• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALAM MISI PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA S K R I P S I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALAM MISI PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA S K R I P S I"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

i

DI PROVINSI INDONESIA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Wilhelmina Dude NIM: 131124027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2018

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Saya mempersembahkan skripsi ini dengan penuh syukur kepada Yesus Kristus Sang Misionaris Agung dan Bunda Maria yang telah melaksanakan karya keselamatan Allah di dunia. Kepada Kongregasi Fransiskan Misionaris Maria (FMM) dan Program Studi Pendidi-kan Agama Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidiPendidi-kan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendukung dan memberikan kesempatan kepada saya untuk men-jalankan studi di Universitas Sanata Dharma.

(7)

vii

Segalanya Bagi Yesus (Beata Assunta Pallota)

(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALAM MISI PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA”. Penulis memilih judul ini berdasarkan pengalaman, pribadi dan wawancara terhadap para suster Fransiskan Misionaris Maria di Provinsi Indonesia. Misi FMM tampak dalam pelayanan terhadap Gereja dan masyarakat. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu konteks kehidupan orang Kristiani pada umumnya dan kongregasi FMM pada khususnya. Kalau kongregasi FMM hidup di suatu wilayah/negara berarti suster FMM hidup dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh dunia dan Gereja saat ini. “Karena kegembiran dan harapan duka dan kecemasan dunia merupakan kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan Gereja” (GS 1). Hal ini berarti pula merupakan kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan suster FMM. Karya pelayanan FMM berusaha menjangkau mereka yang miskin, tersisihkan karena berbagai masalah yang melingkupi kehidupan mereka. Kharisma yang dipercayakan oleh Tuhan kepada Marie de la Passion adalah sebagai misi utama dari para suster FMM namun para suster belum menjalan misi mulia ini dengan baik.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana penulis membantu Para Suster FMM di Provinsi Indonesia untuk semakin mampu mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion, sehingga hal-hal yang menjadi penghambat dalam pelayanan dapat diatasi dengan semestinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Suster FMM di beberapa komunitas, dengan berbagai bidang tugas yang berbeda-beda, mereka menyadari bahwa mereka masih banyak mengalami hambatan dalam mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion dalam hidup harian mereka dengan baik. Nilai kesiapsedian dan korban menjadi salah satu faktor yang menghambat bagi para Suster dalam mengintegrasikan apa yang menjadi Kharisma dan spiritualitas kongregasi FMM.

Penulis menemukan gagasan mendasar yang dapat membantu para suster dalam program katekese yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia dalam mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion, berupa sumbangan pemikiran yang berbentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP). Katekese sebagai komunikasi iman dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk membantu para Suster FMM berbagi pengalaman guna memperteguh dan memperkuat iman satu sama lain dalam menjalankan tugas perutusan yang dipercayakan. Sikap yang diambil adalah partisipasi secara aktif pada misi universal Gereja yang berjuang membela kehidupan dan martabat manusia yang lemah, miskin dan tersingkir dalam masyarakat. Pelayanan dan pengabdian setiap Suster FMM diresapi oleh semangat kesederhanaan, persaudaraan, dan kegembiraan Fransiskan. Dengan demikian pa-ra Suster FMM mampu menemukan sikap dan kesadapa-ran baru yang memotivasi mereka untuk membaharui diri menjadi lebih baik, sehingga semakin banyak orang mengalami kehadiran Allah melalui kehadiran dan kesaksian hidup mereka di mana mereka diutus.

(9)

ix ABSTRACT

This undergraduate thesis is entitled “ACTUALIZING THE UNIVER-SAL MISSION OF MARIE DE LA PASSION IN THE MISSION OF THE FRANSISCAN MISIONARIS OF MARY SISTERS IN INDONESIAN PROVINCE”. This study was based on personal experiences and interviews with FMM (Fransiscan Missionaries of Marry) sisters in Indonesian Province. FMM mission itself focuses on the service of the Church and society. A church is a dimension of one context of christian life in general and FMM congregation in specific. If a congregation and FMM sisters actively runs their program in a particular area, they will also feel the present condition of the Church and society.“Since happiness, worry and grief is the happinnes, worry and grief of the Church.” (GS 1). They work with the poor and marginalized people. This is the Charism of Marie de la Passion which is the main mission of FMM sisters. However, these days, FMM sisters have not committed yet to this great mission.

