SUMBANGAN KATEKESE KELUARGA
TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN AKAN PERAN PENTING ORANG TUA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK
DI LINGKUNGAN SANTO YUSUF GEMUH PAROKI ST. MARTINUS WELERI
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Niken Pratiwi
NIM: 071124001
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, kakak, dan umat di
Lingkungan Santo Yusuf Paroki St. Martinus Weleri yang telah memberi dukungan
untuk menyelesaikan skripsi ini
v
MOTTO
“Di mana hati diletakkan, di situ proses belajar dan maju mulai”
viii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “SUMBANGAN KATEKESE KELUARGA TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN AKAN PERAN PENTING ORANG TUA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK DI LINGKUNGAN SANTO YUSUF GEMUH PAROKI ST. MARTINUS WELERI”. Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap kurangnya peran orang tua dalam pendidikan iman bagi anak-anak di dalam keluarga di lingkungan Santo Yusuf. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dari penulis, kurangnya peran orang tua dalam pendidikan iman di dalam keluarga dikarenakan kurangnya kesadaran dari orang tua tentang pentingnya pendampingan iman di dalam keluarga terhadap perkembangan iman anak. Kurangnya kesadaran timbul dari permasalahan-permasalahan yang ada antara lain kepercayaan yang berlebihan dari orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah, kurangnya waktu untuk berkumpul bersama keluarga karena orang tua sibuk bekerja, serta kurangnya pengetahuan tentang ajaran agama yang mengakibatkan pendidikan iman anak di dalam keluarga kurang diperhatikan sehingga iman anak tidak berkembang dan rentan terhadap pengaruh negatif.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan studi pustaka dari para ahli untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Selain studi pustaka, penulis juga mengadakan penelitian untuk memahami permasalahan yang ada serta mencari tahu apa yang menjadi harapan para orang tua untuk meningkatkan peran mereka sebagai pendidik.
Dari studi pustaka penulis menemukan katekese model Shared Christian Praxis (SCP) yang sesuai dengan keprihatinan dan harapan para orang tua di lingkungan Santo Yusuf Gemuh yang dapat membantu mereka dalam menghayati dan menjalankan tugas mereka sebagai pendidik iman di dalam keluarga. Melalui katekese model SCP, orang tua dibantu untuk merefleksikan tugas dan peranannya secara terus menerus sampai pada suatu tindakan konkret.
ix
ABSTRACT
This thesis entitled “CONTRIBUTION OF CATECHESIS FAMILY TO
INCREASE AWARENESS OF SIGNIFICANT ROLE OF EDUCATION FOR PARENTS OF FAITH CHILD IN THE SAINT JOSEPH GEMUH DISTRICT ST. MARTIN WELERI PARISH”. The background of this thesis began from the author’s thoughtfulness towards the lack of parents role in the faith education for children in the St. Joseph district. Based on the experiences and observations, the lack of the parents role in education of faith in the family was because of the lack of parents awareness about the importance of faith nurturing in the family. The lack of awareness arose from the problems was about the axcessive confidence to the school towards the education of their children, the lack of quality time among the family members because they were too busy to work, and the lack of knowledge about
religion that made their children’s education of faith doesn’t develop and very susceptible towards the negative effect.
In this thesis the author uses literature from the experts to find the answers to existing problems. In addition to literature, the authors also conducted research to understand the existing problems and to find out what the expectations of parents to enhance their role as educators.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab karena kasihNyalah
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul SUMBANGAN KATEKESE
KELUARGA TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN AKAN PERAN
PENTING ORANG TUA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK DI LINGKUNGAN
SANTO YUSUF GEMUH PAROKI ST. MARTINUS WELERI. Selama proses
penulisan dan penyusunan karya tulis ini, penulis merasakan rahmat kasih dan
kebaikan Allah melalui uluran tangan banyak pihak, terutama dari:
1. Drs. FX. Heryatno W. W., S.J., M.Ed. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata
Dharma sekaligus dosen pembimbing utama yang selalu mendampingi,
membantu, membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji yang telah mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. P. Banyu Dewa HS, S.Ag, M.Si selaku dosen penguji yang telah berkenan
mendampingi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap staf dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata
Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan dorongan kepada penulis.
5. Keluarga tercinta: bapak, ibu, dan kakak yang selalu mendoakan dan memberikan
dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan studi.
6. Teman-teman angkatan 2007, 2008, dan 2009 yang telah memberikan dukungan
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO. ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
ABSTRAK ... viii
BAB II. KATEKESE KELUARGA DAN PERANANNYA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK ... 7
A. Katekese Keluarga ... 8
1. Pengertian Katekese Pada Umumnya... 8
2. Pengertian Keluarga... 11
3. Pengertian Katekese Keluarga... 12
4. Tujuan Katekese Keluarga... 14
5. Sasaran Katekese Keluarga... 16
xiii
B. Pendidikan Iman Anak ... 18
1. Pengertian Pendidikan Iman Anak ... 18
2. Tujuan Pendidikan Iman Anak ... 20
3. Pendidikan Iman dalam Keluarga ... 22
4. Faktor-faktor Perkembangan Iman Anak ... 24
a. Faktor Pendukung Perkembangan Iman Anak... 24
b. Faktor Penghambat Perkembangan Iman Anak... 27
5. Usaha-usaha dalam Membantu Perkembangan Iman Anak... 29
C. Peranan Katekese Keluarga terhadap Pendidikan Iman Anak ... 33
D. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak ... 36
BAB III. PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN IMAN ANAK DI LINGKUNGAN SANTO YUSUF GEMUH ... . 39
A. Paroki St. Martinus Weleri ... . 39
1. Sejarah Paroki St. Martinus Weleri... 39
2. Profil Paroki St. Martinus Weleri... 40
3. Situasi Umat Paroki St. Martinus Weleri... 43
B. Gambaran Umum Lingkungan Santo Yusuf Gemuh... 44
1. Letak dan Batas-Batas Geografis Lingkungan Santo Yusuf Gemuh ... 44
2. Kegiatan umat di Lingkungan Santo Yusuf Gemuh... 45
3. Situasi Sosial Kemasyarakatan Umat Lingkungan Santo Yusuf Gemuh 46 4. Situasi Ekonomi Umat Lingkungan Santo Yusuf Gemuh ……… 47
C. Penelitian Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak di Lingkungan Santo Yusuf Gemuh ... 47
1. Latar Belakang Penelitian... 47
2. Tujuan Penelitian ………. ... 49
3. Jenis Penelitian……….. ... 50
4. Instrumen Penelitian ... 50
5. Responden Penelitian... 50
6. Waktu, Tempat, dan Pelaksanaan Penelitian... 51
7. Variabel Penelitian... 51
xiv
1. Kuesioner Tertutup……… ... 52
a. Identitas Responden... 52
b. Sejauh mana Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak Sudah Terwujud... 53
c. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Orang Tua Berperan Dalam Pendidikan Iman Anak... 62
d. Usulan Katekese yang Diharapkan Umat Meningkatkan Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak... 69
2. Kuesioner Terbuka………. ... 76
a. Sejauh mana peran orang tua dalam pendidikan iman anak sudah terwujud ... 76
b. Faktor-faktor pendukung dan penghambat orang tua berperan dalam pendidikan iman anak ... 78
c. Harapan umat dalam rangka meningkatkan peran mereka sebagai pendidik iman ... 80
E. kesimpulan ... 82
BAB IV. USAHA MENINGKATKAN KESADARAN AKAN PERAN PENTING ORANG TUA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK DI LINGKUNGAN SANTO YUSUF GEMUH PAROKI ST. MARTINUS WELERI ... 85
A. Katekese keluarga Model Shared Christian Praxis Sebagai Salah Satu Bentuk Pendampingan Iman dalam Meningkatkan Peran Orang Tua Sebagai Pendidik Iman ... 85
1. Komponen SCP... 85
2. Langkah-langkah Katekese Model SCP... 86
B. Usulan Program Katekese Keluarga bagi Orang Tua dalam Rangka Meningkatkan Kesadaran akan Peran Penting Orang Tua bagi Pendidikan Iman Anak di Lingkungan Santo Yusuf Gemuh ... 89
1. Latar Belakang Program Katekese Keluarga... 89
2. Alasan Penyusunan Program... 90
3. Rumusan Tema dan Tujuan program Katekese Keluarga... 91
xv
5. Matriks Program Katekese Keluarga... 94
C. Contoh Persiapan Katekese Keluarga ... 98
BAB V. PENUTUP ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA ... 113
LAMPIRAN ... 115
Lampiran 1:Surat Penelitian kepada Pastor Paroki St. Martinus Weleri ... (1)
Lampiran 2: Surat Penelitian kepada Ketua Lingkungan Santo Yusuf Gemuh ... (2)
Lampiran 3: Surat Pernyataan Penelitian kepada Dosen Pembimbing Skripsi ... (3)
Lampiran 4: Contoh Hasil Penelitian ... (4)
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat
Dipersembahkan kepada Umat Katolik oleh Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, h. 8.
