• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (Ibu Pendiri)

BAB II. SEJARAH KONGREGASI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA

A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld

2. Riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (Ibu Pendiri)

2. Riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (Ibu Pendiri)

Pada bagian kedua ini yaitu riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (ibu pendiri), penulis akan membahas mengenai benih, mentari, kuncup, mekar,

badai dan buah yang menjadi proses awal bertumbuh dan berkembangnya Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld.

a. Benih

Aldegonda Henrica Wolbring lahir pada tanggal 8 Januari 1828 di Rotterdam, Belanda. Ayahnya bernama Otto Arnold Wolbring, perajin logam dulu tinggal di Stenern, Westfalia. Ibunya bernama Chaterine Mohren Wolbring, putri dari pedagang kaya di Belanda. Rentetan kejadian silih berganti menandai masa kanak-kanak Gonda. Ketika ia berusia dua tahun ayahnya meninggal akibat sakit pneumonia. Dalam satu tahun disusul kematian ibunya yang belum lama menikah. Kemudian ayah tiri Aldegonda menikah lagi. Ia dan istrinya bermaksud untuk menyelamatkan harta warisan anak ini, selain itu mereka juga tidak memperhatikan pendidikan yang baik di dalam keluarga, bahkan berusaha untuk memusnahkan hubungan dengan keluarganya di Belanda. Sungguh beruntung karena paman Aldegonda, Gerard Wolbring ikut campur tangan, ia mengambil hak perwalian dan memutuskan untuk menyerahkan Gonda pada asuhan sepupunya, Bernard Wolbring, petani di Stenern (Margaret, 1961: 129).

b. Mentari

Mengenai Pendidikan Aldegonda ada dua keluarga yang sibuk memikirkan yaitu keluarga pamannya dan orang tua angkatnya yang juga mempersiapkan putri kandungnya, Elisabeth untuk menghadapi hari yang penting itu. Di dalam keluarga Bernard Wolbring, semua setuju agar pendidikan

Aldegonda diselaraskan sesuai dengan isi surat wasiatnya di mana Aldegonda harus belajar apa saja yang dapat dipelajari, ia perlu diberi pendidikan yang baik, demikian keputusan walinya. Namun apa saja yang dapat ia pelajari tidak ada di Stenern karena tidak ada sekolah. Seperti anak-anak lain di desa Aldegonda harus pergi ke sekolah negeri di Bocholt. Akhirnya keluarga Wolbring memutuskan untuk menyekolahkan Aldegonda di Bocholt, karena disana ada kesempatan untuk mengikuti kursus tambahan bagi anak-anak yang berbakat seperti Aldegonda yang diadakan sore hari. Akhirnya bapak Herman Husener, guru di Bocholt menawarkan untuk menerima gadis kecil ini dalam asuhannya selama sekolah di sana (Margaret, 1961: 132).

Setelah selesai sekolah tingkat dasar, Aldegonda melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yang dipimpin oleh Nona Laumann, yang juga mantan siswa Bernard Overberg. Dari saat penerimaan Komuni Pertama ketika berusia tiga belas tahun, dan sakramen krisma satu tahun kemudian, Aldegonda menunjukkan daya tariknya yang luar biasa pada masalah-masalah Tuhan (Margaret, 1961: 134).

c. Kuncup

Setelah menyelesaikan pendidikan di Tangerding, Aldegonda menerima surat pengangkatan dari dinas pendidikan di Munster, sebagai guru bantu di sekolah dasar paroki di Coesfeld. Beberapa hari sebelum sekolah dimulai Aldegonda membuat persiapan mengajar. Keluarganya yang belum menyadari keteguhan cita-citanya merasa kagum dan bahagia (Margaret, 1961: 139).