This study then would like to help FMM sisters in Indonesia to have capability in actualizing the universal mission of Blessed Marie de la Passion. Therefore, the obsacles in service can be solved appropriately. Based on the interviews with FMM sisters in various community, there are a lot of obstacles that ressit the implementation of the mission of Blessed Marie de la Passion. The willingness and sacrifice become two of the factors that inhibit the sisters in integrating the charism and spirituality of FMM congregation.

The writer finds the basic thoughts to improve the awareness of FMM sisters in implementing the mission of Beata Marie de la Passion. The framework of catechesis model is Shared Christian Praxis (SCP). The catechesis is the media to strengthen up the belief between each other in implemeting the mission assignment. FMM sisters should actively participate in universal church mission which have concern on life and dignity of the poor and the marginalized in the society. The service and devotion should include the spirit of Fransiscans that lead to simplicity, brother/sisterhood and happinnes. Thus, the sisters can rebuild their own attitude and awareness that motivated them to improve themselves. Besides, many people in where they live will feel the presence of God through their presence and testimony.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, karena berkat kasih dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyeslesaikan skripsi yang berjudul “MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALALM MISI

PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA”. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

kuliah dan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama dan sekaligus juga sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang telah memberikan perhatian, semangat, meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran, dan memberi masukan-masukan penting sehingga penulis dapat semakin termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

2. Yoseph Kristianto, SFK., M. Pd selaku dosen penguji kedua sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia membaca dan memberikan masukan, serta mendampingi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa HS, S.Ag.,M. Si selaku dosen penguji ketiga yang telah ber-sedia membaca dan memberikan masukan, serta mendampingi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama ini.

5. Provinsial Fransiskan Misionaris Maria (FMM) beserta dewan provinsi yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menjalani perutusan studi di Program Studi Pendidikan Agama Katolik hingga selesai penulisan

(11)

xi

skripsi ini. Para suster FMM Provinsi Indonesia khususnya para Suster komunitas St. Helena Yogyakarta yang dengan cara mereka masing-masing telah memberikan cinta, perhatian dan dukungan kepada penulis selama menyusun skripsi ini dari awal sampai akhir penulisan.

6. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2013 dan angkatan 2014 yang selalu memberikan semangat, motivasi dan masukan kepada penulis baik selama masa kuliah maupun selama penyelesaian skripsi ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus ikhlas memberikan masukan dan motivasi bagi penulis hingga penyeselesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Pada akhir tulisan ini, penulis menghaturkan limpah terima kasih untuk semuanya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 30 Oktober 2018 Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. PEMAHAMAN MISI GEREJA PADA UMUMNYA DAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASION PADA KUSUSNYA ... 8

A. Beberapa Pengertian Misi ... 8

1. Arti Misi secara Etimologi ... 8

2. Misi pertama-tama merupakan Misi Allah... 9

3. Misi berarti mensharingkan iman kita akan Yesus Kristus yang dalan beragam cara hadir dalam semua bangsa sebagai juru selamat ... 10

(13)

xiii

B. Riwayat Hidup dan Karya Beata Marie de la Passion ... 12

1. Masa Kanak-kanak Sampai Remaja ... 12

2. Situasi Masyarakat dan Gerea Pada Zamannya ... 16

3. Kisah Panggilan Beata Marie de la Passion ... 18

4. Motivasi Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 24

5. Landasan Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 25

a. Adorasi Ekaristi ... 25

b. Kurban: Dasar Penyerahan Hidup bagi Gereja dan Dunia ... 28

c. Semangat St. Fransiskus Asisi ... 31

d. Misionaris ... 34

e. Meneladani St. Perawan Maria... 36

C. Konsep Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 37

BAB III. MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALAM MISI PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA ... .. 41

