• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Ibn Taymiyyah sebagai Sebuah Kekeliruan

JIK16' 5''LLL

KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ

C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî mengenai Kenabian dan Kewalian Tema lain yang menjadi objek kritikan terhadap Ibn ‘Arabî adalah mengenai

2. Kritik Ibn Taymiyyah sebagai Sebuah Kekeliruan

Sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya, Ibn Taymiyyah merupakan tokoh yang paling keras mengritisi pemikiran Ibn ‘Arabî. Selain konsep ketuhanan, Ibn Taymiyyah juga menganggap bahwa Ibn ‘Arabî termasuk tokoh yang 278'Musthafâ Bâlîzâdeh, Syarh Fushûsh, h. 15. 279'Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201. 280'Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, bab 226

berkeyakinan keliru mengenai kenabian. Ibn ‘Arabî berkeyakinan, ungkap Ibn Taymiyyah, bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian. Bahkan kewalian lebih sempurna daripada kerasulan. Ibn Taymiyyah menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî hanya bermaksud kewalian seorang nabi lebih utama daripada kenabiannya dan kerasulannya. Hal ini dikarenakan dalam pandangan Ibn Taymiyyah permasalahan tersebut hanya interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî.281

Alasan lain klaim sesat yang dialamatkan oleh Ibn Taymiyyah kepada Ibn ‘Arabî adalah dari sisi komparatif epistemologi ilmu seorang wali dengan seorang nabi. Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî beranggapan tingkatan ilmu kewalian lebih utama daripada ilmu kenabian. Ini dikarenakan ilmu kewalian diperoleh dari Allah tanpa perantara (wasîlah), sedangkan ilmu kenabian dengan perantara.282 Di samping itu juga, Ibn Taymiyyah mengecam Ibn ‘Arabî karena mengaku sebagai khâtam al-awliyâ’.

Hilâl juga mengamini kritikan Ibn Taymiyyah dengan menilai bahwa Ibn ‘Arabî menyamakan tingkat nubuwwah Nabi Muhammad Saw dan kewalian para wali. Bahkan, Hilâl menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî meyakini sisi kenabian para wali adalah dari aspek batin, sehingga terkesan bahwa wali adalah nabi.283

Sebenarnya, kritikan di atas tidak begitu layak bersumber dari seorang tokoh intelektual seperti Ibn Taymiyyah. Tetapi juga tidak mustahil, karena memang Ibn Taymiyyah bukan manusia sempurna yang bisa mengerti semua literatur; termasuk karya Ibn ‘Arabî. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Katsîr, Ibn Taymiyyah merupakan orang yang banyak membaca secara otodidak. Metode otodidak mempunyai banyak kelemahan, di samping ada kelebihan lainnya. Kelemahan fatal 281'Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 282'Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 4 h. 172. 283 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201.'

adalah tidak memahami secara total terminologi yang digunakan para pengarang buku yang dibaca.

Kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn ‘Arabî mengenai permasalahan ini merupakan sebuah tuduhan yang bersumber dari kekeliruan dalam memahami teks Ibn ‘Arabî. Hal ini dikarenakan Ibn ‘Arabî tidak bermaksud sebagaimana Ibn Taymiyyah pahami. Ibn ‘Arabî menjelaskan dalam banyak karangannya, antara lain:

''7Q-'@T9?' W

'

''''''''>)AF$/ ' )*'0)ﻥ-'0)12'c;/W'O=1A' -' $=A'3 'O -'+5

'c/ '7A:A'z;IN']$R1/

'+5'HI2-_ ﻥ:, ' 5'FW'Or =/ '

'L

''' $)N'"/$)/ ' W' $=A'

-'i;Q'+5' $?:/ ' -'$ '7Q '‡f8'HN'c/eﺏ'H1TA'0ﻥ\N'V $?:/ '"R1/

''''''''''''V0)15'H)I2-'0)/'aﺏ )6'"/$)/ ' -'F' $)? '")Rﻥ'i;Q'+5'015'.6-'"/

'0ﻥ-'''''''''''+)ZA'.)/'0), -'$)/' W''V0);N'0)/'aﺏ )6'$) ' 9;N' 7ﺏ-' $RC9/ ' 7A'F'aﺏ C/ ' \N