B. Singkatan Lain
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
tentang Keluarga Kristiani, 22 November 1981.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman, tentang katekese
masa kini, 16 Oktober 1979.
St : Santo
PIA : Pendidikan Iman Anak
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
SCP : Shared Christian Praxsis
Dkk : Dan kawan-kawan
Dsb : Dan Sebagainya
KK : Kepala Keluarga
xvii TK : Taman Kanak-kanak
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
CU : Credit Union
WKRI : Wanita Katolik Republik Indonesia
OMK : Orang muda Katolik
PANTURA : Pantai Utara
Dll : Dan Lain-lain
PNS : Pegawai Negeri Sipil
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya setiap orang tua menginginkan anak-anaknya tumbuh
dengan baik dalam berbagai faktor seperti fisik, budi pekerti, pergaulan, psikologis,
maupun iman mereka. Di zaman sekarang perkembangan dan kemajuan teknologi
semakin pesat. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan, salah satunya
menyebabkan iman anak dalam hidup sehari-hari menjadi semakin kabur. Pendidikan
iman anak harus ditanamkan sejak dini karena keluarga merupakan tempat
diselenggarakan pendidikan dasar bagi anak. Prasetya (2008:18) menegaskan bahwa
pendidikan iman sejak dini sangat menentukan keberadaan dan kehidupan anak-anak
mereka di masa depan, baik yang menyangkut kehidupan sosial, kehidupan beriman,
maupun kehidupan pribadinya. Dan di sini peran orang tua sangat penting, karena
orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka terikat kewajiban
amat berat untuk mendidik anak mereka. Oleh karena itu orangtualah yang harus
diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama (FC, art. 36). Iman anak
tidak akan berkembang tanpa adanya bimbingan dan pendampingan dari orang tua.
Dalam hal ini Egong (1983:16) mengatakan:
Dalam kutipan di atas, Egong menegaskan bahwa orang tua memiliki
tugas yang sangat penting yakni menjadi guru bagi anak-anak mereka. Dengan
bimbingan dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak akan terbantu
untuk menumbuhkembangkan iman dengan cara yang menyenangkan dan bermakna
karena orang tua mengajari anak dengan keteladanan bukan dengan teori. Melalui
komunikasi iman yang dilakukan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari,
anak-anak dibimbing dan diarahkan untuk semakin mengenal Allah Sang pencipta bumi
dan segala isinya. Dengan begitu anak belajar bersyukur atas apa yang telah ia miliki
dan belajar menghargai dan mengasihi orang lain. Oleh karena itu peran orang tua
sangat penting dengan memberikan teladan bagi anak-anak mereka dalam kehidupan
sehari-hari. Karena dengan teladan dari orang tua, anak dapat melihat dan belajar
secara konkret.
Keprihatinan yang sering dijumpai ialah kurangnya kepedulian orang tua
terhadap pendidikan iman anak-anaknya. Sebagian besar orang tua lebih
mengutamakan segi intelektual dan pendidikan formal di sekolah. Karena kesibukan
orang tua, pendidikan iman dalam keluarga kurang diperhatikan. Akibatnya identitas
dan iman kekatolikan anak-anak baik dalam keluarga, sekolah, Gereja dan
masyarakat tidak berkembang dan akan semakin hilang. Padahal iman Kristiani tidak
diperoleh secara otomatis setelah kita dibaptis, melainkan berkembang secara terus
menerus melalui hidup di tengah keluarga, umat dan masyarakat. Akibat terlalu sibuk
dengan hal-hal duniawi, keluarga-keluarga Kristiani mulai mengalami pudarnya
iman kepada Allah, serbuan berbagai ideologi yang melawan nilai-nilai luhur hidup
berkeluarga, dan berkurangnya kadar etika sosial. Semuanya terlibat membentuk
(Tjandrawati, 2012:6). Selain itu, karena beratnya tantangan yang dihadapi oleh
keluarga saat ini, banyak keluarga yang mengalami penurunan tujuan dari kehidupan
perkawinan mereka yakni kehidupan cinta kasih sebagai suami istri (Jose Tacain,
2012:13). Menurunnya cinta kasih sebagai suami istri tentu mempengaruhi
kehidupan anak-anak mereka. Orang tua kurang memberi perhatian terhadap hak dan
kebutuhan anak serta melupakan kewajiban mereka sebagai pendidik yang
bertanggung jawab atas pendidikan anak dalam keluarga yang merupakan pondasi
dan bekal bagi anak dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Situasi yang semacam itu dialami oleh sebagian besar orang tua pada
jaman sekarang. Penulis merasa prihatin setelah melihat situasi beberapa orang tua di
lingkungan Santo Yusuf Gemuh yang banyak memiliki masalah dalam mendidik
iman anak-anak di tengah keluarga. Beberapa masalah yang ada sebagian besar
karena orang tua kurang memiliki waktu bersama anak-anak. Mereka sibuk bekerja,
mencari penghasilan tambahan selain pemasukan pokok, mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dan lain sebagainya. Selain itu penulis juga menemukan masalah nikah
beda agama dan beda Gereja yang mengakibatkan terbengkalainya pendidikan iman
bagi anak mereka. Masalah tersebut semakin mengkhawatirkan karena pihak yang
Katolik adalah kepala rumah tangga yang selalu sibuk mencari nafkah untuk
keluarganya sedangkan istrinya yang non Katolik sedang dalam tahap inisiasi calon
baptis. Sebagian besar orang tua hanya mengajarkan doa-doa pokok kepada
anak-anak mereka. Sedangkan untuk masalah perkembangan iman, para orang tua
menyerahkan kepada sekolah dan guru sekolah minggu.
Setelah melihat keprihatinan di atas, menurut penulis katekese keluarga
pendidikan iman anak dalam keluarga. Melalui katekese keluarga, para orang tua
diharapkan semakin menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik agar
kehidupan anak-anak mereka dapat seimbang baik segi rohani maupun jasmani.
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis bermaksud membantu umat di lingkungan
Santo Yusuf Gemuh dengan menyumbangkan pemikiran melalui katekese keluarga
agar umat semakin menyadari dan menghayati arti pentingnya pendidikan iman anak
dalam keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu katekese keluarga dan apa peranannya untuk pendidikan iman anak?
2. Sejauh mana orang tua di lingkungan Santo Yusuf Gemuh Paroki St. Martinus
Weleri sudah mewujudkan peran mereka dalam pendidikan iman anak mereka?
3. Seberapa besar sumbangan katekese keluarga untuk meningkatkan kesadaran
orang tua dalam pendidikan iman anak mereka?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar keluarga-keluarga Kristiani di lingkungan Santo Yusuf Gemuh Paroki St.
Martinus Weleri dapat memahami dan menghayati arti pentingnya katekese
keluarga dalam usaha meningkatkan kesadaran akan peran orang tua bagi
pendidikan iman anak.
2. Mengetahui sejauh mana para orang tua di lingkungan Santo Yusuf Gemuh
Paroki St. Martinus Weleri menjalankan peran mereka dalam mendidik iman
3. Memberi sumbangan pemikiran dalam usaha meningkatkan kesadaran akan
peran penting orang tua bagi pendidikan iman anak di lingkungan Santo Yusuf
Gemuh Paroki St. Martinus Weleri.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis.
