• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Sejarah Singkat Kabupaten Dairi dan Desa Bongkaras 2.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Dairi.

Dairi merupakan sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data resmi Kabupaten Dairi, pemerintahan ini telah terbentuk sebelum kehadiran kolonial Belanda, yaitu sekitar tahun 1852 - 1942. Adapun struktur pemerintahan saat itu adalah:

1. Raja Ekuten atau Takal Aur, sebagai pemimpin satu suak atau yang terdiri dari beberapa marga.

2. Pertaki, sebagai Pemimpin satu kuta atau kampung setingkat dibawah Raja Ekuten.

3. Sulang Silima, sebagai pembantu Pertaki pada setiap kuta (kampung), yang terdiri dari:

1. Perisangisang

2. Perekurekur

3. Pertulantengah

4. Perpunca Ndiadep

Sesuai struktur tersebut, maka wilayah Dairi dibagi dalam 5 (lima) Suak, yaitu:

1. Simsim, meliputi wilayah Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu,

Sitellu Tali Urang Jehe.

2. Keppas, meliputi wilayah Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima

Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Parbuluan.

3. Pegagan, meliputi wilayah Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging

(Sitolu Huta) dan Tanah Pinem.

4. Boang, meliputi wilayah Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang,

Singkil.

5. Kelasen, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas dan Barus.

Struktur yang dimaksud dilaksanakan berdasarkan hubungan antar suak. Hubungan tersebut sangat erat kaitannya satu sama lain, hal ini dapat dilihat dari kesamaan kebutuhan aspek sosial budaya dan terjalinnya rantai perekonomian. Kondisi daerah Dairi sebagian besar pengunungan. Mata pencaharian penduduk umumnya memproduksi hasil hutan, seperti rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu. Hasil tersebut diperdagangkan melalui pelabuhan Barus, Singkil dan Runding.

Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia, sangat mempengaruhi perubahan struktur pemerintahan di Dairi. Perubahan tersebut dapat dilihat dimana Dairi menjadi satu Onder Afdeling yang dipimpin oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang yang berasal dari penduduk Bumiputera. Kemudian, daerah Dairi Landen menjadi

bagian dari Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Pemerintahan tersebut sudah berlaku ketika adanya perlawanan Sisingamangaraja XII sampai menyerahnya Belanda atas pendudukan Nippon pada tahun 1942.

Setelah perang Sisingamangaraja XII usai (1907), wilayah Dairi dimasukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanuli Utara/Tanah Batak/Bataklanden. Keresidenan Tapanuli Utara berpusat di Tarutung yang dipimpin seorang Residen. Keresidenan Tapanuli Utara dibagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling yaitu: onderafdeeling Samosir, Toba (Balige), Hoogvlakte Van Toba (Siborong-borong), Silindung (Tarutung) dan Dairilanden. Onderafdeeling dipimpin seorang Demang. Wilayah onderafdeeling dibagi atas beberapa onderdistrik yang dipimpin Asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari beberapa negeri (bius) yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri (jaihutan). Negeri terdiri dari beberapa desa (horja) yang dipimpin Kepala Kampung (pengulu). Kampung terdiri dari beberapa dusun (huta) yang dipimpin Raja Huta. Pengulu biasanya dipilih dari salah seorang raja huta. Onderafdeeling Dairilanden berpusat di kota Sidikalang (Sangti, 1967).

Selama penjajahan Belanda, daerah Dairi mengalami pengurangan wilayah. Hal ini dikarenakan tertutupnya hubungan antar wilayah. Adapun wilayah-wilayah yang berkurang dari Dairi antara lain:

1. Tongging yang menjadi wilayah Tanah Karo

2. Menduamas dan Barus menjadi wilayah Tapanuli Tengah

4. Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang dan Runding menjadi wilayah Aceh Selatan.

Untuk mempermudah Pemerintahan Belanda, maka Belanda membagi daerah Dairi menjadi 3 (tiga) onderdistik antara lain:

1. Onderdistik Van Pakpak yang meliputi 7 kenegerian yakni; Sitelu

Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Pegagan Hulu, Parbuluan dan Silalahi Paropo.

