• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA DI PROVINSI INDONESIA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA DI PROVINSI INDONESIA SKRIPSI"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

i

KETAATAN IMAN MARIA

BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA

DI PROVINSI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Martina Baololon Hayon

NIM: 071124034

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

KETAATAN IMAN MARIA BAGI

SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA

DI PROVINSI INDONESIA

Oleh:

Martina Baololon Hayon

NIM: 071124034

Telah disetujui oleh:

(3)

iii

SKRIPSI

KETAATAN IMAN MARIA BAGI

SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA

DI PROVINSI INDONESIA

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Martina Baololon Hayon NIM: 071124034

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 27 Agustus 2012 dan dinyatakan memenuhi syarat.

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama Tanda tangan Ketua : Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J.

Sekretaris : Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd. ……… Anggota : 1. Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J. ………

2. Dra. Yulia Supriyati, M.Pd . ....……….. 3. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M. Hum. ………

Yogyakarta, 27 Agustus 2012 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk Kongregasi Suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia, kedua orang tua, ketiga adikku, dan sahabat, yang telah

(5)

v

MOTTO

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya”

(Pkh. 3:11)

Aku bahagia bahwa aku masih dapat bekerja untuk Tuhan”

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya tulis ilmiah.

Yogyakarta, 27 Agustus 2012

Penulis,

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Martina Baololon Hayon

NIM : 071124034

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang bagi perpustakaan Universitas Snata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul

KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA

MARIA DI PROVINSI INDONESIA. Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 27 Agustus 2012 Yang menyatakan,

(8)

viii

ABSTRAK

Judul skripsi KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER ST. BUNDA MARIA DI PROVINSI INDONESIA, dipilih berdasarkan keprihatinan mengenai ketidaktaatan para suster dalam menghayati tri kaul terutama kaul ketaatan. Banyak kaum religius zaman ini termasuk para suster St. Bunda Maria kurang menghayati kaul ketaatan sehingga terkadang dalam menerima dan melaksanakan tugas perutusan hanya mengandalkan diri sendiri.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana para suster St. Bunda Maria di Provinsi Indonesia dapat menghayati ketaatan iman yang diteladankan Maria dalam menerima tugas dan perutusan dari Tuhan sebagai Bunda Sang Penebus sampai di bawah kaki salib Putranya. Untuk menjawab permasalahan pokok di atas penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis kajian pustaka dan penelitian yang menggambarkan sejauh mana pemahaman para suster mengenai ketaatan, iman dan penghayatan dalam hidup sehari-hari.

(9)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER ST. BUNDA MARIA DI PROVINSI INDONESIA,

is chosen based on the concern of disobedience of sisters in living the three vows especially the vow of obedience. Many religious nowadays including Sisters of Notre Dame do not really appreciate obedience and sometimes accept and live their ministry relying on themselves.

The fundamental question of this undergraduate thesis is how the sisters of Notre Dame of the Indonesian Province are able to live an obedience of faith as exemplified by Mary who accepted the task and mission of God to be Mother of God, the Redeemer, Mary who accompanied Jesus until her final surrender under the cross of her Son. Answering this main question, the writer uses a descriptive analysis of the study and research library to describe the understanding of the sisters about obedience as related to faith and the appreciation of it in everyday life.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas anugerah kasih Tuhan yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:

KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER ST. BUNDA MARIA

DI PROVINSI INDONESIA.

Skripsi ini dibuat bertolak dari keprihatinan penulis mengenai merosotnya penghayatan tri kaul para suster St. Bunda Maria terutama kaul ketaatan. Krisis pendangkalan iman menyebabkan ketidaktaatan para Suster di dalam menerima dan melaksanakan tugas perutusan. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini bertujuan untuk membantu para suster St. Bunda Maria di Provinsi Indonesia untuk menjadikan Maria sebagai teladan ketaatan iman dalam menghayati panggilan hidup sebagai seorang Suster St. Bunda Maria. Selain itu skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Skripsi ini dapat tersusun berkat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada:

(11)

xi

2. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, S,J. selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing penulis dengan penuh kesetiaaan dan kesabaran terutama memberikan masukan-masukan sehingga penulis semakin termotivasi menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. 3. Dra. Yulia Supriyati, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik dan dosen

penguji yang selalu memberikan dukungan bagi penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto Y. M. Hum, selaku dosen penguji yang telah memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap staf dosen dan karyawan program studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik serta membimbing serta mendukung penulis selama belajar hingga selesainya penulisan skripsi ini.

6. Sr. Maria Robertin, SND selaku Provinsial SND Provinsi Indonesia dan Sr. Regina Maria, SND selaku pembimbing Suster-suster kaul sementara yang telah mendukung dan memotivasi penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

(12)

xii

8. Sahabat-sahabat seperjuangan mahasiswa angkatan 2007 / 2008 yang turut berperan dalam memurnikan motiasi penulis untuk menjadi seorang pewarta kabar gembira di zaman yang penuh tantangan ini.

9. Kedua orang tua dan ketiga adikku yang memberikan perhatian berupa dukungan doa selama penulis menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah dengan tulus membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 27 Agustus 2012 Penulis,

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. SEJARAH KONGREGASI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA COESFELD DAN GAMBARAN KETAATAN IMAN MARIA DALAM KARYA PENYELAMATAN ALLAH ... 12

A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld ... 12

1. Riwayat Hidup Santa Yulia (ibu rohani) ... 13

a. Latar Belakang Kehidupan dan Perjalanan Panggilan Santa Yulia ... 14

b. Santa Yulia dan Santa Maria ... 16

2. Riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (Ibu Pendiri) ... 17

(14)

xiv

B. Gambaran Ketaatan Iman Maria dalam Karya Penyelamatan Allah ... 26

1. Gambaran mengenai Ketaatan ... 27

a. Arti Ketaatan ... 27

b. Ketaatan Kristus ... 27

c. Kaul Ketaatan ... 29

d. Kaul Ketaatan menurut Konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria ... 32

c. Maria dalam Konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria... 45

(15)

xv

e. Ketaatan Iman Maria dalam Karya Keselamatan Allah ... 46

1) Maria dalam Masa Kanak-kanak Yesus ... 46

2) Maria dan Hidup Yesus di Muka Umum ... 48

3) Maria Sesudah Yesus Naik ke Surga ... 50

f. Perwujudan Iman Maria ... 51

1) Maria yang Menyerahkan Diri Seutuhnya kepada Allah ... 52

2) Maria yang Kontemplatif ... 53

3) Maria yang Pendoa ... 54

g. Hubungan antara Bunda Maria, St. Yulia (ibu rohani), Sr. Aloysia Wolbring (ibu pendiri), Pengaruh Zaman dan Penghayatan Kaul ... 55

BAB III. PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN KETAATAN IMAN BUNDA MARIA BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA

B. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 62

1. Analisis Deskriptif ... 62

2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 69

a. Makna Ketaatan ... 69

b. Iman dalam Ketaatan ... 69

(16)

xvi

BAB IV USULAN PROGRAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS BAGI PARA SUSTER SANTA BUNDA MARIA DI

PROVINSI INDONESIA ... 73

A. Gambaran mengenai Katekese ... 74

1. Pengertian Katekese ... 74

2. Tujuan Katekese ... 76

3. Tugas - tugas Katekese ... 77

a. Katekese Memberitakan Sabda Allah, Mewartakan Kristus ... 78

b. Katekese Mendidik untuk Beriman ... 78

c. Katekese mengembangkan Gereja ... 78

4. Unsur - unsur Katekese ... 79

a. Pengalaman atau Praktek Hidup ... 79

b. Komunikasi Pengalaman Iman ... 79

c. Komunikasi dengan Tradisi Kristiani ... 79

d. Arah Keterlibatan Baru ... 80

5. Peranan Katekese bagi Suster-suster St. Bunda Maria dalam Menghayati Ketaatan Iman Maria ... 80

B. Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 81

1. Pengertian Shared Christian Praxis (SCP) ... 82

a. Shared ... 82

b. Christian ... 82

c. Praxis ... 82

2. Langkah-langkah Katekese Umat model Shared Christian Praxis (SCP) ... 83

a. Langkah 0 (Awal): Pemusatan Aktivitas ... 83

b. Langkah I (Pertama): Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 84

(17)

xvii

d. Langkah III (Ketiga): Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi

Kristiani Lebih Terjangkau ... 85

e. Langkah IV (Keempat): Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 85

f. Langkah V (Kelima): Keterlibatan Baru Demi makin Terwujudnya Kerajaan Allah Di Dunia ... 86