Melalui metode deskriptif analitis ini, penulis mencoba menemukan masalah serta
kondisi peran orang tua dalam pendidikan iman anak di lingkungan Santo Yusuf
Gemuh. Kemudian penulis memberikan sumbangan pemikiran melalui katekese
keluarga yang dapat meningkatkan peran penting orang tua bagi pendidikan iman
anak di lingkungan Santo Yusuf Gemuh Paroki St. Martinus Weleri.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi berjudul “Sumbangan Katekese Keluarga terhadap Peningkatan Kesadaran akan Peran Penting Orang Tua bagi Pendidikan Iman Anak
di Lingkungan Santo Yusuf Gemuh Paroki St. Martinus Weleri” ini terbagi menjadi lima bab. Uraian singkat sebagai berikut:
Bab I berupa pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II akan menguraikan tentang pengertian katekese pada umumnya,
pengertian keluarga, pengertian katekese keluarga, tujuan katekese keluarga, sasaran,
dan kekhasan dari katekese keluarga. Selain itu, bab II juga menguraikan tentang
pengertian dan tujuan pendidikan iman anak, pendidikan iman anak dalam keluarga,
perkembangan iman anak, dan usaha-usaha dalam membantu perkembangan iman
anak, serta menguraikan peranan katekese keluarga terhadap pendidikan iman anak.
Bab III menggambarkan mengenai situasi orang tua di lingkungan Santo
Yusuf Gemuh Paroki St. Martinus Weleri. Bab III ini menguraikan tentang gambaran
umum situasi dan peranan orang tua dalam pendidikan iman anak di lingkungan
Santo Yusuf, serta penelitian, pembahasan, dan kesimpulan mengenai peranan orang
tua dalam pendidikan iman anak di lingkungan Santo Yusuf Gemuh.
Bab IV berisi tentang usaha meningkatkan kesadaran akan peran penting
orang tua bagi pendidikan iman anak di lingkungan Santo Yusuf Gemuh Paroki St.
Martinus Weleri dengan memberikan program katekese keluarga dan contoh
persiapan katekese keluarga.
Bab V berisi kesimpulan dari seluruh rangkaian bab yang sudah
diuraikan serta saran dari penulis.
BAB II
KATEKESE KELUARGA DAN PERANANNYA BAGI PENDIDIKAN IMAN ANAK
Bab II ini secara khusus menguraikan topik-topik tentang katekese
keluarga dan peranannya bagi pendidikan iman anak secara teoritis menurut
bahan-bahan kepustakaan untuk memberikan gambaran mengenai apa itu katekese keluarga
serta peranannya bagi pendidikan iman anak. Katekese keluarga membantu para
orang tua agar semakin menyadari pentingnya pendidikan iman dalam keluarga dan
memberikan inspirasi mengenai tugasnya sebagai pendidik yang utama agar anak
memiliki pondasi dan bekal dalam menyiapkan diri menghadapi pengaruh-pengaruh
modernisasi ketika hidup di tengah masyarakat dan Gereja yang menjadi inti dari bab
II ini.
Bab II ini terdiri dari tiga bagian yaitu katekese keluarga, pendidikan
iman anak, dan peranan katekese keluarga terhadap pendidikan iman anak. Dalam
setiap bagian diuraikan beberapa topik menurut bahan-bahan kepustakaan. Bagian
pertama membahas mengenai katekese keluarga. Dalam bagian ini, ada 6 (enam)
topik yang dibahas di antaranya mengenai pengertian katekese pada umumnya,
pengertian keluarga, pengertian katekese keluarga dan tujuan, sasaran, serta kekhasan
dari katekese keluarga. Bagian 2 (dua) membahas mengenai pendidikan iman anak.
Bagian ini terdiri dari 5 (lima) topik antara lain mengenai pengertian pendidikan
iman anak, tujuan pendidikan iman anak, pendidikan iman dalam keluarga,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penghambat perkembangan iman
(tiga) membahas mengenai peranan katekese keluarga bagi pendidikan iman anak.
Bagian ini menguraikan tentang bagaimana katekese keluarga memberikan
kontribusi dalam membantu keluarga-keluarga Kristiani khususnya para orang tua
untuk lebih memperhatikan pendidikan iman bagi anak-anak mereka di dalam
keluarga.
A.
Katekese KeluargaBagian ini akan membahas mengenai pengertian katekese pada
umumnya, pengertian keluarga, pengertian katekese keluarga serta tujuan, sasaran,
dan kekhasan katekese keluarga. Katekese keluarga merupakan salah satu bentuk
dari katekese umat yang bertujuan membantu keluarga-keluarga Kristiani dengan
memberikan inspirasi untuk mengatasi permasalahan mereka dalam pendidikan iman
untuk anak-anak. Melalui katekese keluarga inilah para orang tua disadarkan kembali
mengenai tugas dan kewajibannya dalam melindungi dan memelihara setiap anggota
keluarga dalam hidup Gereja dan masyarakat.
1. Pengertian Katekese Pada Umumnya
Dalam dokumen CT (1979 art 1), paus Yohanes Paulus II
mengemukakan bahwa katekese adalah usaha dari pihak Gereja untuk membantu
umat mengimani bahwa Yesus itu Putera Allah, supaya dengan beriman mereka
beroleh kehidupan dalam nama-Nya. Dalam dokumen tersebut, katekese menjadi
salah satu sarana pewartaan bagi Gereja dimana seluruh hidup Yesuslah yang
diwartakan untuk membantu umat agar semakin percaya dan mengantar umat
dipahami sebagai pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam
iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya
diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar
memasuki hidup Kristen. Dalam hal ini, katekese dipahami sebagai pembinaan hidup
orang Kristen sesuai ajaran Kristiani baik dalam lingkup lingkungan maupun paroki
secara sistematis dan terorganisir menuju ke arah kedewasaan iman yang sempurna
dalam Kristus.
Menurut Huber (1979:20), katekese ialah usaha saling menolong
terus-menerus dari setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup pribadi ataupun
hidup bersama menurut pola Kristus menuju kepada hidup Kristiani dewasa. Dari
pengertian tersebut, katekese diartikan sebagai usaha untuk membantu sesama orang
Kristiani secara terus menerus dalam mengartikan dan menghayati hidup pribadi
maupun hidup bersama dengan saling memberi peneguhan iman kepada Kristus agar
iman Kristiani semakin dewasa dari hari ke hari.
Katekese dipahami sebagai komunikasi iman dengan tujuan
meningkatkan hidup beriman baik secara pribadi maupun bersama. Sebagai hasil dari
sidang PKKI II, Huber (1981: 18) merumuskan pengertian katekese sebagai berikut:
Katekese adalah komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antar anggota jemaat atau kelompok sebagai kesaksian untuk saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna.
Menurut Huber, katekese merupakan komunikasi iman antar umat.
Dimana seluruh anggota jemaat saling berdialog untuk memberikan kesaksian
mengenai pengalaman iman agar masing-masing anggota dapat saling meneguhkan
Katekese menekankan pentingnya peran umat dalam prosesnya karena
katekese juga tanggung jawab setiap umat yang telah masuk dalam persekutuan
dengan Kristus melalui pembaptisan. Katekese dapat menjadi sarana bagi umat
untuk mengolah pengalaman menjadi kesaksian akan kasih Kristus yang telah
mereka rasakan sehingga dapat saling meneguhkan satu sama lain. Dalam kerangka
komunikasi iman, yang menjadi titik tolak dalam katekese ialah pengalaman hidup
orang beriman yang sungguh menghayati imannya di tengah-tengah pergulatan hidup
sehari-hari (Heryatno, 2010:1). Dalam pengertian tersebut, umat menjadi subyek
dalam katekese dimana umatlah yang menjadi pusat dari proses katekese yang
bersaksi atas imannnya akan Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kitab Suci terutama pada: Luk 1:4, Kis 18:25, Kis 21:21, Rm
2:18, 1Kor 14:19, dan Gal 6:6 katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman,
dan pendidikan iman agar seorang kristen semakin dewasa dalam iman.
(http://www.imankatolik.or.id/pengertian_dasar_dan_prinsip_katekese.html). Dalam
pengertian tersebut dikatakan bahwa melalui katekese, orang Kristiani dituntun untuk
hidup sesuai dengan ajaran Kristiani sehingga dapat menemukan pengharapan akan
kasih yang mereka rindukan melalui firman dalam Kitab Suci yang mereka dalami
bersama. Firman yang tertulis dalam Kitab Suci dapat menjadi bahan refleksi bagi
umat untuk melihat dalam kehidupan mereka masing-masing sehingga diharapkan
dapat membawa perubahan dalam kehidupan mereka dan menjadikan firman sebagai
2. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan pondasi pembangunan Gereja dan masyarakat.
