• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Asal Usul Status Tanah.

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari hubungan yang erat dengan keberadaan manusia dalam lingkungannya dan kelangsungan hidupnya. Tanah juga mempunyai nilai ekonomis yang dapat dijadikan sebagai sumber pendukung kehidupan manusia di masa mendatang, karena di sana manusia hidup, tumbuh dan berkembang, dan sebagai tempat manusia dikebumikan pada saat meninggal dunia. Selain itu, tanah juga mempunyai nilai religius yang dapat dijadikan sebagai tempat roh-roh, dewa-dewa atau arwah nenek moyang. Oleh sebab itu, tanah selain memiliki nilai ekonomis yang tinggi juga mengandung aspek religius.

Pentingnya nilai tanah juga dapat dilihat dalam penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa, kebutuhan yang hakiki bagi kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa. Peradaban itu akan berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan tanahnya secara bijaksana (Soeromihardjo, 1985:1). Oleh karena

itu, hubungan tanah dengan manusia merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius.

Hubungan manusia dengan tanah yang bersifat hakiki magic-religius itu merupakan hubungan penguasaan dan penggunaan tanah. Hubungan tersebut telihat dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan bersama sebagai mahluk sosial maupun kepentingan perseorangan. Dalam perkembangannya, tanah menjadi semakin penting bagi masyarakat karena sebagai sumberdaya alam, tanah terbatas untuk berbagai aktivitas manusia. Sehingga tanah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan mengenai penggunaan dan penguasaannya.

Sementara itu dalam hubungannya dengan penggunaan, tanah mempunyai kedudukan sangat penting. Hal ini dikarenakan tanah memiliki nilai ekonomis dan religius. Pentingya tanah tersebut dapat diamati dari slogan-slogan yang diungkapkan oleh kelompok masyarakat. Misalnya, di masyarakat Bugis dikenal ungkapan tentang betapa hakikinya hubungan antara manusia dengan tanah yakni sebagai berikut: “narekko mualai pale, namautona sipolo tana tudangekku tekkualangi soro riettongekku namo tetti cera paccappurekku” yang jika diartikan adalah jika orang merampas tanahku walaupun sepotong akan saya pertahankan sampai titik darah penghabisan.

Masyarakat Minangkabau, tanah merupakan tempat lahir, tempat hidup dan sebagai tempat mati. Tanah sebagai tempat lahir dianalogikan sebagai tanah dimana setiap kerabat harus memiliki sebuah rumah sebagai tempat anak cucu lahir. Tanah sebagai tempat hidup dianalogikan sebagai tanah dimana setiap

kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang menjadi andalan untuk menjamin ketersediaan makanan bagi kaum kerabatnya. Tanah sebagai tempat mati dianalogikan sebagai bahwa setiap kaum mempunyai pendam-pusaran agar jenazah kerabat yang meninggal tidak terlantar. Ketiganya merupakan harta pusaka yang melambangkan adanya keabsahannya sebagai orang Minangkabau.

Demikian juga halnya masyarakat bangsa Batak Toba. Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama. Selain itu, tanah memiliki arti penting dalam adat-istiadat yang berhubungan dengan usaha pertanian.

Bagi masyarakat Pakpak (sebagai bagian suku bangsa Batak yang terdapat di Sumatera Utara), tanah merupakan satu kesatuan dengan berbagai kehidupan masyarakat Pakpak. Disamping itu, tanah menunjukkan identitas tentang keberadaan anggota setiap masyarakat, sehingga tanah menentukan hidup matinya masyarakat tersebut. Setiap tanah di masyarakat Pakpak dikuasai oleh marga (klen) tertentu sebagai pemilik ulayat tanah. Adapun bentuk-bentuk tanah bagi masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut:

a. Tanah tidak diusahi, yaitu: Tanah Karangan longo-longoon, Tanah Kayu Ntua, Tanah Talin Tua, Tanah Balik Batang, dan Rabah Keddep.

b. Tanah yang diusahai yaitu: Tahuma Pargadongen, Perkenenjenen, dan Bugus.

c. Tanah Perpulungan yaitu: Embal-embal, Jampalan dan Jalangen.

d. Tanah Sembahen Kuta (tidak dapat diperladangi) dan tanah Sembahen Balillon (dapat diperladangi).

e. Tanah Perdebaan yaitu tanah yang diperuntukkan bagi perkuburan.

f. Tanah Persediaan yaitu tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga, tanah yang dijaga oleh Permangmang (kelompok tertua) dan tidak boleh diganggu.