C. Usulan Program Katekese ... 87

1. Tujuan Usulan program Katekese ... 87

2. Pemikiran Dasar atas Usulan Program Katekese ... 88

3. Matriks Usulan Program Katekese ... 89

D. Contoh Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 93

1. Identitas Pertemuan ... 93

2. Pemikiran Dasar ... 94

3. Pengembangan Langkah-langkah ... 96

BAB V PENUTUP ... 106

A.Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 114

LAMPIRAN ... 116

Lampiran 1. Surat Pengantar Lembar Penelitian ... (1)

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ... (2)

Lampiran 3. Cerita: “Kekuatan Doa” ... (5)

Lampiran 4. Bacaan Kitab Suci ... (6)

Lampiran 5. Lagu Pembuka ... (7)

(18)

xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Deuterokanonika. (1976). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga

Biblika Indonesia: Ef : Efesus Gal : Galatia Kej : Kejadian

Kis : Kisah Para Rasul 1 Kor : 1 Korintus Luk : Lukas Mat : Matius Mi : Mikha Mrk : Markus Rom : Roma 2 Tim : 2 Timotius Yer : Yeremia Yoh : Yohanes

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

(19)

xix

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja tanggal 21 November 1964

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius, 28 Oktober 1965

C. Singkatan Lain

Art : Artikel Bdk : Bandingkan Jl : Jalan

KAS : Keuskupan Agung Semarang Konst : Konstitusi

MAWI : Majelis Agung Waligereja Indonesia No : Nomor

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia PS : Puji Syukur

RT : Rukun Tetangga

SCP : Shared Christian Praxis SJ : Societas Jesu (Serikat Yesus)

SND : Soeurs De Notre Dame (Kongregasi Suster-suster St. Bunda Maria) St : Santa

(20)

xx

D. Istilah-istilah

Anawim : Orang-orang kecil (miskin, sederhana, rendah hati)

Magnificat : Lagu pujian Santa Maria sebagai jawaban atas salam Santa

Elisabet

Kongregasi : Lembaga hidup bersama menurut tiga nasehat Injil yaitu kemiskinan, kemurnian dan ketaatan

Konstitusi : Peraturan dasar untuk pengarahan hidup serta karya para anggota lembaga hidup bakti

Kontemplatif : Menandakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan tenang

dan bertapa

Kulturkampf : Usaha pemerintah untuk mengawasi kehidupan intern dan

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap orang beriman dikaruniai rahmat panggilan yang berbeda dari Tuhan. Salah satunya adalah panggilan hidup membiara. Melalui pengikraran tri kaul, kaum religius menyatakan kesetiaan dan kerelaan mempersembahkan diri seutuhnya untuk hidup murni, miskin dan taat demi Kerajaan Allah. Seiring dengan perkembangan zaman ini, kesetiaan dalam penghayatan tri kaul bagi kaum religius pun semakin memprihatinkan, salah satunya adalah kaul ketaatan. Oleh karena itu dalam bab ini, saya akan memaparkan realita penghayatan kaul ketaatan Suster-suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia.

Bab ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

A. LATAR BELAKANG

Hidup religius adalah salah satu dari karunia Roh atau kharisma bagi mereka yang dipanggil. Pembaktian hidup religius dinyatakan melalui pengikraran dan penghayatan tiga nasehat Injil yaitu kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Persekutuan religius tidak dibentuk oleh kehendak manusia dan kepentingannya tetapi atas kehendak dan kepentingan Tuhan sendiri. Oleh karena itu para anggota tarekat mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil sehingga

(22)

mereka bukan hanya mati bagi dosa (bdk. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata, sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini merupakan suatu penyucian istimewa yang secara mendalam berakar dalam pembabtisan dan mengungkapkannya secara lebih utuh. Karena penyerahan diri itu telah diterima oleh Gereja, maka hendaknya mereka menyadari kewajiban mereka untuk mengabdi kepadanya. Pengabdian kepada Allah harus sungguh kuat mendorong mereka untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan dan mengembangkannya terutama kerendahan hati dan ketaatan, kekuatan dan kemurnian yang berarti keikutsertaan mereka dalam pengosongan diri Kristus (bdk. Flp 2:7-4), juga dalam kehidupan-Nya dalam Roh (bdk. Rom 8:1-13).

(23)

hidup dalam kejernihan, ketenangan, kesederhanaan dan kesatuan dengan Allah. Dalam suasana itu orang berkembang dan terlibat pada situasi di luar dirinya. Dengan demikian titik tolak seseorang bukan apa yang menjadi kehendaknya sendiri melainkan apa yang menjadi kehendak Allah melalui situasi hidup yang dialami. Ketaatan hidup membiara merupakan suatu jalan menyeluruh bagi seseorang untuk membina kepekaan terhadap kehendak Allah (Darminta, 1975: 42).

Sikap penyerahan diri yang total pada kehendak Allah membutuhkan iman yang mendalam dari setiap pribadi, karena iman merupakan akar dari segala kebajikan yang dibuat oleh manusia. Iman diberikan dengan tujuan agar manusia dapat menaggapi cinta Allah dengan mengungkapkan imannya melalui liturgi yang dirayakan dan mewujudkan imannya melalui solidaritas terhadap sesama (perbuatan cinta kasih dalam hidup sehari-hari), sehingga memperoleh kesempurnaan seperti yang dikehendaki oleh Allah Sang sumber kesempurnaan (bdk. Mat 5:48). Melalui penerimaan sakramen babtis membuka jalan bagi setiap orang Kristiani utuk mencapai kesempurnaan dan keselamatan melalui Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup yang telah taat dan setia mewartakan Kerajaan Allah dalam hidup-Nya.

(24)

dapat memuaskan keinginan pribadi tanpa harus berjuang. Orang tidak mampu menghadapi tantangan atau penderitaan dalam hidup sehingga lebih cenderung untuk menghindar. Oleh karena itu jalan pintas menjadi salah satu alternatif yang ditempuh untuk dapat bebas dari segala kepenatan hidup. Manusia mulai mengalami krisis pendangkalan iman sehingga mulai berpaling dari apa yang menjadi kehendak Allah. Manusia mulai mencari dan membuat jalan sendiri yang akhirnya mengarah pada ketidaktaatan.

Saat ini kehidupan keluarga-keluarga Kristiani sangat memprihatinkan terutama dalam ketaatannya menghayati janji perkawinan yang telah diikrarkan demi keutuhan hidup berkeluarga. Demikian pula halnya dalam panggilan hidup religius yang sungguh diyakini sebagai panggilan khusus dari Allah demi kesempurnaan melalui penghayatan nilai-nilai Injil secara radikal. Dalam kenyataannya banyak kaum berjubah yang meninggalkan panggilan hidup religius karena berbagai macam pergulatan hidup yang dialami. Mereka yang terpaksa bertahan (tidak menanggalkan jubah) terkadang juga menunjukkan ketidaktaatannya dengan berbagai reaksi yang diekspresikan sebagai bentuk penolakan terhadap realita yang dianggap bertolak belakang dengan apa yang menjadi harapan mereka, sehingga mulai mencari kesenangan pribadi di luar komunitas. Nilai penghayatan akan kaul ketaatan mulai perlahan-lahan menjadi kabur.

(25)

bukan menghindar dari salib. Hal inilah yang sungguh dihidupi oleh Maria. Partisipasi Maria dalam karya penyelamatan Allah bagi seluruh umat manusia sungguh luar biasa. Maria dianugerahi rahmat iman yang istimewa dari Allah sehingga ia dipilih secara istimewa juga menjadi Bunda Yesus. Hidup dan masa depan Maria dihadapkan pada janji dan kehendak Allah untuk menyelamatkan umat-Nya di mana bagi Maria amat berat dan tidak mungkin. Terhadap tugas-tugas berat ini, Maria menghadapinya dengan sikap iman, ia mempercayakan seluruh hidupnya demi Allah yang meraja, yang sedang mengerjakan keselamatan-Nya bagi dunia. Sikap iman Maria menjadi wujud ketaatan imannya pada Penyelenggaraan Ilahi.