Karena keluarga adalah lingkungan pertama-tempat iman dibentuk. Dalam
keluargalah tempat iman dibesarkan dan mulai merekah, sehingga iman akan
semakin hidup dan aktif dalam tindakan sehari-hari. Menurut Paus Yohanes Paulus
II, keluarga adalah sekolah pertama dan mendasar untuk hidup bermasyarakat
sebagai persekutuan cinta kasih yang membimbingnya dan mempertumbuhkannya
(1994:74). Dari pengertian tersebut, setiap anggota keluarga belajar nilai-nilai sosial
secara konkret dalam pengalaman hidup bersama, berbagi rasa, saling menghormati
dengan penuh cinta kasih untuk mempersiapkan anak-anak dalam memasuki
lingkungan masyarakat.
Keluarga dapat memainkan peran fundamental, karena keluarga adalah
sel vital yang paling kecil dari masyarakat yang mempunyai pengaruh paling kuat
pada tingkah laku manusia (Eiuswa, 2011:10). Dalam keluargalah berbagai faktor
seperti pengetahuan, sosial, budaya, moral, pengembangan kepribadian dan rohani
mulai dibina dan diajarkan oleh para orang tua untuk anak-anaknya. Kehidupan
dalam keluarga menjadi penentu tingkah laku setiap anggotanya dalam hidup
bermasyarakat karena apa yang diajarkan dalam hidup keluarga, itulah yang
diterapkan dalam tindakan nyata.
Menurut Budyapranata, keluarga adalah tempat pembentukan manusia
atau tempat memanusiakan manusia (1979:6). Dalam keluarga, setiap anggota
keluarga saling membantu dalam mengembangkan pribadi satu sama lain dalam
hubungan persaudaraan yang erat. Dengan menghormati dan memupuk martabat
nyaman dan merasa memiliki arti sebagai seorang pribadi yang utuh dengan
merasakan cinta kasih dari anggota keluarga.
Cinta kasih merupakan landasan yang paling utama dalam keluarga agar
semua anggota keluarga dapat mengalami kerukunan dalam hidup. Dalam hal ini
KWI (2011:10) mengatakan:
Keluarga adalah komunitas pertama dan asal mula keberadaan setiap
manusia dan merupakan ”persekutuan pribadi-pribadi” (Communio Personarum) yang hidupnya berdasarkan dan bersumber pada cinta kasih. Kasih sejati dalam keluarga adalah kasih yang membuahkan kebaikan bagi semua anggota keluarga.
Dalam keluargalah awal mula manusia membentuk persekutuan
pribadi-pribadi yakni seorang suami dengan istri, antara orang tua dan anak-anaknya, serta
antara anak-anak itu sendiri. Setiap pribadi mewujudkan cinta kasih kepada semua
anggota keluarga melalui tindakan konkret untuk mewujudkan kedamaian,
keharmonisan, dan kebahagiaan hidup keluarga.
Sedangkan menurut Gilarso, keluarga adalah Gereja mini yang berarti
persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati (2002:13). Dari
pengertian tersebut, dalam keluarga iman berkembang dan dihayati sehingga dapat
menjadi dasar dalam bersikap/bertingkah laku dalam hidup sehari-hari agar tercipta
kedamaian, kerukunan, persaudaraan dalam keluarga. Dengan menciptakan
kedamaian dalam keluarga yang berdasarkan penghayatan iman, Tuhan hadir di
tengah-tengah keluarga untuk memberikan rahmat-Nya.
3. Pengertian Katekese Keluarga
Katekese keluarga lahir dari krisis yang dialami oleh keluarga-keluarga
Dan sudah menjadi salah satu kewajiban Gereja untuk memberikan pendampingan
dalam mewujudkan hidup keluarga kristiani yang lebih baik. Egong (1983:25)
mengemukakan bahwa:
Katekese keluarga adalah katekese yang diselenggarakan di paroki untuk para orang tua dan yang sekaligus menjadi katekese dari orang tua kepada anak-anak mereka dalam lingkup keluarga. Dalam arti yang paling khas, katekese keluarga merupakan segala sesuatu yang terjadi di rumah antara orang tua dengan anak-anak dalam komunikasi iman.
Katekese keluarga diselenggarakan di paroki sebagai bentuk tanggapan
atas keprihatinan Gereja mengenai keluarga-keluarga yang sekarang ini tidak lagi
menjadi tempat pendidikan iman bagi anak-anak. Katekese keluarga ingin membantu
orang tua dalam menciptakan suasana pendidikan iman bagi anak-anaknya melalui
dialog atau komunikasi iman dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, melalui
katekese keluarga para orang tua dapat menyadari tugas dan tanggung jawabnya
dalam hidup berkeluarga terutama dalam mendidik anak-anak mereka sehubungan
dengan hidup dalam Gereja dan masyarakat.
Menurut Dwi Wuryani, katekese keluarga merupakan aspek dari katekese
umat yang biasa dipakai untuk menggambarkan bentuk katekese dewasa yang
ditujukan kepada orang tua untuk menolong mereka dalam pendidikan iman
anak-anak mereka (1994:70). Katekese keluarga merupakan salah satu bagian dari
katekese umat sebagai bentuk pendampingan bagi para orang tua untuk
mengingatkan kembali tugas dan kewajiban mereka dan menolong mereka dalam
memberikan pendidikan bagi anak-anak dengan benar dan menyenangkan terutama
dalam hal nilai-nilai kemanusiaan dan nilai iman Katolik untuk mempersiapkan
(1991:14) memiliki pemikiran yang sama bahwa katekese keluarga adalah suatu
bentuk katekese umat yang merupakan bentuk kerja sama antara sejumlah keluarga
yang sedang bertumbuh dalam iman dan menghadapi tugas yang sama yaitu
mendidik iman anak-anak. Dari pengertian di atas, nampaknya semakin jelas bahwa
katekese keluarga merupakan salah satu bentuk kepedulian Gereja terhadap
pendidikan iman dalam keluarga sebagai sarana pembelajaran bagi para orang tua
untuk semakin memperkaya nilai-nilai rohani dalam keluarga dan relasi antar
anggota keluarga. Oleh karena itu Gereja mengambil bagian dalam pembinaan bagi
keluarga Kristiani karena keluarga bukan suatu komunitas biasa tetapi suatu tempat
persemaian dan sekolah iman; bahwa dalam keluarga iman serta pengungkapannya
diperkenalkan, diajarkan dan dihayati (Wignyasumarta, 2000:36).
4. Tujuan Katekese Keluarga
Pesatnya perkembangan teknologi berakibat banyak bagi perkembangan
pribadi manusia. Gereja dan para orang tua mulai khawatir tentang perkembangan
kepribadian anak-anak jika pendidikan iman dalam keluarga tidak diperhatikan. Oleh
karena itu, sebagai salah satu aspek dari katekese umat, katekese keluarga ingin
memberikan kontribusi kepada keluarga-keluarga Kristiani dalam upaya membentuk
keluarga yang hidup berdasar terang Kristus. Menurut Gabriella (1991:1), tujuan dari
katekese kaluarga yakni:
Kutipan di atas mengemukakan bahwa katekese keluarga ingin
memberikan inspirasi kepada keluarga-keluarga Kristiani khususnya orang tua agar
terdorong untuk menciptakan kesempatan dengan memberikan perhatian dan waktu
untuk berbincang-bincang dan sharing dengan seluruh anggota keluarga mengenai
pengalaman sehari-hari yang direfleksikan dengan bacaan dari Kitab Suci. Dengan
sharing pengalaman hidup yang direfleksikan sesuai dengan bacaan dari Kitab Suci,
seluruh anggota keluarga dapat memahami makna dari pengalaman-pengalaman
hidup yang telah dilalui dan memahami maksud dan tujuan manusia diciptakan yakni
agar manusia dapat memuji dan memuliakan Allah dengan hidup dengan penuh cinta
kasih kepada sesama dan ikut mengemban tugas dalam memperkembangkan Gereja
dan masyarakat.
