• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Kesimpulan.

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap kehidupan manusia sehingga memiliki nilai religius-magis. Demikian halnya bagi kelompok pendatang dan kelompok asli di Dairi yang menjadi fokus penelitian ini. Kelompok pendatang terdiri dari etnik Simalungun, Batak Toba. Kelompok asli adalah marga Cibro dari etnik Pakpak. Kedatangan kelompok pendatang ke Dairi disebabakan oleh 3 (tiga) alasan antara lain; pertama, kehadiran kolonial Belanda ke Tarutung, kedua, Usaha missioner Jerman yang memperluas daerah kerjanya dan ketiga bertambahnya jumlah penduduk Tapanuli serta didukung sempitnya areal pertanian.

Proses migrasi berlangsung mulai tahun 1900-an. Perbaikan sarana transportasi saat itu turut mempengaruhi kedahadiran pendantang. Kehadiran kelompok pendatang ke Dairi semakin menambah berita ke bona pasogit tentang kondisi tanah Dairi yang saat itu tampak masih hutan. Hingga saat penelitian ini berlangsung, kelompok pendatang telah tinggal menetap dan telah menganggap Tanah Dairi merupakan bona pasogit di panombangan.

Kehadiran kelompok pendatang di Desa Bongkaras tidak terlepas dari faktor kedatangan ke tanah Dairi. Penelitian ini telah menjawab ketiga pertanyaan penelitian yang telah diajukan di permasalahan. Pertanyaan pertama dapat dijawab

bahwa kehadiran migrasi di desa tersebut berlangsung dalam 3 (tiga) gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1930-an yaitu keluarga Toropma Purba yang berasal dari Simalungun. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1940-an sebanyak 5 (lima) KK berasal dari Simalungun. Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1940-1950an, terdiri dari 8 (delapan) KK yang berasal dari Samosir, Balige dan Tiga Lingga. Ketiga gelombang pendatang tersebut memiliki alasan yang berbeda. Pendatang pertama karena mengetahui dari pendatang yang pernah ke Dairi bahwa tanah Dairi masih banyak yang kosong, selain itu marga Purba memiliki hubungan marga dengan Cibro. Pendatang kedua atas ajakan marga Purba serta mengetahui dari orang yang pernah ke Dairi bahwa tanah Dairi banyak tidak bertuan. Alasan pendatang ketiga beragam, pendatang asal Samosir dan Balige lebih banyak karena kampung asal mereka telah padat dan areal pertanian semakin sempit selain itu atas ajakan kerabat yang telah pernah datang ke Dairi. Sementara pendatang asal Tiga Lingga lebih banyak karena adanya permusuhan antar etnis yang terjadi pada tahun 1946-1955.

Adapun alasan kedatangan dikarenakan masuknya kolonial Belanda untuk mengejar pejuang Batak yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII selain itu, hadirnya missioner Jerman untuk memperluas misi kekristenan. Selain kedua alasan tersebut, terdapat beberapa alasan antara lain; atas ajakan pendatang yang lebih dahulu, tanah Dairi banyak yang tidak bertuan, daerah pertanian di daerah asal (Tapanuli dan Simalungun) sudah semakin sempit, adanya perang etnis di Tiga Lingga.

Pertanyaan kedua dapat dijelaskan bahwa penguasaan dan kepemilikan tanah belangsung dari marga Sambo kepada marga Cibro. Selanjutnya dari marga Cibro kepada marga Purba dan dari marga Purba kepada kelompok pendatang yang berasal dari etnis Batak Toba. Penguasaan dan kepemilikan tanah dari marga Sambo kepada marga Cibro berlangsung melalui mekanisme adat yang disebut radiing berru. Sementara penguasaan dan kepemilikan tanah dari marga Cibro kepada marga Purba lebih berdasarkan adanya hubungan sejarah kedua marga. Selanjutnya, penguasaan dan kepemilikan tanah dari marga Purba kepada kelompok pendatang yang berasal dari etnis Batak Toba terjadi atas adanya proses jual beli tanah. Dari peralihan tanah terakhir hingga penelitan ini berlangsung, kepemilikan tanah telah menjadi hak milik pribadi, hal ini dilengkapi dengan adanya dokumen resmi.

