• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengembangan Penanggulangan HIVAIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pengembangan Penanggulangan HIVAIDS"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:

(2)

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:

(3)

i ABSTRAK

Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun 2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru. Bukittinggi merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah kasus terbanyak kedua (148 kasus), dan mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS, mendeskripsikan implementasi/pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, dan merumuskan pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi, Sedangkan data sekunder dilakukan melalalui penelusuran dokumen/laporan penelitian dari instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan standar keilmiahan sumber data. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya kasus HIV/AIDS yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan (lingkungan sosial dan budaya) dan faktor akses negatif dari ineternet. Beberapa kendala dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS, keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll. Selanjutnya beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah strategi peningkatan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara komprehensif, pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaaan, peningkatan akses jangkauan pelayanan dan dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Strategi penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya tersebut disusun dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan dalam berbagai alternatif kegiatan. Strategi dan program yang disusun diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun berikutnya di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

(4)

ii

EXECUTIVE SUMMARY

Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari tingkat low menjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %) pada sub populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun), wanita penjaja seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki lain dan waria (Simarmata, 2010).

Di tinjau dari case rate kasus AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia,

case rate nasional tahun 2013 adalah sebesar 17,2. Sedangkan jika dilihat dari

case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat berada

pada peringkat 8 dari 34 propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini berada di atas case rate kasus AIDS nasional (17,2 ).

Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah penyebarannya semakin meluas. Trend jumlah kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Sumatera dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun 2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.

Walaupun jumlah kasus paling banyak di Kota Padang (348 kasus) dan diikuti Bukittinggi (148 kasus), namun Kota Bukittinggi mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75.

(5)

iii

lain adalah Prevalensi HIV/AIDS dari total populasi dan proporsi jumlah penduduk yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDs.

Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS yang disebabkan oleh faktor perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan sebagai masalah kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, permasalahan HIV/AIDS juga memerlukan penanggulangan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan dianalisis mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif solusi dalam upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS.

Tujuan Penelitian secara khusus adalah 1). Mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS, 2). Mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, dan 3). Merumuskan pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.

(6)

iv

wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dengan pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kasus baru HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi menunjukkan peningkatan terus dari tahun 2012 sampai dengan 2014, yaitu dari 33 kasus (tahun 2012) meningkat menjadi 40 kasus (tahun 2013), dan meningkat cukup tajam menjadi 72 kasus (Agustus 2014). Penderita HIV/AIDS tidak hanya berasal dari Kota Bukittinggi, tetapi juga berasal dari luar Kota Bukittinggi, yaitu dari Kota Payakumbuh, Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan kab/kota lainnya.

Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita HIV/AIDS dari tahun 2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita adalah dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Dari kelompok usia, persentase kumulatif HIV/AIDS (2007-2013) yang berasal dari kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih besar yaitu sebesar 58%,15 laki-laki dan 55,93% perempuan.

Hasil penelitian mengungkapkan ada beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya kasus HIV/AIDS yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan (lingkungan sosial dan budaya) dan faktor dari pengaruh kemajuan teknologi informasi. Dari faktor perilaku, perilaku seksual yang tidak aman merupakan faktor resiko terbesar dalam penularan HIV/AIDS saat ini. Sebagian besar penderita belum mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar, sehingga mereka tidak menyadari bahwa perilaku yang pernah dilakukan sebelumnya berisiko untuk tertularnya infeksi HIV. Pada saat ini faktor risiko terbanyak dari kasus HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas pada kelompok homoseksual (data RSAM tahun 2014) yaitu sebanyak 32,43%, dan diikuti resiko penularan dari heteroseksual (25,6%).

(7)

v

HIV/AIDS. Kondisi lingkungan keluarga yang dianggap kurang harmonis, yang mana masing-masing anggota keluarga tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya dengan baik (seperti adanya perpecahan keluarga dan kesibukan orang tua dalam mencari nafkah) telah memberikan pengaruh kepada perilaku menyimpang seperti narkoba dan seks bebas. Selanjutnya pengaruh lingkungan sosial (lingkungan pertemanan) juga bisa memberikan situasi yang membuka peluang terjadinya homoseksualitas. Hal ini juga dimungkinkan karena kurangnya pengawasan dari pihak keluarga. Apalagi saat ini ada juga ada kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan kelembagaan adat relatif kurang. Di samping itu, akses negatif dari internet juga telah berdampak terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks bebas.

Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota Bukittingi dan KPA Kota Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain melakukan sosialisasi, penjangkauan dan pendampingan kepada kelompok resiko tinggi, pertemuan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait, LSM peduli AIDS ODHA dan kelompok resiko tinggi, koordinasi layanan kesehatan, dll. Namun demikian, terdapat adanya beberapa kendala antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS, keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll.

(8)

vi

keluarga, ninik mamak dan kelembagaan adat terhadap penerapan nilai-nilai sosial budaya dan agama dalam rangka pencegahan & penanggulangan HIV/AIDS, 3). Peningkatan akses jangkauan pelayanan, dan 4). Dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

(9)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan akhir penelitian dengan judul Kajian Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya.

Mencermati perkembangan temuan kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan terus kita layak prihatin, karena penularan serta wilayah penyebarannya yang semakin meluas. Kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS seperti ini menyebabkan beban sosial dan ekonomi menjadi lebih berat lagi termasuk pembangunan manusia ke depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang intensif, terintegrasi dan terkoordinasi untuk menghasilkan capaian program dengan cakupan yang lebih efektif, efesien dan berkelanjutan.

Penelitian merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk menghasilkan beberapa bahan masukan dalam perumusan kebijakan bidang kesehatan khususnya dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Penelitian yang berjudul Kajian Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya telah dilaksanakan melalui kegiatan Pengembangan Kapasitas Peneliti pada Bidang Litbang Bappeda Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS, mendeskripsikan implementasi atau pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, dan merumuskan pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.