Ketaatan iman Maria adalah ketaatan dialogis, yakni ketaatan yang lahir dari dialog dengan Allah. Ketaatannya adalah tindakan bebas terhadap kehendak dan karya Allah. Melalui ketaatan inilah, Maria mengandung dan melahirkan Yesus Sang Penebus sebagai pemenuhan Kerajaan Allah. Maria menjadi teladan iman bagi Gereja. Ia juga menjadi sahabat perjalanan menuju Allah dalam kegembiraan dan kecemasan. Bersama Maria, umat beriman belajar mempercayakan hidupnya pada Penyelenggaraan Ilahi. (Dewan Karya Pastoral KAS, 2011: 37).

(26)

memampukan para suster Santa Bunda Maria untuk menyerahkan dan mengarahkan hidupnya hanya kepada Allah dan mencari Dia di dalam segala sesuatu dengan kegembiraan dan kebebasan batin, sehingga ketika mengalami misteri salib mampu mempercayakan diri pada kasih dan kebaikan Allah dan menanggapinya dengan ketabahan dan kejernihan. Melalui semangat kesederhanaan para suster Santa Bunda Maria tumbuh dalam keutamaan-keutamaan yang menjadi ciri khas Kongregasi yaitu cinta kasih, kerendahan hati, dan ketaatan. Suster-suster Santa Bunda Maria diharapkan untuk tetap terbuka terhadap kasih Bapa yang lemah lembut sehingga seperti Maria, membawa Kristus kepada sesama (Konst. SND, art. 2).

(27)

Melalui pengalaman penulis dalam hidup bersama di komunitas, sharing dengan suster-suster yang sudah kaul kekal memberikan kesan bahwa penghayatan kaul ketaatan dalam Kongregasi SND terutama di Indonesia perlahan-lahan mulai kabur maknanya. Oleh karena itu harapan Kongregasi bagi para suster untuk meneladan ketaatan iman Maria dalam menerima dan melaksanakan karya perutusan Allah yang penuh misteri masih perlu dibenahi lagi. Hal ini bertolak dari realita yang terjadi dalam hidup sehari-hari terutama ketidaksetiaan dalam menghayati tri kaul khususnya kaul ketaatan antara lain beberapa anggota Kongregasi yang terkadang hidup semaunya sendiri, sulit untuk dipindah karena sudah merasa kerasan di tempat sebelumnya. Terkadang dalam menerima tugas perutusan baru, masih menimbang-nimbang mengenai situasi dan kondisi di tempat yang baru sehingga muncul istilah tempat basah dan tempat kering. Ada juga yang tidak setia dalam hidup doa, kebersamaan di komunitas, tidak mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan atau tantangan.

(28)

Tuhan. Di dalam skripsi ini penulis akan memberikan sumbangan pemikiran bagi Kongregasi SND dengan pendalaman ketaatan iman Maria melalui katekese untuk membantu para suster meneladan ketaatan iman Maria dalam hidup sehari-hari.

Bertolak dari keprihatinan-keprihatinan di atas penulis mengambil judul:

KETAATAN IMAN MARIA BAGI SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA

MARIA DI PROVINSI INDONESIA.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latarbelakang di atas, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi latarbelakang ketidaktaatan para suster Santa Bunda Maria di Indonesia dalam menerima dan melaksanakan perutusan?

2. Mengapa ketaatan iman Santa Maria menjadi sumber inspirasi hidup Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld?

3. Usaha apa yang dapat ditempuh agar dapat membantu para Suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia dalam meneladan ketaatan iman Maria?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menggali latarbelakang ketidaktaatan para suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia dalam menerima dan melaksanakan perutusan.

(29)

3. Mencari jalan keluar agar dapat membantu para Suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia dalam meneladan ketaatan iman Maria.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Memberikan sumbangan pemikiran untuk membantu Suster-suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia agar dapat meneladan ketaatan iman Maria dalam menerima dan melaksanakan tugas perutusan.

2. Meningkatkan kualitas penghayatan tri kaul bagi para suster santa Bunda Maria terutama kaul ketaatan.

3. Memberi sumbangan bagi Suster-suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia, agar dapat meneladan ketaatan iman Maria dalam menerima dan melaksanakan perutusan melalui katekese.

E. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan penulis adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara faktual keadaan yang terjadi dalam upaya meneladan ketaatan iman Maria bagi Suster-suster Santa Bunda Maria. Selain itu tulisan ini ditunjang dengan studi pustaka dari buku-buku yang mendukung agar diperoleh wawasan dalam penulisan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

(30)

BAB I

Bab pendahuluan ini membahas tentang latar belakang yang meliputi kehidupan religius secara umum berdasarkan kaul-kaul yang diikrarkan, khususnya kaul ketaatan yang menjadi salah satu pedoman bagi kaum religius zaman ini. Penulis juga memaparkan mengenai kharisma Suster-suster Santa Bunda Maria sesuai dengan Konstitusi dan realita penghayatan kaul ketaatan suster-suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia dalam hidup sehari-hari. Penulis juga memaparkan mengenai rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II

(31)

BAB III

Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai penelitian dan hasil penelitian ketaatan iman Maria bagi Suster-suster Santa bunda Maria di Provinsi Indonesia. Bab ini terdiri dari dua bagian yaitu: bagian pertama: metodologi penelitian, bagian kedua: analisis dan pembahasan hasil penelitian.

BAB IV

Dalam bab ini, penulis mengusulkan Program katekese model Shared Christian Praxis bagi para suster Santa Bunda Maria di Provinsi Indonesia dalam

meneladan ketaatan iman maria. Terdiri dari empat bagian yaitu: bagian pertama: gambaran mengenai katekese, bagian kedua: katekese umat model Shared Christian Praxis, bagian ketiga: usulan program katekese, bagian keempat:

contoh katekese model Shared Christian Praxis (SCP).

BAB V

(32)

BAB II

SEJARAH KONGREGASI

SUSTER-SUSTER SANTA BUNDA MARIA COESFELD DAN

GAMBARAN KETAATAN IMAN MARIA

DALAM KARYA PENYELAMATAN ALLAH

Sebuah tarekat religius tidak muncul begitu saja tetapi melalui proses yang panjang dengan segala tantangan yang dihadapi. Hal yang sama juga dialami oleh Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld, melalui proses yang panjang dan beranekaragam tantangan yang dihadapi Kongregasi ini tumbuh dan berkembang bahkan mengalami saat-saat yang sungguh memprihatinkan. Maka dalam bab ini dibagi menjadi dua bagian yaitu: pertama, sejarah Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld dan gambaran ketaatan iman Maria dalam karya penyelamatan Allah.

Dalam bagian pertama ini penulis membahas mengenai sejarah Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld. Terdiri dari dua bagian yaitu: riwayat hidup Santa Yulia (ibu rohani) dan riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (ibu pendiri).

A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld

Berdirinya sebuah tarekat religius bukan suatu hal yang mudah tetapi membutuhkan proses yang panjang. Tuhan mempunyai rencana yang indah dan penuh misteri. Ia berkarya melalui pribadi-pribadi yang telah dianugerahkan kharisma istimewa untuk meluaskan kerajaan-Nya. Sejarah berdirinya Kongregasi

(33)

Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld diyakini sebagai anugerah kasih Allah melalui kedua tokoh yaitu Santa Yulia sebagai ibu rohani dan Sr. Maria Aloysia Wolbring sebagai pendiri Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld. Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria menjadikan Santa Yulia sebagai ibu rohani karena melalui tiga orang suster dari Kongregasi Suster-suster Santa bunda Maria Amersfoord yang memiliki semangat dan keutamaan dari Santa Yulia sebagai pendiri Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Namur, Sr. Maria Aloysia Wolbring yang sebelumnya bernama Aldegonda Henrica Wolbring bersama seorang temannya dibimbing untuk semakin mengenal, mencintai dan memaknai hidup panggilan mereka. Masa pembinaan awal, menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk berani menjadi perintis berdirinya Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld.

Semangat dan keutamaan Santa Yulia yang sudah mengakar dalam diri ibu pendiri menjadi dasar dan bagian hidup dari setiap suster yang mengikuti jejak Sr. Maria Aloysia. Oleh karena itu dalam bab ini penulis akan memaparkan bagaimana kehidupan Santa Yulia sebagai ibu rohani dan Sr. Maria Aloysia Wolbring sebagai pendiri Kongregasi Suter-suster Santa Bunda Maria.