2. Onderdistik Van Simsim yang meliputi 6 kenegerian yakni; Kerajaan, Siempat Rube, Mahala Majanggut, Sitellu Tali Urang Jehe, Salak, Ulu Merah dan Salak Pananggalan.

3. Onderdistrik Van Karo Kampung yang meliputi 5 kenegerian yakni;

Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik dan Lau Juhar.

Tahun 1942, kolonial Belanda jatuh atas pendudukan Dai Nippon. Pada saat itu hingga Republik Indonesia merdeka, Jepang tidak merubah pemerintahan. Namun Jepang mengganti istilah jabatan pemimpin dengan:

1. Demang menjadi Guntyo

2. Asisten Demang menjadi Huku Guntyo 3. Kepala Negeri menjadi Bun Dantyo 4. Kepala Kampung menjadi Kuntyo

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional di Dairi. Komite tersebut untuk mengatur pemerintahan Dairi sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1945. Untuk

melengkapi dan menampung aspirasi masyarakat, anggota komite dipilih sebanyak 35 orang yang mewakili setiap daerah Dairi dan setiap Urung (kewedanan). Agar mempermudah kerja komite maka dibentu pembantu Komite Nasionbal . Adapun tugas utama dari Komite Nasional adalah:

1. Menyelesaikan pemilihan Dewan Negeri 2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung 3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan

Pada tanggal 6 Juli 1947, Agresi Belanda menduduki Sumatera Timur. Hal ini membuat putera Dairi yang berada di sana kembali mengungsi ke Dairi. Demikian juga halnya dengan putera asal Tapanuli. Untuk melancarkan pemerintahan serta menghadapi perang melawan agresi Belanda, maka Residen Tapanuli yang dipimpin oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli menetapkan Tapanuli menjadi 4 (empat) Kabupaten. Pembagian wilayah meliputi; Silindung, Humbang, Toba Samosir dan Dairi. Keputusan tersebut berlaku mulai 1 Oktober 1947, yang kemudian ditetapkan mejadi hari jadi Kabupaten Dairi.

Setelah Dairi ditetapkan menjadi kabupaten, maka diangkat Bupati yang saat itu dipimpin oleh Paulus Manurung. Bupati berkedudukan di Sidikalang dengan memiliki 3 (tiga) wilayah kewedanan antara lain:

1. Kewedanan Sidikalang, terdiri dari Kecamatan Sidikalang dan Sumbul 2. Kewedanan Simsim, terdiri dari Kecamatan Kerajaan dan Salak

3. Kewedanan Karo Kampung, terdiri dari Kecamatn Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Menjelang Agresi Kedua tanggal 23 Desember 1948, Belanda menduduki Kota Sidikalang dan Tiga lingga. Hal ini membuat Bupati Dairi Paulus Manurung menyerah. Sebagian besar Pegawai Negeri mengungsi dari kota untuk menghindari serangan Belanda. Untuk menyusun strategi melawan agresi Belanda, maka Mayor Slamat Ginting selaku Komandan sektor III Sub teritorium VII menyusun strategi Pemerintahan Militer. Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer, wilayah Dairi dimekarkan dari 6 Kecamatan menjadi 12 Kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Parbuluan, Silalahi Paropo, Pegagan Hilir, Tiga lingga, Gunung Sitember, Tanah Pinem, Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu, Kerajaan, Salak.

Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Dairi kepada Pemerintahan Indonesia. Sejak saat itu, Pemerintahan Militer Dairi kembali dalam Pemerintahan Sipil. Selanjutnya, wilayah dairi kembali dibagi dari 12 kecamatan menjadi 8 kecamatan yakni; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Salak, Kerajaan, Silima Pungga-Pungga, Siempat Nempu, Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Tahun 1950, Kabupaten Dairi kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, yang menyatakan bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi I dan II harus kembali dilebur. Akibat dari peleburan wilayah, masyarakat Dairi dan tokoh masyarakat meminta kapada pemerintah pusat melalui Propinsi Sumatera Utara untuk menjadikan dairi daerah otonom Tingkat II.