(10)

viii

pengambil kebijakan dalam merencanakan program dan kegiatan untuk penanggulangan HIV/AIDS, dan semoga dapat ditindaklanjuti dan bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Padang, Desember 2014

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat

Kepala,

Ir. Afriadi Laudin, MSi Pembina Utama Madya NIP.19580521 198503 1 015

(11)

ix DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Executive Summary ... ii

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... ix

Daftar Tabel ... xi

Daftar Grafik... xii

Daftar Singkatan/Akronim dan Istilah ... xiii

[ BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... ... 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian... 10

1.5. Keluaran penelitian... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Penjelasan HIV dan AIDS... 11

2.2. Tes dan Konseling HIV

atau

Voluntary Counseling and Testing (VCT) untuk Pencegahan... 14

2.3. Perilaku Kesehatan dan Penyakit... 15

BABIII. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1. Lokasi Penelitian ... 23

3.2. Disain Penelitian... 23

3.3. Teknik Pengumpulan Data... 24

3.4. Informan Penelitian... 24

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 29

4.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian... 29

4.1.1. Kondisi Geografis ... 29

4.1.2.Keadaan Penduduk.... ... 4.1.3. Kondisi Ekonomi ... 30 31 4.1.4.Sarana Kesehatan ... 31

(12)

x

4.3. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Tingginya kasus HIV/AIDS... 4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS... 4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang

Beresiko Terhadap HI/AIDS ...

40 40 42 4.3.3. Faktor Lingkungan... 53 4.3.4. Faktor Akses Negatif Dari Internet... 62 4.4. Implementasi Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS.... 64 4.4.1. Kebijakan-kebijakan yang Terkait Dengan

Penanggulangan HIV/AIDS ... 4.4.2. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS di

KPA Kota Bukittinggi ...

64 66 4.4.3. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS yang

dilaksanakan Dinas Kesehatan... 75 4.4.4. Dukungan Beberapa Lintas Sektor dalam Upaya

Penanggulangan HIV/AIDS

82 4.4.5. Beberapa Permasalahan/Hambatan Dalam

Penanggulangan HIV/AIDS ... 91 4.4.6. Permasalahan/Hambatan dalam Implementasi

Program ... 94 4.5. Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS

Berdasarkan Sosial Budaya ... 97

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 113

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.8 Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS

BerdasarPendekatan Sosial Budaya ... 104 Tabel 4.9. Rencana Aksi Pengembangan Strategi Penanggulangan

HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya...107

Tabel 4.1 Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan ... 31 Tabel 4.2 Jumlah Titik Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi... Tabel 4.3 Jumlah Estimasi Populasi Kunci Berdasarkan Faktor Rsiko Di Kota Bukittinggi...

71 71 Tabel4.4 Jumlah Tenaga Terlatih Yang Terdapat di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan ... 76 Tabel 4.5. Capaian Layanan IMS tahun 2013 ... 81 Tabel 4.6Capaian Layanan HIV Tahun 2013 ...

Tabel 4.7 Analisis SWOT Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya ...

(14)

xii

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko

Tahun 2014 ... 39 Grafik 4.6Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko

Tahun 2013 ... 39 Grafik 4.7 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun 2007-2013 ...41 Grafik 4.8Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin

Dan Umur tahun 2007-2013 ...42 Grafik 1.1Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014

(s/d Juni 2014) di Indonesia ... Grafik 1.2 Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014 (s/d Juni 2014) di Indonesia...

2 2 Grafik 1.3 Case Rate AIDS di Indonesia ... ... 3 Grafik 1.4Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbar tahun 2013 ...

Grafik 1.5 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS

Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2002-2013 ... 4 5 Grafik 1.6 Case Rate Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2013... 6 Grafik 4.1 Kumulatif Penemuan Kasus HIV Positif

Tahun 2007-2013 ... Grafik 4.2 Kumulatif Penemuan Kasus HIV/AIDS di RSAM

Bukittinggi Tahun 2012-2014 ... 33 34 Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM

Bukittinggi Tahun 2012-2014 ... 34 Grafik 4.4 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal

(15)

xiii

DAFTAR SINGKATAN/AKRONIM DAN ISTILAH

AIDS : Acquired Immunnodeficiency Syndrome ARV : Antiretroviral

BCL : Behaviour Change Intervensi Balita : Bawah lima tahun

Batita : Bawah Tiga Tahun

Balitbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah CST : Care Support and Treatment

Dinkes : Dinas Kesehatan

GWL : Gay, Waria, dan Lelaki Suka dengan Lelaki HIV : Human Immunodeficiency Syndrome HRM : High Risk Men

IMS : Infeksi Menular Seksual IPM : Indeks Pembangunan Manusia Jamkemas : Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah KDS : Kelompok Dukungan Sebaya Kemenkes : Kementerian Kesehatan

KIE : Komunikasi, Informasi, Edukasi KPA : Komisi Penanggulangan AIDS

KPAD : Komisi Penanggulangan AIDS Daerah KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional KPAP : Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi KPAK : Komisi Penanggulangan AIDS Kota

LSL : Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki- LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs : Millenium Development Goals

NAPZA : Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif. NGO : Non Governmental Organization

ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS Penasun : Pengguna Napza suntikta Perda : Peraturan Daerah

Perwako : Peraturan Walikota Perbup : Peraturan Bupati

(16)

xiv Puskel : Puskesmas Keliling

PMTCT : Prevention Mother To Chlild Transmision RSAM : Rumah sakit Achmad Mochtar

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga

TBC : Tuberkulosis

(17)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 1

I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Kita sadari bahwa HIV/AIDS semakin berpotensi untuk menjadi masalah pembangunan masyarakat di Indonesia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebihrentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).

Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah berlangsung lebih dari 20 tahun, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari tingkat lowmenjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %) pada sub populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun), wanita penjaja seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki lain dan waria (Simarmata, 2010).

(18)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

2

kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (26,0%) dan kelompok umur 40-49 tahun (20,4%).

Grafik 1.1.Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari Tahun 2005 - 2014 (s/d Juni 2014) di Indonesia

Sumber: Kemenkes (2014)

Grafik 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS dari Tahun 2005 - 2013 (s/d September 2013) di Indonesia

Sumber: Kemenkes (2014) 0

20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000

859 7,195 6,048 10,3629,79321,59121,03121,51115,534 142,951

HIV

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000

5,1843,6654,6555,1146,0736,9077,3128,7476,2661,700 55,623

(19)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 3

Di tinjau dari case rate kasus AIDS(rate kumulatif AIDS) di Indonesia, pada grafik 1.3terlihat bahwa case rate nasionaltahun 2013 adalah sebesar 17,2. Sedangkan jika dilihat dari case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia, Provinsi Papua memilikicase rate tertinggi dalam kasus HIV/AIDS yaitu sebesar319,9,dan Provinsi Sumatera Barat berada pada peringkat 8 dari 34 propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini tampaknya berada di atas case rate kasus AIDS nasional (17,2 )

Grafik 1.3. Case Rate AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia tahun 2013

Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)

(20)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

4

Sampai dengan kondisi akhir tahun 2013 tercatat kumulatif kasus AIDS di Sumatera Barat sebanyak 948 orang dan kumulatif kasus HIV sebanyak 964 orang (Dinkes, 2014). Kondisi peningkatan penemuan kasus ini juga dapat mencerminkan bahwa akses terhadap layanan HIV-AIDS semakin meningkat.