A. Sejarah Kongregasi FMM ... 42

B. Sejarah Misi FMM di Provinsi Indonesia ... 51

C. Orienstasi Karya FMM di Provinsi Indonesia ... 53

D. Reorientasi Karya FMM di Provinsi Indonesia ... 57

E. Makna Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 59

1. Tanda Kesatuan Internasionalitas... 59

2. Komunitas Sebagai Fundamen Awal Misi ... 60

F. Laporan dan Pembahasan Hasil Wawancara Tentang Mengaktualkan Misi Universal Beata Marie de la Passion Dalam Misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia ... 61

1. Panduan Pertanyaan ... 61

2. Laporan Hasil Wawancara ... 62

3. Pembahasan Hasil Wawancara ... 64

(14)

xiv

BAB IV. KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS SEBAGAI USAHA UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN DALAM MISI PARA SUSTER FMM DI PROVINSI INDONESIA DALAM MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE

DE LA PASSION ... 70

A. Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Usaha Meningkatkan Kesadaran untuk Misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia dalam Mengaktualkan Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 71

1. Pengertian Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 71

2. Latar belakang Kepentingan dan Alasan Pemilihan Katekese Model Shared Christian Praxis ... 72

B. Program Katekese Untuk Meningkatkan Kesadaran Misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia Dalam Mengaktualkan Misi Universal Beata Marie de la Passion ... 77

1. Pemikiran Dasar Program Katekese ... 77

2. Usulan Tema Katekese ... 79

3. Rumusan Tema dan Tujuan Katekese ... 80

4. Pelaksanaan Program Katekese ... 81

5. Matriks Program Katekese Bagi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia ... 83

6. Contoh Persiapan Katekese dengan Pola Katekese Model Shared Christian Praxis ... 88 BAB V. PENUTUP ... 104 A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN Lampiran 1 : Transkrip Hasil Wawancara ... (1)

Lampiran 2 : Teks Lagu ... (2)

Lampiran 3 : Cerita ... (3)

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Kis : Kisah Para Rasul Kor : Korintus Kol : Kolose Mrk : Markus Mat : Matius Luk : Lukas Yoh : Yohanes

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG :Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Kegiatan Misionaris Gereja, 7 Desember 1965

CT :Catechesi Trandendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II ten-tang Penyelenggaraan Katekese, 16 Oktober 1979

GS :Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Tentang Tugas Gereja Dalam Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

LG :Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II Tentang Gereja, 21 November 1964

C. Singkatan Lain Art. : Artikel

FMM : Fransiskan Misionaris Maria Konst : Konstitusi

MB : Madah Bakti

TKI : Tenaga Kerja Indonesia TKW : Tenaga Kerja Wanita

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Tidak jarang kita dengar pernyataan bahwa misi merupakan jantung hati Gereja. Gereja secara hakiki bersifat missioner (Ad Gantes, art. 2). Tugas perutusan Gereja ini merupakan jawaban yang tulus atas Sabda dan amanat Sang Pendirinya yaitu Yesus Kristus untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa yang menghuni muka bumi ini. Gereja telah, sedang dan akan giat melaksanakan tugas tanpa pamrih, menjalankan karya missioner atau karya perutusan ini agar Sabda Allah tetap berkembang maju. Seiring dengan itu Kerajaan Allah diwartakan di mana-mana di dunia ini, terutama di antara bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok orang yang belum mengenal dan belum percaya kepada Kristus. Perwujudan dan model atau ciri khas dari usaha dan karya Gereja inilah yang dikenal dengan istilah misi. Karena Gereja pada hakekatnya bersifat missioner (Lumen Gentium, art. 17), maka dengan sendirinya seluruh umat dan setiap orang Kristen merupakan pelaku misi Kristen. “Sebagai anggota Kristus yang hidup, semua orang beriman yang melalui baptis, penguatan dan ekaristi disaturagakan dan diserupakan dengan Dia, terikat kewajiban untuk menyumbangkan tenaga

demi perluasan Tubuh-Nya, untuk mengantarnya selekas mungkin kepada kepenuhannya” (Ad Gantes art.36). Maka misi tidak lain dari pada upaya

menghadirkan kerajaan Allah dalam kebenaran, keadilan, perdamaian, persaudaraan dan cinta kasih di tengah dunia ini.