Tahun 1958, hubungan daerah Dairi terputus dengan Tapanuli Utara (Tarutung). Hal ini dikarenakan terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Melihat hal tersebut serta menjaga Kefakuman pemerintahan, Gubernur KDH Sumatera Utara mengeluarkan Surat Perintah tanggal 28 Agustus 1958 No.565/UPS/1958 dengan menetapkan daerah Dairi menjadi wilayah Administratif yakni Koordinator Shap yang langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, atas dasar pertimbangan efesiensi dan efektivitas pemerintahan, maka pemerintah pusat menyetujui serta menetapkan pembentukan kembali Kabupaten Dairi dengan UU No. 4 Perpu 1964, terhitung mulai 1 Januari 1964, kemudian menjadi UU No.15 Tahun 1964 yang berlaku sekarang.

Tahun 2003, Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. Mulai saat itu hingga sekarang Kabupaten Dairi terbagi dari 15 kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sitinjo, Berampu, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-Pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga, Gunung Sitember, Pegagan Hilir dan Tanah Pinem. Kecamatan Silima Pungga-Pungga terbagi atas 16 desa, salah satunya adalah Desa Bongkaras yang menjadi lokasi penelitian.

2.1.2. Sejarah Desa Bongkaras.

Sejarah Desa Bongkaras tidak bisa terlepas dari sejarah marga Cibro selaku pemilih tanah ulayat saat ini. Menurut penuturan seorang keturunan marga Cibro, sekitar 300-an tahun yang lalu, pernah terjadi graha (perang saudara) di wilayah kekuasaan marga Sambo dengan kelompok pendatang yaitu Kerajaan Ujung. Saat peperangan terjadi pihak Sambo meminta bantuan dari seorang laki-laki tangguh dari luar nagari Sambo. Alhasil pihak Sambo memenangkan peperangan. Raja Sambo sangat senang atas bantuan seorang pemuda tersebut sehingga ia tidak menginginkannya pergi dari luar daerahnya. Untuk mencapai keinginannya maka raja berniat menikahkan pemuda tersebut dengan salah satu dari 7 (tujuh) putrinya. Pemuda itupun mengikuti permintaan raja dan memilih putrinya yang paling bungsu dan cantik (tetapi memiliki cacat pada kakinya) untuk dipersunting. Setelah menikah dengan putri raja, laki-laki tersebut berniat pergi ke luar kampung bersama istrinya. Sebelum pergi, istrinya meminta tanah atau hutan (gading meratah) kepada Raja Sambo untuk dijadikan areal perladangan mereka. Raja Sambo dengan senang hati mengabulkan permintaan putrinya. Saat itu, Raja memberikan daerah Tuntung Batu (kini Tuntung Batu telah dimekarkan menjadi empat desa; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian) atas permintaan putrinya.

Setelah tinggal di daerah pemberian Raja Sambo yaitu Tuntung Batu, putri raja tersebut melahirkan seorang anak dengan kondisi masih terbungkus kulit ari. Melihat kondisi itu suaminya merasa anak itu bukanlah manusia sehingga ia membuangnya ke sungai. Arus sungai yang besar membawa anak tersebut sampai

ke tengah hutan. Kemudian, seekor rusa menemukan anak itu. Rusa tersebut menjilati dan mengoyak-ngoyak bungkusan itu sampai anak itu mulai kedengaran menangis. Mulai saat itu, rusa tersebut merawat anak itu hingga berumur 7 (tujuh) tahun.

Suatu ketika, penduduk Tuntung Batu berburu rusa. Saat berburu mereka menemukan seekor rusa bersama anak manusia. Oleh karena merasa aneh, mereka membawa rusa dan anak itu ke desa, anak itupun diberi nama Brro (sejenis tanaman seperti tebu). Seiring berjalannya waktu Brro disebut menjadi Cibro. Setelah Cibro tumbuh dewasa, ia menikah dan mempunyai tiga anak. Salah satu anaknya merantau ke daerah Tanah Karo (diyakini menjadi marga Taringan), satu lagi merantau ke daerah Simalungun (diyakini menjadi marga Purba) dan satu lagi tetap tinggal di Tuntung Batu (memakai marga Cibro). Anak Cibro yang tinggal di Tuntung Batu tersebut memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu; perisang-isang, pertulan tengah, perekur-ekur. Dari mereka inilah keturunan Cibro berkembang dan tersebar hingga saat ini.