Grafik 1.4: Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbartahun 2013 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar (2014)

Distribusi jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS tersebar di 19 kabupaten

dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Pada grafik 1.5 terlihat bahwa distribusi

jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS terbesar terdapat di Kota Padang diikuti

oleh Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kota

Payakumbuh. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa sebagian besar penemuan kasus

di seluruh kab/kota sudah dalam status AIDS.

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

HIV 0 0 0 0 47 19 6 227 131 134 200 200

AIDS 1 0 6 12 44 102 105 150 128 130 120 150 0

50 100 150 200 250

J

u

m

la

(21)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 5

Grafik1.5 :Jumlah Kumulatif Kasus HIV-AIDS per Kab/Kota tahun 2002 – 2013 Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)

Walaupun jumlah kumulatif kasus AIDS paling banyak di Kota Padang(383 kasus) dan diikuti Bukittinggi (148 kasus) pada grafik 1.5 diatas, namun pada grafik 1.6 tampak bahwa Kota Bukittinggi mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75, sedangkan Kota Padang hanya sebesar 35, 79, dan bahkan rate kumulatif dari Kota Bukittinggi ini melebih case rate Provinsi Bali yang hanya 93.4 (grafik 1.3).

(22)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

6

Grafik 1.6. Case rate AIDS (rate kumulatif AIDS) per kab/kota di Sumbar tahun 2013

Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)

Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota besar dan kota wisata di Provinsi Sumatera Barat yang sarat dengan keindahan alam, budaya, dan penduduknya yang agamais. Namun melihat kondisi permasalahan kasus HIV/AIDS di Kota Bukittinggi tersebut tentunya harus benar-benar disikapi dengan serius.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai MDGs dalam kurun waktu 1990-2015 adalah memerangi HIV/AIDS (tujuan 6), dengan target mengendalikan penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target MDGs

0

(23)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 7

adalah persentase penduduk umur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa secara nasional tingkat pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDadalah relatif rendah, di mana 11,4 persen penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS.Provinsi dengan persentase urutan tertinggi adalah DKI Jakarta (21,6%), dan Provinsi Sumatera Sumatera Barat menempati urutan ke 21, dengan 9 % penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS (Kemenkes, 2010).

Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran virus HIV/AIDS ini, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS, dan salah satunya adalah dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). KPAN ini terbentuk didasarkan pada Peraturan Presiden No.75/2006, yang melibatkan 18 Departemen dan lima organisasi LSM (Kemenkes,2010).

Provinsi Sumatera Barat juga sudah melakukan beberapa upaya dalam pengendalian HIV/AIDS dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2008. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk memutus rantai penularan adalah dengan meningkatkan penemuan kasus melalui upaya peningkatan akses layanan HIV/AIDS, baik VCT (Voluntary Concealing Testing), CST (Care Support and Treatment), PMTCT (Prevention Mother To Chlild Transmision), dan pelayanan lainnya (Pemerintah Provinsi, 2011).

(24)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

8

pembinaan terhadap penderita positif HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Walaupun beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah Kota Bukittinggi dalam penanggulangan HIV/AIDS, namun kondisi perkembangan kasus HIV/AIDS tampaknyasulit untuk dikendalikan dan terus saja meningkat dari tahun ke tahun. Permasalahan HIV/AIDS adalah merupakan fenomena gunung es, di mana kasus yang tampak hanya sebagian kecil, tetapi yang sesungguhnya terjadi jauh lebih besar. Pada hal jika ditinjau penduduk Sumatera Barat yang mayoritas suku Minangkabau, dikenal sebagai penganut agama Islam yang kuat dan teguh dengan adat dan tradisi mereka. Falsafah “Adat Basandi Syarak

Basandi Kitabullah, Syarak mangato, Adat Mamakai”adalah filosofis dan jati diri utama masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara normatif mempunyai keseimbangan hidup antara agama dan budaya. Islam memberikan fondasi bagi prinsip kehidupan yang agamais, sementara sistem adat memberikan fondasi bagi kehidupan yang berbudaya (Bappeda, 2013).

Jika dilihat dari Indek Pembangunan Manusia (IPM), Kota Bukittingi saat ini adalah yang tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (79,29) pada tahun 2013. Namun, kondisi tersebut tidak cukup tanpa dilandasi dengan kematangan emosi yang dilandasi nilai-nilai agama dan adat Minangkabau. Selanjutnya dengan adanya perkembangan peradaban yang diikuti dengan perkembangan informasi dan teknologi telah banyak membawa pengaruh ke dalam sendi-sendi kehidupan, antara lain adalah penerapan nilai-nilai agama dan adat dewasa ini yang mulai menurun dan menjadi perhatian semua kalangan (Bappeda Kota Bukittingi, 2010).

(25)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 9

Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS disebabkan oleh faktor perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan sebagai masalah kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, permasalahan HIV/AIDS juga memerlukan penanggulangan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan dianalisis mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif solusi dalam upaya penanggulanganpenyakit HIV/AIDS.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi penanggulanganHIV/AIDS yang berdasarkan dengan pendekatan sosial budaya?

1.3. Tujuan Penelitian TujuanUmum:

Mengembangkan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.

Tujuan Khusus:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor (faktor internal dan eksternal penderita) yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS.

(26)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

10

3. Merumuskan pengembangan strategi penaggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS, dan dapat ditindaklanjuti serta dimanfaatkan oleh instansi terkait, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

1.5.KeluaranPenelitian

(27)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar11

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PenjelasanHIV dan AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).

