• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN PENDUDUK

Dalam dokumen Kajian Pengembangan Penanggulangan HIVAIDS (Halaman 47-80)

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.2. KEADAAN PENDUDUK

Jumlah penduduk Kota Bukittinggi pada tahun berdasarkan data BPS Kota Bukittinggi tahun 2013 tercatat sebesar 114.415 jiwa/km2 dengan tingkat kepadatan 4.533 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Kota Bukittinggi tidak merata, yang mana kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Guguk Panjang dengan kepadatan penduduk 6.240 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.070 jiwa/km2 dan Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak 3.812 jiwa/km2.

Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kesehatan, harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan kesehatan.

Penduduk sasaran program pembangunan kesehatan sangatlah beragam, sesuai dengan karakteristik kelompok umur tertentu atau didasarkan pada kondisi siklus kehidupan yang terjadi. Beberapa upaya program kesehatan memiliki sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas. Beberapa program lainnya dengan penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu, meliputi: bayi, batita (bawah tiga tahun), balita (bawah lima tahun), anak balita, anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif, usia lanjut dan lain-lain.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

31 4.1.3. Kondisi Ekonomi

Kondisi perekonomian Kota Bukittinggi pada tiga tahun terakhir relatif stabil dan menunjukan perkembangan yang cukup memuaskan. Pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin (berdasarkan Bidang Promosi dan Sumber Daya Kesehatan) tercatat sebesar 31.090 jiwa atau 27.2% dari penduduk, dimana sebesar 12.964 jiwa pelayanan kesehatannya di fasilitasi oleh Pemerintah Kota Bukittinggi melalui Jamkesda dan selebihnya melalui Jamkesmas.

Peningkatan produktifitas ekonomi Kota Bukittinggi didominasi dari sektor perdagangan dan wisata. Peningkatan ekonomi telah mendorong berkembangnya taraf kehidupan masyarakat secara makro. Meningkatnya aktifitas ekonomi menyebabkan peningkatan usaha kecil dan menengah di sektor kerajinan dan industri kecil serta mengalami kemudahan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil-hasilnya.

4.1.4. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi adalah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Puskesmas Keliling (Puskel). Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah Puskesmas di kota Bukittinggi sejak tahun 2010 adalah sebanyak 7 Puskesmas, yaitu dengan penambahan Puskesmas Plus Mandiangin, disamping Puskesmas Guguk Panjang, Puskesmas Perkotaan Rasimah Ahmad, Puskesmas Tigo Baleh, Puskesmas Mandiangin, Puskesmas Nilam sari dan Puskesmas Gulai Bancah. Tabel 4.1. Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan Kota Bukittinggi 2013

Fasilitas Kesehatan Pemilikan/Pengelolaan Pem. Pusat Pem. Prov Pem.

Kota TNI Swasta Jumlah

Rumah Sakit Umum 0 1 0 1 2 4

Rumah Sakit Jiwa 0 0 0 0 0 0

RS. Bersalin 0 0 0 0 0 0

RS. Khusus 1 0 0 0 1 2

Puskesmas 0 0 7 0 0 7

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 32 Pusk. Keliling 0 0 17 0 0 17 Posyandu 0 0 0 0 131 131 Poskeskel 0 0 0 0 24 24 Rumah Bersalin 0 0 0 0 4 4 Balai Pengobatan/Klinik 0 0 0 0 1 1 Apotek 2 1 0 1 44 48 Toko Obat 0 0 0 0 13 13 IFK 0 0 1 0 0 1

Industri Obat Tradisonal 0 0 0 0 0 0

Praktek Dokter Bersama 0 0 0 0 0 0

Praktek Dokter

Perorangan 0 0 0 0 206 206

Jumlah 3 2 39 2 426 472

Sumber : Profil Kesehatan Kota Bukittinggi Tahun 2013

Rumah Sakit merupakan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang bergerak dalam kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Rumah sakit juga berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan. Di Kota Bukittinggi terdapat enam (6) Rumah Sakit milik pemerintah dan swasta yaitu sebagai berikut :

