• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Kehadiran Pendatang di Dairi dan Desa Bongkaras. 4.1.1 Kehadiran Pendatang di Kabupaten Dairi.

Kehadiran kelompok pendatang ke Dairi berlangsung sejak awal tahun 1900-an. Kebanyakan pendatang berasal dari Tapanuli, khususnya dari etnik Batak Toba. Kehadiran kelompok pendatang tersebut disebabkan 3 (tiga) faktor, antara lain; (1) masuknya kolonial Belanda ke Indonesia khususnya ke daerah Tapanuli; (2) hadirnya missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya di Dairi dan (3) bertambahnya penduduk Tapanuli sementara daerah pertaniannya semakin sempit sehingga terjadi perpindahan. Ketiga faktor tersebut mewarnai keragaman penduduk Dairi yang penduduk aslinya etnik Pakpak. Lebih rinci dijelaskan dibawah ini.

Faktor pertama masuknya kolonial Belanda ke Indonesia, khususnya ke Tapanuli. Pemerintah kolonial Belanda yang ingin menguasai daerah-daerah Batak di Tapanuli akhirnya melahirkan perang antara Belanda melawan bangsa Batak. Saat itu dari kelompok Batak dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII. Awalnya perang mulai dari wilayah Toba Holbung, kemudian bergeser ke Humbang dan akhirnya sampai ke Dairi. Pergeseran wilayah perang dikarenakan masing-masing pejuang Batak Toba memasuki daerah tersebut. Menurut catatan Sihombing (dalam Purba, 1998) pada tahun 1906 tentara Belanda membawa 400

orang pembantunya dari Tarutung (kebanyakan berasal dari Silindung) ke Sidikalang untuk membantu Belanda melawan pejuang-pejuang Batak yang menentang kolonial. Menurut Aritonang (1961:203), selain karena perang, pada tahun 1906 kolonial melakukan pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang, sehingga memungkinkan orang-orang terutama dari Humbang dan Silindung semakin banyak menuju Dairi untuk membuka lahan pertanian. Tahun 1907 perjuangan melawan tentara kolonial Belanda mulai menurun setelah Sisingamangaraja XII gugur28

28

Sisingamangaraja XII diyakini gugur pada tanggal 17 Juni 1907

di kaki Gunung Sitapongan Sionom Hudo n, Dairi. Dairi kemudian dikuasai oleh kolonial Belanda. Selanjutnya, Pemerintahan Belanda mulai difungsikan setelah ditempatkan dua tahun sebelumnya. Dalam rangka itu, pemerintah kolonial membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga membawa beberapa orang dari Tarutung menjadi pegawai pemerintah di Sidikalang.

Faktor kedua yaitu, kehadiran missioner Jerman melalui Brinkschmidt. Dalam memperluas wilayah kerja menyebarkan injil Kristen, missioner tersebut membawa orang-orang dari Tapanuli untuk membantunya. Ketika itu, pemerintah Belanda mendukung upaya tersebut. Tahun 1908, jumlah orang Batak Toba yang tinggal di kampung Sidikalang sudah mencapai ratusan orang. Sebagian dari mereka sudah beragama Kristen dan sebagian lagi masih dengan agama suku. Pada tahun 1909 Jaihutan Kepas yaitu Raja Asah Ujung kemudian menyerahkan sebidang tanah di Sidikalang kepada missioner tersebut untuk membangun gereja.

Umumnya yang membantu missioner Jerman dalam melakukan misinya adalah orang-orang berasal dari Tapanuli yang sebelumnya sudah di baptis (memeluk agama Kristen) dan telah dididik. Orang-orang Batak Toba pun semakin banyak yang memasuki Dairi untuk membuka pertanian. Pendidikan modern mulai diperkenalkan, dalam upaya memperbaiki tata kehidupan ekonomi. Pendidikan dilakukan melalui usaha mengubah dan memperkenalkan cara-cara yang lebih baru seperti halnya pertanian. Sampai pertengahan tahun 1920-an, kekristenan sudah berkembang di berbagai daerah Dairi, bahkan raja-raja di Dairi hampir semuanya menerima kekristenan. Di Salak, Silalahi, Paropo, Parbuluan dan daerah lainnya jumlah warga Kristen dari penduduk setempat semakin bertambah. Orang-orang Batak Toba Kristen pun semakin tersebar ke berbagai pelosok Dairi.

