazy Hasyim
NIM: 104033101047
PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP
TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
Arrazy Hasyim NIM: 104033101047
Pembimbing:
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP
TEOLOGI IBN ‘ARABÎ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Maret 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat
Islam (S.Fil.I.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 6 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. M. Amin Nurdin, M.A. Drs. Ramlan A., M.Ag.
NIP: 150232919 NIP: 150254185
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP: 150240089 NIP: 150262447
Drs. Nanang Tahqiq, M.A.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 23 Februari 2009
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
: a
: b
: t
: ts
: j
: h
: kh
: d
: dz
: r
: z
: s
: sy
: sh
: dh
: th
: zh
: ‘
: gh
: f
: q
: k
: l
: m
: n
: w
: h
: ’
y
!
: â
" #
: î
ABSTRAK
Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang multi dimensi. Selain seorang sufi, ia adalah
seorang teolog ulung. Hal ini menjadikan perhatian menarik para ulama semasa dan setelahnya. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat ungkapan-ungkapan yang rumit dalam karangan Ibn ‘Arabi. Hal ini menjadi sumber permasalahan yang melahirkan kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap
ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada Sya‘rânî dan ‘Abd
al-Ghanî al-Nabilûsî. Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan
Para pengritik .
ulûl h d dan â h itti , wujûd -dah al h wa
bahwa Ibn ‘Arabî berakidah
cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî sekaligus. Selain itu, Ibn ‘Arabi dituduh berkeyakinan meyakini keislaman Fir‘awn ketika tenggelam. Bahkan ia dituduh menegasikan keberadaan wali setelahnya dan derajat kewalian lebih tinggi daripada kenabian. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan para pengritik dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang berlebihan. Hal ini dikarenakan para pengritik, seperti
Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti ketidakpahaman terhadap terminologi yang ketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah ,
Sebagai contoh .
digunakan Ibn ‘Arabî
Ibn Taymiyyah mengabaikan konteks .
q aq h
sedangkan hamba juga , q aq H adalah sehingga ,
‘Arabî tersebut pada ungkapan Ibn
ayrah h
atau maqâm "
keheranan "
melahirkan kecaman yang tidak layak bersumber dari seorang tokoh intelektual Muslim terkenal itu. Selain membahas kritikan para ulama mengenainya, skripsi ini juga akan
terutama , al oversi r t teks Ibn ‘Arabi yang dianggap kon
-menampilkan beberapa teks
teks Ibn ‘Arabi
-teks , Di samping itu .
dan keimanan Fir‘awn
d â h itti
mengenai
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN i
LEMBAR PERNYATAAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar belakang penulisan 1
B. Rumusan dan batasan masalah 6
C. Manfaat penelitian 7
D. Kajian kepustakaan 8
E. Metode penelitian 11
F. Sistematika penulisan 12
BAB II BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG 14
A. Perkembangan Intelektual
14
B. Karya Tulis Intelektual 28
BAB III TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 32
A. Pengertian Teologi atau Ilmu Kalâm 32
B. Ruang Lingkup Ilmu Kalâm
33
C. Gagasan Hierarki Teologi 35
1. Akidah Awam 40
2. Akidah Ahl Al-Rusûm
46
3. Akidah Al-Ikhtishâsh
53
BAB IV STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 62
A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî 62
B. Tuduhan Akidah Ittihâd dan Hulûl terhadap Ibn ‘Arabî 67
A. Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Status Keimanan Fir‘Awn dalam
Pandangan Ibn ‘Arabî 73
B. Kontroversi Teks Karya Ibn ‘Arabî mengenai Keimanan
Fir‘Awn 75
C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî tentang Kenabian dan
Kewalian 84
1. Maqâm Nubuwwah antara Teologis dan Sufistik 86
2. Kritik Ibn Taymiyyah Sebagai Sebuah Kekeliruan 91
BAB V PENUTUP
97
Kesimpulan dan Saran 97
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Setengah abad setelah Ibn ‘Arabî wafat, muncul Ibn Taymiyyah
memperdebatkan status teologi yang dianutnya. Namun ironis, tidak ditemui seorang
ulama pun yang melakukan hal serupa di masa hidup Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan
û zî dan Ab â
R -Dîn al -seperti Fakhr al ,
tokoh besar semasa dengannya
-banyak tokoh
. tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî )
l û Maqt -al
bukan ( Suhrawardî
-al afsh H
Akan tetapi, Ibn Taymiyyah memulai kritikan terhadap Ibn ‘Arabî dari
pelbagai aspek teologis. Dalam mengritisi Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah dengan tegas
kata lain yang
-dan kata )
ateis (
d â h l i
, zindiq , mengategorikannya sebagai kafir
dialamatkan kepada para penyeleweng dari jalan kebenaran.
Aspek teologis yang menjadi sasaran kritikan Ibn Taymiyyah meliputi
masalah eksistensi Tuhan dan hamba, status keimanan Fir‘awn, kenabian, dan
kewalian. Kritikan tersebut banyak diungkapkan Ibn Taymiyyah dalam Majmû‘
al-Fatâwâ dan risalah khusus yang berjudul Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî.
Dari kritikan tersebut, Ibn Taymiyyah melahirkan istilah baru dalam
pemikiran teologis Ibn ‘Arabî. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî
walaupun istilah ini tidak 1
, ) kesatuan wujud (
d û wuj -dah al h wa
menganut paham
pernah ditemui sebelumnya dalam literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini sebagaimana diakui
William C. Chittick bahwa Ibn ‘Arabî sendiri tidak pernah menggunakan kata
1 Ibn Taymiyyah,
tersebut.2 Namun, konklusi yang diperoleh oleh Ibn Taymiyyah mampu membakukan
istilah tersebut, sehingga menjadi populer pada generasi setelahnya sampai sekarang.
aymiyyah lebih cenderung menyamakan status Ibn T
, Di samping itu
Ibn , Oleh karena itu . d â h tti i dan ulul h
Ibn ‘Arabî dengan
wujûd -dah al h wa pemikiran -ahl al (
‘Arabî dan tokoh tasawuf falsafi lain dianggap sebagai penganut ateisme
Ia . Qayyim
-ini juga diikuti oleh Ibn al
wujûd -dah al h wa
Sikap penyamaan
. ) d â h il
merupakan kaum sufi yang berpaham
d â h itt
menegaskan bahwa kelompok penganut
paham ini berpandangan bahwa Tuhan ,
Qayyim
Menurut Ibn al 3 . d û wuj -dah al h wa
tidak berbeda dan tidak terpisah dari alam ini. Pandangan ini, ungkap Ibn al-Qayyim,
merupakan perkataan manusia yang paling kufur.4
Selain itu, Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa martabat
kewalian lebih tinggi daripada kenabian.5 Bahkan, ketika pengikut Ibn ‘Arabî
memberikan interpretasi bahwa ia hanya meyakini kewalian seorang nabi lebih utama
daripada martabat kenabiannya atau interpretasi lain yang senada, namun Ibn
Taymiyyah tetap saja menganggap hal tersebut sebagai kejahilan yang berlebihan.6
Sisi lain yang menjadi objek kritikan keras dari Ibn Taymiyyah terhadap Ibn
‘Arabî adalah mengenai status keimanan Fir‘awn. Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah
menegaskan bahwa siapa saja yang tawaqquf (tidak berpendirian) terhadap status
kafir Fir‘awn, maka ia mesti diistitâbah (diadili agar bertobat), jika tidak bertobat
maka wajib dihukum mati. Apalagi terhadap Ibn ‘Arabî yang berkeyakinan bahwa
Fir‘awn mati dalam kadaan beriman.7
2 William C. Chittick,
The Sufi Path of Sufi, (New York: State University of New York Press, 1989), h. 78.
