• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Karakteristik Demografis Responden

Karakteristik demografis responden yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah meliputi : umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan status perkawinan yang dihubungkan dengan variabel pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di klinik IMS Puskesmas Teladan kota Medan.

5.1.1 Umur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur diketahui sebagian besar responden berada pada rentang usia 19 – 24 tahun yakni sebanyak 21 orang (48,8%), responden pada rentang usia 25 – 30 tahun yakni sebanyak 13 orang (30,2%), responden pada rentang usia 31 – 36 tahun yakni sebanyak 6 orang (14%), kemudian responden yang berada pada rentang usia 47 – 42 tahun yakni sebanyak 2 orang (4,7%), dan responden yang berada pada rentang 43 – 48 tahun yakni sebanyak 1 orang (2,3%). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa, sebagian besar responden berada pada rentang usia yang produktif, namun sudah menjadi kelompok beresiko untuk terinfeksi IMS dikarenakan responden yang sudah menjadi LSL dan memiliki perilaku seksual yang juga beresko tinggi untuk terinfeksi IMS.

Kelompok responden yang berumur 19 - 24 tahun merupakan kelompok responden yang mayoritas sudah memiliki penghasilan sendiri dan merupakan kelompok dengan perilaku bebas terutama yang berhubungan dengan seks. Responden dalam penelitian ini berada pada rentang usia yang produktif, pada

rentang usia tersebut proses interaksi sosial dengan orang lain sedang berjalan aktif, termasuk aktivitas individu dalam melakukan hubungan seksual, baik hubungan seksual heterogen maupun homoseksual sebagai seorang LSL. Kelompok umur belum tentu memengaruhi perilaku individu, termasuk dalam hal perilaku pemanfaatan layanan kesehatan, banyak hal yang melatar belakangi pengetahuan individu yang berkaitan dengan pemanfaatan layanan kesehatan termasuk seperti ketersediaan fasilitas, keramahan petugas kesehatan, kenyamanan dan sebagainya, termasuk pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di Puskesmas Teladan kota Medan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Malau (2015) yang menjelaskan bahwa sebagian besar responden yang menjadi pasien di klinik VCT Veteran kota Medan berada pada rentang usia yang produktif pada usia 21 – 25 tahun dan hasil peneleitian ini juga menjelaskan bahwa karakteristik umur tidak menjadi faktor yang memengaruhi kejadian HIV- AIDS pada responden yang menjadi pasien di klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Hal yang serupa dijelaskan oleh penelitian yang dilaksanakan oleh Pratiwi (2015) bahwa faktor umur tidak memengaruhi tindakan LSL dalam memanfaatkan layanan kesehatan di klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

5.1.2 Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar responden telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang SMA/Sederajat yakni sebanyak 28 orang (65,1%), responden yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan di perguruan tinggi pada jenjang Strata-1 yakni sebanyak 9 orang (20,9%) dan jenjang Diploma yakni sebanyak 3 orang

(7%), serta responden yang hanya menyelesaikan pendidikan hanya pada tingkat SMP/Sederajat, yakni sebanyak 3 orang (7%).

Hasil penelitian Irmayati (2013), tingkat pendidikan dapat memengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah (Hutasoit, 2006). Redding et al (2000) yang dikutip oleh Anggraeni (2010) menyatakan faktor pengubah seperti tingkat pendidikan dipercayai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku dengan cara memengaruhi persepsi individu. Individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar terhadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan kesehatan maka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan.

Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2010), yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak sama pemahamannya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya semakin banyak pengetahuan yang mereka miliki. Secara umum, pengetahuan yang baik akan memunculkan sikap yang baik dan mengaplikasikannya dalam tindakan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kesehatan, semakin tinggi kesadaran orang tersebut dalam menjaga kesehatannya. Berbeda dengan hasil penelitian Malau (2015) yang menjelaskan bahwa karakteristik tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit HIV-AIDS pada responden yang menjadi pengunjung di klinik IMS dan VCT Veteran kota Medan.

5.1.3 Jenis Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar responden telah bekerja sebagai wiraswasta yakni sebanyak 23 orang (53,5%), kemudian responden yang bekerja sebagai pegawai/buruh yakni sebanyak 12 orang (27,9%), dan responden yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa sebanyak 8 orang (18,6%).

Pekerjaan seseorang selain menjadi bentuk mata pencaharian keseharian dalam memperoleh pendapatan juga menjadi bentuk aktualisasi atau cara seseorang untuk diakui orang lain. Seseorang yang bekerja dengan memakai pakaian yang rapi dan bagus tentu dianggap sebagai seseorang yang telah berhasil dan sukses serta dituntut untuk memiliki perilaku dan kepribadian yang lebih baik, namun jenis pekerjaan seseorang tidak selamanya menentukan respon seseorang terhadap stimulus untuk melakukan tindakan tertentu terhadap sesuatu hal (Ircham, 2005).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Pratiwi (2015) yang menjelaskan bahwa jenis pekerjaan yang menjadi aktivitas atau sumber mata pencaharian LSL dalam keseharian tidak memiliki pengaruh terhadap pemanfaatan layanan kesehatan di klinik VCT Veteran kota Medan. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh LSL tidak menjadi acuan untuk LSL agar mau memanfaatkan layanan kesehatan di klinik VCT Veteran kota Medan. Berbeda dengan hasil penelitian Azhari (2012) yang menjelaskan bahwa pekerjaan merupakan salah satu ukuran dari status sosial ekonomi yang tercakup ke dalam faktor demografi pasien yakni merupakan faktor yang memengaruhi kebutuhan yang dirasakan sehingga memengaruhi pemanfaatan pelayanan

pengobatan untuk mengobati sakit atau penyakit yang diderita agar memperoleh kesembuhan atau perilaku khusus yang ditujukan untuk mencegah terjadinya suatu infeksi penyakit, seseorang dengan status pekerjaan yang tinggi dituntut memiliki perilaku kesehatan yang baik dalam pencegahan penyakit dan pencarian pola pengobatan. Hal serupa disampaikan hasil penelitian Malau (2015) yang menjelaskan bahwa karakteristik jenis pekerjaan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit HIV-AIDS pada responden yang menjadi pengunjung di klinik IMS dan VCT Veteran kota Medan.