Selain kedua faktor diatas, kehadiran kelompok pendatang juga terjadi dengan tujuan membuka persawahan dan berjualan ke Sidikalang. Dibidang pertanian, orang Batak Toba memperkenalkan metode persawahan dan membuka perkebunan-perkebunan kopi sebagai salah satu upaya memanfaatkan lahan luas, yang sewaktu itu masih hutan. Mereka mulai berpencar, bukan hanya di Sidikalang tetapi juga mulai memasuki daerah-daerah sekitarnya yang masih berupa hutan. Mereka pun memperoleh lahan melalui aturan adat yang berlaku dan atas sepengatahuan marga tanoh.

Jumlah orang Batak Toba yang pindah ke Dairi terus meningkat. Mereka berangkat dari Sidikalang menuju ke daerah lain dan membentuk perkampungan seperti di Buluduri, Kanopan, Kintara, Jumateguh, Silima Pungga-Pungga dan ada

yang sampai ke Tingalingga. Semakin banyak jumlah pendatang semakin banyak sumber berita tentang Dairi kepada saudara-saudara mereka yang tinggal di bona pasogit (kampung asal). Hal ini merangsang yang lain untuk ikut pindah mencari daerah lain dan meninggalkan desa mereka yang kemudian berdampak pada generasi berikutnya untuk merantau ke luar desa.

Sejak tahun 1925, Dairi kemudian semakin dikenal sebagai daerah

panombangan29

29

Daerah penyebaran yang biasanya dimanfaatkan untuk membuka lahan pertanian dan daerah bukaan baru.

. J. Warneck dalam Generalbericht Über die Batakmission 1925/1926, mengemukakan bahwa antara tahun 1925-1926 terdapat 1.000 KK orang Batak Toba dari Humbang, Silindung dan Toba Holbung memasuki Dairi. Tujuan mereka adalah untuk mencari daerah-daerah baru ke seluruh pelosok Dairi bahkan ada yang sampai ke Tanah Alas dan Singkil (Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung mulai bertani dengan membuka kebun kopi dan persawahan. Perkebunan kopi bagi sebagian pendatang, kurang menarik perhatian sehingga setelah beberapa tahun membuka lahan dan tinggal menetap, mereka pindah lagi untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas.

Pada tahun 1929 dimulai pembukaan jalan Dairiweg dari Merek (saat itu Merek belum perkampungan) ke Sumbul Pegagan sampai ke Sidikalang. Hal tersebut merangsang arus perpindahan semakin meningkat. Perpindahan dari Simalungun ke Sidikalang juga berlangsung karena lalu lintas dari Pematang Siantar, Merek ke Sidikalang semakin membaik (Purba, 1998:38).

Dairi lambat laun semakin di dominasi oleh kelompok pendatang umumnya berasal dari etnik Batak Toba. Menurut data sensus 1930, penduduk utama Dairi adalah Batak Toba, Pakpak dan Karo. Jumlah penduduknya pada waktu itu sebanyak 54.037 jiwa yang terdiri dari 53.307 orang Batak, 277 orang Cina dan 20 orang Eropah. Dari antara etnik Batak, tercatat orang Toba sabanyak 24.893 jiwa, Pakpak 18.888, Karo 8.892, Simalungun 548, Angkola 42, Mandailing 29 dan Batak lainnya 15 orang (Volkstelling 1930:30-31 dalam Purba, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pendatang sudah banyak menguasai daerah tujuan terutama penguasaan atas tanah.

Selama kurang dari 3 (tiga) dasawarsa (1930-1961) banyak hal yang menyebabkan dan mempercepat perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara ke luar daerahnya. Pada masa pendudukan Jepang misalnya, selain pindah secara spontan, banyak pemuda dan orang dewasa yang dilatih menjadi pembantu tentara Jepang dan disebarkan ke berbagai daerah di luar tanah kelahirannya. Demikian pula dengan revolusi kemerdekaan (1945-1949) banyak yang berjuang dan meninggalkan kampung halamannya. Mereka membentuk laskar rakyat, menjadi polisi, tentara dan lainnya. Sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia, mereka yang telah pindah tidak seluruhnya kembali ke kampung halamannya. Banyak dari mereka yang menjadi penduduk daerah lain, memulai hidup baru, bekerja dan menetap bahkan sebagian sudah menganggap daerah tersebut bona pasogit mereka.