3 Ibn al-Qayyim,
al-Shawâ‘iq al-Muharriqah, (Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998), v. 2 h. 791. 4 Ibn al-Qayyim,
al-Shawâ‘iq, v. 1 h. 294.
5 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, (Kairo: Muassasah Qurthûbah, 1406), v. 5 h. 335. 6 Ibn Taymiyyah,
al-Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 7 Ibn Taymiyyah,
Kritikan serupa juga bermunculan di kalangan teolog Asy‘ariyyah. Dalam hal
ini, al-Baqâ‘î tampil dengan karyanya yang berjudul Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn
‘Arabî. Dengan memahami judulnya, dapat diketahui bahwa al-Baqâ‘î ikut serta
mengafirkan Ibn ‘Arabî. Kitab tersebut diterbitkan kembali di kalangan Wahhâbî
dengan judul Mashra‘ al-Tashawwuf. Ia mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî meyakini
keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan di Laut Merah.8 Bahkan, ia menuduh Ibn
‘Arabî berkeyakinan bahwa Fir‘awn merupakan ‘tuhan’ Musa dan junjungannya.9
Dengan demikian, al-Baqâ‘î berani menuduh Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang telah
kafir, karena ungkapan-ungkapan tersebut tidak bisa diterima lagi.10
Selain kritikan, pembelaan terhadap Ibn ‘Arabî juga bermunculan di kalangan
ulama Asy‘ariyyah. Salah satu tokoh yang terkenal membela status teologi Ibn ‘Arabî
adalah al-Sya‘rânî. Sebenarnya, ia hanya melanjutkan pembelaan yang pernah
dilakukan oleh al-Suyûthî. Dalam hal ini, ia menilai bahwa banyak tuduhan yang
tidak benar dialamatkan kepada Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, al-Sya‘rânî
mengungkapkan kembali status teologi Ibn ‘Arabî dalam kitab al-Yawâqît al-Jawâhir
fî ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir. Selain itu, ia juga menginformasikan ternyata al-Baqâ‘î menarik
kembali kritikannya terhadap Ibn ‘Arabî.11
Di samping itu, Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah juga menulis
Ia mengungkapkan .
d û wuj -dah al h wa
karangan khusus yang hanya mengritisi paham
bahwa jika benar paham tersebut
Wujûd -dah al h Wa n bi î ’il â Q -al â Radd ‘Al
-al
dalam
bersumber dari Ibn ‘Arabî, maka tidak ada perbedaannya dengan ajaran materialis
8'Al-Baqâ‘î,
Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl, (Riyâdh: Ri’âsah Idârah, 1993), h. 118.
9 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 121. 10 Al-Baqâ‘î,
Tanbîh, h. 123. 11 Al-Sya‘rânî,
(Dahriyyah dan Thabî‘iyyah).12 Begitu juga mengenai kewalian, Mullâ ‘Alî tidak
menuduh langsung Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian lebih utama daripada
kenabian. Tetapi, ia lebih cenderung mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî hanya
beranggapan bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya.
Permasalahan ini dikategorikan Mullâ ‘Alî sebagai masalah yang masih
diperselisihkan, sehingga orang yang mengatakannya tidaklah dikenai hukum kafir.13
Selain itu, walaupun pelbagai tuduhan terhadap Ibn ‘Arabî telah dijawab
sebelumnya oleh al-Sya‘rânî, namun al-Syawkânî kembali memberikan kritikan tajam
sebagaimana Ibn Taymiyyah. Berbeda dengan Mullâ ‘Alî, al-Syawkâni lebih
cenderung memastikan bahwa ajaran “sesat” tersebut berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia
karya Ibn
t â h û Fut -al
ungkapan yang terdapat dalam
-menegaskan bahwa ungkapan
‘Arabî merupakan khurafat yang dipenuhi dengan kekufuran.14 Bahkan, ketika
mengomentari ungkapan yang dinukil oleh Ibn ‘Arabî bahwa ‘menyebarkan rahasia
ketuhanan adalah kekufuran’, maka al-Syawkânî menekankan justeru Ibn ‘Arabî telah
mengafirkan dirinya sendiri. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî telah menyebarkan rahasia
ketuhanan.15
Belakangan ini, Ibrâhîm Hilâl juga mengungkapkan dalam al-Tashawwuf
bayna al-Dîn wa al-Falsafah bahwa penisbahan paham taswiyyah (penyamaan) antara
kepada Ibn ‘Arabî adalah suatu
wujûd -dah al h
wa
Allah dengan alam atau
n yang menegaska ûd
m h Ma Qâdir -al Hal ini berbeda dengan ‘Abd 16
. keganjilan
12 Mullâ ‘Alî al-Qâri,
al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah a- Wujûd, (Damaskus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1995), h. 21.
13 Mullâ ‘Alî,
al-Radd, h. 21.
14 Al-Syawkânî, al-Shawârim al-Haddâd, (Shan‘ah: Dâr al-Hijrah, 1990), h. 41. 15 Al-Syawkânî,
al-Shawârim, h. 45. 16 Ibrâhîm Hilâl,
bahwa ajaran Ibn ‘Arabî termasuk kategori tasawuf salbî (negatif), sehingga ia
beranggapan bahwa tasawuf dalam kategori ini di luar nuansa Islami.17
editor ûd
m h asan Ma H
n â Rahm -‘Abd al ,
l â m Hil î Sebagaimana Ibrâh
kumpulan risalah Ibn ‘Arabî juga mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah
. d û wuj -dah al h wa dan , d â h itti , l û ul h pembawa ajaran
Lebih menarik lagi, ternyata para sufi dan teolog Nusantara tempo dulu tidak
menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang menyimpang. Bahkan, al-Rânirî yang
memfatwakan sesat Syams al-Dîn al-Sumaterânî, merupakan seorang yang tekun
mengikuti ajaran Ibn ‘Arabî.18
Begitu juga dengan Nafîs al-Banjarî, Yûsuf al-Makasarî, dan ‘Abd al-Shamad
Palembanî tidak pernah mengritisi paham Ibn ‘Arabî. Namun sebaliknya, ‘Abd
al-Shamad mampu menyelaraskan ajaran al-Ghazâlî dengan Ibn ‘Arabî dalam kitab
-al m û ’ Ul â y h Mukhtashar I
) beserta komentar (
sebagai terjemahan
n î lik â S -r al â Siy
Dîn.
Namun demikian, perdebatan mengenai status teologi Ibn ‘Arabî masih
berlanjut sampai saat sekarang. Masing-masing dari kelompok yang mengritisi dan
membela mempunyai argumen kuat dalam memberikan penilaian, sehingga tidak
mudah menjustifikasi bahwa salah satu dari mereka benar. Ini dikarenakan argumen
yang mereka ajukan disertai dengan penukilan data yang akurat. Ini terlepas dari
penilaian mereka yang bersifat subjektif atau objektif.
Dengan demikian, skripsi ini akan mengungkapkan kembali perdebatan para
teolog dalam memberikan penilaian terhadap Ibn ‘Arabî dengan mengangkat
tema-tema utama yang menjadi sorotan mereka. Kemudian, penilaian mereka akan
17 ‘Abd al-Qâdir Mahmûd, Muqaddimah al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1966), h. 7.
18 Azyumardi Azra,
dikomparasikan dengan melakukan telaah terhadap ungkapan-ungkapan teologis Ibn
‘Arabî yang terdapat di dalam karya-karyanya.