0/' Tﺏ 6

L

Apabila engkau mendengar ada kaum sufi (ahl Allâh) mengatakan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian, maka bukanlah ia bermaksud kecuali sebagaimana kami sebutkan sebelumnya. Atau dia berkata bahwa wali lebih tinggi daripada nabi dan rasul. Ungkapan tersebut bermaksud mengenai kualitas personal seorang rasul dari sisi kewaliannya lebih sempurna daripada sisi kenabian dan kerasulan dirinya. Hal ini bukan berarti bahwa seorang wali yang menjadi pengikutnya lebih tinggi daripada dirinya (nabi tersebut). Seorang pengikut tidak akan pernah bisa mencapai kesamaan dengan orang yang diikutinya; terutama terhadap sesuatu yang ia ikuti.284

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya konsep ini bukan semata-mata berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia menyebut ahl Allâh mengindikasikan ada sufi lain yang pernah mengungkapkan hal serupa kepada Ibn ‘Arabî. Sedangkan Ibn ‘Arabî mengembangkan konsep tersebut lebih jauh dan sistematis. Di samping itu, sisi penting dari sikap Ibn ‘Arabî adalah menolak anggapan sebagian orang bahwa kewalian lebih tinggi daripada kenabian dan kerasulan. Hal ini dikarenakan maksud ungkapan kaum sufi yang ia namakan dengan ahl Allâh adalah pada personal seorang nabi dan rasul. Kewalian seorang nabi dan rasul lebih utama pada konteks dirinya 284'Ibn ‘Arabî,

Fushûsh, h. 121-122. Ia membicarakan ini pada pembahasan Kalimah ‘Uzayriyyah.

'

daripada aspek kenabian dan kerasulannya. Bahkan Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa seorang wali pengikut nabi tersebut tidak akan bisa "mencapai" apalagi "melampaui" maqâm kenabian dan kerasulan seorang nabi dan rasul.

Di samping itu, dari penukilan di atas ditemukan bahwa pemikiran tersebut bukanlah interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî. Justeru penjelasan tersebut adalah keterangan Ibn ‘Arabî sendiri. Hal ini tentu menepis tuduhan Ibn Taymiyyah dan para pengikutnya.

Di tempat lain, Ibn ‘Arabî menyebutkan dengan redaksi yang berbeda ketika membicarakan tanda kenabian bahwa maqâm kenabian secara keseluruhan tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang nabi. Adapun seorang wali tidak akan memperoleh secara keseluruhan.285

Hal ini dikuatkan oleh Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah yang juga menulis karangan khusus mengritisi Ibn ‘Arabî. Tetapi dalam konteks ini, ia tidak setuju dengan tuduhan Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Mullâ memahami ungkapan Ibn ‘Arabî secara lebih teliti. Ia mengatakan bahwa ungkapan Ibn ‘Arabî bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya tidaklah dihukumi kufur, fasik, dan bid‘ah. Ia beralasan karena para Sufi juga berbeda perspektif mengenai masalah ini.286 Penjelasan Mullâ tersebut menunjukkan bahwa ia tidak memahami masalah ini sebagaimana Ibn Taymiyyah. Permasalahan sebenarnya adalah kewalian seorang rasul lebih utama daripada kewaliannya, bukan kewalian seorang wali lebih utama daripada seorang nabi. Adapun keyakinan bahwa seorang wali lebih utama daripada nabi disepakati kekafirannya oleh Mullâ sebagaimana konsensus ulama Sunnî.287

285'Ibn ‘Arabî,

al-Futûhât, v. 5 h. 20. 286'Mullâ ‘Alî al-Qâri,

al-Radd ‘Alâ al-Qâ’ilîn, h. 119. 287'Mullâ ‘Alî,

Di samping itu, kritikan bahwa Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ

yang dipahami oleh kaum Sufi bukan sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah dan para pengikutnya. Ibn Taymiyyah memahami bahwa Ibn ‘Arabî mengklaim tidak ada lagi wali setelah dirinya. Pemahaman ini jika dikomparasikan dengan keterangan Ibn ‘Arabî dalam karangannya, maka ditemui banyak ketimpangan. Hal ini dikarenakan Ibn ‘Arabî justeru mengatakan bahwa terminologi khâtam al-awliyâ bisa dipahami dalam dua pengertian; partikular (khâsh) dan universal (muthlaq). Ia menjelaskan bahwa khâtam al-awliyâ partikular berada di bawah maqâm Nabi ‘Îsâ. Ini dikarenakan ia menetapkan bahwa penutup para wali secara universal adalah Nabi ‘Îsâ. Ia menegaskan hal itu karena kewalian umat muhammadiyyah harus diakhiri oleh seorang wali yang sekaligus nabi dan rasul. Karakter ini hanya dimiliki oleh Nabi ‘Îsâ.288