Secara tradisional, wilayah komunitas Pakpak disebut tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak tersebut terbagi atas lima suak17

Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia sebaran suak tersebut berada di 4 (empat) Kabupaten yakni; Kabupaten Dairi

dan sub wilayah yang menjadi identitas asal-usul marga. Kelima suak marga tersebut yakni; Suak Pakpak Simsim misalnya marga Cibro, Berutu, Padang, Solin, Bancin, Sinamo, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng dan lain-lain. Suak Pakpak Keppas, misalnya; marga Ujung, Capah, Kuda Diri, Maha dan lain-lain. Suak Pakpak Pegagan misalnya, marga Lingga, Matanari, Manik Siketang, Maibang dan lain-lain. Ketiga suak tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Dairi. Suak Pakpak Kelasen yakni; marga Tumangger, Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Ceun, Mungkur dan lain-lain berada di Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. Kemudian Suak Pakpak Boang misalnya, marga Sambo, Saraan, Bancin dan lain-lain berada di Aceh Singkil (Berutu, 2002).

18

17

Suak merupakan bahasa Pakpak yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bagian

yaitu bagian dari daerah suku bangsa Pakpak.

18

Pada tahun 2003 Kab. Dairi telah mekar menjadi 2 kabupaten yakni, Kab. Dairi dan Kab. Pakpak Bharat, sehingga secara administratif persebaran suku bangsa Pakpak saat ini berada di lima kabupaten.

, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), dan Kabupaten Aceh Singkil (Aceh). Wilayah sebaran tersebut bagi masyarakat Pakpak

merupakan hak ulayat secara tradisional yang disebut tanoh Pakpak. Kabupaten Dairi merupakan daerah asal dan sentra utama orang Pakpak19

Kuta atau lebuh merupakan sebutan batas suatu teritorial bagi masyarakat Pakpak. Jika diartikan, Kuta

(Berutu, 2002). Secara tradisional, seluruh wilayah yang tercakup dalam silima suak merupakan hak ulayat suku bangsa Pakpak. Wilayah kelima suak tersebut kemudian tersekmentasi menjadi hak ulayat marga dari setiap suak yang disebut kuta atau lebuh.

20

Sebelum zaman penjajahan, masyarakat hukum adat telah mempunyai aturan tentang hak-hak atas tanah. Tanah dimana suatu masyarakat hukum adat bertempat tinggal adalah merupakan hak ulayatnya. seperti halnya masyarakat adat Pakpak juga mempunyai hak ulayat masing-masing menurut marga. Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi setiap orang yang di dalam hukum adat disebut, bahwa merupakan suatu kenyataan:

adalah suatu kesatuan komunitas yang terdiri dari gabungan lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar yaitu marga tertentu. Sementara lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen kecil. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu yang dianggap sebagai penduduk asli dan pemilik tanah ulayat, sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang. Setiap kuta atau lebuh memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakatnya, khususnya tanah.

19

Berdasarkan pengamatan lapangan, setelah pemekeran sentra utama suku bangsa Pakpak kini berada di Kab. Pakpak Bharat.

20

Kuta adalah kesatuan territorial yang biasanya dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen yang sama. Disusul kemudian oleh keluarga pendatang dari marga yang berbeda, tetapi terikat oleh suatu hubungan perkawinan dengan penduduk asli. Selain memiliki pemukiman, sebuah kuta biasanya juga memiliki lahan perladangan yang khusus diperuntukkan bagi anggota kuta bersangkutan.