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tulisan ini akan meneliti kembali
mengenai, “Kritikan dan pembelaan terhadap konsep teologis Ibn ‘Arabî”. Dalam hal
ini, penulis akan mengemukakan perkembangan intelektual Ibn ‘Arabî sebagai
seorang ilmuwan Muslim, konsep hierarki teologis Ibn ‘Arabî. Selain itu,
dikemukakan beberapa tema lain yang menjadi sorotan para teolog terhadap
karya-karya Ibn ‘Arabî; terutama mengenai keimanan Fir‘awn, konsep kenabian dan
kewalian. Dalam memahami konsep teologis yang dikemukakan Ibn ‘Arabî mengenai
dua konsep tersebut, maka penulis tetap akan menyinggung aspek filosofis dan
esoteris jika diperlukan.
C. Manfaat Penelitian
Kajian ini akan mengungkapkan sisi-sisi teologis yang masih jarang diteliti
oleh para penulis belakangan ini. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang
multi dimensi. Hal ini mengisyaratkan bahwa kajian mengenai Ibn ‘Arabî bisa dilihat
dari pelbagai sudut pandang yang berbeda, seperti sisi teologis, esoteris, filosofis,
adîts H Qur’ân dan
-n de-nga-n i-nterpretasi al bahkan juga dalam keilmuan yang berkaita
. Zayd û mid Ab â
H sebagaimana dilakukan oleh Nashr
Walaupun telah ada yang mengungkapkan konsep teologi Ibn ‘Arabî, namun
m atau Padahal pembahasan ilmu kalâ
.
d û wuj -dah al h wa
teologi lebih luas daripada tema tersebut. Pembahasan teologis mencakup tema-tema
ketuhanan, kenabian, eskatologi, dan tema lain.
Selain itu, dengan mengenal teologi yang dianut oleh Ibn ‘Arabî, maka akan
mampu memberikan jawaban terhadap wacana belakangan ini. Hal ini dikarenakan
banyak penulis yang beranggapan bahwa Ibn ‘Arabî mengambil dasar pemikirannya
dari ajaran di luar Islam, atau dengan menghubungkannya dengan ajaran selain Islam,
atau mengklaimnya sebagai seorang Syî‘ah, atau seorang kebatinan yang terselubung.
Oleh karena itu, kajian ini merupakan salah satu usaha untuk menguak misteri
mengenai status teologi yang sebenarnya dianut sang tokoh.
Dengan demikian, diharapkan kajian ini bisa mengungkap pandangan teologis
Ibn ‘Arabî secara ilmiah.
D. Kajian Kepustakaan
Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis mengenai Ibn ‘Arabî.
Namun demikian, penulis hanya akan menyebutkan beberapa karya yang dianggap
penting. Di antaranya, karya populer Henry Corbin L‘Imagination Creatrice dans le
Soufisme d‘Ibn ‘Arabî yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul
Alone With The Alone (1998)19. Henry Corbin banyak membicarakan pemikiran Ibn
‘Arabî dari sisi yang ia sebut dengan theophani atau hikmah al-isyrâq. Oleh karena
itu, ia terkesan menyamakan pemikiran Ibn ‘Arabî dengan Suhrawardî al-Maqtûl,
walaupun mereka tidak pernah bertemu. Bahkan Ibn ‘Arabî juga tidak pernah
menyebut Suhrawardî al-Maqtûl dalam karangannya.
Karya Wiliam C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabî
Metaphysics of Imagination (1989)20 adalah studi sistematis tentang pelbagai aspek
pemikiran Ibn ‘Arabî. Pembahasan yang disajikan Chittick meliputi kajian teologi,
ontologi, epistemologi, hermeneutik, dam aspek lainnya.
Karya Claude Addas Quest for The Red Sulphur21, merupakan kajian biografi
Ibn ‘Arabî yang termasuk kategori terlengkap. Ia sangat berjasa mengemukakan
proses pencapaian intelektual Ibn ‘Arabî. Addas tidak keberatan untuk mengritisi
hipotesa para penulis sebelumnya yang dianggapnya keliru. Tetapi terkadang, ia
sendiri terjebak pada asumsi yang terkesan berlebihan mengenai Ibn ‘Arabî.
Karya Stephen Hirtenstein The Unlimited Mercifer: The Spiritual Life and
Thought of Ibn ‘Arabî yang diterjemahkan oleh Tri Bowo dengan judul Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud (2001). Buku ini sangat menarik karena
membicarakan perjalanan pemikiran Ibn ‘Arabî menurut alur historis secara lengkap.
Stephen bisa menampilkan alur pemikiran tersebut dengan mengaitkan tinjauan
geografis dan sosiologis.
Karya S.A.Q. Husaini The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabî (1945)22, sesuai
dengan judulnya karya ini mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî membangun pemikiran
monisme panteistik. Oleh karena itu, Husaini mencoba mengupas
pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabî yang ia anggap sebagai monisme pantesitik.
Masih dengan tema yang sama mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî adalah buku
Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Panteisme (1993)23. Penelitian Prof. Dr. Kautsar
Azhari Noer, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, merupakan karya
khusus yang membicarakan paham wahdah al-wujûd Ibn ‘Arabî secara komprehensif.
20 Diterbitkan di Albany: State University of New York Press, 1989
21 Diterbitkan di Cambridge: The Islamic Text Society, 1993. 22 Diterbitkan di Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1945. 23 Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul
Disertasi yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn ‘Arabî: Wahdat
al-Wujûd dalam Perdebatan, secara jelas dan lugas mengurai hal-hal yang rumit
mengenai wahdah al-wujûd yang diklaim menjadi doktrin inti dan fundamen dari
keseluruhan pandangan teologis dan metafisis Ibn ‘Arabî. Paham wahdah al-wujûd
seringkali disalahpahami oleh sebagian ulama Sunnî, bahkan dicap sesat dan kufur.
Namun Kautsar, dengan amat meyakinkan baik secara materi maupun metodologi,
berhasil membuktikan bahwa paham ini benar-benar hendak meneguhkan keesaan
Allah dalam segala aspeknya dan sama sekali jauh dari unsur “penyimpangaan”
apalagi sesat dan kufur.
Selain itu, karya terbaru tentang Ibn ‘Arabî adalah Meraih Hakikat Melalui
Syari’at: Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî (2006)24. Tesis Nurasiah
Faqihsutan di McGill University Kanada ini, khusus mengamati pemikiran-pemikiran
Ibn ‘Arabî dari sisi fiqh praktis. Menurut Nurasiah, kebanyakan wacana yang
berkembang di dunia Muslim adalah memandang sinis pemikiran Ibn ‘Arabî bahkan
dicurigai dan dijauhi. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî dianggap sebagai tokoh sufi yang
melenceng dari syari‘at atau tidak memperhatikan aturan syari’at. Padahal yang
terjadi hanyalah perbedaan dalam penekanan makna, aspek, dan fungsi syari‘at itu
sendiri.
Selain itu, juga terdapat beberapa buah skripsi yang membahas Ibn ‘Arabî. Di
antaranya, skripsi Konsep al-Insân al-Kâmil Ibn ‘Arabî yang ditulis oleh Fauzan
Fagudyama (2005). Sesuai judulnya, skripsi tersebut berkutat pada permasalahan
‘manusia sempurna’ dalam pandangan Ibn ‘Arabî. Di samping itu, terdapat skripsi
yang ditulis oleh Ivan M. F. Hanifa berjudul Kajian Hermeneutis Konsep Chun Tzu
Kung Fu Tze dan Insan Kamil Ibn ‘Arabî (2004). Kajian yang dikemukakan Ivan
berupa studi komparatif antara permikiran hermeneutik tokoh legendaris Chun Tzu Fu
Tze dan konsep al-insân al-kâmil Ibn ‘Arabî dengan menggunakan konsep
hermeneutik Dilthey sebagai landasan. Setelah itu, juga terdapat skripsi yang
mengupas tradisi tasawuf amali yang dibangun Ibn ‘Arabî. Skripsi tersebut berjudul
Tazkiyah al-Nafs Ibn ‘Arabî oleh M. Asari (2006).