Menurut Egong, katekese keluarga ingin mengusahakan suatu dialog
yang timbal balik antara semua anggota keluarga, sehingga masing-masing anggota
keluarga menyadari, menumbuhkan, memperkembangkan, dan saling meneguhkan
imannya (1983:24). Melalui katekese keluarga, relasi antar anggota keluarga sebagai
sebuah keluarga Kristiani dan sebagai pribadi yang hidup di tengah masyarakat
menjadi semakin erat dengan menghadirkan cinta kasih Allah dalam tindakan
konkret melalui komunikasi iman dan semangat cinta kasih. Katekese keluarga
diharapkan membawa dampak bagi setiap anggota keluarga agar semakin menyadari
dan memperkembangkan iman dengan saling terbuka satu sama lain. Dengan
keterbukaan yang dilandasi kepercayaan, masing-masing anggota keluarga dapat
adanya dialog, orang tua dapat lebih mudah menuntun dan membina iman anak-anak
mereka secara terus menerus.
Menurut Dwi Wuryani, tujuan dari katekese keluarga adalah untuk
meyakinkan orang tua bahwa mereka adalah pengajar hidup dalam keluarga, yaitu
pengajar mengenai hidup dan iman di dalam keluarga mereka masing-masing
(1994:72). Tuhan mengamanatkan kepada orang tua untuk membimbing keluarganya
menuju proses kedewasaan (Bonaventura, 2011:3). Oleh karena itu melalui katekese
keluarga, para orang tua diingatkan kembali bahwa merekalah yang sepenuhnya
bertanggung jawab dalam memberikan teladan pengajaran mengenai rohani dan
hidup dalam masyarakat.
5. Sasaran Katekese Keluarga
Dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan, katekis dan
keluarga-keluarga perlu menentukan sasaran yang ingin dicapai agar proses dari katekese
keluarga semakin jelas. Menurut Dwi Wuryani (1994:72), yang menjadi sasaran dari
katekese keluarga adalah:
a. Kelompok suami-isteri (bapak-ibu yang bertanggung jawab langsung pada
anak-anaknya, kepada Tuhan, negara, dan masyarakat sekitarnya).
b. Semua anggota keluarga (ayah-ibu-anak) dan semua sanak saudara yang seiman
dan tinggal serumah.
c. Kaum kerabat, sanak, saudara, yang berkumpul pada suatu kesempatan
sehubungan dengan tradisi atau suatu peringatan.
Kelompok-kelompok di atas menjadi sasaran dalam katekese keluarga
karena merekalah pelaku kehidupan yang memiliki visi dan misi yang sama
keterkaitan hubungan atau relasi yang memiliki tugas untuk saling membantu dan
memperkembangkan pribadi satu sama lain.
6. Kekhasan Katekese Keluarga
Meskipun katekese keluarga merupakan bagian dari katekese umat, tetapi
katekese keluarga memiliki kekhasan tersendiri untuk membedakan katekese
keluarga dengan katekese yang lainnya. Kekhasan tersebut antara lain:
a. Katekese keluarga bertujuan meyakinkan para orang tua bahwa dirinya
merupakan pengajar hidup, artinya orang tua menjadi pengajar tentang hidup
dan iman dalam keluarga masing-masing (Dwi Wuryani, 1994:73).
b. Katekese keluarga bukan sebagai pengganti pelajaran agama di sekolah dan
paroki. Katekese keluarga mempunyai hubungan dengan katekese lainnya,
dalam arti bahwa katekese keluarga mau memperlihatkan bahwa komunikasi
iman dalam keluarga merupakan dasar dan bantuan dari katekese yang lain.
Dengan kata lain dalam rangka pendidikan iman anak dibutuhkan kerjasama
antara orang tua, guru agama di sekolah dan pastor, katekis dan umat di
wilayah/paroki (Egong,1983:26).
c. Katekese keluarga bukan suatu penataran atau diskusi mengenai persoalan iman.
Katekese keluarga mau menolong orang tua untuk dapat mengambil keputusan
yang tepat mengenai arti dan tujuan hidup dalam terang iman (Dwi Wuryani,
B.
Pendidikan Iman Anak1. Pengertian Pendidikan Iman Anak
Pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha bersama dalam proses
terpadu-terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan dan menyiapkan diri guna
mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dirinya di
hadapan Sang Pencipta (Setyakarjana, 1997:1). Dengan menerima pengajaran,
manusia berproses untuk menjadi pribadi yang berguna dalam hidup di tengah
masyarakat. Dengan terus belajar, manusia dapat mengembangkan kecerdasan,
keterampilan, akal budi yang sudah dimiliki dan kemudian ikut bertanggung jawab
membantu dalam tugas pengembangan masyarakat. Dengan begitu manusia dapat
mengembangkan diri dalam menjalin relasi yang harmonis dengan sesama dan Sang
Pencipta.
Pendidikan yang sangat mendasar adalah pendidikan Iman. Ia menjadi
dasar bagi seluruh proses pendidikan berikutnya. Menurut Adisusanto, pendidikan
iman adalah suatu usaha yang berarti atau relevan untuk membantu umat beriman
menuju ke kedewasaannya secara paripurna (1997:1). Pendidikan iman tidak hanya
menyampaikan pengetahuan iman, tetapi juga membentuk sikap iman.
Terlebih mengenai pendidikan iman anak, perlu perhatian khusus
terutama dari orang tua. Iman berakar dalam ajaran yang kokoh. Orang tidak bisa
percaya tanpa mengetahui apa yang ia percayai. Maka anak-anak harus tahu ajaran
Kristiani agar sampai pada iman yang benar. Dan orang tualah yang harus memenuhi
kebutuhan dan hak anak dalam mendapat pengajaran. Menurut Adisusanto,
pendidikan iman bersifat menyeluruh mencakup semua aspek iman, yaitu
yang berkembang dalam hidup berimannya tidak hanya tahu akan apa yang
diimaninya, tetapi juga merayakan dalam hidup sakramentil dan menghayatinya
dalam hidup sehari-hari. Iman yang sampai pada tahap penghayatan yang sempurna,
tidak berkembang dengan sendirinya melainkan dengan bantuan berbagai sarana,
orang-orang terdekat, lembaga, dan lain-lain.
Iman tanpa pengolahan secara terus menerus akan menjadi lemah dan
rentan terhadap krisis terutama bagi anak-anak. Oleh karena itu perlu adanya
pendampingan sebagai wujud kepedulian dan kesadaran akan pentingnya pendidikan
iman pada anak usia dini demi perkembangan iman mereka. Menurut Suhardiyanto
(2008:1), Pendidikan Iman Anak adalah segala kegiatan apapun, dalam lingkup
manapun yang dilakukan demi perkembangan iman anak, baik dalam lingkup
keluarga maupun dalam lingkup paroki. Pendampingan dari orang tua adalah dasar
berkembangnya iman anak karena orang tua memiliki otoritas terbesar sebagai
pendidik. Selain itu orang tua adalah pendidik yang pertama dan paling utama (FC
art. 36). Oleh karena itu orang tua harus mengarahkan anak menuju kedewasaan
dengan memberikan bimbingan rohani secara konkret dalam hidup sehari-hari.
Dengan pendampingan secara terus menerus baik dalam keluarga maupun dalam
sekolah atau paroki, iman anak akan semakin berkembang dan merekah. Anak mulai
mengetahui artinya mempercayai dan menemukan pribadi-pribadi Bapa, Putera, dan
Roh Kudus yang dipercayainya (Cooke, 1972:6). Anak mengetahui imannya sebagai
seorang Kristen dan mulai dewasa dalam imannya dengan meyakini bahwa Allah
sungguh ada dan Yesus sebagai putera-Nya sungguh hidup dan Roh Kudus ada
bersamanya karena ia merasakan cinta dan kasih Allah kepadanya. Dalam hal ini
usaha-usaha manusia untuk menciptakan suasana hidup beriman anak sedemikian rupa,
hingga membantu dan mempermudah perkembangan iman anak.
Pendidikan iman anak sebagai salah satu usaha untuk membantu dan
mempermudah perkembangan iman anak yang bertujuan membimbing anak secara
sadar berdasarkan kehidupan konkret anak menuju kedewasaan imannya. Oleh
karena itu pendidikan iman anak harus dimulai sedini mungkin-sejak lahir dan terus
menerus sampai anak menjadi dewasa (Wignyasumarta, 2000:148). Pendidikan
iman dimulai sejak anak lahir bila memungkinkan dibawa ke Gereja untuk dibaptis.