Apabila Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ, maka ungkapan itu harus dipahami dengan pengertian partikular. Ini dikarenakan khâtam dalam pemahaman partikular adalah tidak ada kewalian lagi setelahnya kecuali merujuk kepada maqâm kewaliannya. Hal ini dikarenakan ia juga mengakui derajat kewalian seseorang yang sezaman dengannya. Ia mengatakan, "Aku melihat ada orang pada zaman ini (yang menjadi khâtam al-awliyâ), dan aku sempat berkumpul bersamanya".289 Penjelasan ini menunjukkan bahwa ungkapan khâtam al-awliyâ yang ditemukan dalam karangan Ibn ‘Arabî harus dipahami sesuai dengan konteks pembicaraan yang ia maksud. Dengan ungkapan lain, ungkapan khâtam al-awliyâ

bukan berarti penafian terhadap keberadaan para wali setelahnya.

Dalam interpretasi lain, al-Jîlî menambahkan bahwa maksud khâtam al-awliyâ

adalah pencapaian maqâm qurbah (kedekatan kepada Allah). Setiap orang yang 288'Ibn ‘Arabî,

al-Futûhât, v. 1 h. 229 dan 281. 289 Ibn ‘Arabî,

mencapai maqâm qurbah adalah khâtam al-awliyâ dan perwaris kenabian pada maqâm al-khitâm. Alasan al-Jîlî mengemukakan statemen tersebut dikarenakan maqâm qurbah merupakan derajat spiritual yang terpuji (mahmûd). Maqâm tersebut menjadi sarana (wasîlah) seorang wali sampai kepada tingkatan luhur yang tidak pernah dilalui sebelumnya oleh para wali yang lain. Pengalaman yang dicapai pada pengalaman spiritual keilahian tersebut yang tidak dirasakan oleh yang lain, sehingga hanya ia yang merasakannya. Namun al-Jîlî mengingatkan bahwa wasîlah tersebut adalah Nabi Muhammad Saw, karena itu merupakan derajat spiritual tertinggi di sorga. Ia optimis berharap, "Semoga aku termasuk wali tersebut".290

Interprertasi al-Jîlî di atas sebenarnya bisa diterima. Hal ini dikarenakan pengalaman spiritual setiap orang memang berbeda-beda, walaupun nama maqâmnya sama. Setiap wali merupakan khâtam pada maqâm kewaliannya. Oleh karena itu, wajar ia mengatakan bahwa setiap orang yang sampai kepada maqâm qurbah berarti telah menjadi khâtam al-awliyâ. Interpretasi ini merupakan sisi lain yang bisa dipahami dari ungkapan Ibn ‘Arabî. Dengan demikian, kekeliruan Ibn Taymiyyah menjadi terbukti berasal dari ketidakpahaman terhadap terminologi ilmu tasawwuf.

290'‘Abd al-Karîm al-Jîlî,

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan dan Saran Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian sebelumnya. Ibn

‘Arabî sebagai tokoh yang multi dimensi, juga bisa dilihat dari perspektif teologi. Sebagaimana sufi lainnya, ia merupakan tokoh yang sangat kuat menerapkan konsep teologis dalam ajaran kesufiannya. Namun, di dalam kenyataannya ditemui bahwa Ibn ‘Arabî sering menjadi

objek kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap

ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada Sya‘rânî dan ‘Abd

al-Ghanî al-Nabilûsî. Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan

Ibn Taymiyyah . ulûl h ad dan h itti , wujûd -dah al h wa

bahwa Ibn ‘Arabî berakidah

cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî sekaligus. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan Ibn Taymiyyah dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang berlebihan. Hal ini dikarenakan Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti ketidakpahaman terhadap terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî. Sebagai contoh,

sedangkan hamba juga ,

q aq H

ketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah adalah

pada hayrah atau maqâm " keheranan "

yyah mengabaikan konteks Ibn Taymi

.

q aq h

ungkapan Ibn ‘Arabî tersebut, sehingga melahirkan kecaman yang tidak layak bersumber dari seorang tokoh intelektual Muslim terkenal itu. Padahal Ibn ‘Arabî juga Bahkan ia banyak . ulûl h âd dan h itti ri menolak kekufuran yang bersumber da

memberikan kritkan terhadap dua konsep akidah tersebut, sehingga menyebut orang

-dah al h wa Sedangkan term ). ahli tauhid ( id hh muwa

yang berkeyakinan serupa bukan

wujûd tidak ditemukan dalam karyanya. Pembakuan term ini untuk Ibn ‘Arabî merupakan sebuah keberhasilan dari kritikan Ibn Taymiyyah mempengaruhi wacana keislaman setelahnya. Tetapi perlu diingat bahwa Ibn Taymiyyah terkadang .