- Rumah Sakit Achmad Muchtar (RSAM),milik Pemerintah - Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN), milik Pemerintah - Rumah Sakit Tentara, Milik TNI

- Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi, Milik Swasta - Rumah Sakit Madina, Milik Swasta

- Rumah Sakit Khusus THT Sitawa Sidingin, milik swasta

4.2. Gambaran Kondisi Perkembangan Kasus HIV/AIDS di KotaBukittinggi

Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi bahwa kumulatif penemuan kasus HIV/AIDS dari tahun 2007 s/d 2013 adalah sebanyak 297 kasus. Jika dibandingkan dari penemuan kasus sejak tahun 2007 tampaknya terjadi peningkatan kasus yang cukup tajam, yaitu 12 kasus pada tahun 2007 menjadi 297 pada tahun 2013 seperti terlihat pada grafik 4.1 di bawah ini.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

33

Grafik 4.1. Kumulatif penemuan kasus HIV positif tahun 2007 – 2013 di Kota Bukittinggi

Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi (2013)

Selanjutnya berdasarkan data dari RSAM Bukittinggi bahwa kasus HIV/AIDS tahun 2012-2014 (Agustus 2014) adalah sebanyak 145 kasus baru, 61 meninggal dan 27 kasus yang loss kontak (grafik 4.2). Jika dilihat dari perkembangan kasus baru HIV/AIDS sejak tahun 2012 sampai dengan 2014 (Agustus 2014), tampak bahwa selama perkembangan 2 (dua) setengah tahun telah terjadi peningkatan yang cukup tajam, yaitu dari 33 kasus tahun 2012 meningkat menjadi 40 tahun 2013, dan semakin meningkat terus pada Agustus 2014 (72 kasus), seperti terlihat pada grafik 4.3. Jika dilihat dari perkembangan kasus baru sampai bulan Bulau Agustus 2014 yaitu 72 kasus, maka dari data tersebut bisa diperkirakan akan terjadi peningkatan terus sampai dengan Bulan Desember 2014, dan bahkan diramalkan pada akhir Desember tahun 2014 bisa mencapai kurang lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya (tahun 2013 sebanyak 40 kasus).

Perkembangan kasus yang loss kontak juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari tahun 2012 sebanyak 3 kasus meningkat menjadi 5 kasus (tahun 2013), dan mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2014, yaitu

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

34

sebanyak 19 kasus (grafik 4.3). Kondisi cukup besarnya kasus yang loss kontak ini ada kaitannya dengan kurangnya kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan dan adanya stigma negatif serta diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.

Grafik 4.2. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi tahun 2012-2014

Sumber : RSAM Bukittinggi

Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi Tahun 2012-2014

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

35 Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa data penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di Poliklinik Serunai RSAM Bukittinggi tidak hanya berasal dari warga Kota Bukittinggi saja, tetapi mereka juga berasal dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, dan bahkan yang berasal dari luar Kota Bukittinggi kasusnya relatif cukup banyak. Hal ini disebabkan karena Poliklinik Serunai RSAM Bukitinggi merupakan salah satu rumah sakit rujukan HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat. Jika dilihat dari persentase kasus HIV/AIDS tahun 2012-2014 berdasarkan daerah asal penderita, maka persentase HIV/AIDS terbanyak adalah berasal dari Bukittinggi (sebanyak 24,14%), dan diikuti daerah asal Payakumbuh (17,93%), Kabupaten Agam (16,55%), Kabupaten 50 Kota (13,1%), Batusangkar (6,89%) serta Kabupaten Tanah Datar sebanyak 6,89%, seperti terlihat pada grafik 4.4.