1. Riwayat hidup Santa Yulia (Ibu rohani)

(34)

latar belakang kehidupan dan perjalanan panggilan Santa Yulia, Santa Yulia dan Santa Maria.

a. Latar belakang Kehidupan dan Perjalanan Panggilan Santa Yulia

Marie Rose Julie Billiart dilahirkan di Cuvilly, tak jauh dari Beauvais, Noyon dan Compiegne pada tanggal 12 Juli 1751. Dia putri dari pasangan Jean Francois Billiart dan M. Loise Antoinette Debraine, anak keenam dari tujuh bersaudara. Yulia adalah seorang yang bersemangat, murah hati dan memiliki fisik yang kuat sehingga membuatnya mampu melaksanakan tugas berat. Ia juga sangat tertarik pada perkara-perkara Tuhan (Linscott, 1987: 18-19).

Yulia mengenal, mencintai dan percaya pada Tuhan, ia percaya bahwa hanya salib yang membuat segalanya menjadi mungkin. Dengan menghampakan diri dan menjadikan Tuhan sebagai segalanya, ia mengucapkan ”ya” sepenuhnya pada penderitaan dan penghinaan. Pada tahun 1789 Yulia tidak dapat menolong dirinya, ia bergantung pada teman-temannya untuk setiap gerakan tubuh karena mengalami kelumpuhan total dan daya bicaranya terganggu. Di sekolah penderitaan yang lama ini, kekuatan Yulia serasa dilupakan untuk karya yang ditugaskan oleh Tuhan kepadanya. Ya-nya tetap, baik dalam kegelapan maupun dalam terang. Dalam terang iman, ia mengosongkan hati agar benar-benar dapat memberikan segalanya dan menerima segalanya, dan dalam penghinaan pribadinya ia menemukan sukacita salib (Linscott, 1987: 21).

(35)

maha baik inilah yang mendorongnya untuk mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Tuhan sebagai Tuhan yang maha baik dan sebagai Bapa adalah akar dari kesederhanaan Yulia. Ia mengatakan ”kesederhanaan membuat kita untuk pergi kepada Tuhan, seperti anak-anak pergi kepada bapa yang penuh kasih. Kesederhanaan ini milik anak-anak Allah, karena Tuhan adalah Tuhan yang sederhana dan anak-anak harus menjadi serupa dengan bapa mereka”. Dia menggambarkan kesederhanaan seperti bunga matahari yang selalu mengikuti semua pergerakan matahari dan selalu mengarah kepadanya (Linscott, 1987: 59).

Setelah memberikan diri kepada Tuhan secara pribadi dan dalam penghayatan kehidupan kristiani, Yulia, Francoise dan Catherine Duchatel pada tanggal 2 Februari 1804 berjanji di depan umum untuk seterusnya hidup dalam penyerahan bersama di dalam komunitas, dalam pelayanan aktif seturut Injil dan cara yang sudah disahkan oleh Gereja. Ini adalah pendirian Kongregasi Notre Dame. Pada tanggal 2 Februari ini dengan berlutut dihadapan Sakramen yang Mahakudus, Yulia Billiart, Francoise dan Catherine Duchatel mengucapkan kaul dan berjanji untuk membaktikan diri pada bidang pendidikan bagi para yatim piatu dan terutama pada formasi para guru untuk daerah pedesaan (Linscott, 1987: 104).

(36)

bukan merupakan suatu kehampaan tetapi masa-masa itu menariknya lebih dalam menuju ke dalam misi Kristus. Masa-masa itu mengajarnya perihal iman, memberinya keberanian dan kesabaran yang kelak dibutuhkannya dalam karya juga mengajarnya untuk percaya pada kebaikan Tuhan dalan cara yang keras dan membutuhkan ketekunan. Yulia mengenalinya melalui penderitaan pribadi yang sungguh tidak dapat memisahknya dari cinta Kristus yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus Tuhan (bdk. Rm 8:19), sehingga hidup adalah Kristus (bdk. Flp 1:21), bukan lagi dia sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam dirinya (bdk. Gal 2:20) dan dengan menggunakan ketidakberdayaan dan penderitaan yang menyelaraskan dirinya pada salib, Kristus dapat menyelesaikan misi-Nya melalui dia meskipun ketika ia tidak berperan secara aktif (Linscott, 1987: 138).

b. Santa Yulia dan Santa Maria

Berbicara mengenai Santa Yulia dan Santa Maria tidak terlepas dari pemberian nama lembaga yang didirikan oleh Santa Yulia. Pemberian nama lembaga oleh Santa Yulia dalam bahasa Perancis Soeurs De Notre Dame (SND) pada tahun 1806 atas persetujuan Napoleon. Santa Yulia memandang Santa Perawan Maria sebagai wanita yang sepenuhnya terbuka dan memberikan diri kepada Tuhan dalam fiatnya yang berlangsung terus menerus. Santa Yulia melihat seseorang yang menerima Sang Sabda, menyimpan Sang Sabda dan melahirkan Sang Sabda (Linscott, 1987: 189).

(37)

untuk membuat sebuah pilihan yang harus diambil dengan bebas dan penuh kesadaran guna menanggapi rencana Allah. Fiatnya dapat dipertanggungjawabkan (Linscott, 1987: 192).

Keutamaan Maria mengungkapkan semangatnya di dalam tanggapannya yang konkrit pada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Maria dinyatakan sebagai yang terberkati karena ia percaya. Iman adalah keutamaan yang membantu disetiap tahap perjalanan hidupnya, bahkan bila ia tidak tahu apa yang akan terjadi dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi (Linscott, 1987: 194).

Semangat Santa Yulia dan sifat khasnya yang sangat dalam berakar dari semangat Maria yaitu di dalam relasinya dengan Tuhan yang lebih dahulu mencintai dia. Dengan berjalannya waktu, Yulia semakin menyadari dan merasa kerasan di dalam kebaikan Tuhan. Kebaikan itu menguasai hidupnya sehingga nampak dalam tindakan-tindakannya, menempa kepribadiannya, dan diwujudnyatakan kepada sesama. Penduduk Cortrai menamakan dia ”Cinta Tuhan yang berjalan” semata-mata karena dia adalah transparansi kebaikan Tuhan yang mana melalui dia Tuhan dapat menunjukkan diri-Nya dan dapat bekerja dengan bebas guna menyelamatkan dunia. Bagi Yulia setiap saat adalah saat yang baik dan Bapa yang lemah lembut membimbing dan menyediakan diri baginya (Linscott, 1987: 200).

2. Riwayat hidup Sr. Maria Aloysia Wolbring (Ibu Pendiri)

(38)

badai dan buah yang menjadi proses awal bertumbuh dan berkembangnya Kongregasi Suster-suster Santa Bunda Maria Coesfeld.

a. Benih

Aldegonda Henrica Wolbring lahir pada tanggal 8 Januari 1828 di Rotterdam, Belanda. Ayahnya bernama Otto Arnold Wolbring, perajin logam dulu tinggal di Stenern, Westfalia. Ibunya bernama Chaterine Mohren Wolbring, putri dari pedagang kaya di Belanda. Rentetan kejadian silih berganti menandai masa kanak-kanak Gonda. Ketika ia berusia dua tahun ayahnya meninggal akibat sakit pneumonia. Dalam satu tahun disusul kematian ibunya yang belum lama menikah. Kemudian ayah tiri Aldegonda menikah lagi. Ia dan istrinya bermaksud untuk menyelamatkan harta warisan anak ini, selain itu mereka juga tidak memperhatikan pendidikan yang baik di dalam keluarga, bahkan berusaha untuk memusnahkan hubungan dengan keluarganya di Belanda. Sungguh beruntung karena paman Aldegonda, Gerard Wolbring ikut campur tangan, ia mengambil hak perwalian dan memutuskan untuk menyerahkan Gonda pada asuhan sepupunya, Bernard Wolbring, petani di Stenern (Margaret, 1961: 129).

b. Mentari

(39)

Aldegonda diselaraskan sesuai dengan isi surat wasiatnya di mana Aldegonda harus belajar apa saja yang dapat dipelajari, ia perlu diberi pendidikan yang baik, demikian keputusan walinya. Namun apa saja yang dapat ia pelajari tidak ada di Stenern karena tidak ada sekolah. Seperti anak-anak lain di desa Aldegonda harus pergi ke sekolah negeri di Bocholt. Akhirnya keluarga Wolbring memutuskan untuk menyekolahkan Aldegonda di Bocholt, karena disana ada kesempatan untuk mengikuti kursus tambahan bagi anak-anak yang berbakat seperti Aldegonda yang diadakan sore hari. Akhirnya bapak Herman Husener, guru di Bocholt menawarkan untuk menerima gadis kecil ini dalam asuhannya selama sekolah di sana (Margaret, 1961: 132).