âd h itti

menyetarakan term ini dengan Selain itu, tema lain yang menjadi objek kritikan adalah masalah teologi yang

dianut Ibn ‘Arabî. Apabila keislamannya diakui, maka apa teologi yang dianut Ibn ‘Arabî? Dalam hal ini, muncul anggapan bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Syî‘ah. Tetapi juga banyak yang keberatan dengan anggapan ini. Setelah menelusuri beberapa karya Ibn ‘Arabî, tidak ditemukan indikasi

bahwa ia seorang Syî‘ah. Walaupun diskursus mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî terbilang maju di kalangan Syî‘ah; khususnya Imâmiyyah. Ia memang mengusung ajaran cinta kepada ahl al-bayt, tetapi ia juga mengecam siapa yang menghujat para sahabat. Bahkan sikap Imâmiyyah yang menurutnya berlebihan mencintai ahl al-bayt

dan menghujat sebagian sahabat Nabi merupakan hasil dari bisikan syetan. Ia menyebutnya dengan khawâthir syaythâniyyah. Penilaian negatif tersebut menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah. Sebaliknya menguatkan asumsi bahwa ia lebih cenderung kepada teologi Sunnî.

Hal ini juga diamini oleh al-Sayyîd Murtadhâ al-‘Âmilî seorang tokoh Syî‘ah

kontemporer terkemuka. Ia tidak menerima sama sekali anggapan bahwa Ibn ‘Arabî sebagai bagian dari Syî‘ah. Di samping itu, Ibn ‘Arabî menggagas tingkatan atau hieraki teologi menjadi

empat tingkatan. Hierarki pertama adalah akidah awam. Ia yang mewasiatkan kepada pembaca karangannya, agar menyampaikan akidah awam kepada orang yang bertanya mengenai akidah yang dianutnya. Hierarki kedua adalah akidah ahli kalâm yang ia sebut dengan ahl al-rusûm. Hierarki ketiga merupakan akidah kaum sufi yang ia sebut dengan ahl al-ikhtishâsh. Ketika ia membicarakan dua tingkatan pertama, lahir anggapan banyak sejarawan Muslim bahwa ia adalah seorang Sunnî dengan teologi Asy‘ariyyah Mâturidiyyah. Tetapi ketika ia berpindah menjelaskan tingkatan ketiga, maka muncul keberatan sebagian sejarawan dalam menilainya sebagai Sunnî. Suatu hal yang menarik adalah ketika ahli kalâm Sunnî mempunyai suatu konklusi untuk suatu masalah. Ibn ‘Arabî sering sama dalam memberikan kesimpulan, tetapi ia berbeda dalam kerangka argumen. Bahkan ia terkadang mengritik argumentasi Asy‘ariyyah, walaupun sama dalam konklusi. Tema lain yang membuat para pengritik Ibn ‘Arabî geram adalah masalah

keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan. Ibn Taymiyyah berkesimpulan bahwa siapa saja yang skeptis terhadap kekafiran Fir‘awn adalah kafir. Tetapi, tuduhan Ibn Taymiyyah memiliki kelemahan. Hal ini dikarenakan teks-teks Ibn ‘Arabî sangat variatif dan kontradiktif ketika membicarakan keimanan Fir‘awn. Dalam suatu teks ditemukan bahwa ia meyakini kekafirannya, sedangkan dalam teks lain ia bersikap skeptis. Bahkan juga ditemukan ungkapan bahwa Fir‘awn tenggelam dalam keimanan.

Dalam menghadapi kontradiksi di atas, al-Sya‘rânî tampil mengajukan

hipotesanya bahwa terjadi penyisipan (dass) orang yang hasad dan tidak bertanggung jawab terhadap beberapa manuskrip karya-karya Ibn ‘Arabî. Penyisipan memang sangat mungkin terjadi pada masa tersebut, karena manuskrip merupakan tulisan tangan tanpa ada undang-undang hak cipta sebagaimana pada masa sekarang. Bahkan al-Sya‘rânî termasuk korban dari penyisipan tersebut pada masa hidupnya. Oleh karena itu, penyisipan teks setelah meninggal Ibn ‘Arabî sangat mungkin terjadi. Al-Sya‘rânî juga menemukan manuskrip karya Ibn ‘Arabî yang disisipi, tetapi

ia mencoba membersihkannya dengan bentuk ringkasan, sampai pada akhirnya menemukan manuskrip yang diklaim Abû Thâhir benar. Berdasarkan ini, ia menegaskan bahwa tuduhan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui keimanan Fir‘awn adalah keliru. Di samping itu, penulis memang menemukan kejanggalan dalam beberapa

teks Ibn ‘Arabî mengenai masalah ini. Kejanggalan tersebut malah terjadi pada satu ini terbukti ketika si