Keturunan marga Cibro mulai tinggal menyebar ke sekitar Tuntung Batu sebagai tanah ulayat mereka (tanah pemberian Raja Sambo). Salah satu wilayahnya adalah Desa Bongkaras yang merupakan salah satu desa hasil pemekaran dari Desa Tuntung Batu (desa induk). Orang yang pertama bermukim di Bongkaras bernama Kunak Cibro yang berasal dari Sapo Komil (salah satu dusun di desa Longkotan).

Tidak ada warga Bongkaras yang tahu persis asal usul nama desa. Namun menurut penuturun dari marga Cibro bahwa nama bongkaras berasal dari sebuah bongkahan pohon besar yang kerasnya seperti besi dan jumlah pohon seperti itu cukup banyak. Pada zaman dahulu daerah ini tidak dikelola oleh keluarga marga Cibro karena dianggap tidak produktif. Ketika kehadiran kelompok pendatang yang berasal dari Simalungun (marga Purba), pihak marga Cibro memberikan izin untuk di jadikan tempat parsopoan (gubuk) dan pargadong-gadongan (perladangan). Seiring berjalannya waktu, kehadiran kelompok pendatang mulai banyak menghuni Desa Bongkaras. Hingga kondisi saat ini, mayoritas penduduk berasal dari kelompok pendatang.

2.2. Keadaan Alam dan Batas Wilayah.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Desa Bongkaras merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Luas keseluruhan desa ini 760 Ha dengan batas administrasi sebagai berikut:

- sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bonian

- sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sapo Komil (Longkotan) - sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tuntung Batu

Desa Bongkaras terdiri dari 3 (tiga) dusun yakni; Dusun I dan II berada di Bongkaras I, dusun III berada di Bongkaras II. Masing-masing dusun dikepalai oleh seorang Kepala Dusun yang diangkat oleh Kepala Desa. Saat ini Kepala Desa Bongkaras adalah Marijon Manik.

Keadaan alam Desa Bongkaras terletak diantara 98°7´30¨ BT dan 2°48´30¨ LU, dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Secara umum, Desa Bongkaras berbentuk perbukitan. Sebagain daerah berbentuk dataran dengan permukaan yang bergelombang. Temperatur udara di desa tersebut 56 sampai dengan 65 C dan kelembapan anatara 70-75%. Luas keseluruhan desa ±760 Ha dengan perincian penggunaan sebagai berikut; persawahan 130 Ha, pemukiman serta perkarangannya 50 Ha, perladangan 200 Ha dan hutan 380 Ha.

Wilayah Desa Bongkaras dikelilingi oleh 7 (tujuh) daerah perbukitan (harangan/tombak) yaitu; harangan Sikalombun, harangan Batu Kapur, harangan Salapsa, harangan Panapal, harangan Simantas, harangan Parudang-udangan, harangan Barisan Manik. Pada kaki bukit (harangan) tersebut masyarakat memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman tahunan seperti gambir dan tanaman muda seperti nilam. Daerah dataran rendah desa tersebut dijadikan sebagai tempat pemukiman dan bercocok tanam. Keadaan tanah di desa ini sangat subur dan kualitas air sangat baik. Hal ini dapat terlihat dengan adanya tanaman yang bervariasi seperti padi, nilam, cabe, jagung, kacang-kacangan dan budidaya ikan mas.

Wilayah Desa Bongkaras yang berbukit tidak terlepas dari bentuk keseluruhan Kabupaten Dairi. Dairi merupakan deretan panjang pegunungan Bukit Barisan yang terbentang sepanjang pulau Sumatera. Di punggung Bukit Barisan tersebut letak Kabupaten Dairi, sehingga topografi dan permukaan tanah terlihat berbukit-bukit, bergunung, berlembah, dan hanya sedikit yang mendatar.