Setelah selesai sekolah tingkat dasar, Aldegonda melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi yang dipimpin oleh Nona Laumann, yang juga mantan siswa Bernard Overberg. Dari saat penerimaan Komuni Pertama ketika berusia tiga belas tahun, dan sakramen krisma satu tahun kemudian, Aldegonda menunjukkan daya tariknya yang luar biasa pada masalah-masalah Tuhan (Margaret, 1961: 134).

c. Kuncup

(40)

Dua kali seminggu sekolah berlangsung setengah hari sehingga sore hari atau pada hari Minggu Aldegonda bersama seorang teman guru sering berjalan-jalan. Pada suatu hari ketika mereka sedang berjalan-jalan, mereka bertemu dengan Nona Lisette Kuhling, guru di kelas besar di sekolah dasar St Lambert. Perjumpaan ini merupakan awal dari persahabatan suci yang tercatat dalam sejarah dan riwayat hidup. Perjumpaan ini diteruskan dengan persahabatan yang merupakan faktor di dalam membuka rencana Ilahi. Salah satunya adalah perhatian dan cinta Aldegonda pada anak-anak miskin dan terlantar, bahkan tidak segan-segan ia menghabiskan waktu, uang serta perhatiannya kepada mereka. Secara berangsur-angsur rencana hidupnya mulai matang di dalam keputusannya yang teguh yaitu untuk membaktikan seluruh tenaga dan harta miliknya guna mendirikan sebuah lembaga bagi anak-anak yatim piatu dan terlantar, bukan di misi luar negeri tetapi di negerinya sendiri, di mana keadaan politik dan ekonomi telah menciptakan ladang yang sudah siap untuk karya belas kasih. Mereka berdua sepakat untuk meminta nasehat Pastor Elting, yang ternyata senang dan menaruh minat pada bidang itu. Meskipun ia setuju untuk mengawasi urusan finansial mereka, ia menyarankan bahwa untuk mewujudkan proyek ini, mereka seyogianya menggabungkan diri dengan suatu lembaga religius yang membaktikan diri pada pendidikan anak-anak (Margaret, 1961: 140-141).

Aldegonda sangat terharu pada nasehat Pastor Elting yang mengejutkan, yaitu suatu hidup yang dibaktikan kepada Tuhan dengan kaul religius, dia merenungkannya. Apa yang diminta Tuhan? Ia berdoa “Bicaralah

(41)

pada kehendak Tuhan, dalam semangat ingkar diri pada kepentingan-kepentingan pribadi serta berupaya mengarahkan diri pada satu tujuan yang dijiwai oleh cinta, Aldegonda menjawab “Tuhan saya datang dengan sepenuh hatiku!” (Margaret,

1961: 142).

Dengan kebebasan baru yang diberikan kepada Gereja melalui revolusi tahun 1848, tampaknya sangat tepat untuk mendirikan sebuah kongregasi religius di Jerman yang bergerak di bidang pendidikan. Panitia menemukan bahwa kongregasi para Suster Notre Dame Amersfoort yaitu sebuah komunitas religius yang peraturannya berdasar pada peraturan Kongregasi di Namur dipandang paling cocok untuk menagggapi kebutuhan yang mendesak di Jerman. Maka atas persetujuan Moeder Mary Joseph, pemimpin umum Kongregasi Amersfoort, ia mengirim tiga orang suster ke Coesfeld yang mana pemimpinnya telah dilatih di kongregasi para Suster Notre Dame di Namur selama tiga tahun dengan demikian telah meresapi semangat Moeder Yulia Billiart. Persiapan ini diadakan selama tiga tahun untuk mempersiapkan kedua guru muda ini mengawali hidup kebiaraan (Margaret, 1961: 142).

(42)

Maria Aloysia. Ia sungguh memahami tujuan hidupnya yaitu kemurnian raga, pikiran, kehendak perasaan serta tujuan sebagaimana yang dirumuskan oleh Moeder Yulia Billiart sebagai kesederhanaan (Margaret, 1961: 143).

d. Mekar

Masa Novisiat bagi Sr. Maria Aloysia selama dua tahun merupakan kelanjutan dari karya lama, yaitu mengajar di sekolah dan membimbing anak-anak panti asuhan. Pada saat yang sama, dia dan Lisette yang kini bernama Sr. Maria Ignasia masih dibawah bimbingan Sr. Maria Brigitte, berjuang dengan tekun untuk mendapatkan semangat hidup kebiaraan yang sejati. Hanya untuk Tuhan adalah satu-satunya tujuan dari segala keinginan dan tindakannya yang ia perjuangkan untuk memilih yang terkecil dari segalanya melalui kerendahan hati, cinta kasih serta ketaatan dengan sepenuh hati. Ia menyerahkan segala keputusannya kepada pemimpin agar dapat membuat kehendaknya menjadi suatu korban bakar yang sempurna (Margaret, 1997: 145).

(43)

Pada bulan November 1853 dengan penuh inisiatif dan kesederhanaan ia memulai tugas baru sebagai guru sekolah dasar di Aldekerk. Sr. Maria Anna menjadi pimpinan dan merangkap tugas di panti jompo, yang letaknya berhubungan dengan sekolah, sedangkan Sr. Maria Genevieva mengurus rumah tangga. Setelah diadakan pembicaraan yang cukup panjang antara para pemimpin gerejawi dan Moeder Mary Joseph di Amersfoort, disepakati bahwa telah tiba waktunya untuk menjadikan komunitas Coesfeld sebagai sebuah Kongregasi mandiri (Margaret, 1961: 147).

Hasil pertemuan meramalkan tanda baik bagi masa depan di mana sebelas dari tiga belas suster profes berserta dua puluh dua novis memilih Coesfeld. Selanjutnya pemilihan pemimpin umum jatuh pada Sr. Maria Anna. Jabatan sementara ini dikukuhkan dalam sidang kanonik. Dalam sidang itu secara resmi Sr. Maria Anna diangkat menjadi pemimpin umum (Margaret, 1961: 148).

Kongregasi yang baru berdiri ini beranggotakan tiga belas orang, sebagian besar masih muda dan kurang pengalaman, namun semua mempunyai sifat pemberani dan siap menghadapi tantangan. Ketika Kongregasi sedang mekar-mekarnya untuk mandiri, mungkin diharapkan agar peran serta Sr. Maria Aloysia sebagai pendiri akan dikenal dengan mengangkat dia sebagai penasehat, tetapi ia dikirim ke Aldekerk. Dengan besar hati ia melaksanakan tugas dengan pengorbanan diri dan karyanya bagi orang lain (Margaret, 1961: 149).

(44)

dihayati demi seseorang yaitu mempelai-Nya, Yesus Kristus. Kongregasi berakar, tumbuh dan berkembang serta menarik jiwa-jiwa kepada Kristus di bawah pimpinan orang lain (Margaret, 1961: 152).

e. Badai

Bagi Sr. Maria Aloysia, dua puluh satu tahun telah berlalu, ia berkaya di tempat tersembunyi sebagai guru sekolah dasar di sebuah paroki. Sudah tiba waktunya untuk mengalami krisis yang sangat besar untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan Yesus meskipun harus melalui masa pencobaan yang gelap. Pada awal pecahnya kulturkampf yaitu usaha pemerintah untuk mengawasi kehidupan intern dan mengadakan monopoli dalam bidang pendidikan atas gagasan Otto Von Bismarck menjadi keprihatinan Gereja saat itu karena harta milik Gereja disita, kehidupan beragama ditekan dan dirongrong, biara-biara dipaksa untuk ditutup. Sr. Maria Aloysia meramalkan bahwa karya Kongregasi yang sedang berkembang di Jerman akan segera punah namun ia menghadapi situasi yang menyayat hati ini dengan tabah. Dengan kepasrahan dan kebulatan tekad, ia pergi ke Amerika bersama Moeder Maria Chrysostoma dan tujuh Suster untuk merintis jalan kecil yang kelak akan diikuti oleh sekitar dua ratus Suster lain pada tahun-tahun berikutnya. Dari sepercik api kehancuran Kongregasi di Jerman, Sr. Maria Aloysia melihat timbulnya tujuan mulia di Amerika (Margaret, 1961: 155).