Demikian halnya dengan pertanyaan ketiga, dapat dijawab bahwa hubungan antara kelompok asli dan pendatang awalnya harmonis berubah menjadi perselisihan. Hubungan antara marga Sambo dengan marga Cibro merupakan hubungan yang terikat dalam struktur adat kedua marga tersebut. Namun, setelah hadirnya PT. Dairi Prima Mineral, generasi marga Sambo menilai bahwa marga Cibro harus mengakui bahwa tanah ulayatnya tetap merupakan milik marga Sambo sebagai marga tanoh. Selain itu hubungan marga Cibro dengan marga Boang Manalu yang terikat struktur adat semakin tidak harmonis. Hal ini terlihat dari adanya sengketa atas tanah warisan yang diberi marga Cibro kepada marga Boang Manalu. Awalnya tanah warisan, baik yang diberi oleh marga Sambo maupun marga Cibro tidak pernah dipersoalkan, malah banyak

yang tidak dikelola. Namun, setelah kehadiran PT. Dairi Pirma Mineral, tanah tersebut berubah fungsi dan bernilai ekonomis, sehingga mendorong terjadinya tarik-menarik kepemilikan hak atas tanah.

Selain hubungan sesama etnik Pakpak diatas, hubungan kelompok asli yaitu marga Cibro dengan kelompok pendatang yang berasal dari etnik Batak Toba, Simalungun juga terlihat tidak harmonis. Marga Cibro sebagai pemilik tanah ulayat akan mengatur tanah yang sudah dimiliki oleh kelompok pendatang. Selain itu, sengketa tanah juga sudah mulai terjadi, misalnya dengan marga Manik dan Sihaloho.

Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut dapat dinyatakan bahwa status kepemilikan tanah yang semula memiliki makna religus-magis dalam perkembangannya menjadi bernilai ekonomis. Pergeseran makna tersebut terjadi akibat adanya kehadiran kelompok pendatang maupun perusahaan, sehingga kepemilikan tanah secara komunal beralih menjadi kepemilikan secara pribadi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ter Haar dimana semakin kuat hak perseorangan maka hak marga semakin lemah (berkurang). Faktor-faktor yang mendukung perkembangan tersebut: 1) suatu ciri yang memberikan hak atas tanah (marga tanah) dapat diwariskan secara terus menerus/turun temuru kepada generasi berikutnya, sehingga memperkuat hak perseorangan atas tanah. 2) perkembangan jumlah penduduk yang meningkat dalam wilayah tertentu membuat kebutuhan akan tanah semakin bertambah dan mengakibatkan akan keterbatasan tanah. 3) perkembangan nilai ekonomi tanah.

Dengan demikian, eksistensi hak ulayat (milik marga tanah) dalam kenyataannya beralih menjadi milik secara pribadi. Hukum adat yang diharapkan dapat mempertahankan hak ulayat (pemilikan, pewarisan dan pengalihan) dalam perkembangannya telah berada dalam transisi menuju hukum tanah nasional. Hal ini membuat pengaturan hak ulayat yang seharusnya dijalankan oleh sulang silima marga Cibro tidak lagi berjalan sebagaimana fungsinya.

Saran.

Untuk menjaga keharmonisan kelompok asli dan pendatang serta kelestarian adat Pakpak, maka penulis mengharapkan melalui saran sebagai berikut:

1. Perlu melakukan kajian mendalam tentang adat pertanahan etnik Pakpak. Hal ini bermanfaat agar nilai-nilai budaya yang terkadung tetap dipelihara dan dalam pelaksanaanya hukum adat pertanahan tidak bertentangan dengan hukum pertanahan nasional (Negara), sehingga status kepemilikan tanah dapat secara sah dimiliki.

2. Untuk pihak-pihak yang bersengketa, sengketa hendaknya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan menggunakan prinsip-prinsip musyawarah mufakat dan diharapkan hasilnya tidak merugikan semua pihak.

3. Dalam melegitimasi dokumen kepemilikan tanah, sebaiknya pemerintah dapat mempertimbangkan aspek historis dan aturan-aturan adat dalam setiap pembebasan tanah serta memfasilitasi secara arif setiap adanya sengketa tanah.

4. Adanya pengakuan hak ulayat baik oleh Pemerintah maupun kelompok pendatang tanpa menghilangkan lembaga adat Pakpak yang berlaku di masyarakat.

Dokumen terkait