1. Tanah merupakan tempat tinggal persekutuan 2. Memberikan penghidupan kepada persekutuan

3. Merupakan tempat para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan

4. Merupakan tempat tinggal para dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. (Surojo Wignojodipuro, 1971 : 249, 270). Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tanah merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat berarti bagi setiap individu ataupun kelompok. Untuk itu, sangat perlu mengkaji asal usul status tanah dan penguasaannya, sehingga diketahui status kepemilikan tanah tersebut. Dalam konteks penelitian ini, maka akan diuraikan asal usul status tanah dan penguasaannya di Desa Bongkaras, yang kini diyakini sebagai salah satu daerah tanah ulayat marga Cibro21

Berdasarkan hasil penelitian, seluruh masyarakat di Desa Bongkaras dan desa-desa yang berdekatan dengan bongkaras mengakui bahwa asal usul kepemilikan tanah bongkaras merupakan milik marga Sambo. Sambo merupakan marga tanoh didaerah tersebut. Kepemilikan tanah ulayat marga Sambo meliputi; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian (Tiga desa terakhir

yang telah banyak dikuasai oleh kelompok pendatang.

Menurut konsep setempat, tanah seluruhnya merupakan milik marga. marga yang pertama kali membuka kuta disebut sebagai marga pertanoh. Secara adat (hukum), marga pertanoh berhak mengatur pengelolaan tanah yang terdapat di dalam kuta itu, dalam hal ini adalah Desa Bongkaras.

21

Dari hasil penelitian, tanah ulayat marga Cibro terdiri dari 4 (empat) desa yakni; Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian.

merupakan hasil pemekaran dari Desa Tuntung Batu). Saat ini, kepemilikan desa Bongkaras umumnya daerah ulayat marga Sambo telah beralih menjadi tanah ulayat marga Cibro.22

Atas jasa Cibro, maka Raja Sambo yang merupakan marga tanah dan pemilik awal tanah ulayat diwilayah 4 (empat) desa tersebut memberikan tawaran kepada Cibro. Adapun tawaran tersebut adalah memilih salah satu dari 7 (tujuh) putri Raja Sambo untuk dinikahi oleh Cibro. Pada saat itu, Cibro memilih dan menikahi putri bungsu Raja Sambo yang cantik namun cacat yaitu boru Sambo Jauh sebelum marga Cibro datang ke bongkaras, marga Sambo sudah mendirikan kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Sambo. Saat itu raja yang dikenal adalah Sambo. Peralihan kepemilikan tanah dari marga Sambo kepada marga Cibro bermula dari pemberian Sambo atas jasa Cibro. Pada zaman itu, Cibro membantu kerajaan Sambo dalam peperangan antar marga (mergraha) atau perang saudara untuk merebut wilayah kekuasaan kerajaan. Perang berlangsung antara Cibro melawan marga Ujung (Suak Keppas).

Menurut penuturan keturunan marga Cibro dan Sambo (yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat) yang berada di Desa Bongkaras dan Tuntung Batu, pada zaman peperangan antar kelompok marga yang disebut mergraha, nenek moyang marga Cibro yaitu Raja Parngultop-Ultop membantu Raja Sambo melawan marga Ujung dalam perebutan wilayah kerajaan. Pada saat itu yang memimpin perang adalah marga Cibro. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Cibro.

22

Tempang. Setelah Cibro dan boru Sambo Tempang menjadi keluarga batih, mereka masih tinggal bersama dengan Raja Sambo. Kemudian berencana hidup diperkampungan berbeda dengan Raja Sambo. Rencana tersebut membuat boru Sambo Tempang menyampaikan keinginannya dan meminta tanah kepada Raja Sambo untuk dijadikan perkampungan dan perladangan mereka. Atas dasar kasih sayang terhadap putrinya dan telah berhutang budi kepada Cibro, Raja Sambo mengutus anaknya laki-laki untuk membawa Cibro dan boru Sambo Tempang melihat dan memilih daerah yang mereka inginkan. Cibro dan boru Sambo Tempang memilih daerah Tuntung Batu (saat ini telah mekar menjadi empat desa yakni; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian). Mulai saat itu hingga sekarang marga Cibro mendiami daerah tersebut serta berangsur diyakini menjadi marga tanoh dan pemilik ulayat atas daerah tersebut.

