• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SEJARAH KONGREGASI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA

B. Gambaran Ketaatan Iman Maria dalam Karya Penyelamatan Allah

1. Gambaran mengenai Ketaatan

Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai arti ketaatan, ketaatan Kristus, ketaatan dalam hidup membiara, kaul ketaatan, kaul ketaatan menurut konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria, tantangan kaul ketaatan, tanggapan kaum religius, ketaatan dan kedewasaan pribadi.

a. Arti Ketaatan

Menurut J. Darminta, SJ, ketaatan dalam arti luas berarti suatu keterbukaan yang menyeluruh terhadap arti segala peristiwa dalam situasi hidup. Keterbukaan inilah yang menjadi dasar hidup seseorang yang sungguh-sungguh taat. Taat merupakan tuntutan dari dalam diri manusia, yang harus berhadapan dengan situasi hidup. Maka terbuka dan membaca situasi merupakan syarat mutlak untuk dapat taat. Taat bagi manusia merupakan satu-satunya jalan untuk dapat berkembang dalam hidup. Tetapi ketaatan itu ketaatan yang mengatasi bukannya ketaatan yang menyerah dan tenggelam dalam situasi. Maka manusia dalam taat juga harus mampu menganalisis dan melihat makna yang tersirat dalam situasi itu sehingga ia dapat mengambil keputusan dengan tepat (Darminta, 1975: 40-41).

b. Ketaatan Kristus

Ketaatan merupakan sikap dasar Yesus terhadap Allah. Di Getsemani Yesus mengucapkan ketaatan-Nya itu ketia Ia merasa harus minum piala kesengsaraan demi terlaksananya kehendak Bapa. Penggunaan kata ”harus” dalam

pemberitaan tentang sengsara-Nya, menunjukkan bahwa hidup Yesus merupakan suatu ketaatan pada kehendak Bapa. “Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan” (bdk. Mrk 8:31). Yesus menghayati ketaatan-Nya pada kehendak Bapa secara khusus dalam menempuh jalan menuju salib. Tetapi segala hidup dan karya Yesus merupakan satu ketaatan sebagaimana ditegaskan-Nya dalam Injil Yohanes, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (bdk.Yoh 4:34), (Ladjar, 1983: 56).

Berkat ketaatan Kristus kepada Allah Bapa-Nya hubungan antara manusia dipulihkan kembali. Ketidaktaatan Adam ditebus dengan ketaatan Kristus. ”sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang yang benar” (Rm 5:19). Melalui ketaatan Kristus rencana penyelamatan Allah mulai terlaksana secara pasti menuju kepenuhannya. Ketaatan Yesus bukan merupakan pemenuhan hukum secara lahiriah belaka. Yesus memang mengenal hukum Taurat dan tidak mau menghapuskan satu iota pun dari padanya. Tetapi di atas segalanya, Ia mengenal Bapa dan kehendak-Nya yang mendasari hukum itu. Kehidupan Yesus ditentukan oleh kehendak Bapa yang memberikan kepada-Nya suatu tugas khusus yaitu untuk melaksanakan karya penebusan (Ladjar, 1983: 57).

Kepercayaan akan pembenaran melalui ketaatan Yesus menuntut dari semua orang yang dibabtis kesediaan untuk ikut serta dalam ketaatan Yesus. Hal ini ditekankan juga oleh St. Paulus dalam nasehatnya kepada jemaat di Filipi. Umat yang telah percaya kepada Kristus diajak untuk memiliki perasaan seperti

yang dimiliki Yesus Kristus, dan tugas karya Yesus haruslah merupakan model untuk mereka (bdk. Flp 2:6-11). Tuntutan ketaatan itu tidak tinggal sebagai sesuatu yang umum dan kabur tetapi jelas. “Tidak semua orang yang berseru kepada-Ku Tuhan, Tuhan akan masuk Kerajaan Surga, melainkan yang melakukan kehendak Bapa yang di Surga” (bdk. Mat 7:21). Hanya melakukan kehendak Bapa yang memungkinkan manusia masuk dalam suatu hubungan pribadi dengan Allah, karena dengan demikian dia menjadi ”saudara dan ibu” dari Tuhan Yesus Kristus (bdk. Mat 12:50). Seperti ketaatan Kristus, demikian juga ketaatan orang Kristiani harus digerakkan oleh pengenalan akan Bapa yang telah diwahyukan oleh Yesus. Di dalam ketaatan Yesus orang Kristiani akhirnya melihat apa yang merupakan ketaatan religius (Ladjar, 1983: 58).

c. Kaul Ketaatan

Ketaatan dalam hidup membiara berarti orang saling mendengarkan satu sama lain dan mendengarkan suara komunitas. Sangat dihargai jika dalam komunitas ada anggota yang mempunyai kemampuan untuk mendengarkan. Lebih bagus lagi jika setiap anggota dapat menjadi pendengar yang baik, sehingga mereka dapat menemukan kesatuan kehendak dalam perbedaan-perbedaan baik anggota maupun tugas. Dengan demikian ketaatan menjadi tali pengikat kesatuan dalam komunitas (Darminta, 1975: 44).