Biasanya orang yang terinfeksi HIV dapat hidup bertahun-tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mereka mungkin tampak sehat dan merasa sehat, tetapi dapat menularkan virus kepada orang lain. AIDS adalah tahap akhir infeksi HIV, dan mereka yang terkena AIDS semakin lama akan semakin lemah karena badanya tidak mampu melawan penyakit. Timbulnya AIDS setelah terinfeksi HIV 7-10 tahun, sedangkan pada anak-anak dapat berkembang lebih cepat. AIDS tidak dapat sembuh, tetapi obat-obat baru dapat membuat penderita AIDS hidup lebih lama (Kemenkes, 2010).

Cara penularan HIV pada umumnya adalah melalui hubungan heteroseksual, penggunaan jarum suntik bersama padapengguna narkoba suntik (Penasun), penularan dari ibu ke bayi selama periode kehamilan, kelahiran dan menyusui, tranfusi darah yang tidak aman dan praktek tatto (Kemenkes, 2010).

(28)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

12

HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang juga dipakai oleh penderita HIV/AIDS. HIV/AIDS juga tidak tersebar melalui nyamuk atau serangga lain (Kemenkes, 2007).

Tanda-tanda klinis penderita AIDS adalah berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis, dan dimensia/HIV ensefalopati.

HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu orang-orang yang berperilaku seksual (para homo seksual dan heteroseksual) yang suka berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom, pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, pasangan seksual pengguna narkoba suntik, bayi yang ibunya positif HIV.

Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :

1. Saluran pernafasan.

Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seperti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC. 2. Saluran Pencernaan.

Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diare yang kronik.

(29)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar13

Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.

4. System Persyarafan.

Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten. 5. System Integument (Jaringan kulit).

Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.

6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita.

(30)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

14

2.2. Tes dan Konseling HIV

atau

Voluntary Counseling and Testing (VCT) untuk Pencegahan

Kebanyakan orang pengidap HIV terlihat sehat dan tidak terlihat tandaatau gejala dari infeksi. Status HIV seseorang hanya dapat diketahui dengan melakukan tes HIV. Salah satunya melalui layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing).Voluntary Counseling and Testing (VCT) dalam bahasa Indonesiadisebut konseling dan tes sukarela. VCT merupakan kegiatan konselingyang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum atau sesudah tesdarah untuk HIV dilaboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebihdahulu mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Proses VCT inidiberlakukan bagi orang-orang yang tergolong berisiko tinggi terhadappenularan HIV/AIDS, dan merupakan salah satuupaya untukmengecek kebenaran, apakah seseorang tersebut terindikasikan berstatusHIV positif atau negatif.

(31)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar15

2.3.Perilaku Kesehatan dan Penyakit

Memahami kondisi masyarakat merupakan modal awal dalam melakukan pengembangan berbagai bentuk program dan manifestasinya, sebaliknya ketidakmengertian tentang kondisi masyarakat merupakan langkah awal gagalnya program pengembangan tersebut. Pengetahuan tentang masyarakat juga menjadi dasar dalam melakukan adaptasi berbagai model pengembangan, mengingat saat ini program sedapat mungkin mempertimbangkan kebutuhan lokal dan permasalahan konkret yang dihadapi oleh suatu masyarakat tertentu(Notoatmodjo, 1997).

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, dan saling terkait dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Dalam melakukan pemecahan masalah tidak hanya ditinjau dari segi kesehatannya sendiri, namun harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap “sehat-sakit” atau kesehatan tersebut (Notoatmodjo,1997).

Masalah kesehatan masyarakat, pada dasarnya menyangkut dua aspek yang utama, yaitu aspek fisik seperti tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat (Sarwono, 1996).

(32)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

(33)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar17

1. Lingkungan

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat beragam antara lain yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.

2. Perilaku

Faktor perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat,karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada dirinya.

3. Pelayanan kesehatan

(34)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

18

4. Keturunan

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang terdapat dalam diri manusia dan dibawa sejak lahir, misalnya dapat dilihat dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes dan asma.

Jika ditinjau dari keempat faktor tersebut, faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit untuk ditanggulangi, dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat (Notoatmojdo, 2010).

Perilaku kesehatan pada dasarnya merupakan suatu respons seseorang (organisme) terhadap suatu stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati (misalnya pengetahuan, persepsi atau motivasi) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Respon menurut Sorlita Sarwono (1996) dapat bersifat fasif (tanpa tindakan: berfikir berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Dengan batasan ini, perilaku kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman, khususnya pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan dengan kesehatan.

Perilaku kesehatan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua , yakni:

1). Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat, yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah penyakit, penyebab penyakit, atau penyebab masalah kesehatan.

(35)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar19

perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan tradisional seperti dukun, maupun pengobatan modern seperti rumah sakit, pukesmas, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku, menurut Blum (dalam Sarwono,1996) mempunyai peranan yang lebih besar dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan bila dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri. Hasil beberapa pengalaman menunjukkan bahwa penyediaan dan penambahan sarana pelayanan tidaklah selalu diikuti oleh peningkatan pemanfaatan sarana-sarana tersebut.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, faktor sosial budaya merupakan faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk perilaku manusia. Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku antara lain meliputi struktur sosial, pranata-pranata sosial, dan permasalahan-permasalahan sosial lainnya. Faktor budaya sebagai faktor ekternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain mencakup nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti persepsi, pengetahuan, motivasi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2010).

Salah satu teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat adalah teori Lawrence Green. Green menyatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku (non perilaku). Faktor perilaku itu sendiri ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:

(36)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

20

2). Faktor- faktor predisposisi (pre disposing factors), yaitu faktor-faktor yang memberikan kemudahan atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain tradisi, pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, norma sosial, dan sebagainya.

3). Faktor-faktor penguat (reinforcing factors merupakan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong terjadinya perilaku, seperti sikap dari perilaku petugas kesehatan. Tokoh masyarakat juga merupakan salah satu contoh dari faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Selain itu, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintah pusat atau daerah juga termasuk faktor penguat perilaku. Determinan perilaku itu menurut Green secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut:

B = Behavior F = Fungsi

Pf = Predisposing faktors Ef = Enabling faktors Rf = Reinforcing faktors

Selain faktor perilaku, juga terdapat aspek non perilaku yang dapat mempengaruhi pemafaatan pelayanan kesehatan, dan ini berhubungan dengan

(37)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar21

dana baik untuk biaya pengobatan maupun biaya untuk mencapai pelayanan kesehatan (Notoatmojdo, 2010).