Pada grafik 4.4 juga dapat dilihat bahwa Payakumbuh menempati urutan kedua terbanyak dari persentase penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi, yaitu sebanyak 17,93%. Setelah dilakukan kroscek data dengan Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, informan menyatakan bahwa data kumulatif HIV/AIDS (dari tahun 2004 s/d tahun 2014) di Kota Payakumbuh adalah sebanyak 44 kasus. Perkembangan kasus HIV/AIDS ini mengalami peningkatan setiap tahun, dan hal ini bisa dilihat dari data kumulatif HIV/AIDS tahun 2011 yang sebanyak 24 kasus menjadi meningkat tahun 2012 yaitu sebanyak 28 kasus, dan terus mengalami peningkatan menjadi 38 kasus tahun 2013 dan 44 kasus tahun 2014.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

36

Grafik 4.4. Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal tahun 2012-2014

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

Pada grafik 4.4 di atas juga tampak bahwa persentase penderita HIV/AIDS yang berasal dari Kabupaten Agam relatif cukup banyak yaitu sekitar 16,55%. Berkaitan dengan hal ini, telah dilakukan koscek data ke Dinas Kesehatan Agam, dan berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa memang sebagian penderita HIV/AIDS di Bukittinggi adalah merupakan warga dari Kabupaten Agam, khususnya dari Agam Timur. Sebagian besar penderita cenderung melakukan aktifitas di wilayah Kota Bukittinggi. Penularan HIV/AIDS juga dianggap ada kaitannnya dengan Kota Bukittinggi sebagai Kota Pariwisata. Adapun jumlah kasus HIV/AIDS yang terdapat di Kabupaten Agam sampai dengan tahun 2013 adalah 65 kasus. Sebagian besar penderita melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi, sedangkan sebagian lainnya melakukan pengobatan di RSUP M. Jamil Padang.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

37 Pada grafik 4.4 juga terlihat bahwa sebagian penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di RSAM Bukitinggi adalah berasal dari Kabupaten 50 Kota, yaitu sebesar 13,1%. Terkait dengan hal ini, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS yang berasal dari warga Kabupaten 50 Kota memang melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi. Pada saat ini kegiatan pelayanan VCT HIV/AIDS belum ada di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten 50 Kota. Sedangkan Puskesmas yang sudah melakukan pelayanan skrining tes HIV/AIDS adalah Puskesmas Guguk, dan untuk pengobatan lebih lanjut dirujuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM).

Selanjutnya penderita HIV/AIDS juga berasal dari Kabupaten Tanah Datar dan Kota Batusangkar dengan masing-masing sebesar 6,89% (grafik 4.4). Berkaitan dengan penderita HIV/AIDS yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar menginformasikan bahwa kumulatif penderita HIV di Kabupaten Tanah Datar makin bertambah, yaitu dari 28 kasus pada Bulan Desember tahun 2013 menjadi sebanyak 31 kasus pada Bulan Juni 2014. Sebagian besar penderita tersebut melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi. Kondisi penderita HIV/AIDS yang menjalankan pengobatan di RSAM Bukittinggi saat ini cukup baik. Untuk mendapatkan kondisi daya tahan tubuh yang baik, seorang penderita HIV/AIDS tentunya harus teratur minum obat ARV setiap hari, dan obat ini harus mereka ambil langsung ke RSAM Bukittinggi.

Berkaitan dengan asal penderita HIV/AIDS dari Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan pengobatan di RSAM Kota Bukittinggi, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat menyatakan bahwa jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 2010 - 2013 adalah sebanyak 15 orang. Sebagian penderita HIV/AIDS melakukan pengobatan di di RSAM Bukittinggi dan sebagian lagi melakukan pengobatan di RSU Jamil Padang. Fasilitas pelayanan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

38

kesehatan yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS masih terbatas, yang mana baru satu Puskesmas yang memiliki fasilitas LKB (Layanan Komprehensif Bersama), yaitu di Puskesmas Sungai Aur. Tenaga konselor yang tersedia adalah sebanyak 4 orang.

Kemudian penderita yang melakukan pengobatan HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi juga berasal dari Solok, dan untuk tahun 2013 jumlah kumulatif HIV/AIDS di Kota Solok sudah mencapai 20 kasus. Sebagian dari mereka melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi dan sebagian lagi di RSUD Solok dan di RSUP M. Jamil Padang.