Sampai akhir tahun 1930-an perpindahan dari Humbang, Toba Holbung, Silindung dan Samosir masih berlangsung menuju Dairi, namun juga dibarengi perpindahan ke daerah lain, terutama dilakukan penduduk yang lebih dahulu memasuki Dairi. Proses perpindahan tersebut kemudian menyebar hingga keseluruh tanah Dairi. Salah satu wilayah yang dituju adalah Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-pungga yang menjadi lokasi penelitian ini.

4.1.2. Kehadiran Pendatang di Desa Bongkaras.

Kehadiran kelompok pendatang yang memasuki Desa Bongkaras juga tidak terlepas dari peran kolonial Belanda dan missionaris Jerman yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, terdapat beberapa alasan pendatang sampai dan menetap di desa tersebut. Kehadiran pendatang mulai berlangsung sekitar tahun 1930-an.

Kelompok pendatang ke Desa Bongkaras terbagi atas tiga gelombang. Perantau pertama terjadi pada tahun 1930-an berasal dari Simalungun yaitu keluarga Sitorop Purba. Menurut penjelasan Op. Mangara (salah satu dari 8 anak Sitorop Purba yang masih hidup dan tinggal di Bongkaras) bahwa saat ia berusia 12 tahun orangtuannya (Sitorop Purba) membawa keluarganya merantau dari Simalungun ke Dairi. Mereka tahu bahwa Dairi merupakan panombangan dari orang-orang yang telah pernah ke Dairi. Karena mempunyai hubungan marga dengan Cibro30

30

Menurut marga Purba dan Cibro yang ada di Bongkaras bahwa asal-usul nenek moyang kedua marga tersebut sama yaitu dari Raja Parhultop-hultop.

, maka mereka sampai ke daerah Kecamatan Silima Pungga-pungga dan meminta tanah kepada marga Cibro untuk pargubukan (gubuk) dan

pargadong-gadongan (perladangan). Saat itu mereka meminta melalui jalur adat Pakpak dengan membawa ayam satu ekor, beras yang dibuat di tandok serta daun sirih dan diserahkan ke pihak marga Cibro. Pihak marga Cibro melalui Kunak Cibro (yang menguasai daerah Bongkaras dan menjadi pertaki) memberikan tanah kepada marga Purba untuk dikelola (tepatnya di Bongkaras II, sekarang menjadi dusun III). Pemberian ini juga menurut penuturan keturunan marga Purba dan Cibro karena adanya hubungan nenek moyang kedua marga tersebut.

Pendatang gelombang kedua terjadi pada tahun 1940-an. Hal ini juga semakin menambah jumlah penduduk di tanah Bongkaras. Pendatang kedua berasal dari daerah Simalungun terdiri dari 5 (lima) KK (kepala keluarga) yaitu; marga Manik terdiri dari 3 (tiga) KK, marga Munthe 1 (satu) KK dan keluarga Jimo Sinaga 1 (satu) KK. Mereka bermukim di Bongkaras I (saat ini menjadi dusun I). Adapun alasan kedatang mereka karena ajakan dari pendatang gelombang pertama. Selain itu, mereka juga mengetahui dari orang lain yang pernah ke Dairi bahwa tanah Dairi merupakan tanah yang luas dan banyak yang belum dihuni. Adapun tanah yang dimiliki oleh pendatang kedua atas permintaan kepada marga Cibro dengan cara adat Pakpak. Selain itu, ada juga atas pemberian oleh pendatang pertama (marga Purba) secara cuma-cuma. Menurut keluarga Jimo Sinaga, semua pendatang kedua pada saat itu mendatangi marga Cibro dan meminta izin untuk bermukim dan mengelola tanah Bongkaras.

Berbeda dengan pendatang pertama dan kedua, pendatang gelombang ketiga yang terjadi pada tahun 1940-1950. pendatang lebih banyak didominasi oleh orang Toba yang berasal dari Samosir, Balige dan Tiga Lingga. Mereka

terdiri dari 8 (delapan) KK, yakni; Keluarga Jamonen Simarmata (dari Samosir), Simarmata (Op. Rumondang) dari Tiga Lingga, Josua Simarmata (dari Tanah Karo), Jabuhit Haloho, Ohot Tampubolon (dari Balige), Kenan Tampubolon (dari Balige), Puro Tampubolon (dari Balige) dan Marga Pangaribuan (hula-hula Tampubolon dari Balige). Alasan kedatangan mereka beragam. Pendatang yang berasal dari Samosir dan Balige, lebih banyak karena kampung asal mereka telah padat dan areal pertanian semakin sempit, selain itu atas ajakan kerabat yang telah pernah datang ke Dairi. Sementara pendatang yang berasal dari Tiga Lingga lebih banyak dikarenakan terjadinya permusuhan antara antar etnis Batak Karo dan Pakpak dengan Batak Toba yang terjadi pada tahun 1946-1955. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya eksodus sampai di kecamatan Silima Pungga-pungga (Parongil) dan akhirnya sampai ke Desa Bongkaras. Seperti penjelasan Jaluahe Sihaloho (72 tahun) sebagai berikut:

”Marga Purba yang menjadi si pukka huta disini dan disebut juga sebagai kepala rodi atau yang dapat memerintahkan jika ada kegiatan gotong-royong. Kepala rodi disebut juga sebagai hampung (kepala desa). Dia diberi izin oleh anak daerah sini (marga Cibro) jika ada orang yang datang ke sini supaya permisi dengan si Purba tadi jika ada yang perlu. Jadi jika ada yang meminta tanah harus permisi dulu kepada kepala rodi tadi. Jika permisi kepada dia, diberikanlah adat. Dibawalah ayam, beras satu liter untuk meminta tanah kepadanya, dan dia akan menunjukkan di sebelah mana kita. Dulu kami diberi tanah berbeda wilayahnya. Sebelah panapal (nama bukit) untuk kami, dulu keadaannya hutan. Dan kami datang kesini karena mengungsi”.

Dari penuturan diatas, kepemilikan tanah oleh pendatang masih melalui mekanisme adat. Selain itu, kepemilikan tanah pendatang gelombang ketiga diperoleh melalui jual beli tanah dari pendatang gelombang pertama dan kedua. Proses jual beli tanah tersebut juga harus meminta izin kepada marga Cibro. Pada

zaman itu, harga jual beli tanah sudah menggunakan mata uang rupiah. Jaluahe Purba misalnya, pada tanggal 18 Juni 1953 ia membeli tanah dari marga Purba di sebelah barat yang berbatasan dengan Desa Bonian. Saat itu, ia membayar ganti rugi tanah sebesar Rp. 100,- (seratus rupiah). Hingga kondisi saat ini, kepemilikan tanah banyak dikuasai oleh kelompok pendatang (umumnya etnik Batak Toba), sebagian dari mereka sudah melakukan sertifikasi tanah miliknya melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Dairi.

4.2. Hubungan Marga Cibro dengan Marga Pendatang.

Berdasarkan hasil penelitian, seluruh warga Desa Bongkaras mengakui marga Cibro adalah penduduk asli, pembuka kampung pertama dan pemilik tanah ulayat di Tuntung Batu (Kini Tuntung Batu terdiri dari empat desa yakni: Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian). Selain itu secara historis, warga desa, tokoh masyarakat dan kelompok marga Cibro yang tinggal di Bongkaras juga mengakui bahwa tuan tanah atau pemegang hak ulayat pertama adalah orang Sambo (marga Sambo). Pentingnya arti tanah secara tidak langsung telah membentuk hubungan emosional maupun kekerabatan antara kelompok pendatang dengan kelompok asli.

Terdapat beberapa marga yang mempunyai hubungan yang lebih terikat antara marga Cibro (kelompok asli) dengan marga pendatang, baik dari etnik Pakpak maupun dari etnik Simalungun. Hubungan tersebut diuraikan dalam bentuk sebagai berikut:

1. Hubungan Perkawinan

Perkawinan merupakan masa peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dan berpedoman kepada nilai, aturan dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Perkawinan juga mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Pakpak. Perkawinan yang ideal atau yang diharapkan (preference marriage) bagi orang Pakpak adalah kawin dengan Putri

Puhun (Paman) yang disebut Muat Impalna atau istilah lain Menongketti31

Hubungan khusus marga Cibro karena perkawinan terjalin dengan marga Sambo dan Boang Manalu. Marga Sambo merupakan marga pemberi gadis (kula-kula) kepada marga Cibro seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III. Sedangkan marga Boang Manalu merupakan sebagai penerima gadis (anak berru) dari marga Cibro, dengan demikian Cibro menjadi kula-kula dari marga Boang Manalu. Dalam setiap aktivitas adat yang dilakukan oleh marga Cibro, maka kedua marga tersebut harus selalu diikutsertakan dan mendapat status tertentu, demikian (Berutu,2006).