Pembicaraan mengenai perilaku kesehatan dan penyakit tidak dapat dipisahkan dari pengertian sehat dan sakit. Hal ini sangat beralasan karena penilaian individu terhadap status kesehatannya merupakan salah faktor yang menentukan perilakunya, baik perilaku sakit maupun perilaku sehat. Perilaku sakit diartikan sebagai salah bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, pejagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi (Elfemi, 2003).

Foster (1986) menyatakan bahwa dasar utama penentuan tersebut (bahwa ia sehat atau hanya mengidap suatu penyakit ringan yang tidak perlu diperhatikan) adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosial sehari-hari seperti biasa. Selanjutnya jika pada saat kegiatan menjalankan peranan-peranannya mulai terganggu barulah pengakuan bahwa ia tidak sehat dinyatakan, dan diikuti dengan usaha mencari pengobatan. Dalam konteks ini penyakit didefinisikan sebagai pengakuan social bahwa seseorang itu tidak bisa menjalankan peran normalnya secara wajar, dan harus dilakukan sesuatu terhadap situasi tersebut.

Pengertian sakit seperti tersebut sangat berbeda dengan pengertian sakit secara ilmiah (medis), di mana sakit diartikan sebagai gangguan fisiologis dari suatu organism sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Adanya perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan sebab tidak merasa mengidap penyakit (Sarwono, 1996).

(38)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

22

penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di RSAM Kota Bukiittinggi). Untuk memahami permasalahan tingginya kasus HIV/AIDS tersebut, peneliti akan melakukan penggabungan antara teori yang dikemukakan oleh Blum dan Green. Adapun faktor internal yang akan dilihat antara lain adalah latar belakang, umur, pendidikan, pekerjaan, persepsi, pengetahuan, motivasi, kebiasaan dan perilaku penderita. Sedangkan dari faktor eksternal antara lain adalah, lingkungan pekerjaan, sosial budaya(nilai-nilai, tradisi, adat dsb).

(39)
(40)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

24

III

METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014 di Kota Bukittingi, Provinsi Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa Kota Bukittingi adalah kota yang memiliki case rate AIDS paling tinggi di Provinsi Sumatera Barat, yaitu sebesar 119,75. Di samping itu, di Kota Bukittinggi juga terdapat salah satu rumah sakit layanan rujukan HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM ) tepatnya di Klinik Serunai. Penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di Klinik Serunai RSAM Bukittinggi tersebut tidak hanya berasal dari Kota Bukittinggi, tetapi juga berasal dari kabupaten/kota di luar Kota Bukittinggi.

3.2. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang – oleh sejumlah individu atau sekelompok orang – dianggap berasal dari masalah-masalah sosial. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data. Bentuk penelitian kualititatif ini menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus makna individual, dan menerjemahkan suatu persoalan (Cresswell, 2009).

(41)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar25

berupa kata-kata, dan gambar(Moleong, 2001). Dengan demikian laporan penelitian akan menjelaskan, memberikan gambaran dan berupaya untuk mengungkapkan jawaban dari pertanyaan penelitian.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data atau informasi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumen dari Dinas Kesehatan dan instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan standar keilmiahan sumber data. Data-data tersebut berupa buku-buku, laporan hasil-hasil penelitian yang relevan, jurnal/artikel hasil penelitian, dokumen dari instansi terkait.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) kepada sejumlah informan dengan menggunakan panduan/pedoman wawancara, dan melakukan observasi.

Wawancara mendalam menurut Taylor (dalam Afrizal, 2008) dapat dilaksanakan berulang-ulang antara pewawancara dengan informan. Pertanyaan berulang-ulang ini bertujuan untuk menanyakan hal-hal yang berbeda atau mengklarifikasi informasi yang sudah didapat dalam wawancara sebelumnya kepada informan yang sama. Dengan demikian, pengulangan wawancara yang dilakukan penelitibertujuan untuk mendalami atau mengkonfirmasi data, dan hal ini disebabkan wawancara dilakukan untuk mendalami sebuah persoalan.

3.4. Informan Penelitian

(42)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

26

atau orang-orang yang hanya memberikan respon terhadap sesuatu (hal-hal yang berada di luar dirinya). Oleh sebab itulah dalam penelitian kualitatif orang yang diwawancarai juga disebut sebagai subyek penelitian.

Adapun mekanisme yang digunakan peneliti untuk mendapatkan informan penelitian adalah dengan mekanisme purposive, yaitu dengan cara menetapkan kriteria-kriteria tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang yang akan dijadikan sumber informasi. Dalam penentuan kriteria ini yang terpenting adalah kriteria yang ditentukan itu harus menjamin validitas data yang dikumpulkan. Oleh sebab itu, dengan mekanisme ini, peneliti mengetahui identitas orang-orang yang pantas menjadi informan penelitiannya (Afrizal, 2008).

Informan dalam penelitian ini terdiri dari kelompok masyarakat yaitu para penderita HIV/AIDS dan kelompok berisiko (pendamping dan penjangkau) yang berjumlah 10 orang. Selanjutnya informan yang berasal instansi/lembaga terkait (Kepala/Kabid/Kasie/pemegang program di Dinas Kesehatan Kota Bukittingi),KPA Bukittinggi, Pusat-pusat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit Ahmad Muchtar, Puskesmas/pemegang program HIV/AIDS), Dinas Budaya dan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Olah Raga, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Kantor Pemberdayaan Perempuan KB,Satpol PP, praktisi lapangan, organisasi sosial masyarakat sipil (LKAM danMUI), dll.Jumlah informan dari kelompok ini adalah berdasarkan kecukupan informasi.

3.5. Pengolahan dan Analisis Data

(43)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar27

analisis data dilakukan secara bersamaan. Selama proses penelitian peneliti bisa secara terus menerus menganalisa datanya (Afrizal, 2008).

Proses analisis data dimulai dengan cara menelah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara mendalam, observasi/pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dan dokumen resmi dari instansi terkait (Moleong,2001).