Jika ditinjau dari faktor risiko penularan, pada grafik 4.5 tampak bahwa perilaku seks bebas khususnya pada kelompok homoseksual saat ini (tahun 2014) dianggap merupakan sebagai faktor risiko terbanyak yang melatarbelakangi tingginya kasus penyebaran HIV/AIDS, yaitu sebanyak 32,43%, dan diikuti resiko penularan dari heteroseksual (25,6%). Kecenderungan risiko penularan ini tampaknya menunjukkan pergeseran, yang mana sebelumnya (tahun 2013) resiko penularan terbesar adalah dari heteroseksual (35,5%), dan IDU serta pasangan risti (masing-masing 22,5%). Sedangkan resiko penularan dari homo seksual pada tahun 2013 masih sebesar 12,5%, seperti terlihat pada grafik 4.6. Pada hal kecenderungan resiko penularan sebelumnya (lebih kurang 3 tahun terakhir) masih didominasi oleh pemakaian narkoba jarum suntik (IDU).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

39 Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor

risiko tahun 2014

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

Grafik 4.6 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor risiko tahun 2013

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

Terkait dengan faktor risiko penularan, penderita HIV/AIDS yang berasal dari luar Bukittinggi (Kota Payakumbuh, Kabupaten Agam, Kabupaten

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

40

50 dan Pasaman Barat, Kota Batusangkar dan Kota Solok) juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Pada umumnya faktor risiko penularan adalah berasal dari perilaku menyimpang, dan hampir sebagian besar dilakukan pada saat mereka di rantau (Jakata, Batam, Pekanbaru,dll), seperti homoseksual, heteroseksual dan narkotika dengan jarum suntik yang bergantian. Mereka yang terpengaruh oleh gaya hidup/perilaku bebas di rantau cenderung mengakibatkan tertularnya penyakit HIV/AIDS. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang sengaja pulang kampung karena setelah diperiksa di Jakarta sudah positif HIV/AIDS. Latar belakang pekerjaan dari penderita HIV/AIDS tersebut antara lain adalah wiraswasta/usaha, sopir Padang-Jakarta, Padang-Pekanbaru pedagang Padang Jakarta, pegawai hotel/bar, penjaja seks, kuli bangunan (buruh), dll.

Menyikapi resiko penularan terkait dengan perilaku seks bebas tersebut, maka perlu untuk ditingkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS dan upaya pencegahannya melalui peningkatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat, dan meningkatkan penjangkauan terhadap kelompok yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS.

4.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TINGGINYA KASUS HIV/AIDS

4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS

Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita HIV/AIDS dari tahun 2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita adalah dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin perempuan cenderung lebih sedikit, yaitu sebesar 17,97% (Grafik 4.7). Hal ini tampaknya tak lepas dari pengaruh pengalaman masa lalu dan perilaku perilaku menyimpang seperti seks bebas dan narkoba yang pernah dan cenderung dilakukan oleh penderita yang berjenis kelamin laki-laki.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

41 Grafik 4.7. Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2007-2013

Sumber : Dinas Kesehatan dan data

Grafik 4.8 menunjukkan bahwa persentase kumulatif HIV/AIDS (2007-2013) yang berasal dari kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih besar yaitu sebesar 58%,15 laki-laki dan 55,93% perempuan. Dalam hal ini persentase kelompok umur laki-laki dan perempuan yang mengalami HIV/AIDS menunjukkan tidak banyak perbedaan. Selanjutnya penderita yang berasal dari kelompok umur 20-24 tahun juga cukup banyak yaitu sebesar 34,07% dari jenis laki-laki dan 35,59 % dari jenis perempuan. Dari data ini tampak kecenderungan penularan terjadi pada kelompok usia produktif, dan bahkan dari kelompok usia remaja persentasenya juga cukup besar.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

42

Grafik 4.8 : Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur Tahun 2007-2013

Sumber : Dinas Kesehatan dan data diolah

4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang Berisiko Terhadap HI/AIDS

Setiap individu di manapun berada tentunya menginginkan bahwa mereka dan keluarganya dilindungi kesehatannya dan terhindar dari berbagai penyakit. Selanjutnya kita juga memahami bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang secara sengaja ingin mengalami penyakit tertentu, apalagi penyakit HIV/AIDS. Mereka yang sekarang menderita HIV/AIDS mungkin atau tidak pernah membayangkan bahwa perilaku yang mereka lakukan sebelumnya telah mengakibatkan kenyataan yang tidak terduga yaitu penyakit HIV/AIDS.