Bentuk hubungan perkawinan silang tersebut merupakan perkawinan antar kelompok marga, misalnya marga Cibro dengan kelompok marga lain. Hal ini merupakan suatu keharusan pada masyarakat Batak Pakpak yang mengenal sistem perkawinan dengan adat pembatas jodoh exogami marga. Dengan demikian, seseorang harus kawin dengan orang lain di luar marganya. Keharusan tersebut merupakan aturan adat yang difungsikan oleh setiap marga.

31

Menongketti artinya menyokong atau meneruskan kedudukan si ibu dalam keluarga marga laki-laki.

sebaliknya jika marga Boang Manalu dan Sambo melakukan pesta, maka marga Cibro juga harus diikutsertakan dan mendapat status tertentu.

Ditinjau dari struktur adat Pakpak, Boang Manalu merupakan boru bolon dari marga Cibro Tuntung Batu. Nenek moyang Boang Manalu adalah anak perempuan raja tanah yaitu marga Cibro. Secara adat, Boang Manalu harus menghormati marga Cibro sebagai kula-kula (wifegiver). Pola hubungan sosial antara kelompok berru dan kula-kula telah diatur dalam adat yang difungsikan oleh marga. Fungsi marga sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Batak (umumnya). Selain berfungsi mengatur pola hubungan, marga juga berfungsi mengatur tentang perkawinan, mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan di antara keturunan serta mengurangi terjadinya konflik dan hal negatif lainnya (dalam Purba, 1997).

Kula-kula (marga Cibro) menurut adat Pakpak mempunyai fungsi sebagai roh atau berkat kepada anak berrunya (Boang Manalu). Fungsi tersebut membuat marga Cibro harus memperhatikan anak berrunya. Perhatian tersebut dapat terlihat dari pemberian warisan sebagai modal hidup anak berrunya. Marga Cibro sebagai kula-kula pernah memberikan warisan kepada berrunya atas sebidang tanah sebagai modal kehidupan rumah tangga Boang Manalu. Pemberian tanah tersebut dilakukan melalui proses adat yang dinamakan rading berru. Proses tersebut merupakan mekanisme adat dalam pengalihan tanah, selain itu juga menunjukkan bahwa kekeluargaan antara marga Cibro dan anak berrunya (marga Boang Manalu) terjalin harmonis. Setelah proses peralihan tanah tersebut, maka secara adat Pakpak anak berru Cibro sah mengelola tanah pemberian itu.

Tokoh kelompok marga Cibro menyatakan bahwa pihak Cibro pernah memberikan warisan atas tanah kepada marga Boang Manalu. Namun tidak melalui mekanisme pengalihan tanah secara adat Pakpak. Marga Boang Manalu tidak melakukan sepenuhnya proses rading berru, mereka hanya datang menemui marga Cibro lalu meminta tanah untuk dikelola. Karena adanya ikatan saudara, maka marga Cibro mengabulkan permohonan mereka. Sehingga kami (marga Cibro) masih memiliki wewenang terhadap tanah pemberian itu dan tidak secara otomatis menjadi hak milik marga Boang Manalu. Saat ini kedua marga tersebut bersengketa atas kepemilikan tanah pemberian, selain itu luas tanah yang diberi juga menjadi persoalan. Pada saat penelitian, penjelasan dari marga Boang Manalu tidak dapat diperoleh, hal ini dikarenakan pihak marga tersebut tidak berada di Desa Bongkaras serta lokasi tanah sengketa tersebut berada di luar desa.

2. Hubungan Sejarah (Persahabatan/Emosional)

Hubungan sejarah (persahabatan/emosional) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang terjalin karena kesamaan asal-usul atau atas jasa dan kedekatan seseorang. Hubungan tersebut terlihat antara marga Cibro dengan marga pendatang yang sudah terjalin sejak zaman dahulu. Marga Cibro diyakini mempunyai hubungan dengan marga Purba yang berasal dari Simalungun. Menurut informan dari marga Cibro dan Purba, kedua marga mereka merupakan satu rumpun yang disebut dengan marpadan dimana nenek moyang kedua marga tersebut mempunyai hubungan asal usul yang sama. Menurut Saidup Cibro (45 tahun) nenek moyang marga Cibro adalah Raja

Pangultop-ultop yang ahli berperang dengan memakai oltep,32

Berdasarkan sejarah marga Purba,

jika Raja Pangultop-ultop pergi ke Simalungun maka memakai marga Purba, sehingga marga Cibro bersaudara dengan marga Purba atau Girsang dari Simalungun.