Dua kali seminggu sekolah berlangsung setengah hari sehingga sore hari atau pada hari Minggu Aldegonda bersama seorang teman guru sering berjalan-jalan. Pada suatu hari ketika mereka sedang berjalan-jalan, mereka bertemu dengan Nona Lisette Kuhling, guru di kelas besar di sekolah dasar St Lambert. Perjumpaan ini merupakan awal dari persahabatan suci yang tercatat dalam sejarah dan riwayat hidup. Perjumpaan ini diteruskan dengan persahabatan yang merupakan faktor di dalam membuka rencana Ilahi. Salah satunya adalah perhatian dan cinta Aldegonda pada anak-anak miskin dan terlantar, bahkan tidak segan-segan ia menghabiskan waktu, uang serta perhatiannya kepada mereka. Secara berangsur-angsur rencana hidupnya mulai matang di dalam keputusannya yang teguh yaitu untuk membaktikan seluruh tenaga dan harta miliknya guna mendirikan sebuah lembaga bagi anak-anak yatim piatu dan terlantar, bukan di misi luar negeri tetapi di negerinya sendiri, di mana keadaan politik dan ekonomi telah menciptakan ladang yang sudah siap untuk karya belas kasih. Mereka berdua sepakat untuk meminta nasehat Pastor Elting, yang ternyata senang dan menaruh minat pada bidang itu. Meskipun ia setuju untuk mengawasi urusan finansial mereka, ia menyarankan bahwa untuk mewujudkan proyek ini, mereka seyogianya menggabungkan diri dengan suatu lembaga religius yang membaktikan diri pada pendidikan anak-anak (Margaret, 1961: 140-141).

Aldegonda sangat terharu pada nasehat Pastor Elting yang mengejutkan, yaitu suatu hidup yang dibaktikan kepada Tuhan dengan kaul religius, dia merenungkannya. Apa yang diminta Tuhan? Ia berdoa “Bicaralah Tuhan hambamu mendengarkan.” Kemudian dalam penyerahan diri sepenuhnya

pada kehendak Tuhan, dalam semangat ingkar diri pada kepentingan-kepentingan pribadi serta berupaya mengarahkan diri pada satu tujuan yang dijiwai oleh cinta, Aldegonda menjawab “Tuhan saya datang dengan sepenuh hatiku!” (Margaret, 1961: 142).

Dengan kebebasan baru yang diberikan kepada Gereja melalui revolusi tahun 1848, tampaknya sangat tepat untuk mendirikan sebuah kongregasi religius di Jerman yang bergerak di bidang pendidikan. Panitia menemukan bahwa kongregasi para Suster Notre Dame Amersfoort yaitu sebuah komunitas religius yang peraturannya berdasar pada peraturan Kongregasi di Namur dipandang paling cocok untuk menagggapi kebutuhan yang mendesak di Jerman. Maka atas persetujuan Moeder Mary Joseph, pemimpin umum Kongregasi Amersfoort, ia mengirim tiga orang suster ke Coesfeld yang mana pemimpinnya telah dilatih di kongregasi para Suster Notre Dame di Namur selama tiga tahun dengan demikian telah meresapi semangat Moeder Yulia Billiart. Persiapan ini diadakan selama tiga tahun untuk mempersiapkan kedua guru muda ini mengawali hidup kebiaraan (Margaret, 1961: 142).

Pada tanggal 3 Juni 1850, Sr. Maria Brigitte, Sr. Maria Ursula, Sr. Maria Angela datang dari Amersfoord. Waktu berjalan sangat cepat, memadukan pengalaman-pengalaman baru antara mengajar di sekolah dan belajar di novisiat. Di novisiat ia mendapat contoh-contoh serta petunjuk-petunjuk dari Sr. Maria Brigitte untuk perkembangan semangat doa dan ketenangan. Maka pada tanggal 1 Oktober 1850 Aldegonda Wolbring diperbolehkan mengenakan tanda rahmat dan pilihan Ilahi yaitu busana biara suci, dengan nama yang dikenakan adalah Sr.