Kedudukan Kristus yang istimewa memungkinkan bahwa Ia dapat merenungi secara langsung dan membedakan mana yang merupakan kehendak Bapa, meskipun harus melewati saat-saat kegelapan. Sedangkan untuk kaum

religius jauh lebih sulit mengetahui kehendak Bapa secara langsung karena hati sudah menjadi tumpul oleh dosa. Oleh karena itu sebagai seorang religius hendaknya memandang kepada Kristus dan taat kepada-Nya sebagai Sabda Bapa yang hendak diikuti. Karena itu ketaatan religius selalu dilihat sebagai cara mengikuti penghampaan diri Kristus dengan mengingkari kehendak sendiri, sebagaimana Dia telah menghampakan diri-Nya dengan mengambil rupa hamba dan taat sampai mati (bdk. Flp 2:7-8 dan Lumen Gentium (LG) no. 42). Hidup religius pada dasarnya adalah ketaatan karena merupakan jawaban kepada Allah yang memanggil dan merupakan janji kesetiaan pada cara hidup menurut Injil suci yang ditawarkan oleh Allah yang memanggil (Ladjar, 1983: 59).

Ketaatan kaum religius merupakan partisipasi dalam ketaatan Kristus. Dengan kaul ketaatan dalam hidup membiara, kaum religius bersama Kristus mendengarkan kehendak Allah yang disampaikan lewat sesama, peristiwa dan alam ciptaan. Jadi kaul ketaatan merupakan suatu jawaban ya pada kehendak Bapa. Sebagai anggota komunitas yang aktif, kaum religius akan menemukan bentuk-bentuk konkrit dari ketaatan, maka membutuhkan penyesuaian dengan tuntutan masyarakat yang selalu bergerak dan berubah. Ketaatan hidup membiara merupakan suatu kesediaan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan sesuai dengan gerakan Roh yang selalu bekerja di dunia (Darminta, 1975: 43). Roh itu berbicara dengan cara yang terbatas dan berbeda kepada manusia dalam keterbatasannya, maka konsekuensi dari kaul ketaatan adalah bahwa terus-menerus mengembangkan kepekaan terhadap situasi dan peristiwa yang dihadapi baik dalam komunitas, tarekat maupun dalam masyarakat. Maka orang yang taat

akan mudah mendengarkan dengan penuh hormat baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas. Menurut Perfectae Caritatis (PC), dekrit tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius dikatakan:

Dengan mengikrarkan ketaatan para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka yang sepenuhnya kepada Allah. Dengan demikian mereka secara lebih tetap dan terjamin dipersatukan dengan kehendak penyelamat Allah. Maka seturut teladan Yesus Kristus yang datang untuk melaksanakan kehendak Bapa (bdk.Yoh 4:34; 5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9),”mengenakan rupa seorang hamba” (bdk. Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (bdk. Ibr. 5:8), hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntun untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti Kristus sendiri demi kepatuhan-Nya terhadap Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (bdk. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (bdk. Ef 4:13). Oleh karena itu hendaknya para anggota, dalam semangat iman dan cinta kasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya-kemampuan akal budi dan kehendak maupun bakat-bakat alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan tubuh Kristus menurut rencana Allah. Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan, karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah (PC no. 14).

Dekrit ini menegaskan bahwa melalui kaul ketaatan kaum religius mempersembahkan seluruh kehendak mereka pada Allah, dengan meneladani pribadi Kristus dalam ketaatan-Nya pada kehendak Bapa. Maka dalam karya pelayan kaum religius sungguh membaktikan diri melalui karya perutusan di dalam Gereja yang diterima melalui para pemimpin dengan mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki demi keselamatan sesama yang akhirnya membawa kaum religius menuju kebebasan yang sejati.

d. Kaul Ketaatan menurut Konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria

Pada bagian ini yaitu kaul ketaatan menurut konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria, penulis akan memaparkan mengenai semangat ketaatan sebagai seorang Suster Notre Dame.

Dalam konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria artikel 33 dikatakan:

Melalui ketaatan, setiap Suster Notre Dame belajar untuk mengalahkan kehendak pribadi dan membiarkan hanya kehendak Allah yang berkarya dalam setiap pribadi. Sikap keterbukaan dan kepekaan terhadap bimbingan Roh Kudus memampukan setiap suster untuk menjadi seorang pribadi yang lepas bebas sebagai wujud nyata dari semangat kesederhanaan.