(45)

rombongan mengarungi lautan menuju ke dunia asing. Tak ada gunanya pula untuk tenggelam dalam peristiwa sedih pada saat upacara penerimaan busana biara dan pengikraran kaul kekal yang terakhir di balik palang pintu kapel biara St. Annathal, yang diadakan bertepatan dengan dikeluarkannya undang-undang kekaisaran yang memerintahkan agar melepaskan busana biara atau meninggalkan tanah air dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Sr. Maria Aloysia yang dengan tabah dan berdoa penuh kepasrahan menyimpan semua peristiwa itu di dalam hatinya (Margaret, 1961: 163).

f. Buah

Dibawah bimbingan Pastor Elting, perkembangan komunitas St. Annathal sangat pesat terutama karya pelayanan yang sungguh dirasakan oleh masyarakat sekitar dimana anak-anak usia dua sampai enam tahun diasuh tanpa dipungut biaya sehingga orang tua dari anak-anak miskin ini bekerja untuk mencari nafkah dan merasa tidak terbebani dalam mengurus anak-anak mereka karena yakin bahwa anak-anak selalu aman dalam asuhan para suster. Selain itu para suster juga memperluas karya pelayanan dalam bidang pendidikan yaitu membuka sekolah pendidikan guru, sekolah SMA dilengkpi asrama bagi anak-anak putri, sekolah taman kanak-anak-kanak-anak juga sekolah menjahit (Johannita, 1996: 86).

(46)

tujuan agar mereka dapat mandiri setelah meninggalkan panti asuhan. Mereka dilatih dalam berbagai tugas rumah tangga, di kamar cuci, di kebun, diberi pelajaran menisik, menjahit, membuat pakaian dan membantu mengawasi anak-anak kecil. Sr. Maria Aloysia selalu hadir bersama mereka, tersenyum dan siap membantu, mencintai mereka dan dicintai oleh mereka (Margaret, 1961: 172).

Kesehatannya mundur akibat serangan pneumonia, sehingga pada musim semi tahun 1889 ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya alat sederhana di tangan Tuhan, maka semuanya hanya untuk karya Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa. Sumber kegembiraan Sr. Maria Aloysia adalah ketika melihat para suster setia terhadap panggilan yang sedang dijalani dan bersemangat dalam melatih kepercayaan serta ketergantungan pada Tuhan, kesederhanaan, cinta kasih dan ketaatan di mana ia sendiri telah berusaha untuk mendapatkannya semasa hidupnya. Di saat tubuhnya lemah dan jiwanya di ambang kesunyian, Sr. Maria Aloysia menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan (Margaret, 1961: 173).

B. Gambaran Ketaatan Iman Maria dalam Karya Penyelamatan Allah

(47)

1. Gambaran mengenai Ketaatan

Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai arti ketaatan, ketaatan Kristus, ketaatan dalam hidup membiara, kaul ketaatan, kaul ketaatan menurut konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria, tantangan kaul ketaatan, tanggapan kaum religius, ketaatan dan kedewasaan pribadi.

a. Arti Ketaatan

Menurut J. Darminta, SJ, ketaatan dalam arti luas berarti suatu keterbukaan yang menyeluruh terhadap arti segala peristiwa dalam situasi hidup. Keterbukaan inilah yang menjadi dasar hidup seseorang yang sungguh-sungguh taat. Taat merupakan tuntutan dari dalam diri manusia, yang harus berhadapan dengan situasi hidup. Maka terbuka dan membaca situasi merupakan syarat mutlak untuk dapat taat. Taat bagi manusia merupakan satu-satunya jalan untuk dapat berkembang dalam hidup. Tetapi ketaatan itu ketaatan yang mengatasi bukannya ketaatan yang menyerah dan tenggelam dalam situasi. Maka manusia dalam taat juga harus mampu menganalisis dan melihat makna yang tersirat dalam situasi itu sehingga ia dapat mengambil keputusan dengan tepat (Darminta, 1975: 40-41).

b. Ketaatan Kristus

(48)

pemberitaan tentang sengsara-Nya, menunjukkan bahwa hidup Yesus merupakan suatu ketaatan pada kehendak Bapa. “Anak manusia harus menanggung banyak

penderitaan” (bdk. Mrk 8:31). Yesus menghayati ketaatan-Nya pada kehendak

Bapa secara khusus dalam menempuh jalan menuju salib. Tetapi segala hidup dan karya Yesus merupakan satu ketaatan sebagaimana ditegaskan-Nya dalam Injil Yohanes, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan

menyelesaikan pekerjaan-Nya (bdk.Yoh 4:34), (Ladjar, 1983: 56).

Berkat ketaatan Kristus kepada Allah Bapa-Nya hubungan antara manusia dipulihkan kembali. Ketidaktaatan Adam ditebus dengan ketaatan Kristus. ”sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang

berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang yang benar” (Rm 5:19). Melalui ketaatan Kristus rencana penyelamatan Allah mulai

terlaksana secara pasti menuju kepenuhannya. Ketaatan Yesus bukan merupakan pemenuhan hukum secara lahiriah belaka. Yesus memang mengenal hukum Taurat dan tidak mau menghapuskan satu iota pun dari padanya. Tetapi di atas segalanya, Ia mengenal Bapa dan kehendak-Nya yang mendasari hukum itu. Kehidupan Yesus ditentukan oleh kehendak Bapa yang memberikan kepada-Nya suatu tugas khusus yaitu untuk melaksanakan karya penebusan (Ladjar, 1983: 57).

(49)

yang dimiliki Yesus Kristus, dan tugas karya Yesus haruslah merupakan model untuk mereka (bdk. Flp 2:6-11). Tuntutan ketaatan itu tidak tinggal sebagai sesuatu yang umum dan kabur tetapi jelas. “Tidak semua orang yang berseru

kepada-Ku Tuhan, Tuhan akan masuk Kerajaan Surga, melainkan yang melakukan kehendak Bapa yang di Surga” (bdk. Mat 7:21). Hanya melakukan

kehendak Bapa yang memungkinkan manusia masuk dalam suatu hubungan pribadi dengan Allah, karena dengan demikian dia menjadi ”saudara dan ibu” dari

Tuhan Yesus Kristus (bdk. Mat 12:50). Seperti ketaatan Kristus, demikian juga ketaatan orang Kristiani harus digerakkan oleh pengenalan akan Bapa yang telah diwahyukan oleh Yesus. Di dalam ketaatan Yesus orang Kristiani akhirnya melihat apa yang merupakan ketaatan religius (Ladjar, 1983: 58).

c. Kaul Ketaatan

Ketaatan dalam hidup membiara berarti orang saling mendengarkan satu sama lain dan mendengarkan suara komunitas. Sangat dihargai jika dalam komunitas ada anggota yang mempunyai kemampuan untuk mendengarkan. Lebih bagus lagi jika setiap anggota dapat menjadi pendengar yang baik, sehingga mereka dapat menemukan kesatuan kehendak dalam perbedaan-perbedaan baik anggota maupun tugas. Dengan demikian ketaatan menjadi tali pengikat kesatuan dalam komunitas (Darminta, 1975: 44).

(50)

religius jauh lebih sulit mengetahui kehendak Bapa secara langsung karena hati sudah menjadi tumpul oleh dosa. Oleh karena itu sebagai seorang religius hendaknya memandang kepada Kristus dan taat kepada-Nya sebagai Sabda Bapa yang hendak diikuti. Karena itu ketaatan religius selalu dilihat sebagai cara mengikuti penghampaan diri Kristus dengan mengingkari kehendak sendiri, sebagaimana Dia telah menghampakan diri-Nya dengan mengambil rupa hamba dan taat sampai mati (bdk. Flp 2:7-8 dan Lumen Gentium (LG) no. 42). Hidup religius pada dasarnya adalah ketaatan karena merupakan jawaban kepada Allah yang memanggil dan merupakan janji kesetiaan pada cara hidup menurut Injil suci yang ditawarkan oleh Allah yang memanggil (Ladjar, 1983: 59).

(51)

akan mudah mendengarkan dengan penuh hormat baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas. Menurut Perfectae Caritatis (PC), dekrit tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius dikatakan:

Dengan mengikrarkan ketaatan para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka yang sepenuhnya kepada Allah. Dengan demikian mereka secara lebih tetap dan terjamin dipersatukan dengan kehendak penyelamat Allah. Maka seturut teladan Yesus Kristus yang datang untuk melaksanakan kehendak Bapa (bdk.Yoh 4:34; 5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9),”mengenakan rupa seorang hamba” (bdk. Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (bdk. Ibr. 5:8), hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntun untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti Kristus sendiri demi kepatuhan-Nya terhadap Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (bdk. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (bdk. Ef 4:13). Oleh karena itu hendaknya para anggota, dalam semangat iman dan cinta kasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya-kemampuan akal budi dan kehendak maupun bakat-bakat alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan tubuh Kristus menurut rencana Allah. Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan, karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah (PC no. 14).