Sebenarnya, masih banyak kajian yang ditulis mengenai Ibn ‘Arabî. Namun,
kebanyakan penulis hanya tertarik mengemukakan aspek filosofis dan esoteris,
terutama mengenai al-insân al-kâmil. Secara umum para penulis berkutat pada konsep
tasawuf falsafi. Kalaupun terdapat pembahasan mengenai teologi, itu hanya sebatas
persoalan wujud.
E. Metode Penelitian
Kajian ini dilakukan dengan metode kepustakan (library research) atau
kualitatif. Adapun sumber-sumber data yang digunakan selama penelitian ada dua
ketegori, yaitu primer dan sekunder. Data-data primer yang digunakan seperti karya
agung Ibn ‘Arabî al-Futûhât al-Makkiyyah, Fushûsh al-Hikam dan karya-karyanya
yang lain jika dibutuhkan.
Sedangkan sumber-sumber sekunder yang dimanfaatkan kebanyakan dari
literatur berbahasa Arab seperti Syarh Fushûsh al-Hikam karya Musthafâ bin
Sulaymân Bâlîzâdeh, al-Insân al-Kâmil karya ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, Yawâqît
al-Jawâhîr karya ‘Abd al-Wahhâb al-Sya‘rânî, al-Majmû‘ al-Fatâwâ karya Ibn
Taymiyyah dan literatur lainnya. Adapun dari literatur berbahasa Inggris di antaranya,
karya Claude Addas Quest for the Red Sulphur dan beberapa karya lain sebagai
Dalam memaparkan hasil kajian ini, penulis menggunakan metode deskriptif
yang disertai dengan analisis teologis dengan mempertimbangkan aspek esoteris. Ini
dikarenakan ungkapan Ibn ‘Arabî dipenuhi dengan ungkapan metaforis. Namun,
pendekatan yang digunakan dalam analisis tersebut adalah pendekatan teologis.
Adapun metode penulisan merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang
dikeluarkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2004 pada penulisan footnote dan Paramadina pada transliterasi.
F. Sistematika Penulisan
Adapun untuk menjaga sitematika penulisan sehingga terfokus pada kajian
yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.
Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini, penulis mengemukakan kronologi
perdebatan para teolog mengenai status teologi Ibn ‘Arabî. Selain itu, dikemukakan
rumusan dan batasan permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi ini. Penulis
menjelaskan bahwa kajian ini merupakan kajian teologis. Namun dalam beberapa hal
tetap akan menyinggung permasalahan esoteris dan filosofis. Kemudian dijelaskan
mengenai kajian kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua, akan dikemukakan biografi Ibn ‘Arabî yang meliputi
perjalanan historis yang dilalui, sehingga membentuk karakter intelektual yang khas.
teolog Muslim. Begitu juga, dikemukakan karya-karya utama Ibn ‘Arabî yang
berkaitan dengan kajian teologi.
Pada bab ketiga, diungkapkan gagasan Ibn ‘Arabî menerapkan hierarki teologi
dengan ungkapan teologis yang kental sesuai dengan tingkatan keimanan seseorang.
Oleh karena itu, akan diperoleh gambaran mengenai bagaimana sikapnya terhadap
akidah golongan awam, teolog, dan sufi.
Pada bab keempat, dikemukakan komentar para ulama mengenai status teologi
Ibn ‘Arabî. Pada tahapan ini dikaji perdebatan mereka mengenai apakah Ibn ‘Arabî
seorang yang cenderung kepada Sunnî atau Syî‘ah. Selain itu, dikemukakan kritikan
.
ulûl h
dan
âd h itti
Ibn Taymiyyah terhadap pandangan Ibn ‘Arabî mengenai akidah
Pada bab kelima, akan dikemukakan kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn
‘Arabî mengenai tema keimanan Fir‘awn; salah satu tema teologi yang sensitif di
kalangan Sunnî. Setelah itu, disajikan komparasi pada karangan-karangan Ibn ‘Arabî
dan pembelaan al-Sya‘rânî. Dengan demikian, akan ditemukan beberapa keganjilan
dan kontradiksi dari teks-teks yang ditinggalkan oleh Ibn ‘Arabî. Selain itu,
dikemukakan pandangan Ibn ‘Arabî mengenai wacana kenabian dan kewalian. Begitu
juga, sorotan para teolog terhadap konsep nubuwwah dan walâyah Ibn ‘Arabî. Pada
bagian ini, akan diketahui kekeliruan sebagian teolog terhadap dua konsep ini dalam
pemikiran Ibn ‘Arabî, baik para teolog yang mengritisi maupun yang membela.
Pada bab keenam, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian
dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan mengapa terjadi
pengafiran terhadap Ibn ‘Arabî dan kecendrengan teologis yang dianutnya. Selain itu,
BAB II
BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG
A. Perkembangan Intelektual
ammad bin h
bin Mu î
ammad bin ‘Al h
Mu ‘Arabî adalah Ibn
lengkap ama
N
Abû Ia digelari dengan . î s û l a And al â’î Th al î tim â H al ‘Arabî -h al â mad bin Abdull h
A
alif
dengan tambahan atau
‘Arabî Ibn
Dîn -yi al h Mu
populer dengan nama Ia
. Bakr
lam; Ibn al-‘Arabî.25 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan
tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.26 Hal ini
menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para
Syaykh
-al
lain itu ia juga dikenal sebutan Se
. î ammad bin ‘Al h
sejarawan terhadap Mu
al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan
madzhab fiqh dan ts î ad H seorang ahli .) H 543 ( Ma‘afirî
-‘Arabî al
Ibn al Qâdhî
Mâlikî.
Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada
ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî
Bani Thayy ( â’î Th -al tim â H mengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin
dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan
ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini
dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran
khalifah ) . H 172 ( mân I h Ra -Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al .
Arab
Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria
25 Ibn Hajr,
Lisân al-Mîzân, (Beirut: Mu'assasah al-A‘lamî, 1986), v. 5 h. 311. 26 Ibn Katsîr,
dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di
semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan
Tijola. Kota tersebut merupakan bagian selatan dari wilayah Murcia; kota kelahiran
Ibn ‘Arabî.27
Ibn ‘Arabî lahir pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 560 H. (1160 M.) di
kota Murcia bagian selatan Spanyol. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang ahli dalam
Ayahnya .
dan tasawuf , ts î ad H , fiqh seperti ,
pelbagai cabang ilmu keislaman
di Andalusia yang berteologi âdhî
mad merupakan salah seorang q h
ammad bin A h
Mu
Selain sebagai .
termasuk orang yang dihormati oleh pihak penguasa Ayahnya
. Sunnî
Ibn . mad juga merupakan guru pertama di keluarganya h
ammad bin A h
Mu , ayah
‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak tokoh
intelektual pada masa tersebut.
Setelah itu, ia berpindah ke Sevilla pada tahun 568 H., lalu menetap selama 30
Sevilla dipimpin oleh Sulthân ,
Pada masa itu .
H 598 / 587 sampai tahun ,
tahun
memasuki ‘Arabî
periode pertama Ibn Masa ini merupakan
. ammad bin Sa‘d h
Mu
dunia intelektual, walaupun ia masih berumur tujuh tahun.28
Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia
al h û R
menyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam
tokoh yang menjadi
-ia hanya menyebutkan tokoh ,
h û R
Di dalam kitab 29
.
Quds
gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko. Tetapi
Tetapi ia menulisnya ketika melakukan .
ditulis pada masa tersebut
h û R
bukan berarti
haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia menyebutkan beberapa
27 Claude Addas,
Quest for The Red Sulphur, (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h. 45.