Miles dan Huberman(dalam Afrizal, 2008) membagi analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap kodifikasi data yang merupakan tahap di mana dilakukan koding terhadap data. Pada tahap pertama analisis data, peneliti menulis ulang catatan-catatan lapangan yang sudah dibuat ketika wawancara mendalam dilakukan. Setelah catatan lapangan ditulis ulang secara rapi, kemudian peneliti membaca keseluruhan cacatan untuk memilih informasi yang penting dan yang tidak penting dengan cara memberikan tanda-tanda (kode). Setelah cacatan lapangan telah penuh dengan tanda-tanda, dimana dengan tanda-tanda tersebut peneliti dapat mengidentifikasi mana data yang penting dan mana yang tidak penting, maka selanjutnya peneliti beralih kepada analisis data tahap kedua.

Tahap kedua merupakan tahap lanjutan analisis, dimana peneliti melakukan kategorisasi data atau pengelompokkan data ke dalam klasifikasi-klasifikasi. Peneliti membuat kategori-kategori berdasarkan kodifikasi data, yang memilih data penting dan tidak penting pada tahap pertama.

(44)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

28

ini adalah proses kategorisasi data, menemukan pola/ tema dan mencari hubungan dengan kategori yang telah ditemukan.

Sewaktu di lapangan juga dilakukan triangulasi untuk mengetahui dan mencocokkan informasi dari berbagai instrumen dan sumber, karena instrumen dalam penelitian adalah peneliti sendiri. Dalam pelaksanaan triangulasi atau kroscek terhadap derajat kepercayaan data, peneliti juga melakukan kroscek data dengan melakukan wawancara dengan beberapa informan penderita HIV/AIDS dan SKPD terkait yang berasal dari luar Kota Bukittinggi. Hal ini didasarkan kepada data asal penderita HIV/AIDS dari luar Kota Bukittinggi yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten 50 Kota, Kota Payakumbuh, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Solok dan Kota Padang Panjang,dll.

Selanjutnya untuk merumuskan pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS peneliti menggunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses,

(45)
(46)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

29 IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1. 1.Kondisi Geografis

Secara geografis, Kota Bukittinggi berada dalam lingkup Kabupaten Agam, dan terletak pada posisi sentral dalam lingkup Provinsi Sumatera Barat maupun antar provinsi terdekat. Letak geografis ini cukup strategis terhadap lintasan regional, seperti lintasan dari Padang ke Medan, dan lintasan dari Padang ke Pekanbaru. Kota Bukittinggi telah menjadi kota titik perlintasan dari Jalur Lintas Tengah Sumatera serta jalur penghubung antara Jalur Lintas Tengah dengan Jalur Lintas Timur Sumatera.

Luas Kota Bukittinggi adalah ± 25,239 Km2 (2.523,90 ha) atau sekitar 0,06 % dari luas Propinsi Sumatera Barat. Wilayah administrasi Kota Bukittinggi terdiri dari tiga kecamatan dan 24 kelurahan, yaitu:

 Kecamatan Guguk Panjang dengan luas areal 6,831 km2 (683,10 ha) atau 27,06 % dari total

luas Kota Bukittinggi yang meliputi 7 kelurahan.

 Kecamatan Mandiangin Koto Selayan dengan luas areal 12,156 km2 (1.215,60 ha) atau 48

% dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 9 kelurahan.

 Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dengan luas areal 6,252 km2 (625,20 ha) atau 24,77%

dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 8 kelurahan.

Topografi Kota Bukittinggi berbukit dan berlembah, dan terbentang sebuah lembah canyon yang khas dan diberi nama Ngarai Sianok. Ngarai ini merupakan identitas geologis Kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi memiliki iklim pegunungan yang sejuk dengan temperatur udara berkisar antara 16,10 - 24,90C, kelembaban udara antara 82,0 -90,8% dan tekanan udara antara 220C - 250C, serta curah hujan rata-rata antara 136,4 mm/tahun.

(47)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

30

Bukittinggi dengan memanfaatkan kondisi geografis kota. Oleh karena itu dalam lingkup Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi menjadi orientasi pelayanan utama perdagangan, dan pariwisata.

4.1.2.KEADAAN PENDUDUK

Jumlah penduduk Kota Bukittinggi pada tahun berdasarkan data BPS Kota Bukittinggi tahun 2013 tercatat sebesar 114.415 jiwa/km2 dengan tingkat kepadatan 4.533 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Kota Bukittinggi tidak merata, yang mana kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Guguk Panjang dengan kepadatan penduduk 6.240 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.070 jiwa/km2 dan Kecamatan Mandiangin Koto Selayan sebanyak 3.812 jiwa/km2.

Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kesehatan, harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan kesehatan.

(48)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

31 4.1.3. Kondisi Ekonomi

Kondisi perekonomian Kota Bukittinggi pada tiga tahun terakhir relatif stabil dan menunjukan perkembangan yang cukup memuaskan. Pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin (berdasarkan Bidang Promosi dan Sumber Daya Kesehatan) tercatat sebesar 31.090 jiwa atau 27.2% dari penduduk, dimana sebesar 12.964 jiwa pelayanan kesehatannya di fasilitasi oleh Pemerintah Kota Bukittinggi melalui Jamkesda dan selebihnya melalui Jamkesmas.

Peningkatan produktifitas ekonomi Kota Bukittinggi didominasi dari sektor perdagangan dan wisata. Peningkatan ekonomi telah mendorong berkembangnya taraf kehidupan masyarakat secara makro. Meningkatnya aktifitas ekonomi menyebabkan peningkatan usaha kecil dan menengah di sektor kerajinan dan industri kecil serta mengalami kemudahan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil-hasilnya.