Orang dengan HIV positif sering terlihat sehat dan merasa sehat sebelum melakukan tes darah. Apabila sudah melakukan tes HIV barulah seseorang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya tertular HIV. Tes HIV merupakan satu-satunya untuk mendapatkan kepastian tertular HIV atau tidak. Pelayanan tes darah ini telah disediakan oleh pemerintah di rumah sakit atau puskesmas dengan tidak dipungut bayaran.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

43 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa penderita HIV/AIDS bahwa sebagian besar informan (penderita HIV/AIDS) mengakui belum memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar, sehingga hal inilah yang menyebabkan mereka tidak menyadari perilaku yang pernah dilakukan sebelum mereka divonis HIV/AIDS turut berperan membuat rentannya terinfeksi HIV/AIDS. Mereka sebelumnya hanya mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang menjijikan dan mematikan, dan kurang mengetahui tentang penyebab atau risiko penularan dari penyakit tersebut. Seperti yang diungkapkan informan bahwa awalnya dia pergi berobat ke dokter adalah karena mengalami gejala mencret dan batuk-batuk terus. Selanjutnya informan juga mengakui dia mempunyai riwayat penyakit penderita Tuberkulosis (TB) dan toksoplasma. Mengingat kondisinya yang demikian dokter kemudian menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah, dan ternyata dia dinyatakan mengidap virus HIV. Hal ini tentunya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, dan dari dokter dia diberikan penjelasan terkait HIV/AIDS dan resiko penularan HIV/AIDS.

Pengalaman hidup dan perilaku yang dilakukan informan masa lalu (sejak tahun 2000) ternyata membuat dia terinfeksi HIV/AIDS (pada tahun 2007). Informan mengakui bahwa dia pernah melakukan hubungan seksual dengan beberapa wanita, dan awalnya hanya diajak teman (pada waktu masih sekolah SMA) yang akhirnya sampai melakukan seks bebas tersebut berkali-kali (termasuk dengan PSK). Di samping itu dia juga termasuk pengguna narkoba jarum suntik (putaw) yang diperoleh dari perantau Minang yang berdomisili di Jakarta. Mengingat harga putaw yang relatif mahal, maka dia cenderung membeli putaw tersebut dengan cara patungan bersama teman-temannya, dan menggunakannya melalui jarum suntik yang berganti-ganti. Dengan kondisi latarbelakang yang belum memiliki pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS, dan mempunyai pengalaman masa lalu dengan perilaku

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

44

yang berisiko tersebut telah menyebabkan informan tertular penyakit HIV/AIDS. Namun informan masih bersyukur bahwa istri dan anak-anaknya tidak tertular penyakit tersebut.

Perilaku yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV tersebut di dalam dunia medis disebut dengan istilah perilaku berisiko tinggi (high risk behavior). Perilaku berisiko tinggi adalah segala perilaku seksual dan non seksual yang menimbulkan risiko dan memungkinkan terjadinya penularan/infeksi HIV/AIDS. Risiko terkena atau tertular HIV adalah sebagai situasi yang diambil yang dapat membahayakan kesehatan seseorang tanpa diketahui. Seseorang dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatu kesempatan untuk terkena virus karena perilakunya, baik seksual maupun non seksual. HIV merupakan virus yang rentan menginfeksi orang-orang dengan perilaku berisiko, khususnya perilaku yang cenderung menyebabkan terjadinya kontak cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani dan cairan vagina. Faktor ketidakpedulian sesorang dan kurang/tidak adanya pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga berperan membuat rentannya individu terinfeksi HIV/AIDS. Selanjutnya juga ada faktor biologis, budaya, ekonomis dan psikologis yang membuat orang berisiko tertular HIV (Sulistiawati, 2013).