28 Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî,
Nafh al-Thîb min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib, (Beirut: Dâr Shader, 1997), v. 2 h. 161.
29 Ibn ‘Arabî,
kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.30 Sedangkan haji yang pertama
dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia dan Maroko) tahun 599 H.31,
sehingga mustahil ia menceritakan perihal Makkah ketika periode pertama.
Di samping itu, ia menyebutkan tokoh yang berbeda sekitar tujuhpuluh nama,
,
ât ' qira
Di antara mereka ada yang ahli .
ketika mengijazahkan Sulthân Muzhaffar
Claude Addas memperkirakan 32
. dan lainnya ,
sejarah ,
ts î ad H , teologi ,
fiqh
pengijazahan tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H. ketika telah menetap di
Damaskus. Tetapi, Addas mengingatkan bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut
bisa jadi belum mencakup semua guru Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan masa itu adalah
setelah ia berumur tujuhpuluh, sehingga mungkin terjadi kelupaan.33
Namun, penelitian Addas berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn ‘Arabî
berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari enampuluh tokoh yang
menjadi guru Ibn ‘Arabî pada periode 565 sampai 585 H. yang kebanyakan
berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai 610 H. terdapat seratus
tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla. Addas menjelaskan bahwa semua
-dan al , fiqh , adîts H jumlah itu mencakup pelbagai disiplin ilmu tradisional seperti
Qur’ân, bahkan juga termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.34
Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian
perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn
‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’ân. Di Sevilla, Ibn ‘Arabî
mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.35 Di
antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’ân adalah Abû Bakr
30 Ibn ‘Arabî,
Rûh, h. 9 dan 12. 31 Ibn al-Maqarrî,
Nafh, v. 2 h. 263.
32 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202. 33 Claude Addas,
Quest, h. 96. 34 Claude Addas,
Quest, h. 94. 35 Ibn al-Maqarrî,
Ra‘înî -ammad al h
k dari Mu ana h asan Syuray H -Abû al , sab‘ah â’ah qir Lakhmî ahli -al
penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab
Muqrî dan
-ammad al h
karangan Abû Mu
rah î Tabsh -al
ia mempelajari kitab , î f â K -al
kitab al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.36 Ia mempelajari fiqh
37 .
h î faq
ammad bin Qasûm seorang sufi dan h
dengan madzhab Mâlikî kepada Mu
Bahkan Claude Addas menegaskan bahwa semua guru spiritual Ibn ‘Arabî di
Andalusia bermadzhab Mâlikî. Hal ini tidaklah mengherankan karena Mâlikî
merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Tetapi hal itu tidak menghalanginya
38 . azm yang bercorak Zhâhirî H
seperti fiqh Ibn ,
untuk mempelajari madzhab lain
Isybîlî ketika masih
-aqq al H dari ‘Abd al ts
î ad H Ibn ‘Arabî mempelajari
aqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang H
-‘Abd al .
bermukim di Sevilla
dari Yunûs bin
î r â Bukh al h î h Sha
Ia mempelajari .
kepada Ibn ‘Arabî ts î ad H ilmu Tetapi 39 . arastanî H -Shamad al
-Abd al dari ‘
Muslim h
î h Sha
âsyimî dan H
-yâ al h Ya
dari tokoh lain seperti Ibn Shâ‘id al
Muslim h
î h Sha
ia juga mempelajari ,
tampaknya
‘Arâwî.40
Kekeringan spiritual Ibn ‘Arabî mulai tercerahkan nuansa spiritual karena
‘Arabî Ibn . Sevilla di î b î ‘Ar -mad al h
Ja‘far A û
Ab dengan pertemuannya
menyebutkan bahwa al-‘Arîbî merupakan guru pertama yang ia temui dalam dunia
spiritual. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, al-‘Arîbî merupakan sosok yang menarik. Hal
ini dikarenakan al-‘Arîbî seorang yang buta huruf. Tetapi penjelasannya mengenai
teologi sangat memuaskan, karena tidak kering dari nuansa spiritual. 41
36 Yûsuf al-Nabhânî,
Jâmi‘, v. 1 h. 202-203. 37 Ibn ‘Arabî,
Rûh, h. 55. 38 Claude Addas, Quest, h. 45. 39 Yûsuf al-Nabhânî,
Jâmi‘, v. 1 h. 203. 40 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 2 h. 452. 41 Ibn ‘Arabî,
Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ‘Arabî selama di
Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî sahabat Abû Madyan. Ia
mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali ketika melakukan perjalanan
-ammad al h
Tetapi ia mendapatkan ijazah kitab ini dari Mu 42
. dengan Abû Ya‘qûb
Bakrî.43 Walaupun telah mendapatkan nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî
belum mengenal literatur tasawuf kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.
''' '()*'+,-'./ '012'3 '"4 '015'067 8' 95
'''' :;<)=/ '>/ )?
'@)A-$BC/ '>DE/'
-'@1,'F ' :;G'F
HI2'
JIK16' 5'
'LLL
-:* '"/' *
L
Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abû Ya‘qûb adalah ketika aku belum mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî dan literatur lainnya,
bahkan belum mengenal terminologi tasawuf... Ia berkata kepadaku bacalah (kitab ini).
Kitab Risâlah merupakan kitab tasawuf yang sangat populer di kalangan
ulama. Kitab tasawuf tersebut ditulis oleh al-Qusyayrî (465 H.) berdasarkan akidah
Sunnî Asy‘ariyyah yang diyakininya. Al-Qusyayrî menulis kaedah teologi pada
permulaan kitab Risâlah.44 Hal ini yang menyebabkan al-Qusyayrî pernah diusir oleh
kelompok Mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut penguasa Naisapur.
Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî menilai bahwa sikap al-Qusyayrî mengemukakan
kaedah teologi di permulaan kitabnya bertujuan untuk menghindari asumsi negatif
kaum teolog kapadanya dan para tokoh sufi.45
Selain belajar dari tokoh lelaki, ia juga tidak merasa sungkan untuk belajar
kepada tokoh perempuan seperti Fâthimah bint Abû al-Mutsannâ. Fâthimah
merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn ‘Arabî adalah murid yang paling
42 Ibn ‘Arabî,
Rûh, h. 49.
43 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 204. 44 Al-Qusyayrî
, al-Risâlah al-Qusyayriyyah ed. Hânî al-Hajj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.t.), h. 22.