4.1.4. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi adalah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Puskesmas Keliling (Puskel). Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah Puskesmas di kota Bukittinggi sejak tahun 2010 adalah sebanyak 7 Puskesmas, yaitu dengan penambahan Puskesmas Plus Mandiangin, disamping Puskesmas Guguk Panjang, Puskesmas Perkotaan Rasimah Ahmad, Puskesmas Tigo Baleh, Puskesmas Mandiangin, Puskesmas Nilam sari dan Puskesmas Gulai Bancah. Tabel 4.1. Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan Kota Bukittinggi 2013

(49)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

32

Pusk. Keliling 0 0 17 0 0 17

Posyandu 0 0 0 0 131 131

Poskeskel 0 0 0 0 24 24

Rumah Bersalin 0 0 0 0 4 4

Balai Pengobatan/Klinik 0 0 0 0 1 1

Apotek 2 1 0 1 44 48

Toko Obat 0 0 0 0 13 13

IFK 0 0 1 0 0 1

Industri Obat Tradisonal 0 0 0 0 0 0

Praktek Dokter Bersama 0 0 0 0 0 0

Praktek Dokter

Perorangan 0 0 0 0 206 206

Jumlah 3 2 39 2 426 472

Sumber : Profil Kesehatan Kota Bukittinggi Tahun 2013

Rumah Sakit merupakan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang bergerak dalam kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Rumah sakit juga berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan. Di Kota Bukittinggi terdapat enam (6) Rumah Sakit milik pemerintah dan swasta yaitu sebagai berikut :

- Rumah Sakit Achmad Muchtar (RSAM),milik Pemerintah

- Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN), milik Pemerintah

- Rumah Sakit Tentara, Milik TNI

- Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi, Milik Swasta

- Rumah Sakit Madina, Milik Swasta

- Rumah Sakit Khusus THT Sitawa Sidingin, milik swasta

4.2. Gambaran Kondisi Perkembangan Kasus HIV/AIDS di KotaBukittinggi

(50)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

33

Grafik 4.1. Kumulatif penemuan kasus HIV positif tahun 2007 – 2013 di Kota Bukittinggi

Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi (2013)

Selanjutnya berdasarkan data dari RSAM Bukittinggi bahwa kasus HIV/AIDS tahun 2012-2014 (Agustus 2014) adalah sebanyak 145 kasus baru, 61 meninggal dan 27 kasus yang loss kontak (grafik 4.2). Jika dilihat dari perkembangan kasus baru HIV/AIDS sejak tahun 2012 sampai dengan 2014 (Agustus 2014), tampak bahwa selama perkembangan 2 (dua) setengah tahun telah terjadi peningkatan yang cukup tajam, yaitu dari 33 kasus tahun 2012 meningkat menjadi 40 tahun 2013, dan semakin meningkat terus pada Agustus 2014 (72 kasus), seperti terlihat pada grafik 4.3. Jika dilihat dari perkembangan kasus baru sampai bulan Bulau Agustus 2014 yaitu 72 kasus, maka dari data tersebut bisa diperkirakan akan terjadi peningkatan terus sampai dengan Bulan Desember 2014, dan bahkan diramalkan pada akhir Desember tahun 2014 bisa mencapai kurang lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya (tahun 2013 sebanyak 40 kasus).

(51)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

34

sebanyak 19 kasus (grafik 4.3). Kondisi cukup besarnya kasus yang loss kontak ini ada kaitannya dengan kurangnya kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan dan adanya stigma negatif serta diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.

Grafik 4.2. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi tahun 2012-2014

Sumber : RSAM Bukittinggi

Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi Tahun 2012-2014

(52)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

35 Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa data penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di Poliklinik Serunai RSAM Bukittinggi tidak hanya berasal dari warga Kota Bukittinggi saja, tetapi mereka juga berasal dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, dan bahkan yang berasal dari luar Kota Bukittinggi kasusnya relatif cukup banyak. Hal ini disebabkan karena Poliklinik Serunai RSAM Bukitinggi merupakan salah satu rumah sakit rujukan HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat. Jika dilihat dari persentase kasus HIV/AIDS tahun 2012-2014 berdasarkan daerah asal penderita, maka persentase HIV/AIDS terbanyak adalah berasal dari Bukittinggi (sebanyak 24,14%), dan diikuti daerah asal Payakumbuh (17,93%), Kabupaten Agam (16,55%), Kabupaten 50 Kota (13,1%), Batusangkar (6,89%) serta Kabupaten Tanah Datar sebanyak 6,89%, seperti terlihat pada grafik 4.4.

(53)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

36

Grafik 4.4. Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal tahun 2012-2014

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

(54)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

37 Pada grafik 4.4 juga terlihat bahwa sebagian penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di RSAM Bukitinggi adalah berasal dari Kabupaten 50 Kota, yaitu sebesar 13,1%. Terkait dengan hal ini, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS yang berasal dari warga Kabupaten 50 Kota memang melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi. Pada saat ini kegiatan pelayanan VCT HIV/AIDS belum ada di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten 50 Kota. Sedangkan Puskesmas yang sudah melakukan pelayanan skrining tes HIV/AIDS adalah Puskesmas Guguk, dan untuk pengobatan lebih lanjut dirujuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM).

Selanjutnya penderita HIV/AIDS juga berasal dari Kabupaten Tanah Datar dan Kota Batusangkar dengan masing-masing sebesar 6,89% (grafik 4.4). Berkaitan dengan penderita HIV/AIDS yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar menginformasikan bahwa kumulatif penderita HIV di Kabupaten Tanah Datar makin bertambah, yaitu dari 28 kasus pada Bulan Desember tahun 2013 menjadi sebanyak 31 kasus pada Bulan Juni 2014. Sebagian besar penderita tersebut melakukan

pengobatan di RSAM Bukittinggi. Kondisi penderita HIV/AIDS yang menjalankan pengobatan di RSAM Bukittinggi saat ini cukup baik. Untuk mendapatkan kondisi daya tahan tubuh yang baik, seorang penderita HIV/AIDS tentunya harus teratur minum obat ARV setiap hari, dan obat ini harus mereka ambil langsung ke RSAM Bukittinggi.

(55)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

38

kesehatan yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS masih terbatas, yang mana baru satu Puskesmas yang memiliki fasilitas LKB (Layanan Komprehensif Bersama), yaitu di Puskesmas Sungai Aur. Tenaga konselor yang tersedia adalah sebanyak 4 orang.

Kemudian penderita yang melakukan pengobatan HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi juga berasal dari Solok, dan untuk tahun 2013 jumlah kumulatif HIV/AIDS di Kota Solok sudah mencapai 20 kasus. Sebagian dari mereka melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi dan sebagian lagi di RSUD Solok dan di RSUP M. Jamil Padang.