Kontradik .

bahkan pada satu halaman , at h Futû -al yaitu ; kitab

dilakukan komparasi antara satu bab dengan bab yang lain, bahkan komparasi antar kalimat pada satu halaman. Di satu bab ia menetapkan kekafiran Fir‘awn dan pada bab yang lain ia terkesan skeptis, dan terkadang terkesan menolak. Begitu juga di halaman yang sama terdapat kalimat yang bertentangan. Kenyataan tersebut menguatkan asumsi bahwa terjadi penyisipan terhadap teks Ibn ‘Arabî. Tema lain yang menjadi objek pengafiran Ibn ‘Arabî adalah masalah kenabian

dan kewalian. Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian. Ia menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî bermaksud lain, bahwa kewalian seorang rasul atau nabi lebih utama daripada kenabiannya. Penolakan Ibn Taymiyyah merupakan bukti bahwa Ibn Taymiyyah tidak memahami

literatur Ibn ‘Arabî secara komprehensif dan komparatif. Hal ini dikarenakan wacana tersebut ternyata bukan bersumber dari Ibn ‘Arabî. Tetapi merupakan ungkapan sebagian ahli Sufi yang ia sebut dengan ahl Allâh. Di dalam Fushûsh, justeru Ibn ‘Arabî berperan sebagai interpretator; orang yang memberikan penafsiran. Ia tidak meyakini hal tersebut sebagaimana klaim Ibn Taymiyyah. Tetapi ia malah menjelaskan bahwa maksud ungkapan tersebut adalah sisi kewalian seorang rasul atau nabi lebih utama daripada kenabiannya. Kekeliruan Ibn Taymiyyah bertambah dengan tuduhannya bahwa Ibn ‘Arabî berkeyakinan menjadi penutup para wali (khâtam al-awliyâ’). Tetapi ketika diteliti, ternyata Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa konsep khâtam al-awliyâ’ terbagi dua, khâsh

(partikular) dan muthlaq (universal). Ketika ia membicarakan tentang kewalian dirinya dan kewalian para ulama, maka itu dipahami sebagai khâtam khâsh yang tidak menutup kemunculan wali setelahnya. Menarik, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa

khâtam al-awliyâ’ yang universal adalah Nabi ‘Isâ, sehingga tidak ada lagi wali setelah turunnya di akhir zaman kelak. Permasalahan ini juga kembali dijelaskan al-Jîlî, bahwa maksud khâtam al-awliyâ’ merupakan pencapaian maqâm qurbah

(kedekatan kepada Allah). Oleh karena itu, di zaman kapan pun, setiap orang yang mencapai maqâm tersebut disebut dengan khâtam al-awliyâ’. Hal ini dikarenakan pengalaman spiritual seorang wali akan berbeda dengan wali yang lain. Seorang wali adalah khâtam al-awliyâ’ pada maqâm yang dilaluinya. Berdasarkan kajian tersebut, penulis lebih cenderung menilai bahwa Ibn

‘Arabî adalah sebagai seorang Sunnî, walaupun bukan sebagai seorang Asy‘ariyyah yang utuh. Ketokohannya sebagai seorang sufi falsafi tidaklah menghalanginya mendapatkan status teologi ini. Adapun kritikan berupa pengafiran terhadap teologi Ibn ‘Arabî merupakan suatu hal yang wajar. Tetapi kewajaran tersebut menjadi aib

jika terjadi pada seorang tokoh intelektual yang tersohor. Hal ini biasanya dikarenakan tidak menguasai terminologi ilmu tasawuf dan sembarangan mengutip pendapat Ibn ‘Arabî. Dua hal ini akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap ungkapan Ibn ‘Arabî yang berbicara dalam konteks tertentu. Namun demikian, tulisan ini belumlah cukup untuk mengungkapkan

sepenuhnya kekeliruan para pengritik Ibn ‘Arabî dan sisi kesunniannya. Bahkan tulisan ini tentu memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan saran dan kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung lidah positif para pengkaji Ibn ‘Arabî.