(52)

d. Kaul Ketaatan menurut Konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria

Pada bagian ini yaitu kaul ketaatan menurut konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria, penulis akan memaparkan mengenai semangat ketaatan sebagai seorang Suster Notre Dame.

Dalam konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria artikel 33 dikatakan:

Melalui ketaatan, setiap Suster Notre Dame belajar untuk mengalahkan kehendak pribadi dan membiarkan hanya kehendak Allah yang berkarya dalam setiap pribadi. Sikap keterbukaan dan kepekaan terhadap bimbingan Roh Kudus memampukan setiap suster untuk menjadi seorang pribadi yang lepas bebas sebagai wujud nyata dari semangat kesederhanaan.

Dalam konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria artikel 34 dikatakan:

Partisipasi dalam ketaatan Kristus, memampukan setiap Suster Notre Dame untuk selalu siap sedia dalam menerima dan melaksanakan karya kerasulan

Kongregasi. Dengan iman akan penyertaan Yesus Kristus melalui pemimpin tinggi, setiap suster Notre Dame diutus dalam karya dan hidup berkomunitas.

e. Tantangan Kaul Ketaatan

(53)

kehidupan. Orang cenderung menuntut segala sesuatu bersifat transparan dan rasional. Orang diberi kesempatan untuk berbicara, mengungkapkan pemikirannya, mempertahankan argumentasinya, untuk berbeda pandangan dengan yang lain bahkan dengan pemimpinnya. Walaupun demikian ada juga sisi lain yang perlu disikapi secara bijak, karena keterbukaan dan keberanian menjadikan orang cenderung spontan bereaksi tanpa memperhatikan sikap hormat terhadap orang lain (Evarista, 2003: 321).

(54)

f. Tanggapan Kaum Religius

Menurut Lumen Gentium (LG), konstitusi dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja dikatakan: Gereja mengharapkan agar dengan kaul-kaul, orang beriman Kristiani terutama kaum religius mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintainya mengatasi segala sesuatu (LG. no. 44). Di dalam menghayati ketaatan, kaum religius dituntut senantiasa terbuka untuk mencari dan melaksanakan kehendak Allah sebagaimana diteladankan oleh Kristus yang membawa konsekuensi harus rela melepaskan kehendak dan rencana pribadi. Bahkan adakalanya kaum religius pun diajak untuk berdoa,”Ya Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (bdk. Luk 22:42). Dalam kepercayaan, Tuhan pun akan mengutus malaikat-Nya untuk memberi kekuatan kepada setiap pribadi yang terpanggil. Kaum religius menerima penugasan dan pengutusan dari tarekat yang menuntut banyak pengorbanan bahkan penderitaan. Dengan ditemani oleh Bunda Maria kaum religius berkata ”terjadilah padaku menurut perkataan -Mu,” sebagai ungkapan penghayatan kaul ketaatan yang dengan tulus hati mau

dikembangkan dalam kehidupan religius zaman ini (Evarista, 2003: 328 - 329).

g. Ketaatan dan Kedewasaan Pribadi

(55)

yang diberikan kepada pengertian dewasa dan dari cara melaksanakan wewenang dari ketaatan itu (Ladjar, 1983: 63).

Pribadi yang dewasa justru yang mengakui dan menghayati ketergantungannya pada Allah dan sesama. Maka ketaatan tidak menghambat orang untuk menjadi dewasa tetapi justru mendewasakan dan menjadi tanda kedewasaan bila pertama-tama sebagai sikap terbuka untuk mendengarkan dan menjawab suara Tuhan yang disampaikan melalui atasan. Orang yang dewasa adalah orang yang bersikap terbuka untuk mencari kehendak Allah dan membiarkan diri sendiri dikuasai oleh-Nya dalam segala segi hidup. Praktek ketaatan yang didasarkan pada keinginan mencari kehendak Allah dan menundukkan diri kepada-Nya akan membawa orang kepada kebebasan yang sejati anak-anak Allah. Maka daya kemampuannya dalam mengikuti jejak Kristus, menjadi daya kemampuan untuk melayani dan mencuci kaki saudara-saudaranya. Dengan demikian ketaatan tidak menyebabkan pribadi seorang religius menjadi mandul tetapi justru mengangkatnya dan membuatnya menemukan kepenuhan pribadinya yang terbuka terhadap Allah dan sesama (Ladjar, 1983: 64 - 65).

2. Gambaran mengenai Iman

Dalam bagian ini penulis akan memaparkan mengenai iman menurut Perjanjian Lama, iman menurut Perjanjian Baru dan fungsi iman.

a. Iman menurut Perjanjian Lama

(56)

beriman mengandaikan kehendak yang secara aktif mendengarkan apa yang difirmankan Allah. Sekali didengarkan maka sabda Allah perlu diresapkan kedalam hati dengan penyerahan diri yang total. Oleh karena itu beriman berarti taat dan patuh pada perintah Allah sehingga kepatuhan budi dijelmakan dalam kepatuhan tingkah laku. Sikap beriman ini secara cemerlang diperlihatkan oleh bapa para beriman yaitu Abraham (bdk. Kej 12:1.4a). Iman juga diartikan sebagai kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah, khususnya dalam hal hidup menurut tuntutan perjanjian. Turun-temurun para nabi mengajak umat agar senantiasa memperbarui kesetiaannya kepada YHWH dalam situasi yang terus menerus berubah (bdk. Hos 6:6; Yer 5:1-9; 9:2-5; 22:15; Mi 6:8). Oleh karena itu dalam Perjanjian Lama beriman berarti juga menaruh percaya pada janji Allah. Wahyu Allah dalam perjanjian pertama mendapat bentuk konkret baik dalam hukum Taurat maupun dalam janji keselamatan. Maka beriman berarti percaya bahwa Allah akan menggenapi apa yang dijanjikan-Nya itu (bdk. Kej 15:6) (Dister, 2004: 69).

b. Iman menurut Perjanjian Baru

(57)

tindakan percaya mempunyai tiga arti pertama mendengar pada apa yang diwartakan (bdk. Mrk 4:9). Kedua mengerti dan memahami apa yang didengar (bdk. Mat 13:19), maksudnya menerima sabda pewartaan secara positif dan melaksanakannya dalam hidup harian (bdk. Mrk 4:20; Luk 8:21; 11:28). Ketiga tidak membatasi pelaksanaan firman itu menjadi satu atau dua kali saja melainkan selalu dan di mana-mana, sehingga terbinalah sikap batin untuk membiasakan diri melaksanakan sabda (Dister, 2004: 70).

Dalam Kisah Para Rasul iman dilukiskan sebagai sikap batin yang menyeluruh artinya sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada diri Yesus seluruhnya. Maka iman yang diyakini sebagai anugerah itu menurut Kisah Para Rasul adalah sikap taat dan melekat kepada Kristus secara total dan mutlak (bdk. Kis 3:16; 9:42; 11:17; 16:31). Dengan percaya kita mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus baik rencana maupun pelaksanaan penyelamatan manusia yang dilangsungkan Allah dalam penjelmaan, hidup, wafat dan kebangkitan Kristus (bdk. 1 Kor 1:17-2:4; Flp 2:5-11). Mengenal misteri Allah berarti dikaruniai untuk bergaul dengan Allah secara dengan Allah dari hati ke hati, sehingga ada persekutuan pikiran dan kehendak antara manusia beriman dengan Allah yang diimaninya (bdk. Flp 3:7-11) (Dister, 2004: 71). Iman ialah sikap aktif manusia yang mendasarkan diri atas Injil Kristus

(58)

terbuka bagi sabda penebusan Injil Kristus, bersikap siap sedia untuk mengikuti Tuhan pada jalan salib menuju kepada kemuliaan kebangkitan. Beriman juga diartikan mencari pegangannya kepada Yesus, seperti Petrus. Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah yang kudus dari Allah (bdk. Yoh 6:67). Iman memuat suatu daya untuk memberi kesaksian. Iman menuntut suatu penguatan sakramentil, suatu peneguhan secara resmi di tengah-tengah umat (Anciaux & Herman, 1974: 15).