45 Ibn ‘Arabî,
disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh hati kepada Fâthimah.46
Ia menuturkan,
'''''6' M)N':));G'")I2'OP7))A'+)95'7))Q-'")1RSTAF' $))=6'@)ﻥ ,
'V ))AW'"))1T
''''''''0X)Tﺏ' :)CA '0X)TRﺏ'FW'")I2'OP7)A'7)Q-'.Z15' 5' $=CN'
' 9ﺏ' [/' =;N
'''''''''''''''''' \)N'V")12']:)* ' 7)/ '")ﺏ:T/ '+)ﺏ'7)9^5'FW'0)I - '_ '+)5'04 :G-'HN
0IZﺏ'OP '"I2'OP
L
Dia (Fâthimah) berkata: "Tidak ada orang yang membuat aku kagum
melainkan si fulan; maksudnya adalah saya". Ada yang bertanya mengapa ia kagum, Fâthimah menjawab: "Hal ini dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan pemikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn ‘Arabî anakku dan penyejuk hatiku. Apabila belajar kepadaku, ia datang dengan sepenuh hati".47
Pada masa ini juga, ia melakukan kunjungan ke pelbagai kota dan negara luar,
walaupun belum menetap di sana. Kesempatan berkunjung tersebut ia gunakan untuk
belajar kepada para ulama, seperti Ibn Basykawâl seorang pakar sejarah di Kordoba.48
Setelah itu, pada tahun 590 H. ia berkunjung ke kota Fez salah satu kota di Maroko,
sehingga bertemu dengan Abdullâh dan Ismâ‘îl bin Sawdakîn yang bakal menjadi
murid setianya. Pada tahun itu juga, ia berkunjung ke Tunisia. Di sana ia bertemu
dengan ‘Abd al-‘Azîz al-Qurasyî. Namun pada tahun 595, Ibn ‘Arabî kembali ke
Sevilla. Tahun ini merupakan masa wafat Ibn Rusyd, salah seorang tokoh intelektual
yang ia disenangi, sehingga ia menyempatkan menghadiri pemakamannya.49
Pada tahun 598 ia berkunjung untuk kedua kalinya ke Maroko, tetapi kembali
lagi pada tahun yang sama. Tidak ditemukan keterangan bahwa Ibn ‘Arabî telah
menikah pada masa kunjungan. Tetapi Addas mempunyai asumsi bahwa Ibn ‘Arabî
melakukan nikah kontrak.50
46 Ibn ‘Arabî,
Rûh, h. 85. 47 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 48 Ibn al-Maqarrî,
Nafh, v. 2 h. 162. 49 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 1 h. 235. 50 Claude Addas,
It is perfectly possible that Ibn ‘Arabî only contracted a merriage after his arrival in the East... Hal itu sangat memungkinan Ibn ‘Arabî melakukan nikah
kontrak saja setelah sampai di Timur...51
Asumsi ini terkesan sangat berlebihan dan keliru, karena keadaan sosiologis di
sana tidak memungkinkan Ibn ‘Arabî melakukan hal itu. Hal ini dengan
mempertimbangkan teologi Sunnî dan madzhab fiqh (Mâlikî dan Zhâhirî) yang
berkembang luas di Andalusia dan Maroko. Sedangkan teologi Sunnî dan dua
madzhab fiqh tersebut dengan tegas mengharamkan nikah kontrak.
Setelah periode ini, tahun 598 yaitu setelah ibunya meninggal dunia, ia
melanjutkan perjalanan ke Marakez salah satu kota di Andalusia.52 Pada tahun yang
sama, ia berkunjung dan menetap sementara di Maroko, lalu meneruskan ke arah
Timur. Ibn al-Abbâr menginformasikan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabî berkunjung ke
suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan setempat.53 Oleh karena itu, di
, etempat dari para ulama s
ijâzah
banyak memperoleh ‘Arabî
Ibn sela kunjungannya
Hal ini 54
.î Jawz -fizh Ibn al â H -al , kir â fizh Ibn ‘As â H -al , î Salaf -fizh al â H -seperti al
ts î ad H tokoh yang mendalami ilmu termasuk
‘Arabî menunjukkan bahwa Ibn
langsung kepada tokoh ternama pada masanya. Di samping itu, mereka juga teolog
î adalah tokoh Sunnî yang teguh dengan akidah ahli Salaf -l A . Sunnî yang beraliran
kir merupakan tokoh yang paling kuat membela dan membuktikan â
Ibn ‘As . adîts H n î Taby
secara historis dalam kitabnya î
Asy‘ar -asan al H al û Ab teologi kebenaran
Kadzb al-Muftarî. Sedangkan Ibn al-Jawzî merupakan tokoh yang sangat keras
menentang teologi Mujassimah (antropomorfisme) dalam kitabnya Daf‘ al-Syubah.
Latar belakang ini merupakan bekal bagi Ibn ‘Arabî dalam mendalami pemikiran
51 Claude Addas, Quest, h. 40.
52 Ibn ‘Arabî,
Rûh, h. 117. 53 Ibn al-Maqarrî,
Nafh, v. 2 h. 263. 54 Ibn al-Maqarrî,
kitab tidak hanya mengajarkan kitab para ulama tersebut
Ini dikarenakan .
teologi
. kitab yang bernuansa teologis
-tetapi juga kitab ,
dan hukum ts
î ad H
Selain tiga tokoh di atas, Ibn ‘Arabî sempat melakukan perdebatan teologis di
Fez dengan Abû ‘Abdillâh al-Kannânî teolog Asy‘ariyyah kenamaan di Maroko.
Mereka berdiskusi mengenai sifat Allah; apakah sebagai nisbah atau afiliasi (ziyâdah)
pada zat-Nya. Tukar pikiran tersebut mengarah kepada perbedaan yang tidak bisa
dikompromikan. Al-Kannânî bertahan dengan konsep teologi tersebut, tetapi ia juga
menyalahkan konsep Ibn ‘Arabî.55
Selain bertemu dengan para teolog Asy‘ariyyah, persentuhan pemikiran Ibn
‘Arabî dengan Mu‘tazilah juga terlihat sangat menarik. Dalam salah satu
penuturannya, ia menyebutkan pertemuan dengan Abû ‘Abdillâh bin Junayd seorang
tokoh Mu‘tazilah dari Qabrfîq satu wilayah dari kota Randah. Sebagaimana dalam
doktrin Mu‘tazilah, Abû ‘Abdillâh meyakini bahwa makhluk menciptakan
perbuatannya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Ibn ‘Arabî, doktrin tersebut sangat
keliru. Oleh karena itu, ia mengajak Abû ‘Abdillâh berdiskusi agar meninggalkan
kekeliruan teologi yang dianutnya. Ibn ‘Arabî mampu mempengaruhinya dengan
menjelaskan interpretasi ayat al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ'.56
''''0ﺏ ^ﺹ-'a;9ﺝ '06 :N'_7Iﺏ'"N'06 A 'H/W'@;<5'_7Iﺏ'H/W'aﺝ ' 9IN
c/ 'HI2'3 ':Z<N' TNd 'JIP'"N'0R e5'+2
L
Maka setelah ia (Abû ‘Abdillâh) kembali ke negerinya (Randa), aku
pergi berkunjung ke sana. Setelah sampai di sana, aku kembali berdiskusi dengannya dan para pengikutnya agar meninggalkan madzhab teologi (mu‘tazilah) mengenai konsep penciptaan perbuatan. Ia bersyukur kepada Allah terhadap penjelasanku tersebut.57
Hal ini mengindikasikan bahwa Ibn ‘Arabî telah mempelajari perdebatan
teologis antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah sebelum bertemu dengan Abû ‘Abdillâh
55 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 7 h. 33. 56 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 2 h. 372. 57 Ibn ‘Arabî,
bin Junayd, sehingga dengan mudah memahami kekeliruan rekannya. Bahkan hal di
atas menunjukkan penguasaan Ibn ‘Arabî dalam memahami tema-tema penting
teologi Islam.
Setelah pelbagai kunjungan dilakukan pada periode ini, Ibn ‘Arabî berniat
melanjutkan perjalanan ke ia
598 pada tahun ,
Oleh karena itu .
untuk menunaikan haji
dan tidak .