(56)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

39 Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor

risiko tahun 2014

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

Grafik 4.6 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor risiko tahun 2013

Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah

(57)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

40

50 dan Pasaman Barat, Kota Batusangkar dan Kota Solok) juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Pada umumnya faktor risiko penularan adalah berasal dari perilaku menyimpang, dan hampir sebagian besar dilakukan pada saat mereka di rantau (Jakata, Batam, Pekanbaru,dll), seperti homoseksual, heteroseksual dan narkotika dengan jarum suntik yang bergantian. Mereka yang terpengaruh oleh gaya hidup/perilaku bebas di rantau cenderung mengakibatkan tertularnya penyakit HIV/AIDS. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang sengaja pulang kampung karena setelah diperiksa di Jakarta sudah positif HIV/AIDS. Latar belakang pekerjaan dari penderita HIV/AIDS tersebut antara lain adalah wiraswasta/usaha, sopir Padang-Jakarta, Padang-Pekanbaru pedagang Padang Jakarta, pegawai hotel/bar, penjaja seks, kuli bangunan (buruh), dll.

Menyikapi resiko penularan terkait dengan perilaku seks bebas tersebut, maka perlu untuk ditingkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS dan upaya pencegahannya melalui peningkatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat, dan meningkatkan penjangkauan terhadap kelompok yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS.

4.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TINGGINYA KASUS HIV/AIDS

4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS

Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita HIV/AIDS dari tahun

2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita adalah dengan jenis kelamin

laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin perempuan

cenderung lebih sedikit, yaitu sebesar 17,97% (Grafik 4.7). Hal ini tampaknya tak lepas dari

pengaruh pengalaman masa lalu dan perilaku perilaku menyimpang seperti seks bebas dan

(58)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

41 Grafik 4.7. Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2007-2013

Sumber : Dinas Kesehatan dan data

(59)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

42

Grafik 4.8 : Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur Tahun 2007-2013

Sumber : Dinas Kesehatan dan data diolah

4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang Berisiko Terhadap HI/AIDS

Setiap individu di manapun berada tentunya menginginkan bahwa mereka dan keluarganya dilindungi kesehatannya dan terhindar dari berbagai penyakit. Selanjutnya kita juga memahami bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang secara sengaja ingin mengalami penyakit tertentu, apalagi penyakit HIV/AIDS. Mereka yang sekarang menderita HIV/AIDS mungkin atau tidak pernah membayangkan bahwa perilaku yang mereka lakukan sebelumnya telah mengakibatkan kenyataan yang tidak terduga yaitu penyakit HIV/AIDS.

(60)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

43 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa penderita HIV/AIDS bahwa sebagian besar informan (penderita HIV/AIDS) mengakui belum memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar, sehingga hal inilah yang menyebabkan mereka tidak menyadari perilaku yang pernah dilakukan sebelum mereka divonis HIV/AIDS turut berperan membuat rentannya terinfeksi HIV/AIDS. Mereka sebelumnya hanya mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang menjijikan dan mematikan, dan kurang mengetahui tentang penyebab atau risiko penularan dari penyakit tersebut. Seperti yang diungkapkan informan bahwa awalnya dia pergi berobat ke dokter adalah karena mengalami gejala mencret dan batuk-batuk terus. Selanjutnya informan juga mengakui dia mempunyai riwayat penyakit penderita Tuberkulosis (TB) dan toksoplasma. Mengingat kondisinya yang demikian dokter kemudian menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah, dan ternyata dia dinyatakan mengidap virus HIV. Hal ini tentunya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, dan dari dokter dia diberikan penjelasan terkait HIV/AIDS dan resiko penularan HIV/AIDS.

(61)

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

44

yang berisiko tersebut telah menyebabkan informan tertular penyakit HIV/AIDS. Namun informan masih bersyukur bahwa istri dan anak-anaknya tidak tertular penyakit tersebut.

Perilaku yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV tersebut di dalam dunia medis disebut dengan istilah perilaku berisiko tinggi (high risk behavior). Perilaku berisiko tinggi adalah segala perilaku seksual dan non seksual yang menimbulkan risiko dan memungkinkan terjadinya penularan/infeksi HIV/AIDS. Risiko terkena atau tertular HIV adalah sebagai situasi yang diambil yang dapat membahayakan kesehatan seseorang tanpa diketahui. Seseorang dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatu kesempatan untuk terkena virus karena perilakunya, baik seksual maupun non seksual. HIV merupakan virus yang rentan menginfeksi orang-orang dengan perilaku berisiko, khususnya perilaku yang cenderung menyebabkan terjadinya kontak cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani dan cairan vagina. Faktor ketidakpedulian sesorang dan kurang/tidak adanya pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga berperan membuat rentannya individu terinfeksi HIV/AIDS. Selanjutnya juga ada faktor biologis, budaya, ekonomis dan psikologis yang membuat orang berisiko tertular HIV (Sulistiawati, 2013).

Gambar

Grafik 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus  AIDS dari Tahun 2005 - 2013 (s/d September 2013) di Indonesia
Grafik 1.3. Case Rate AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia tahun
Grafik 1.4:  Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbartahun 2013 Sumber:   Dinas Kesehatan  Provinsi Sumbar (2014)
Grafik 1.6. Case rate AIDS (rate kumulatif AIDS) per kab/kota di Sumbar tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nofeenamo seemie megaluno, “Noafa pedaghoo anagha?” Nobhalomo, “Rampahano kaparendeno kontu foliu-liuno kambaka nefumaaku, dotaburiane dagi moneu sedodo.” Noeremo

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi kehamilan usia muda pada umur kehamilan trimester satu sampai dengan memasuki trimester ke dua, begitu hebat dimana segala apa

Kalau dalam pencurian biasa ancaman pidananya maksimal lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, maka pencurian dengan kekerasan yang

Hasil penelitian berdasarkan regresi linier sederhana menunjukkan penggunaan fasilitas belajar berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas X dan XI IPS di SMAN 1 Teluk

Abstrak Pada kasus-kasus aktual di lapangan, penelitian mengenai kondisi air tanah adalah sulit untuk dilakukan, sehingga untuk mempelajari lebih lanjut mengenai tinggi muka air

Hasil penelitian pada masyarakat Kelurahan Peterongan ini menunjukkan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS masyarakat antara lain

Implementasi tahun ke-2 proyek PHK-PKPD Fakultas Kedokteran UMI resminya dimulai bulan Januari 2012 tetapi karena masalah revisi TOR yang baru mulai dilakukan pada bulan

Oleh karena itu berikut rangkuman implementasi kebijakan penyeragaman tarif, dan implementasi kebijakan spesialisasi produksi yang mengacu pada pengimplementasian 12