5.1.4 Tingkat Pendapatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan tingkat pendapatan sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan sesuai dan atau melebihi upah minimum regional sebesar Rp. 1.811.875,- yakni sebanyak 34 orang (79,1%) dan responden yang memiliki tingkat pendapatan kurang dari upah minimum regional sebesar Rp. 1.811.875,- yakni sebanyak 9 orang (20,9%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pratiwi (2015) yang menjelaskan bahwa penghasilan yang didapatkan oleh LSL setiap bulannya tidak memiliki pengaruh terhadap pemanfaatan layanan kesehatan di klinik VCT Veteran kota Medan. LSL yang menjadi responden penelitian dengan penghasilan tertentu tidak menentukan untuk mau berkunjung dan memanfaatkan layanan kesehatan di klinik VCT Vetrean kota Medan. Hal yang sama disampaikan oleh Susanti (2014) yang menjelaskan bahwa penghasilan LSL tidak menentukan perilaku LSL dalam menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual dengan pasangan seksual.

Berbeda dengan hasil penelitian Malau (2015) mengenai perilaku pencegahan HIV-AIDS yang menyatakan bahwa LSL dengan pendapatan tetap (gaji karyawan) cenderung datang memanfaatkan layanan kesehatan, kemungkinan dikarenakan sudah memiliki penghasilan sendiri sehingga memiliki rasa kepercayaan diri yang lebih. Responden yang dianggap populasi kunci yang sebenarnya memiliki peran yang cukup krusial dalam penyebaran virus HIV/AIDS, yaitu responden yang masuk dalam kategori “Mobile Man with

Money”, atau pria yang mapan dan bermobilitas tinggi. Mungkin karena

responden adalah orang-orang dengan berpenghasilan tetap, berpenampilan bersih, berpakaian sesuai fashion terkini, dengan fisik yang menawan karena memiliki uang untuk perawatan tubuh, dan tinggal di kawasan mewah.

Responden dianggap bersih, padahal kelompok ini adalah kelompok yang sangat dekat dengan infeksi penyakit menular seksual. Karena responden dengan berpenghasilan tetap adalah orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi, baik untuk tujuan pribadi atau bisnis, dan mempunyai daya beli yang kuat. Besar kemungkinan mereka menggunakan uang mereka untuk hiburan yang memaparkan mereka dengan risiko penularan IMS, misalnya membeli jasa pekerja seks komersial dan tidak menggunakan kondom. Atau berhubungan seks dengan kenalan baru, juga tidak menggunakan kondom. Namun tidak selamanya pendapatan seseorang menentukan respon yang baik terhadap stimulus tertentu dalam memberikan tindakan, karena terdapat faktor-faktor lain yang lebih dominan untuk menentuakan respon individu terhadap stimulus untuk bertindak dan beringkah laku.

5.1.5 Status Perkawinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan status perkawinan, sebagian besar responden masih berstatus tidak menikah yakni sebanyak 40 orang (93%), danresponden dengan status sudah menikah sebanyak 3 orang (7%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar LSL memang belum menikah, hal ini bisa disebabkan karena orientasi seksual mereka yang menyukai sesama jenis, yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, bahwa pernikahan harus dilakukan dengan lawan jenis.

Hasil uji Chi Square menunjukkan nilai p=0,004 (p<0,05) sehingga berdasarkan hasil uji diketahui bahwa ada pengaruh karakteristik status perkawinan responden terhadap pemanfaatan layanan kesehatan di Klinik IMS Puskesmas Teladan kota Medan. Responden yang telah menikah memiliki cenderung memiliki perilaku pemanfaatan layanan kesehatan di Klinik IMS Puskesmas Teladan kota Medan yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang sudah menikah. Responden dengan status pernikahan yang sudah menikah cenderung memiliki perilaku pencegahan HIV-AIDS yang baik mungkin dikarenakan memiliki tingkat kecemasan yang lebih daripada responden dengan status belum menikah. Seseorang dengan status sudah menikah akan cenderung akan terancam terinfeksi HIV-AIDS dan menularkan kepada pasangan pernikahannya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Malau (2015) bahwa LSL yang sudah menikah memiliki perilaku pencegahan HIV-AIDS dalam kategori yang baik, terlebih pada LSL yang memiliki istri dengan asumsi bahwa mereka memiliki kekhawatiran dapat menularkan HIV-AIDS pada istrinya. Terdapat

hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan perilaku pencegahan HIV-AIDS. Hal serupa juga dijelaskan berdasarkan hasil penelitian Maryani (2014) bahwa LSL yang sudah memiliki istri cenderung mau memanfaatkan layanan kesehatan khusus untuk memeriksa apakah dirinya terinfeksi IMS dan atau HIV-AIDS.

Dokumen terkait