Dalam konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria artikel 34 dikatakan:

Partisipasi dalam ketaatan Kristus, memampukan setiap Suster Notre Dame untuk selalu siap sedia dalam menerima dan melaksanakan karya kerasulan Kongregasi. Dengan iman akan penyertaan Yesus Kristus melalui pemimpin tinggi, setiap suster Notre Dame diutus dalam karya dan hidup berkomunitas.

e. Tantangan Kaul Ketaatan

Seiring dengan perkembangan zaman terutama perubahan sistem pemerintahan dari yang cenderung tertutup menuju ke alam demokrasi menjadi tantangan juga bagi hidup religius dalam menghayati kaul ketaatan, baik di dalam hidupnya sendiri mau pun di dalam pelayanan kerasulannya. Di dalam suasana demokrasi, berkembanglah sikap kritis dan keterbukaan diberbagai bidang

kehidupan. Orang cenderung menuntut segala sesuatu bersifat transparan dan rasional. Orang diberi kesempatan untuk berbicara, mengungkapkan pemikirannya, mempertahankan argumentasinya, untuk berbeda pandangan dengan yang lain bahkan dengan pemimpinnya. Walaupun demikian ada juga sisi lain yang perlu disikapi secara bijak, karena keterbukaan dan keberanian menjadikan orang cenderung spontan bereaksi tanpa memperhatikan sikap hormat terhadap orang lain (Evarista, 2003: 321).

Di mana-mana orang menuntut diadakannya dialog, namun yang terjadi bukan dialog dalam arti yang sebenarnya, melainkan monolog dari bawah yang mau menunjukkan keberanian untuk berbicara apa saja yang ingin dikatakan dan cenderung agresif, menuntut hanya dirinya yang didengarkan. Rupanya masih banyak ketegangan antara alam feodal yang cukup lama berakar di masyarakat kita, yang juga mempengaruhi hidup religius dengan alam demokrasi yang sedang dipelajari (orang sedang belajar mewujudkan demokrasi). Di alam demokrasi orang menuntut diberi ruang untuk aktualisasi diri. Hal ini masuk dalam hidup religius baik suster-suster yang baru mengucapkan kaul sementara maupun yang sudah kaul kekal. Orang menuntut diakui keberadaannya, kemampuannya, aktivitasnya. Seolah-olah harga dirinya terletak pada aktivitasnya atau kemampuannya. Di dalam masyarakat Indonesia yang masih tertatih-tatih belajar berdemokrasi orang cenderung menuntut hak dan seringkali mengabaikan kewajibannya. Hal ini juga membawa pengaruh bagi kaum religius di mana mereka juga cenderung menuntut hak kepada pimpinan atau komunitasnya dengan tidak memperhatikan kewajibannya (Evarista, 2003: 322 - 323).

f. Tanggapan Kaum Religius

Menurut Lumen Gentium (LG), konstitusi dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja dikatakan: Gereja mengharapkan agar dengan kaul-kaul, orang beriman Kristiani terutama kaum religius mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu (LG. no. 44). Di dalam menghayati ketaatan, kaum religius dituntut senantiasa terbuka untuk mencari dan melaksanakan kehendak Allah sebagaimana diteladankan oleh Kristus yang membawa konsekuensi harus rela melepaskan kehendak dan rencana pribadi. Bahkan adakalanya kaum religius pun diajak untuk berdoa,”Ya Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (bdk. Luk 22:42). Dalam kepercayaan, Tuhan pun akan mengutus malaikat-Nya untuk memberi kekuatan kepada setiap pribadi yang terpanggil. Kaum religius menerima penugasan dan pengutusan dari tarekat yang menuntut banyak pengorbanan bahkan penderitaan. Dengan ditemani oleh Bunda Maria kaum religius berkata ”terjadilah padaku menurut perkataan -Mu,” sebagai ungkapan penghayatan kaul ketaatan yang dengan tulus hati mau dikembangkan dalam kehidupan religius zaman ini (Evarista, 2003: 328 - 329).

g. Ketaatan dan Kedewasaan Pribadi

Kadang-kadang terdengar kritik tentang para religius bahwa praktek ketaatan menyebabkan mereka tidak berkembang menjadi manusia yang dewasa. Mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Penilaian mengenai benar atau tidaknya kritik semacam itu tergantung dari arti

yang diberikan kepada pengertian dewasa dan dari cara melaksanakan wewenang dari ketaatan itu (Ladjar, 1983: 63).

Pribadi yang dewasa justru yang mengakui dan menghayati ketergantungannya pada Allah dan sesama. Maka ketaatan tidak menghambat orang untuk menjadi dewasa tetapi justru mendewasakan dan menjadi tanda kedewasaan bila pertama-tama sebagai sikap terbuka untuk mendengarkan dan menjawab suara Tuhan yang disampaikan melalui atasan. Orang yang dewasa adalah orang yang bersikap terbuka untuk mencari kehendak Allah dan membiarkan diri sendiri dikuasai oleh-Nya dalam segala segi hidup. Praktek ketaatan yang didasarkan pada keinginan mencari kehendak Allah dan menundukkan diri kepada-Nya akan membawa orang kepada kebebasan yang sejati anak-anak Allah. Maka daya kemampuannya dalam mengikuti jejak Kristus, menjadi daya kemampuan untuk melayani dan mencuci kaki saudara-saudaranya. Dengan demikian ketaatan tidak menyebabkan pribadi seorang religius menjadi mandul tetapi justru mengangkatnya dan membuatnya menemukan kepenuhan pribadinya yang terbuka terhadap Allah dan sesama (Ladjar, 1983: 64 - 65).

Dokumen terkait