Menurut penjelasan Saidup Cibro (58 tahun) salah satu keturunan marga Cibro yang ada di Desa Tuntung Batu. Marga Sambo sebagai raja tanah di wilayah ini menikahkan putrinya pada Cibro dan menyerahkan tanah miliknya pada Cibro melalui suatu upacara adat yang dikenal dengan sebutan rading berru. Sementara berdasarkan wawancara bersama Usen Sambo (83 tahun) salah satu keturunan marga Sambo yang berada di Desa Tuntung Batu. Menuturkan bahwa pada waktu itu (awal tahun 1900-an) terjadi peristiwa pengalihan atas hak tanah pada Cibro. Pengaliha tanah tersebut sebagai penghormatan atas jasa Cibro membantu perang mergraha. Selain itu, merupakan warisan kepada Cibro sebagai anak berru karena telah menikahi putri dari raja Sambo. Pengalihan tanah tersebut merupakan warisan yang diberikan kepada anak perempuan atas permintaannya.

Dalam adat Pakpak, warisan tersebut dikenal sebagai pangaseang yaitu warisan yang diberi atas dasar permintaan anggota keluarga (perempuan) sebagai keperluan kelangsungan hidup tanpa menghilangkan status pemilik asal, dalam hal ini tidak menjadi hak milik atau hak ulayat marga Cibro.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanah pemberian marga Sambo yang menjadi tanah ulayat marga Cibro meliputi Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Umumnya masyarakat Desa Bongkaras bahkan warga sekitar desa bongkaras mengetahui asal usul kepemilikan tanah tetapi tetap mengatakan marga Cibro sebagai pemilik hak ulayat dan menjadi marga tanoh diwilayah tersebut. Dengan demikian seluruh marga Cibro berhak untuk mengolah lahan yang tersedia. Kepemilikan hak ulayat marga Cibro diperkuat atas dominannya marga Cibro mengurus aktivitas adat khususnya mengenai pertanahan di daerah tersebut. Sebagai contoh, bilamana ada seseorang ingin mengolah lahan/hutan untuk perladangan atau mendirikan rumah maka harus seizin dari marga Cibro. Selain itu, jika ada persoalan-persoalan pertanahan yang melibatkan pihak lain (misalnya PT.DPM) maka akan berurusan kepada pihak marga Cibro melalui Lembaga Adat Sulang Silima Marga Cibro (LASMO).

Menyangkut pergeseran/pengalihan tanah tidak ada dalam hukum adat Pakpak, kecuali tanah rading berru yaitu tanah yang diberikan kepada anak perempuan/menantu sepanjang masih dipakai. Tanah rading berru bila tidak dikelola lagi maka harus dikembalikan kepada kula-kulanya/mora sebagai

pemberi tanah rading berru. Bila ada permasalah mengenai pertanahan, penyelesaiannya diserahkan kepada sulang silima marga.23

Menurut adat Pakpak, marga merupakan kesatuan kelompok geneologis territorial, persekutuan/persatuan orang-orang yang bersaudara, sedarah, seketurunan atau satu nenek, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama. Untuk menunjukkan suatu keanggotaan keluarga/kerabat, maka semua laki-laki maupun perempuan memakai nama marga sebagai petanda dari keturunan yang sama. Selain itu, marga juga mengatur hubungan sosial antara marga satu dengan marga lainnya. Hubungan sosial tersebut dapat terlihat dari status yang dimiliki dalam hubungan tertentu seperti sebagai kula-kula/mora, berru, denggan sebeltek. 3.2. Hubungan Marga Sambo dengan Marga Cibro.

Koentjaraningrat (1980: 121-124) mengkategorikan marga dalam masyarakat Batak sebagai klen yang patrilineal. Ciri-cirinya adalah anggotanya tidak saling mengenal, tidak tahu akan hubungan darah masing-masing, tidak bergaul secara itensif, terikat pada tanda lahir seperti nama marga yang sama dan mengaku berasal dari satu nenek moyang. Lebih lanjut dikatakan, ada empat fungsi klen besar yakni; 1) mengatur perkawinan; 2) menyelenggarakan kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok kesatuan; 3) merupakan rangka bagi hubungan-hubungan antara kelas-kelas berlapis dalam masyarakat, dan 4) menjadi dasar organisasi politik.