H 601 m pada tahun â Sy , .) H 598 terutama Makkah tahun ( z â ij H , Mesir
pernah kembali lagi ke Andalusia.58
Sebelum menuju Syâm, ia berkunjung ke Makkah (598-599 H.) untuk
melaksanakan haji, Ibn ‘Arabî menyempatkan belajar dari beberapa tokoh seperti Abû
-Sunan al
Ia mempelajari .
aram H -Isfahânî seorang imam di Maqâm al
-Syujâ‘ al
Tirmidzî dari Abû Syujâ‘. Adapun Sunan Abû Dâwud dipelajarinya dari al-Burhân
Masa ini sangat 59
. anâbilah H
seorang imam Maqâm al h
Futû -Nahsr bin Abû al
berpengaruh kepada Ibn ‘Arabi dalam kecenderungannya terhadap metode mayoritas
y ' ra
adîts daripada H
teolog Sunnî yang lebih memprioritaskan kedudukan
(pemikiran). Ia mengatakan seandainya ra'y lebih utama, maka pemikiran Nabi Saw
tentu lebih utama. Tetapi hal itu akan menyebabkan Nabi Saw tidak ma‘shûm,
sehingga rentan terhadap kesalahan. Ia menukil sebuah anekdot dari Qâdhî Abd
al-Wahhâb
-Qâdhî Abd al .
adîts H huran Azdî yang menunjukkan kelu
-Wahhâb al
menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya ada kitab-kitab yang ditinggikan dan
direndahkan tempatnya, lalu ia bertemu dengan seorang yang saleh yang telah
meninggal. Ia menanyakan tentang kitab yang ditinggikan dan direndahkan tersebut.
Orang yang saleh tersebut menjawab bahwa kitab yang ditinggikan adalah kitab
60 .
y ' ra
sedangkan yang direndahkan adalah kitab ,
adîts H
58 Ibn al-Maqarrî,
Nafh, v. 2 h. 263. 59 Yûsuf al-Nabhânî,
Jâmi‘, v. 1 h. 203. 60 Ibn ‘Arabî,
Setelah melaksanakan haji, ia kembali melakukan perjalanan pada tahun 600
H., dari Makkah menuju Mosil (salah satu kota di Syâm) tahun 601 H., Baghdâd,
Kairo pada tahun 603 H., lalu ia kembali melaksanakan haji untuk kedua kalinya pada
tahun 604 H. Ia juga melakukan haji lagi pada tahun 611, lalu berkunjung ke Konya
pada tahun 612 H. lalu pegi ke Damaskus untuk pertama kali pada tahun 620. Setelah
itu menetap di Aleppo tahun 628. Namun kemudian, ia kembali ke Damaskus pada
tahun 629. Di kota ini ia menyebarkan ajarannya secara utuh sampai akhir hayatnya
Zakî yang
-Dîn Ibn al
-yi al h Aktivitas Ibn ‘Arabî disokong oleh Qâdhî Mu .
638
bermadzhab al-Syâfi‘î dan berteologi Asy‘ariyyah. Ia wafat di rumah Qâdhî pada
malam Jum‘at 28 Rabî‘ al-Akhîr, dan dimakamkan di pemakaman Banî Zakî.61
Adapun mengenai kecerdasannya, potensi Ibn ‘Arabî telah terlihat ketika masa
kecilnya. Hal ini diakui oleh Ibn Rusyd filosof Muslim Peripatetik. Ia sendiri juga
Saat itu Ibn Rusyd .
t â h û Fut -al
menceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam
merupakan Qâdhî di kota Kordoba. Ia menuturkan bahwa Ibn Rusyd terlihat senang
dengan pertemuan tersebut, terutama ketika mendengarkan penjelasan menarik yang
menunjukkan ketajaman paham yang dianugerahkan Allah kepada Ibn ‘Arabî. Pada
saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, sedangkan Ibn ‘Arabî masih
belum dewasa. Pada kesempatan lain, terkadang Ibn Rusyd meminta bertemu Ibn
‘Arabî dan ayahnya, dan terkadang sebaliknya. Ia juga menuturkan bahwa Ibn Rusyd
sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena merasa mendapatkan pencerahan
spiritual. Tetapi ia sendiri memuji Ibn Rusyd dengan menyebutkannya sebagai
golongan arbâb al-fikr wa al-nazhr al-‘aqlî (tokoh pemikir logis) sebuah sanjungan
61 Muhammad bin Syâkir al-Katbî,
bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat saat Ibn ‘Arabî telah dewasa, yaitu tahun 595
M. ketika kembali dari Maroko.62
Pertemuannya dengan Ibn Rusyd, sangat berarti bagi Ibn ‘Arabî dalam
memahami pemikiran filsafat dan teologi. Namun tidak ditemukan pengaruh Ibn
Justeru .
‘Arabî pada karangan Ibn îl
â Ghaz -mid al â H Abû mengritisi Rusyd dalam
sebaliknya, Ibn ‘Arabî termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap
al-‘Arabî Ibn . â bun â h h as atau kasyf -ib al h â sh
sehingga menyebutnya sebagai ,
Ghazâlî
sebagai tokoh yang
ât h Futû -al
kali dalam kitabnya 18 lebih dari Ghazâlî -al menyebut
Adapun sanggahannya terhadap .
ia bela dan terima konsep pemikirannya cenderung
Hal ini karena . r Ahlihi y Gha â n ‘al û Madhn
ditujukan pada isi kitab , m â Isl -ujjah al H
al-Ghazâlî mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.63 Besar
kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazâlî sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di
Ghazâlî
ia merasa keberatan dengan pandangan teologi al
ikam H al h s û Fush dalam
yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.64 Dua
kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn
‘Arabî sangat tertarik pada permasalahan teologi.
Namun demikian, ketokohan al-Ghazâlî terlihat berpengaruh pada pemikiran
teologis Ibn ‘Arabî. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabî dalam hal ini adalah ketika
memandang al-Ghazâlî bukan sebagai seorang tokoh Asy‘ariyyah, tetapi sebagai
pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada ‘Arabî dalam
beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsîm dan tanzîh, kritikan
terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabî
sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazâlî, seperti pembahasan
Adapun .
asi penciptaan Âdam dan kontempl ,
zuhud ,
ayrah h
mengenai maqâm
62 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 1 h. 235. 63 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 6 h. 248. 64 Ibn ‘Arabî,
pernah dilakukannya ketika ) ' yâ h I seperti ( Ghazâlî
-pembacaannya terhadap karya al
65 . Tilmisânî -Shadafî al
-ammad bin Khâlid al h
di Makkah melalui bimbingan Mu
Selain al-Ghazâlî, karya-karya al-Juwaynî dan al-Isfaraynî yang berteologi
Asy‘ariyyah tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabî. Pembacaan terhadap karya-karya
tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabî, karena teologi Asy‘ariyyah
merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya
mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Asy‘ariyyah.66 Hal ini terbukti
dengan penukilan pemikiran mereka yang sering menghiasi kajian teologis Ibn ‘Arabî
. mereka mengritisi
ya untuk hal ini tidak menghalangin
, Namun . ât h Futû -al dalam
Selain tokoh klasik, Ibn ‘Arabî pernah menulis Risâlah yang berisi nasehat
untuk tokoh semasa, yaitu Fakhr al-Râzî (w. 606) seorang teolog Asy‘ariyyah ulung
dan interpretator terkenal pada masa tersebut. Di dalam Risâlah ia menyatakan telah
membaca banyak karangan Fakhr al-Râzî, terutama dalam masalah teologis.67 Selain
, banyak menulis karya yang bernuansa teologis Râzî -al , Ghayb al h î t â Maf tafsir
seperti Asâs al-Taqdîs. Kitab tersebut merupakan kritikan teologis al-Râzî terhadap
Mujassimah yang mengabaikan aspek tanzîh pada sifat Allah. Selain itu, al-Râzî
sangat aktif mengritisi teologi Râfidhah (kolompok Syî‘ah yang menghina khalifah
sebelum ‘Alî bin Abî Thâlib). Pembacaan terhadap karangan al-Râzî, mendorong Ibn
. Khathîb
dengan sebutan Ibn al
ât h Futû -al
‘Arabî untuk menukil pemikirannya dalam
Penyebutan tersebut sering ditemui ketika ia membicarakan konsep ilmu; salah satu
tema teologis yang menjadi objek kritikan Ibn ‘Arabî terhadap para teolog dan
filosof.68
65 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 8 h. 386. 66 Claude Addas, Quest, h. 103. 67 Ibn ‘Arabî,
Risâlah al-Syaykh al-Akbar ilâ Fakhr al-Râzî ed. Abd al-Rahmân Hasan Mahmûd, (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, t.t.), h. 10.