Hasil wawancara dengan beberapa ODHA dari ibu rumah tangga (tertular dari suami) diketahui bahwa mereka juga belum memiliki pengetahuan dan penularan HIV/AIDS secara medis. Mereka sangat kaget ketika suaminya dinyatakan positif HIV/AIDS, dan tak lama kemudian informan juga dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS (pengguna narkoba jarum suntik). Hal ini tentu tak pernah dia bayangkan sebelumnya akan mendapatkan penyakit tersebut dari suaminya, dan akhirnya juga menularkan kepada anaknya. Selanjutnya informan lainnya juga menyatakan bahwa suaminya sudah meninggal akibat tertularnya penyakit HIV/AIDS tersebut beberapa tahun yang lalu. Sebagai istri dia merasa

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

45 tidak pernah melakukan perilaku yang berisiko, tetapi dengan kondisi sebagai ODHA dia tidak memiliki pilihan selain harus hidup dengan virus di tubuhnya hingga batas waktu yang tidak menentu. Meskipun demikian, informan menyatakan harus bisa menerima cobaan hidup yang paling berat ini dengan iklas dengan tetap semangat serta tidak lupa menjalankan perawatan (minum obat) secara teratur.

Menyikapi kasus HIV/AIDS yang terjadi pada ibu rumah tangga di atas, tampak bahwa perlakuan terhadap perempuan yang tidak sama dengan laki-laki dalam berbagai hal juga turut memberikan sumbangan pada tingginya kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Adanya anggapan bahwa dunia perempuan adalah dapur, sumur atau dunia rumah tangga dapat menghambat akses terhadap informasi termasuk informasi tentang HIV/AIDS. Kekurangan informasi ini mengakibatkan banyak sekali perempuan yang tersentak kaget setelah suami mereka sakit dan kesehatannya menurun drastis kemudian dibawa ke rumah sakit lalu meninggal. Kemudian mereka diminta tes bersama dengan anak-anak mereka dengan hasil semuanya positif HIV. Dalam kondisi ini perempuan tidak tahu harus berbuat apa ketika baru saja ditinggal mati suami, kemudian baru menyadari bahwa dirinya dan anak-anaknya yang sama-sama masih terlihat sehat ternyata terinfeksi HIV (Faqih dkk, 2013).

Informan lainnya juga menyatakan bahwa dia mulai memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS berdasarkan pengalaman suaminya yang dinyatakan posistif HIV/AIDS, tetapi dia belum mendapatkan pengetahuan tersebut secara benar dan langsung dari sumber yang terpercaya (dokter/tenaga kesehatan). Suaminya pernah dirawat di rumah sakit dan dinyatakan mengidap penyakit HIV/AIDS pada tahun 2009. Adapun gejala yang dialami suaminya pada waktu di bawa ke rumah sakit tersebut adalah sakit kepala yang sangat hebat dan ada virus toksoplasma. Kemudian dokter menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah, dan hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

46

bahwa suaminya divonis terinfeksi virus HIV. Informan kemudian baru mengetahui bahwa salah satu penyebab penularan virus HIV adalah melalui penggunaan narkoba jarum suntik yang berganti-ganti.

Berdasarkan pengalaman dan perilaku suaminya yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, maka ketika informan mengalami gejala mata merah, lidah menjamur, bibir penuh dengan sariawan, tubuh tidak bisa berdiri (tahun 2000), dan ditambah dia juga pernah menggunakan narkoba jenis putaw, maka dia langsung memeriksakan kesehatannya ke Klinik Serunai di Rumah sakit Achmad Mochtar. Dari hasil pemeriksaan darah ternyata dia juga dinyatakan mengidap virus yang mematikan tersebut.

Informasi dan pengetahuan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS yang lebih lengkap kemudian informan dapatkan langsung dari tenaga kesehatan (konselor) dan dari anggota Komisi Penanggunglangan HIV/AIDS Kota Bukittinggi. Lebih lanjut disampaikan bahwa penularan

Dalam dokumen Kajian Pengembangan Penanggulangan HIVAIDS (Halaman 47-80)

Dokumen terkait