Maria Aloysia. Ia sungguh memahami tujuan hidupnya yaitu kemurnian raga, pikiran, kehendak perasaan serta tujuan sebagaimana yang dirumuskan oleh Moeder Yulia Billiart sebagai kesederhanaan (Margaret, 1961: 143).

d. Mekar

Masa Novisiat bagi Sr. Maria Aloysia selama dua tahun merupakan kelanjutan dari karya lama, yaitu mengajar di sekolah dan membimbing anak-anak panti asuhan. Pada saat yang sama, dia dan Lisette yang kini bernama Sr. Maria Ignasia masih dibawah bimbingan Sr. Maria Brigitte, berjuang dengan tekun untuk mendapatkan semangat hidup kebiaraan yang sejati. Hanya untuk Tuhan adalah satu-satunya tujuan dari segala keinginan dan tindakannya yang ia perjuangkan untuk memilih yang terkecil dari segalanya melalui kerendahan hati, cinta kasih serta ketaatan dengan sepenuh hati. Ia menyerahkan segala keputusannya kepada pemimpin agar dapat membuat kehendaknya menjadi suatu korban bakar yang sempurna (Margaret, 1997: 145).

Tuhan sendiri melalui Gereja-Nya berkarya dalam kesederhanaan yang luhur, yang nampak dalam upacara pengikraran kaul di Kongregasi yang diadakan untuk pertama kalinya pada tanggal 1 Oktober 1852. Saat itu adalah saat yang berahmat karena Sr. Maria Aloysia berada di jalan baru dan penuh misteri Sebuah cincin sederhana, mahkota terbuat dari dahan myrtle, kerudung hitam merupakan tanda yang nampak bahwa Sr. Maria Aloysia sedang memberikan diri kepada Kristus untuk selama-lamanya melalui kaul kekal (Margaret, 1961: 146).

Pada bulan November 1853 dengan penuh inisiatif dan kesederhanaan ia memulai tugas baru sebagai guru sekolah dasar di Aldekerk. Sr. Maria Anna menjadi pimpinan dan merangkap tugas di panti jompo, yang letaknya berhubungan dengan sekolah, sedangkan Sr. Maria Genevieva mengurus rumah tangga. Setelah diadakan pembicaraan yang cukup panjang antara para pemimpin gerejawi dan Moeder Mary Joseph di Amersfoort, disepakati bahwa telah tiba waktunya untuk menjadikan komunitas Coesfeld sebagai sebuah Kongregasi mandiri (Margaret, 1961: 147).

Hasil pertemuan meramalkan tanda baik bagi masa depan di mana sebelas dari tiga belas suster profes berserta dua puluh dua novis memilih Coesfeld. Selanjutnya pemilihan pemimpin umum jatuh pada Sr. Maria Anna. Jabatan sementara ini dikukuhkan dalam sidang kanonik. Dalam sidang itu secara resmi Sr. Maria Anna diangkat menjadi pemimpin umum (Margaret, 1961: 148).

Kongregasi yang baru berdiri ini beranggotakan tiga belas orang, sebagian besar masih muda dan kurang pengalaman, namun semua mempunyai sifat pemberani dan siap menghadapi tantangan. Ketika Kongregasi sedang mekar-mekarnya untuk mandiri, mungkin diharapkan agar peran serta Sr. Maria Aloysia sebagai pendiri akan dikenal dengan mengangkat dia sebagai penasehat, tetapi ia dikirim ke Aldekerk. Dengan besar hati ia melaksanakan tugas dengan pengorbanan diri dan karyanya bagi orang lain (Margaret, 1961: 149).

Sr. Maria Aloysia menerima tugas itu dengan jiwa besar, jauh dari perasaan iri dan perasaan lain. Ia memandang sebagai tugas pelayanan. Baginya tugas ini merupakan ketaatan yang berakar sangat dalam di lubuk hatinya, yang

dihayati demi seseorang yaitu mempelai-Nya, Yesus Kristus. Kongregasi berakar, tumbuh dan berkembang serta menarik jiwa-jiwa kepada Kristus di bawah pimpinan orang lain (Margaret, 1961: 152).