68 Ibn ‘Arabî,
Dalam menanggapi hal ini, Claude Addas lebih cenderung menilai bahwa
tidak ada alasan untuk menyangkal hubungan antara al-Râzî dan Ibn ‘Arabî. Hal ini
dikarenakan isi Risâlah yang ditulis Ibn ‘Arabî memang diperuntukkan bagi al-Râzî.
Namun Addas belum berani memastikan seratus persen.69 Apabila diperhatikan masa
hidup mereka, maka sangat mungkin terjadi interaksi, walaupun tidak ada keterangan
mereka bertemu. Dalam hal ini, penulis menemukan dua petunjuk mengenai interaksi
Risâlah
Ibn ‘Arabî memang mengakui bahwa ,
Pertama .
ât h û Fut -al
mereka dalam
tersebut diperuntukkan untuk al-Râzi. Tetapi ia menyebutnya dengan Risâlah
al-h â Risal
menyebutnya â
y h n Ya â Sedangkan Addas dengan mengutip ‘Utsm 70
.
q â Akhl
fi Wujûh al-Qalb.71 Ia tentu menulisnya ketika al-Râzi masih hidup, karena tidak
mungkin seseorang menyurati yang telah mati. Ia menuturkan sebagaimana berikut.
''''''''+)ﺏ':)92'+)ﺏ'7)9^5':fEI/' [ﺏ' 1RC,'"C/ ' MPd '>/ ? '"N'_ 1;N$C?
3 '09Q ' :/ 'g;KP
L
Kami menyempurnakan (pembahasan tentang etika) di dalam Risâlah
ammad bin ‘Umar bin Khathîb h
Fakhr Mu
yang kami tulis untuk al
Akhlâq -al
dari kota Rayy (Persia).72
Kedua, ia pernah bertemu dengan al-Rasyîd al-Farghânî murid al-Râzi.73
Besar kemungkinan Ibn ‘Arabî menulis Risâlah tersebut setelah haji yang pertama
(599 H.), karena ia sebelumnya tidak pernah ke daratan Syâm kecuali setelah masa
itu. Sedangkan interaksinya dengan al-Râzi, hanya mungkin terjadi setelah
kunjungannya ke Syâm (601), yaitu lima tahun sebelum al-Râzi wafat. Interaksi
tersebut tentu memberi pengaruh yang besar pada pandangan teologi Ibn ‘Arabî.
Terlepas dari hal di atas, perjalanan ilmiah Ibn ‘Arabî tersebut menunjukkan
, baik yang berkaitan dengan teologi ,
bahwa ia sangat akrab dengan dunia intelektual
69 Claude Addas,
Quest, h. 104. 70 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 71 Claude Addas,
Quest, h. 104. 72 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 1 h. 365. 73 Ibn ‘Arabî,
Hal ini terlihat dari sekian banyak tokoh yang .
sastra dan tasawuf ,
adîts H , hukum
menjadi guru dan sahabat Ibn ‘Arabî. Mayoritas mereka adalah berteologi Sunnî. Hal
ini terlihat dari kitab-kitab yang mereka ajarkan dan ijazahkan. Ini tentu
mempengaruhi konsep teologis yang diterapkan Ibn ‘Arabî dalam pelbagai
karangannya.
B. Karya Tulis Ibn ‘Arabî
-Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis
gagasan-gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî yang
yâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa ada sekitar h
Utsmân Ya .
Prof . luar biasa banyak
846 karya Ibn ‘Arabî.74 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab, risâlah, sya‘ir,
dan wasiat.
al ât h Futû -al
yang sangat luar biasa adalah ,
Di antara karya tersebut
) penyingkapan spiritual (
h futu
Karya tersebut ditulis saat ia mendapatkan .
Makkiyyah
ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul dengan
.
Makkiyyah
al ât h Futû -al
atau " Penyingkapan Spiritual Periode Makkah "
. tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian
ât h Futû -al
kitab , Namun
Justeru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar
pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan empat
hierarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai akidah
dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalâm yang ia sebut
dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan
implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunnî Asy‘ariyyah.
Namun ketika ia berbicara pada hierarki ketiga dan keempat, Ibn ‘Arabî membedakan
74 Ibn ‘Arabî,
tokoh madzhab -tokoh ( â bun â h ash
dianut kalangan sufi dengan sebutan teologi yang
kami) sebagai perbedaan identitas dengan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.75
Di samping itu, al-Sya‘rânî menilai kitab tersebut merupakan literatur yang
paling komprehensif mengenai tasawuf. Bahkan, kitab tersebut mencakup pelbagai
rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika pemikiran para
intelektual Muslim. Al-Sya‘rânî menambahkan bahwa jika kitab itu dibaca seorang
ahli hukum maka ilmunya akan bertambah. Begitu juga jika seorang ahli interpretator,
maka wawasannya akan ,
dan ahli ilmu lainnya membaca kitab itu , ts î ad H ahli , teolog
bertambah luas.76
Kitab ini . ikam H al Fushûsh yaitu , ia mempunyai karya utama ,
Selain itu
sejak Nabi Âdam sampai ,
merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm kenabian
Hal ini dikarenakan ia .
ammad Saw dengan jumlah duapuluh tujuh nabi h
Nabi Mu
menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya
mencakup aspek teologis dan kesufian. Karangan ini dianggap sebagian orang sebagai
kesimpulan utama ajaran Ibn ‘Arabî.
Adapun mengenai perjalanan ilmiah sebelum ia ke daerah Timur Tengah, Ibn
nama tokoh
-ia menyebutkan daftar nama , Di dalamnya . Quds al h Rû ‘Arabî menulis
yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual. Ia juga menulis kitab
Nabhânî -Yûsuf al . id h Taw al î dah f î ‘Aq
enai teologi Islam dengan judul khusus meng
menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm. Sedangkan Ibn Syâkir
al-Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah. Permasalahan yang
ip dengan akidah awam yang dikemukakan dikemukakan di dalamnya sangat mir
Hal ini menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi
. ât h Futû -al dalam 75 Ibn ‘Arabî,
al-Futûhât, v. 5 h. 312. 76 Al-Sya‘rânî,
Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab
ini berisi tema-tema penting dalam permasalahan teologis dan tasawuf falsafi.
Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan karangan lainnya seperti Risâlah wa
al-Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian
dari sisi teologis dan kesufian.77
77 Yûsuf al-Nabhânî,
BAB II
BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG
A. Perkembangan Intelektual
ammad bin h
bin Mu î
ammad bin ‘Al h
Mu ‘Arabî adalah Ibn
lengkap ama
N
Abû Ia digelari dengan . î s û l a And al â’î Th al î tim â H al ‘Arabî -h al â mad bin Abdull h
A
alif
dengan tambahan atau
‘Arabî Ibn
Dîn -yi al h Mu
populer dengan nama Ia
. Bakr
lam; Ibn al-‘Arabî.78 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan
tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.79 Hal ini
menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para
Syaykh
-al
Selain itu ia juga dikenal sebutan .
î ammad bin ‘Al h
sejarawan terhadap Mu
al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan
madzhab fiqh dan ts î ad H seorang ahli .) H 543 ( Ma‘afirî
-‘Arabî al
-al Ibn Qâdhî
Mâlikî.
Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada
ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî
Bani Thayy ( â’î Th -al tim â H mengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin
dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan
ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini
dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran
khalifah .) H 172 ( mân I h Ra -Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al .
Arab
Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria
dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di
semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan
78 Ibn