Pembaptisan bagaikan benih yang ditanam dan kemudian akan tumbuh dan berbuah
kemudian hari. Pertumbuhan iman tergantung dari orang tua dalam membimbing
iman anak-anak mereka. Oleh karena itu, pendidikan iman yang diberikan kepada
anak sejak dini akan menjadi dasar atau pondasi dan bekal bagi anak dalam
mempersiapkan diri menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Dan pendidikan iman
harus dilakukan secara terus menerus agar anak semakin mengenal Bapa, Putera dan
Roh Kudus, menghayati iman yang sudah ia pilih dan memahami arti hidup serta
tujuan manusia diciptakan untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan masyarakat
dan hidup harmonis dengan sesama manusia dan seluruh ciptaan-Nya.
2. Tujuan Pendidikan Iman Anak
Iman tidak akan berkembang dan semakin hilang jika tidak ada
pendampingan dan pengajaran sejak dini. Melalui pendidikan Kristiani, anak
dihantar pada perjumpaan dengan Pribadi Yesus Kristus (Setyakarjana, 1997:2).
Pendidikan iman anak mengarah pada pemahaman anak akan Allah yang penuh
yang mengasihi setiap orang yang datang kepada-Nya. Tujuan dari pendidikan iman
itu sendiri yakni menumbuhkan sikap beriman dalam diri anak-anak (KWI, 2011:30).
Dengan sikap beriman, anak-anak siap menyambut kasih Allah dan membalasnya,
serta secara aktif ambil bagian dalam hidup Gereja. Oleh karena itu, anak-anak perlu
dibimbing sejak dini secara bertahap, sesuai dengan tahap perkembangan
kepribadiannya, sehingga mereka semakin menghayati dan mengembangkan kurnia
iman yang telah mereka terima. Dengan demikian, anak yang memperoleh
pendidikan iman sejak dini, akan membekas dalam sanubarinya. Ibarat kain yang
dicelup dalam pewarna dan dibiarkan berhari-hari didalamnya, tidak akan ada
pori-pori sekecil apapun yang tidak terwarnai. Oleh karena itu pendidikan iman semenjak
kecil akan sangat berpengaruh dalam kehidupan anak selanjutnya.
(http://www.scribd.com/doc/19609282/Pendidikan-Iman).
Sedangkan Suhardiyanto (2008:5) mengemukakan bahwa tujuan utama
pendidikan iman anak adalah agar anak-anak peserta PIA memiliki sikap dan
wawasan iman Kristiani, bangga atasnya, serta mampu pula mengungkapkan dan
mewujudkan imannya sesuai usia mereka. Selain menanamkan pemahaman
mengenai Allah yang penuh kasih, anak juga diajarkan mengenai sikap penuh cinta
kasih dalam hidup sehari-hari terhadap sesama dan orang lain yang mencerminkan
sikap orang Kristiani. Selain itu anak juga dibekali dengan pengetahuan tentang
ajaran, peraturan, dan lain sebagainya dalam lingkup agama yang nantinya
diharapkan anak merasa bangga bahwa ia dicintai dan mencintai orang lain serta
mengungkapkannya dalam wujud tindakan dalam hidup sehari-hari sesuai dengan
usia mereka. Anak-anak diperkenalkan dengan Allah sebagai Sang pencipta atas
segala sesuatu yang ia dapatkan dari Tuhan. Selain itu juga anak-anak diberi
pemahaman bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan
memiliki martabat dan derajat yang sama sehingga melalui pemahaman tersebut,
anak-anak belajar menghargai orang lain sebagai wujud cinta kasih kepada Tuhan.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan iman anak bertujuan terwujudnya
aspek pewartaan, perayaan, dan kesaksian. Dalam hal ini Goretti (1999:82)
mengemukakan beberapa tujuan pendidikan iman sebagai berikut:
a. Menyiapkan situasi lingkungan yang baik bagi anak-anak yang sedang
berkembang.
b. Meningkatkan serta memperdalam pengetahuan agama yang diarahkan ke
penghayatan iman yang nyata sesuai dengan perkembangannya di usia tertentu
(5-13 tahun).
c. Mempersiapkan anak untuk menerima komuni pertama.
d. Meningkatkan serta memperdalam penghayatan anak terhadap liturgi Gereja.
e. Meningkatkan sifat satria, harga-menghargai pribadi orang lain.
f. Memupuk harga diri yang sehat dan wajar. Kritis dalam menanggapi sesuatu
serta menilai tinggi hak hidup setiap makhluk.
3. Pendidikan Iman dalam Keluarga
Sebagai bagian dari Gereja, keluarga-keluarga Kristiani berkewajiban
untuk mengusahakan agar anak-anak memiliki iman yang terwujud dalam
penghayatan hidup. Oleh karena itu, perlu sekali adanya pembinaan bagi anak-anak
sejak usia dini demi tercapainya kedewasaan iman dalam keluarga. Dan keluarga
perlu menyadari bahwa kunci pendidikan iman sepenuhnya ada dalam keluarga.
Menurut Gabriella (1991:10), pendidikan iman dalam keluarga tidak mengikuti suatu
iman keluarga dan bertumbuh seterusnya. Dalam pengertian tersebut, pendidikan
iman bukan diartikan sebagai sebuah pendidikan formal tetapi pendidikan spontan
yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga dengan dialog,
bercengkrama dll. Kesadaran akan Tuhan dalam keluarga bagi anak-anak usia dini
terjadi dalam peristiwa sehari-hari biasa. Dalam peristiwa sehari-hari inilah anak
mulai mengenal Tuhan dan merasakan kasih-Nya. Dengan begitu iman akan
berkembang dan tumbuh subur dari hari ke hari.
Proses pendidikan dalam keluarga bagi anak-anak merupakan proses
mentransfer nilai-nilai yang diajarkan kepadanya. Melalui pendidikan dalam
keluarga, anak belajar mengenal yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang
benar, dsb. Dan dari situlah hati nurani anak mulai dibina dan terbentuk. Agar iman
anak dapat terus bertumbuh, orang tua perlu memberikan pelajaran dan
pendampingan. Menurut Gabriella (1991:12), hal-hal yang perlu dipelajari anak
tentang iman dalam keluarga adalah sebagai berikut:
a. Anak belajar percaya
Proses pertama pendidikan anak dimulai dengan proses penyesuaian diri
anak dengan kebiasaan hidup keluarga dan masyarakat sekitar. Yang penting dalam
proses ini adalah perbuatan iman yang disaksikan karena keluarga yang beriman
sejati kepada Kristus akan tertanam cara hidup sebagai pengikut Kristus dalam diri
anak. Oleh karena itu, tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap evangelisasi pertama.
Dan anggota keluarga harus mendampingi anak dalam mengkaji nilai iman dari
cerita Kitab Suci atau peristiwa gerejani.
Kehidupan dalam keluarga yang penuh kasih sayang, rasa hangat,
kebaikan dan simpati, akan membuat anak bisa bertumbuh dan berkembang dengan
baik. Anak belajar mengenal kasih Allah dari pengalaman kasih yang dialaminya dari
orang tua dan keluarga. Pengalaman kasih merupakan titik pangkal penerimaan diri
sebagaimana dia adanya dan sebagai usaha menghayati cinta kepada sesama. Banyak
mengalami kebaikan dan cinta kasih dalam keluarga merupakan persemaian
pemahaman cinta Allah dan cinta sesama yang dipelajari anak dalam hidup
selanjutnya.
c. Anak belajar hidup sebagai orang Katolik
Dalam keluarga, anak sudah belajar hidup sebagai orang Katolik sebelum
masuk sekolah di mana di sana dia akan berada bersama keluarga Gereja. Hidup
sebagai orang Katolik dipelajari oleh anak dari kegiatan-kegiatan keagamaan yang
ada di dalam keluarga, lingkungan dan paroki. Misalnya anak diajari doa-doa sesuai
ajaran Katolik, diajak dalam pertemuan keagamaan di lingkungan, ke Gereja pada
hari minggu dan hari besar lainnya, dll.