e. Badai

Bagi Sr. Maria Aloysia, dua puluh satu tahun telah berlalu, ia berkaya di tempat tersembunyi sebagai guru sekolah dasar di sebuah paroki. Sudah tiba waktunya untuk mengalami krisis yang sangat besar untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan Yesus meskipun harus melalui masa pencobaan yang gelap. Pada awal pecahnya kulturkampf yaitu usaha pemerintah untuk mengawasi kehidupan intern dan mengadakan monopoli dalam bidang pendidikan atas gagasan Otto Von Bismarck menjadi keprihatinan Gereja saat itu karena harta milik Gereja disita, kehidupan beragama ditekan dan dirongrong, biara-biara dipaksa untuk ditutup. Sr. Maria Aloysia meramalkan bahwa karya Kongregasi yang sedang berkembang di Jerman akan segera punah namun ia menghadapi situasi yang menyayat hati ini dengan tabah. Dengan kepasrahan dan kebulatan tekad, ia pergi ke Amerika bersama Moeder Maria Chrysostoma dan tujuh Suster untuk merintis jalan kecil yang kelak akan diikuti oleh sekitar dua ratus Suster lain pada tahun-tahun berikutnya. Dari sepercik api kehancuran Kongregasi di Jerman, Sr. Maria Aloysia melihat timbulnya tujuan mulia di Amerika (Margaret, 1961: 155).

Sekitar dua ratus Suster Notre Dame meninggalkan Jerman menuju ke Amerika. Hanya Tuhan yang dapat mengukur pilu hati ketika rombongan demi

rombongan mengarungi lautan menuju ke dunia asing. Tak ada gunanya pula untuk tenggelam dalam peristiwa sedih pada saat upacara penerimaan busana biara dan pengikraran kaul kekal yang terakhir di balik palang pintu kapel biara St. Annathal, yang diadakan bertepatan dengan dikeluarkannya undang-undang kekaisaran yang memerintahkan agar melepaskan busana biara atau meninggalkan tanah air dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Sr. Maria Aloysia yang dengan tabah dan berdoa penuh kepasrahan menyimpan semua peristiwa itu di dalam hatinya (Margaret, 1961: 163).

f. Buah

Dibawah bimbingan Pastor Elting, perkembangan komunitas St. Annathal sangat pesat terutama karya pelayanan yang sungguh dirasakan oleh masyarakat sekitar dimana anak-anak usia dua sampai enam tahun diasuh tanpa dipungut biaya sehingga orang tua dari anak-anak miskin ini bekerja untuk mencari nafkah dan merasa tidak terbebani dalam mengurus anak-anak mereka karena yakin bahwa anak-anak selalu aman dalam asuhan para suster. Selain itu para suster juga memperluas karya pelayanan dalam bidang pendidikan yaitu membuka sekolah pendidikan guru, sekolah SMA dilengkpi asrama bagi anak-anak putri, sekolah taman kanak-anak-kanak-anak juga sekolah menjahit (Johannita, 1996: 86).

Salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh Sr. Maria Aloysia adalah mempersiapkan anak-anak untuk menerima Komuni pertama, tugas yang ia gemari. Bersama para remaja putri, ia melatih keterampilan rumah tangga dengan

tujuan agar mereka dapat mandiri setelah meninggalkan panti asuhan. Mereka dilatih dalam berbagai tugas rumah tangga, di kamar cuci, di kebun, diberi pelajaran menisik, menjahit, membuat pakaian dan membantu mengawasi anak-anak kecil. Sr. Maria Aloysia selalu hadir bersama mereka, tersenyum dan siap membantu, mencintai mereka dan dicintai oleh mereka (Margaret, 1961: 172).

Kesehatannya mundur akibat serangan pneumonia, sehingga pada musim semi tahun 1889 ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya alat sederhana di tangan Tuhan, maka semuanya hanya untuk karya Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa. Sumber kegembiraan Sr. Maria Aloysia adalah ketika melihat para suster setia terhadap panggilan yang sedang dijalani dan bersemangat dalam melatih kepercayaan serta ketergantungan pada Tuhan, kesederhanaan, cinta kasih dan ketaatan di mana ia sendiri telah berusaha untuk mendapatkannya semasa hidupnya. Di saat tubuhnya lemah dan jiwanya di ambang kesunyian, Sr. Maria Aloysia menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan (Margaret, 1961: 173).

Dokumen terkait