33

Hubungan diatas semakin nyata ketika masuknya kelompok pendatang (marga Purba) ke tanah ulayat marga Cibro. Menurut Bapak Mangara Purba/Ompu Aldin (90 tahun), saat dia berusiaa 12 tahun orangtuanya datang ke Dairi dan sampai di tanah Bongkaras. Kedatangannya ke daerah Bongkaras karena mengetahui ada saudara mereka yaitu marga Cibro. Setibanya di Bongkaras mereka menemui marga Cibro dan tinggal bersama keluarga Cibro.

terdapat 10 (sepuluh) sub-marga Purba. Salah satu diantaranya adalah marga Purba Pakpak. Purba Pakpak diyakini satu keturunan dengan Girsang, yaitu dari Tuntung Batu Lohu (Pakpak) dan merantau ke Purba (Simalungun) dengan jalan menyumpit burung. Selain itu dari 14 (empat belas) raja marga Purba, terdapat satu raja bernama Tuan Pangultop-ultop (1624-1648) yang sama dengan nama nenek moyang marga Cibro.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa terdapat kesamaan sejarah marga Purba dengan marga Cibro. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari nama nenek moyang dan keahliannya yaitu Raja Pangultop-ultop. Nama daerah asal marga Girsang (diyakini satu keturunan dengan marga Purba) yaitu dari Tuntung Batu Lohu juga merupakan nama daerah tempat tinggal dan tanah ulayat marga Cibro di Dairi. Hal ini merupakan dasar sehingga marga Cibro dan marga Purba mengakui mempunyai hubungan sejarah dan menjadi saudara atau marpadan.

32

Oltep yakni alat senjata tradisional yang digunakan menembak burung, orang yang

sering menggunakan oltep disebut Paroltep.

33

Marga Purba memperoleh tanah dari marga Cibro melalui proses adat, tepatnya di Desa Bongkaras II. Ketika itu, dari pihak Cibro yang mengurusi tanah Bongkaras adalah Kunak Cibro yang bermukim di Bongkaras I (Saat ini dusun I). Seiring dengan berjalannya waktu, marga Purba ditugaskan sebagai Kepala Rodi. Adapun tugas Kepala Rodi antara lain; memerintah warga jika ada kegiatan gotong royong, mengurusi berbagai hal yang berkenaan dengan kedatangan orang tertentu yang berniat untuk tinggal atau menetap. Dalam hal ini, jika ada orang yang datang maka harus meminta izin kepada Kepala Rodi, artinya jika ingin meminta tanah harus permisi dulu kepada kepala rodi. Dalam konteks sebagai kepala rodi, marga Purba yang telah menerima tanah dari marga Cibro selanjutnya menjadi Sipukka Huta.

Selain hubungan Cibro dengan Purba, kelompok marga Cibro juga menyatakan bahwa marga mereka sama dengan marga Tarigan Sibero yang berasal dari Tanah Karo. Berdasarkan sejarah marga Tarigan, terdapat sub-marga Tarigan Sibero. Hubungan yang lebih tampak di desa Bongkaras adalah Cibro dengan Purba. Hal ini dapat dilihat dimana marga Purba menjadi sipukka huta di Desa Bongkaras. Dalam setiap aktivitas adat yang dilakukan di desa tersebut, maka pihak Cibro dan Purba selalu mendapat satu bagian jambar.34

Hubungan persahabatan juga terjalin atas pekerjaan yang sama sebagai petani, misalnya ada diantara mereka yang sama-sama bekerja mengelola ladang di pinggir hutan, sehingga saling membantu ke ladang yang lain (marsiadap ari). Mereka dapat saling mewakili jika salah satu diantara mereka berhalangan/tidak hadir.

34

Bagian atau pembagian kepada seseorang yang berhak menerima menurut adat, biasanya dalam bentuk potongan daging.

Adapun marga-marga yang meminta tanah secara adat kepada marga Cibro maupun marga Purba adalah marga Manik, Munthe, Sinaga, Haloho, Simarmata, Tampubolon, dan Pangaribuan. Marga-marga yang meminta tanah kepada marga Purba tersebut juga meminta izin kepada marga Cibro sebagai pemilik tanah

Dokumen terkait