4. Faktor-faktor Perkembangan Iman Anak
a. Faktor Pendukung Perkembangan Iman Anak
Dalam usaha membina iman anak demi berkembangnya iman menuju
kedewasaan, kita perlu memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh secara
dominan dalam perkembangan anak, yakni: keluarga, sekolah, teman sebaya dan
Dalam keluarga, anak harus dihantar untuk menjalin relasi dengan Tuhan
melalui suatu peristiwa maupun sarana yang ia temukan. Hal tersebut dikarenakan
bahwa perkembangan iman seseorang dipengaruhi oleh suatu pengalaman
mengalami kehadiran Allah secara langsung dalam hidupnya (Allen, 1982:20). Bila
anak-anak secara teratur dipupuk dalam iman melalui doa serta pengajaran Alkitab
dalam keluarga yang penuh kasih, dan hidup dalam lingkungan Kristen yang
membangun, kemungkinan besar mereka akan bertemu dengan Allah yang hidup dan
imannya berkembang secara mendalam dan mantab.
Menurut Gabriella (1991:11), kesadaran akan Tuhan dalam keluarga
timbul melalui rutinitas harian. Demikian pula iman, semua terjadi dalam kesaksian
hidup harian, dan di situlah anak mengenal Allah. Iman berkembang dan disuburkan
dari hari ke hari secara tidak dirumuskan. Secara jelas dikatakan oleh Gabriella,
bahwa untuk menyadari kasih Allah tidak melulu terjadi dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan. Justru dalam rutinitas sehari-harilah anak dapat mengenal Allah dengan
merasakan kasih Allah secara nyata dalam kesehariannya. Dengan begitu, dari hari
ke hari iman akan semakin bertumbuh dengan sendirinya.
Dalam faktor di sekolah, anak usia sekolah dasar merupakan masa
pertumbuhan fisik, intelek, sosial dan rohani karena anak-anak usia sekolah memiliki
kemampuan untuk menyerap segala informasi yang ia dapatkan dengan sangat cepat.
Menurut Gabriella (1991:15), sekolah sebagai tempat pembudayaan manusia dari
sudut katekese/pelajaran agama merupakan wadah pembudayaan hidup yang dijiwai
semangat Injil. Pelajaran agama, katekese dan berbagai kegiatan perayaan iman yang
terjadi di sekolah menjadi kesempatan bagi anak untuk mengkaji nilai-nilai Kristiani.
hal termasuk dalam hal rohani. Melalui pelajaran agama, anak belajar untuk
mengetahui dan ikut ambil bagian dalam kegiatan rohani agar kehidupan rohani atau
imannya semakin terarah dan berkembang.
Teman sebaya merupakan orang yang paling dekat dengan anak-anak
setelah orang tua. Bermain, bercanda, bercengkrama dengan teman sebaya
merupakan rutinitas wajib bagi anak-anak. Melakukan kegiatan dengan teman
sebaya, memberi sumbangan besar bagi perkembangan anak. Melalui hubungan
sosialnya dengan orang lain, hati nurani mulai menunjukkan perkembangan menuju
kedewasaan. Pengertian akan dosa dan pengampunan bertumbuh serta
peraturan-peraturan mulai menjadi penting dalam upacara-upacara ibadah, juga dalam
permainan. Anak sudah dapat membedakan antara Allah dan orang tua mungkin juga
dapat membedakan antara Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Anak usia sekolah mulai
menggunakan konsep abstrak untuk menggambarkan Allah (Allen, 1982:42).
Kemajuan teknologi, khususnya media membawa pengaruh bagi
perkembangan anak dalam berbagai faktor baik positif atau negatif. Pola hidup
masyarakat saat ini sangat maju dan serba canggih. Anak-anak turut dimanjakan
dengan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai sarana pengganti
mainan dan teman bermain, media elektronik maupun cetak nampaknya memiliki
daya pikat terhadap anak-anak di jaman sekarang. Menurut Endang Ekowarni dkk,
kehadiran televisi maupun media massa lain dalam kehidupan anak merupakan
bagian dari sistem sosial, di mana anak tumbuh dan berkembang di dalamnya
(2003:25). Dari media elektronik maupun media yang lain, selain pengetahuan atau
hiburan, anak juga dapat mengakses segala hal yang ingin diketahui sehingga anak
pengaruh positif saja, tetapi juga ada pengaruh negatif yang ditimbulkan. Untuk
meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan, dalam menggunakan media
elektronik atau media yang lain, orang tua perlu mendampingi anak dengan memilah
program atau informasi yang berkualitas dan bermanfaat bagi anak. Demikian halnya
dengan iman, kemajuan teknologi dapat membantu anak dalam belajar mengenal
Allah melalui tayangan-tayangan yang dapat merangsang kepekaan sosial,
menambah pengetahuan tentang tradisi Gereja dan ajaran-ajaran Kristiani dsb, karena
iman tumbuh melalui penglihatan dan pendengaran.
b. Faktor Penghambat Perkembangan Iman Anak
Anak-anak sangat sensitif terhadap hal-hal yang ada atau yang terjadi di
sekitarnya. Keluarga, lingkungan dan kehidupan sosialnya dapat berpegaruh bagi
perkembangan moral, sosial, psikologi, dan rohani anak (Hurlock, 1988:216).
Anak-anak dikelilingi oleh orang tua, saudara, nenek, kakek dan lainnya. Suasana atau
keadaan yang ada sangat mempengaruhi apalagi jika anak tengah berada dalam
keadaan orang tua yang telah pecah. Selain itu anak-anak juga dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan dan sikap hidup mereka yang dapat membawa dampak pada
relasi anak dengan pribadi yang ada di sekitarnya dan juga relasi anak dengan Tuhan
(Setyakarjana, 1997:7). Anak yang berada dalam situasi keluarga yang bermasalah
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik moral, psikologi,
kepribadian, sosial, dan rohani anak. Karena dengan melihat dan merasakan secara
langsung suasana atau keadaan keluarga yang carut marut, hal itu akan membebani
anak karena terbawa dalam kehidupan si anak itu sendiri. Oleh karena itu kestabilan
karena anak belajar dari cara hidup orang tuanya. Orang tua yang memiliki cara
hidup sebagai seorang Kristiani dalam keluarga, minat anak akan tumbuh dengan
sendirinya mengenai unsur-unsur agama yang ia lihat dari orang tuanya.
Pada masa kanak-kanak, ada dorongan yang kuat untuk bergaul dengan
orang lain dan ingin diterima oleh orang lain (Hurlock, 1988:251). Pada anak usia
sekolah, anak-anak tertarik dalam menjalin relasi dengan orang lain terutama teman
sebaya. Umumnya orang-orang mengikuti perkembangan tuntutan sosial agar dapat
diterima dalam kelompok mereka. Menurut Hurlock (1988:251), penyesuaian diri
terhadap tuntutan sosial memang memiliki banyak manfaat yang positif seperti
belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain, kemampuan berbicara semakin
berkembang dan pengetahuan umumnya semakin luas dan sebagainya. Akan tetapi,
tuntutan sosial yang sedemikian rupa berkembangnya seiring perkembangan jaman
juga membawa dampak buruk bagi perkembangan rohani anak-anak. Anak-anak
mudah terpengaruh oleh teman sebayanya. Apalagi jika mereka terpengaruh pada
teman sebaya yang kurang minat bahkan mungkin sama sekali tidak berminat pada
hal-hal rohani. Iman yang semula sudah mulai berkembang, perlahan-lahan akan
semakin merosot. Setiap krisis yang dialami pada masa anak-anak bisa memberikan
peluang bagi timbulnya krisis rohani (Allen, 1982:14). Krisis bisa terjadi karena
unsur dari luar dan dari dalam diri anak itu sendiri. Krisis hidup seperti masalah
uang, putus persahabatan, keluarga dll. Sedangkan krisis dari dalam diri lebih ke
unsur kurangnya kepercayaan diri yang dapat membahayakan perkembangan iman
5. Usaha-usaha Dalam Membantu Perkembangan Iman Anak
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anak akan belajar dari apa
yang ada dan apa yang ditemui di lingkungan sekitarnya. Tingkah laku, cara berbuat
dan berbicara akan ditiru oleh anak (Hasbullah, 1999:28). Oleh karena itu orang tua
sudah semestinya menciptakan suasana yang kondusif (mendukung) dan memberikan
teladan bagi pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Masa kanak-kanak
merupakan masa yang amat penting dan menentukan bagi perkembangan rohani
anak, bahkan menjadi dasar bagi iman kepercayaannya pada masa dewasa. Iman
dikomunikasikan dengan cara yang berbeda-beda, pada tahap yang berbeda-beda
pula, sesuai dengan perkembangan individu. Oleh karena itu, peran orang tua
sangatlah penting dalam memperkembangkan iman anak. Sebagai langkah awal,
orang tua perlu memberikan kasih dan perhatian kepada anak. Karena kasih itu
konsisten sehingga anak-anak akan merasa aman dan terlindung (Allen, 1982:12).