Berikut ini merupkan gambar lokasi Desa Bongkaras:

Foto 17 Foto 28

2.3. Pola Pemukiman dan Tata Lahan.

Desa Bongkaras merupakan desa paling akhir yang dapat ditemui di arah Selatan dari Kecamatan Silima Pungga-pungga. Jarak antara kantor camat dengan Desa Bongkaras ± 4 km dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit menggunakan bus atau sepeda motor. Sebelum menemukan desa ini, jika perjalanan dimulai dari kantor Camat yang terletak di Kelurahan Parongil, maka kelompok pemukiman pertama yang dijumpai setelah ‘simpang tiga’ adalah pemukiman Desa Longkotan (bagian dusun I Desa Longkotan). Perjalanan selanjutnya akan melewati jembatan Lae Song-sang (sungai) sebagai batas wilayah Desa Longkotan dengan Desa Tungtung Batu. Kemudian akan ditemui pemukiman penduduk Desa Tuntung

7

Peta Desa Bongkaras yang diolah dari Citra Satelit

8

Batu. Selanjutnya akan ditemui Gereja HKBP sebelah kiri jalan dan sekitar 10 meter setelah gereja disisi kanan akan ditemui Masjid, maka daerah itu adalah tanah Bongkaras.

Ketika memasuki Desa Bongkaras, beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat permanen, sebahagian lagi semi permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan. Umumnya bangunan rumah cenderung semi permanen. Kebanyakan rumah penduduk dicat berwarna terang dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Hampir seluruh rumah penduduk memiliki perkarangan (halaman) yang luas. Perkarangan tersebut dijadikan sebagai tempat menjemur hasil tani seperti padi, nilam serta sebagai tempat saat acara pesta.

Lokasi pemukiman di desa ini mengelompok pada dua daerah, yaitu dusun bongkaras I dan bongkaras II. Saat ini dusun Bongkaras I dimekarkan menjadi 3 (dua) dusun yaitu dusun I dan II. Sedangkan Bongkaras II menjadi dusun III. Daerah tersebut tidak mempunyai nama khusus untuk tiap dusun.

Begitu memasuki desa ini akan terlihat rumah-rumah penduduk berbaris di kanan dan kiri jalan utama desa. Hanya beberapa rumah yang berlapis dua searah rumah pertama. Beberapa rumah penduduk dibangun di lokasi kebun mereka, sehingga rumah terlihat dikelilingi oleh tanaman kopi, durian, kelapa dan beberapa pisang. Dibeberapa rumah juga memiliki kebun tanaman nilam, kacang-kacangan. Selain itu, rumah penduduk yang beragama Kristen umumnya memiliki kandang ternak babi di belakang perkarangannya sedangkan yang beragama Islam memiliki kadang ternak kambing.

Sekitar 300 meter dari gereja HKBP akan dijumpai sebuah persimpangan. Jika ke kiri adalah arah perumahan penduduk dan jalan tanah menuju persawahan dan perladangan. Apabila ke arah kanan akan menuju perumahan penduduk bongkaras II. Sekitar 200 meter ke arah kanan, akan menemukan arah jalan berbelok ke kiri menurun. akan ada sebuah jembatan yang menghubungkan dusun bongkaras-2. Setelah melewati jembatan, akan terlihat areal persawahan penduduk bongkaras. Perjalanan berikutnya sedikit mendaki untuk menuju rumah penduduk dusun 3 bongkaras. Pemukiman dusun 3 berlapis-lapis, beberapa bagian rumah-rumah penduduk terlihat berlapis tiga dengan rumah-rumah yang cenderung tergolong semi permanen dan rata-rata tidak memadai. Pada bagian ujung desa terdapat sebuah SD Negeri dengan halaman yang cukup luas. Dibelakang sekolah tersebut terdapat areal perladangan dan harangan (hutan). Berikut ini gambar pola pemukiman di Desa Bongkaras:

Foto 39 Foto 410

Foto 511 Foto 612

9

Foto pemukiman Dusun II

10

2.4. Keadaan Penduduk.

Penduduk Desa Bongkaras dihuni oleh beberapa etnis yaitu; etnis Pakpak, Batak Toba, Simalungun dan Karo. Etnis Pakpak merupakan penduduk asli Desa Bongkaras. Sementara etnis yang lain merupakan kelompok pendatang. Saat ini penduduk Desa Bongkaras mayoritas berasal dari etnis Batak Toba.

Komposisi penduduk Desa Bongkaras menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

TABEL 2.4.1

Dokumen terkait