23

Sulang Silima Marga merupakan lembaga adat yang dimiliki setiap marga suku bangsa Pakpak.

Dalam satu marga, juga diatur hubungan antara dengngan sebeltek, hubungan tersebut terbagi atas situaen, penengah, siampunen.

Setiap marga mempunyai sejarah dan perkembangannya, seperti marga Cibro. Menurut Muka Cibro (48 tahun) salah seorang keturunan marga Cibro di Tuntung Batu, bahwa Cibro memiliki keturunan 3 (tiga) orang anak. Anak pertama yaitu Cibro Telaju. Berada di wilayah Sim-sim dan merupakan tuan tanah diwilayah tersebut melalui proses rading berru24 dari marga Padang. Anak kedua yaitu Cibro Mbinanga Neur. Berada di Lae Merampat di perbatasan antara wilayah Simsim dengan Kepas. Cibro Mbinanga Neur juga merupakan tuan tanah di wilayah tersebut atas pemberian marga Angkat melalui proses rading berru. Sedangkan anak ketiga yaitu Cibro Tuntung Batu (yang menjadi kajian peneliti). Cibro Tuntung Batu menjadi tuan tanah di wilayah Sim-sim tepatnya di 4 (empat) desa yaitu; Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Cibro Tuntung Batu juga memperoleh tanah melalui proses rading berru dari marga Sambo, yang kini menjadi pemilik ulayat.

Dari penjelasan sejarah dan perkembangan marga Cibro, penelitian ini hanya menguraikan Cibro Tuntung Batu terkait hubungannya dengan marga Sambo. Hubungan kedua marga tesebut dapat dilihat dari 2 (dua) bentuk yaitu; hubungan secara pertemenan/politik dan hubungan karena perkawinan. Lebih rinci dijelasan dibawah ini.

24

Rading Berru adalah suatu penyebutan (upacara) dalam adat Pakpak untuk menyatakan

1. Hubungan Pertemanan/Politik

Hubungan pertemanan atau politik dalam penelitian ini diartikan bahwa hubungan baik yang terjalin atas perkenalan dan bukan karena hubungan keluarga atau sedarah. Perkenalan tersebut juga lebih dikarena kedua marga yakni Sambo dan Cibro merupakan satu sukubangsa yang sama yaitu Pakpak. Hubungan marga Sambo dengan marga Cibro dimulai dari hubungan pertemanan sejak Raja Pangultop-ngultop (nenek moyang marga Cibro).

Raja Pangultop-ultop dikenal sebagai raja hebat dalam berperang (dan ahli memakai senjata tiup yang terbuat dari bambu). Atas kehebatan raja tersebut, ia diminta Raja Sambo untuk membantu Kerajaan Sambo dalam mempertahankan kerajaan. Saat itu, kerajaan Sambo berperang melawan marga Ujung. Peperangan tersebut merupakan perang saudara dalam merebut wilayah kerajaan, dalam sejarah Pakpak perang tersebut dikenal sebagai mergraha. Pada zaman itu peperangan terjadi antara kelompok marga Cibro melawan marga Ujung. Peperangan dimenangkan oleh Cibro.

Atas jasa Cibro dalam memenangkan dan mempertahankan kerajaan Sambo, maka hubungan kedua marga tersebut semakin harmonis. Marga Sambo sebagai raja tanah di wilayahnya menikahkan putrinya pada Cibro. Selain itu, marga Sambo juga menyerahkan tanah miliknya pada Cibro melalui suatu upacara adat yang dikenal dengan sebutan Rading Berru.

2. Hubungan Perkawinan

Peralihan yang terpenting dari siklus hidup semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tinggkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat, 1981;90).