Dengan merasakan kasih dari orang tua, anak memiliki pandangan bahwa Tuhan itu
pengasih dan akan merasa bahwa ia didengarkan dan diperhatikan. Para orang tua
dan pengasuh lainnya mempersiapkan anak itu bagi perkembangan rohaninya dengan
menciptakan lingkungan yang penuh kasih yang mendapat kekuatan serta kestabilan
(kemantapan) dari iman mereka sendiri (Allen, 1982:26). Kasih orang tua merupakan
elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua sebagai
pendidik. Suasana kasih harus ada di dalam rumah, agar orang tua dapat mendidik
anak-anak dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana rumah yang
Menurut Hurlock (1989:133):
untuk membuat anak kecil mengerti tentang agama, konsep keagamaan diajarkan dalam bahasa sehari-hari dan dengan contoh dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian konsep-konsep menjadi konkret dan realistis. Anak belajar berpikir tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat, dan iblis dalam bentuk gambar yang mereka lihat atau cerita yang mereka dengar.
Anak-anak belum bisa diajak berpikir terlalu teologis. Dalam
menanamkan pendidikan iman, anak-anak lebih tertarik diajarkan mengenai
pengetahuan ajaran dan tradisi Gereja melalui gambar, contoh dalam kehidupan
sehari-hari, peraturan-peraturan, serta mengenai dosa dan pengampunan. Dalam
usaha menerapkan aspek iman dalam diri anak, perlu diketahui bahwa iman
merupakan tindakan pengetahuan yang disempurnakan melalui gerakan kehendak
dan pengaruh rahmat. Anak-anak perlu ditanamkan mengenai pengalaman akan
Allah. Dimana dalam setiap peristiwa dan segala sesuatu yang didapat merupakan
rahmat dari Tuhan, untuk itu anak diajari untuk selalu berterimakasih dan bersyukur
kepada Tuhan. Tindakan pengetahuan itu pun mengikuti tahap perkembangan iman
sesuai umur; berkembang sedikit demi sedikit dan tentunya secara
berkesinambungan (Goretti, 1999:4). Dalam memberikan bimbingan kepada anak
sebagai usaha memperkenalkan dan menunjukkan kasih Allah kepada anak dalam
dirinya untuk mengajarkan kepadanya agar selalu bersyukur atas apa yang Tuhan
berikan kepadanya, orang tua perlu menyesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
Sebagai contoh, pada usia memasuki taman kanak-kanak, biasanya anak akan
cenderung berperilaku untuk memenuhi kepuasan dirinya (Drost, dkk, 2003:21).
Kepuasan diri seperti ingin makan makanan yang enak atau mendapatkan perhatian
orang tua dapat memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu orang tua perlu
mengajarkan anak untuk mensyukuri hidup (Drost, dkk, 2003:20). Mengajari anak
untuk bersyukur setelah mendapatkan sesuatu yang diinginkan merupakan suatu
usaha untuk memberikan pemahaman dan pengertian pada anak bahwa ketika kita
menginginkan sesuatu, untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Untuk mendapatkan
sesuatu yang kita inginkan, kita harus bekerja keras dan berusaha agar apa yang kita
inginkan dapat terpenuhi. Selain itu, orang tua perlu memberikan pemahaman kepada
anak bahwa segala sesuatu yang dimiliki merupakan rahmat yang diberikan oleh
Tuhan melalui orang tuanya. Dengan belajar bersyukur, anak dapat menghargai
setiap usaha orang tua dalam memenuhi kebutuhannya serta dapat memahami bahwa
ia telah mengalami cinta kasih Allah secara nyata dalam rupa terpenuhinya keinginan
baik benda maupun perhatian dengan begitu kerohanian anak berkembang pada saat
ia menjawab panggilan Allah yang bekerja di dalam hidupnya (Allen, 1982:26).
Pada anak-anak mendekati usia sekolah dasar (usia delapan dan sembilan
tahun) mereka memperlihatkan bukan hanya hati nurani yang sedang bertumbuh,
melainkan juga pengertian yang bertumbuh tentang pengampunan atas suatu
kesalahan (Allen, 1982:45). Kombinasi hati nurani yang telah berkembang dengan
rasa bersalah pada saat membuat kesalahan, membuat anak menggambarkan Allah
sebagai seseorang yang bisa diajak bicara bila kita melakukan perbuatan yang salah.
Anak usia sekolah dasar mulai berhubungan dengan Allah secara pribadi melalui doa
spontan yang berupa permohonan kepada Allah untuk menolong dirinya, atau
berterimakasih atas hal-hal yang sudah ia dapatkan.
Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak-
mengajari saja, kita perlu berdoa bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap
keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga, kita perlu berdoa. Dalam
keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan
berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan
mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam
doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (http://katolisitas.org/6643/peran-orang-tua-dalam-pembinaan-iman-anak).
Dengan doa, orang tua dapat membimbing anak-anaknya mulai peduli
terhadap orang lain dengan mendoakan orang-orang yang sedang kesusahan. Sebagai
contoh: pada saat Ani sedang menonton televisi bersama dengan ibunya, mereka
melihat berita tentang kelaparan yang melanda masyarakat di salah satu bagian di
negara Afrika. Komentar yang terucap dari mulut Ani adalah “kasihan”. Keadaan ini
dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk mengajak anaknya berdoa kepada Tuhan,
mendoakan masyarakat di salah satu bagian di negara Afrika agar diberi rejeki dan
rahmat agar mereka tidak kelaparan lagi. Selain rasa peduli/empati mulai
berkembang dalam diri anak, anak juga belajar bersyukur atas apa yang sudah ia
miliki, dan membuat anak peka terhadap kesulitan orang lain serta dalam doa-doanya
menjadi lebih mementingkan orang lain karena anak-anak bertambah sadar akan
keadaan di sekitarnya dan sudah menaruh lebih banyak perhatian pada dunia pada
saat ia menjelang usia remaja (Allen, 1982: 48).
Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga
memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga, bersama keluarga
untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga.
melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua orang dari
padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan
dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di surga. Sebab di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:19 -20).
C.
Peranan Katekese Keluarga Terhadap Pendidikan Iman AnakKatekese keluarga diperlukan karena keluarga adalah wadah pertama di
mana anak yang dilahirkan ke dunia hidup dan belajar mengenal Allah dalam
perkembangannya menjadi manusia utuh (Gabriella, 1991:1). Keluargalah tempat
pertama anak belajar berbagai pengetahuan, etika sosial, dan lain sebagainya serta
belajar mengenal Allah dalam hidup sehari-hari seiring pertumbuhan dan
perkembangannya. Perkembangan iman merupakan kebutuhan yang harus dimulai
dari keluarga dan lingkungan. Oleh karena itu, dasar-dasar untuk iman tidak hanya
ditanamkan dalam diri anak itu saja, tetapi juga dalam diri orang tuanya sementara
mereka bertumbuh dalam hubungan mereka satu sama lain dan dengan Allah (Allen,
1982:26). Oleh karena itu, kebutuhan rohani orang tua harus diberi prioritas karena
iman orang tua menunjang kepercayaan yang timbul dalam diri anak. Orang tua
harus mengkomunikasikan suatu pengertian akan makna dalam cara mereka
membimbing anak-anak (Allen, 1982:26 dan 89). Pendampingan dan pembinaan
sangat diperlukan bagi para orang tua agar tugas mereka menjadi semakin jelas dan
semakin terang. Pendampingan keluarga itu sendiri berarti mendampingi keluarga
secara menyeluruh dalam segala situasinya yang harus disesuaikan dengan kondisi