Melalui iman manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba terbatas, menyapa dan memanggilnya. Iman berarti jawaban atas panggilan Allah, penyerahan pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi. Dalam iman manusia menyerahkan diri kepada Sang pemberi hidup. Pengalaman religius menjadi pengalaman mendasar penyerahan diri kepada Allah. Iman hanya merupakan hubungan pribadi dengan Allah, yang hanya mungkin karana rahmat Allah. Akan tetapi iman tidak buta. Orang beriman mengetahui kepada siapa ia percaya (bdk. 2 Tim 1:12). Orang beriman tahu lebih mendalam mengenai Allah justru dalam penyerahan iman. Tidak mungkin mengenal seseorang tanpa mengetahui apa-apa mengenai dirinya (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 130).

(59)

Iman tidak terlepas dari pengalaman hidup dan pengalaman religius yang terkandung di dalamnya. Maka yang pokok dalam iman adalah menyerahkan diri secara total kepada Allah. Sifat rasionalnya tampak dari refleksi atas pengalaman itu, bukan dari teori-teori mengenai Allah dan pengalaman (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 131).

3. Fungsi Iman

Iman mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, iman sebagai dasar pembedaan roh dan kedua, iman sebagai pedoman hidup.

a. Iman sebagai Dasar Pembedaan Roh

(60)

tulus dan konsekuen. Iman hidup sehingga dapat menerangi gejolak dan gerakan di dalam hati di mana dapat membeda-bedakan asalnya, dari manusia sendiri, pengaruh dari kuasa jahat (roh jahat) atau dari kuasa baik (roh baik). Semakin iman berakar teguh pada Tuhan, semakin kuat Tuhan menyentuh dan mengarahkan jiwa pada rencana-Nya. Manusia yang beriman cenderung mudah digerakan untuk mengikuti jalan Tuhan dan di dalam Kristus didorong oleh Roh-Nya ia melakukan kehendak Bapa (Soenarja, 1984: 70).

b. Iman sebagai Pedoman Hidup

(61)

4. Gambaran mengenai Maria

Untuk mengetahui gambaran mengenai Maria, maka pada bagian ini penulis akan membahas mengenai siapa Bunda Maria dan Maria dalam tradisi Gereja.

a. Siapa Bunda Maria?

Maria adalah seorang gadis yang tinggal di Nazaret, Galilea. Ibunya bernama Anna dan bapanya bernama Yoakim. Maria bertunangan dengan Yusuf seorang tukang kayu. Ia seorang yang rendah hati dan setia pada kehendak Allah (bdk. Luk 1:38). Sebagai seorang Yahudi ia tetap mengharapkan datangnya Mesias. Ternyata Allah memilih Maria sebagai Bunda Sang Mesias. Selain sangat memperhatikan kebutuhan orang lain (bdk. Yoh 2:1-11), Maria mengasuh Yesus dengan baik (bdk. Yoh 3:31-35). Banyak karya Allah yang disimpan Maria di dalam hatinya (bdk. Luk 2:19,51). Sesudah Yesus wafat dan bangkit, Maria menjadi murid Kristus dan hidup bersama para rasul (bdk. Kis 1:14). Karena keikutsertaan Maria dalam karya penyelamatan Allah, Gereja menghormati Maria. Maria bukan hanya Bunda Yesus, tetapi ia adalah Bunda Allah karena Yesus adalah Allah (Suwandi, 1992: 43).

(62)

b. Maria dalam Tradisi Gereja

Maria dalam tradisi Gereja yaitu: Bunda Allah, ibu orang beriman, hamba Tuhan, murid teladan dan rasul pertama.

1) Bunda Allah

Perawan Maria melahirkan Sang Sabda yang menjadi manusia dan pantas memperoleh gelar yang paling indah yaitu Bunda Allah, yang di Gereja timur disebut Theotokos (yang memperanakkan Allah) (Widyamartaya, 2000: 9). Keibuan Maria tidak hanya terbatas pada keibuan menurut daging, di mana Maria telah mengandung dan melahirkan Putra. Maria mengandung Putra Allah lebih menurut roh dari pada menurut daging. Maria tidak hanya mempersembahkan kepada Allah tubuhnya yang teramat murni untuk membentuk tubuh Adam baru, tetapi ia menyambut tanggung jawab untuk mengandung dan melahirkan Raja, ahli waris tahta Daud, Putra Allah juga Hamba yang menderita yang akan menebus seluruh umat manusia (Widyamartaya, 2000: 11-12).

2) Ibu Orang Beriman

(63)

ibu-Nya dengan karya-Nya, yaitu karya ketaatan pada kehendak Bapa-Nya, ketaatan sampai kematian hina di salib (bdk. Flp 2:8). Maria harus menjalani jalan penuh duri dan ditembusi oleh pedang penderitaan (bdk. Luk 3:35). Pada pesta perkawinan di Kana”ibu Yesus ada di situ” (bdk. Yoh 2:1). Pada saat puncak di

atas Kalvari ketika Yesus menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa (bdk. Yoh 19:30), Maria juga ada di situ. Berdiri dengan setia di samping-Nya, Maria menderita kesedihan sebagai ibu yang harus menyaksikan Putra satu-satunya mati secara menyeramkan. Sengsaranya dipersatukan dalam sengsara Putranya, Sang penyelamat sehingga dunia ditebus (Widyamartaya, 2000: 28-29).

3) Hamba Tuhan

Pada saat hidup Maria yang paling agung, yaitu ketika Malaikat Gabriel memberi salam kepadanya “Salam hai engkau yang penuh rahmat” dan meminta kepadanya untuk menjadi ibu Allah, Maria tidak menginginkan gelar lain kecuali: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan jadilah padaku menurut perkataan -Mu itu!” (Widyamartaya, 2000: 35).

(64)

4) Murid Teladan dan Rasul Pertama

Maria telah mempersiapkan diri untuk kedatangan kerajaan Allah sepenuh-penuhnya dalam diri Yesus Kristus, sehingga Maria sungguh-sungguh menjadi buah pertama penebusan, yang pertama di kalangan orang-orang terpilih, menjadi Bunda Allah. Di dalam diri Maria Gereja melihat cerminan kodratnya sendiri yaitu persekutuan murid-murid Tuhan dan peziarah yang sedang melakukan perjalanan dari waktu ke waktu menuju kerajaan Allah (Widyamartaya, 2000: 34).

Maria tidak hanya murid teladan tetapi juga rasul pertama. Maria adalah orang pertama memperlihatkan Mesias kepada orang-orang Yahudi ketika para gembala datang berkunjung pada malam Natal (bdk. Luk 2:8-20). Pada waktu Pentakosta, Maria juga menerima Roh Kudus bersama dengan murid-murid yang lain (bdk. Kis 1:114). Roh kekuatan yang mengubah kelompok kecil murid yang ketakutan itu menjadi barisan rasul pribadi yang berani menyebar ke jalan-jalan kota Yerusalem dan mewartakan kabar baik dengan daya yang demikian mengagumkan sehingga tiga ribu orang mengikuti Kristus pada hari itu (bdk. Kis 2:41). Melalui rahmat pembabtisan, semua orang Kristiani dipanggil untuk menjadi rasul-rasul Yesus Kristus. Maka kesaksian hidup sebagai seorang kristiani sejati menjadi dasar bagi umat beriman (Widyamartaya, 2000: 37-38).

c. Maria dalam Konstitusi Suster-suster Santa Bunda Maria

Gambar

Tabel 1. Variabel mengenai Identitas para Suster Ketaatan, Iman dalam Ketaatan
Tabel  2. Data Berdasarkan Tahun Masuk Biara (N= 18)
Tabel  3. Data Berdasarkan Tahun Kaul I (N= 18)
Tabel  5. Data Berdasarkan Tugas Responden (N= 18)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini berjudul PELAKSANAAN TUJUAN PERKAWINAN: PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA YANG USIA PERKAWINAN 7 – 5 TAHUN DI PAROKI SANTA MARIA BUNDA

Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran tentang seberapa tinggi aktualisasi diri para Suster Junior Canossian Provinsi Indonesia tahun 2008-2009 secara khusus di

Dengan yang senior, melihat bagaimana ta suster ini caranya berkomunikasi harus bagaimana saya harus mengimbangi bagaimana, saling ada interaksi dan kerjasama secara tidak

Berdasarkan hasil wawancara mengenai mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion dalam misi para suster FMM di Provinsi Indonesia, mereka