Istilah perkawinan menurut orang Pakpak disebut Merbekaskom. Maksudnya bilamana seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan, tanggung jawab atau merasa bebas. Setelah kawin, hal tersebut harus berubah atau dihentikan. Istilah lain disebut juga Merkejjejapen atau jejap. Bagi laki-laki istilah kawin disebut Merunjuk, sedangkan bagi wanita disebut Sijahe.

Suku Pakpak menganut garis keturunan berdasarkan laki-laki (Patrilineal). Perkawinan yang ideal atau yang diharapkan adalah kawin dengan putri pamannya yang disebut Muat impalna atau istilah lain menongketi yang artinya menyokong (meneruskan) kedudukan si ibu dalam keluarga marga laki-laki. Perkawinan satu marga tidak diperbolehkan oleh adat, jika terjadi maka disebut sumbang (incest). Dengan demikian sistem perkawinan yang diperbolehkan oleh adat adalah eksogami marga, artinya seseorang harus kawin dengan orang di luar marga atau kelompok marganya.

Secara tradisional, suku Pakpak mengenal bebarapa bentuk perkawinan, yaitu; Sitari-tari (Merbayo), Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke dan Mengalih. Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk perkawinan yang ideal, yang biasa dilaksanakan. Menama merupakan perkawinan dimana pria dan wanita ada rasa saling mencintai, namu pihak orang tua si gadis tidak setuju, sehingga dicari cara lain yaitu dengan kawin lari. Mengrampas merupakan bentuk perkawinan

yang membawa paksa calon istri. Mencukung hampir sama dengan Mengrampas. Mengeke yakni mengawini janda dari adik atau abang dari si laki-laki. Dan bentuk perkawinan terakhir Mengalih adalah seorang laki-laki mengawini janda dari abangnyaa, namun dapat juga mengawini janda orang lain (Tandak Berutu dalam Lister Berutu, 1998; 14-16).

Dalam hubungan marga Sambo dengan marga Cibro, menurut penuturan keturunan dari marga Cibro yang ada di desa Bongkaras dan Tuntung Batu awalnya tidak ada hubungan kerabat atau marga. Hubungan yang terjalin diawali dari persahabatan karena telah membantu dalam mempertahankan kerajaan marga Sambo. Dari hubungan pertemanan dan jasa tersebut, marga Sambo memberikan tawaran untuk mempersunting putri Raja Sambo bernama Putri Sambo Tempang kepada marga Cibro yaitu Raja Panghultop-hultop. Tawaran tersebut diterima Cibro dan Putri Sambo Tempang menjadi istrinya. Hal ini merupakan awal terjalinnya hubungan kekerabatan atas dasar ikatan perkawinan.

Ikatan perkawinan tersebut membuat hubungan kedua marga menjadi lebih terikat dan menjadi satu kelompok kerabat. Ditinjau dari struktur adat Pakpak, marga Cibro menjadi anak berru25 dari kelompok marga Sambo yang merupakan kula-kula/mora atau Puang26

25

Berru adalah kelompok kerabat pihak penerima gadis. 26

Kula-kula, Mora, Puang adalah kelompok kerabat pemberi gadis.

marga Cibro. Secara adat, marga Cibro harus menghormati marga Sambo sebagai mora (wifegiver). Secara struktural marga Berru juga dinamakan marga pendatang. Pola-pola hubungan sosial antara kelompok berru dan mora juga diatur dalam adat. Dengan kata lain dalam

kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus dituruti atau ditaati.

Dari hubungan perkawinan tersebut, maka kedua marga menjadi kerabat,, sehingga kedua marga saling masuk dalam struktur sosial sulang silima yang dikenal dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Pakpak. Sulang silima terdiri dari 5 (lima) unsur, antara lain; berru, dengan sibeltek atau senina dan puang atau kula-kula. Dengan demikian marga cibro telah masuk dalam struktur sosial sulang silima dari marga Sambo, demikian juga marga Sambo telah masuk dalam struktur sosial sulang silima marga Cibro. Dengan struktur sulang silima, maka marga seseorang menentukan kedudukan dan peranannya dalam setiap aktivitas

Dokumen terkait