(17)

Kongregasi Suster FMM didirikan pada 6 Januari 1877 di Otacamund, India. Pendirinya adalah Helene de Chappotin yang dikenal dengan nama Marie de la Passion yang lahir di Nantes, Prancis pada tangggal, 21 Mei 1839. Panggilan misionarisnya mengantarnya ke tanah India. Atas petunjuk Paus Pius IX ia pun mendirikan Tarekat Misonaris Maria di India yang mengikuti cara hidup dan spiritualitas St. Fransiskus Assisi. Ia seorang wanita pertama yang melayani kebutuhan di daerah misi. Beliau memperlihatkan bahwa titik tolak sebuah kegiatan misioner adalah keprihatinan. Keprihatinan tidak hanya dalam soal keagamaan, tetapi juga dalam soal sosial kemanusiaan. Kedua hal tersebut men-jadi isi keprihatinan karena jika keprihatinan itu hanya menyakut persoalan keagamaan, misi hanya akan berkutat dalam persoalan menobatkan orang untuk masuk agama Kristen atau sibuk di seputar altar saja, maka Beata Marie de la Passion menanggapi kebutuhan misi sesuai dengan situasi zamannya dengan tujuan melayani kebutuhan misi universal. Karya misi di Madurai-India menjadi tujuan misi pertama Beata Marie de la Passion. Salah satu aspek yang menarik perhatian dalam kepribadiannya adalah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial yang timbul pada zamannya yang merendahkan derajat kaum perempuan dan orang-orang miskin di India. Dengan pengalaman demikian Beata Marie de la Passion memiliki semangat misi yang sudah mengakar dalam dirinya. Dari situlah ketika mendirikan kongregasi FMM, kharisma misi itu mempunyai peranan penting, sehingga kata misionaris tercantum dalam nama Kongregasi Fransiskan Misionaris Maria atau yang disingkat FMM.

(18)

Kongregasi FMM sebagai bagian dari Gereja Universal juga terpanggil untuk terlibat dalam masalah-masalah yang terjadi, sebagaimana tercantum dalam Konstitusi FMM artikel 37: Tuhan menantang kita melalui tanda jaman maka dari itu, kita mengarahkan perhatian kita kepada kepentingan-kepentingan dunia yang terus berubah kepada himbauan dan kepentingan Gereja universal maupun lokal agar kita menanggapinya sesuai dengan Kharisma kita. Kongregasi FMM di Indonesia adalah merupakan bagian dari Negara Indonesia oleh karena itu sudah selayaknya turut terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karya pelayanan kongregasi FMM secara tidak langsung juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia di Negara Republik Indonesia. Karya pelayanan FMM berusaha menjangkau mereka yang miskin, tersisihkan karena berbagai masalah yang melingkupi kehidupan mereka. Kharisma yang dipercayakan oleh Tuhan kepada Marie de la Passion adalah mendirikan suatu Tarekat yang membaktikan diri bagi misi universal. Misi suster FMM tampak dalam pelayanan terhadap Gereja dan masyarakat. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu konteks kehidupan orang kristiani pada umumnya dan kongregasi FMM pada khususnya. Kalau kongregasi FMM hidup di salah satu wilayah provinsi atau negara, ini berarti suster FMM hidup dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh dunia dan Gereja saat ini. “Karena kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dunia merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Gereja” (Gaudium et Spes, art.1). Hal ini berarti pula merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan suster FMM. Atas kesadaran ini para suster FMM di Provinsi Indonesia menanggapi

(19)

situasi zaman dan keprihatinannya dengan mengembangkan pelayanan misi secara konkrit, kontekstual, dan berdimensi luas menyentuh sendi-sendi kehidupan Gereja dan masyarakat.

Misi FMM di Indonesia, tidak terlepas dari misi universal Beata Marie de la Passion, yaitu menghadirkan Kerajaan Allah dengan menanggapi dan menjawab kebutuhan Gereja lokal. Di Indonesia, para suster FMM melayani dalam bidang formal dan non formal, seperti: sekolah dan kesehatan serta bidang sosial pastoral, seperti: asrama, rumah singgah untuk menangani para tenaga kerja Indonesia yang dideportasi dan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan juga sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Hasil Kapitel Provinsi 2013, tentang membuka misi baru untuk menanggapi permintaan Gereja lokal, sangat relevan dirasakan, di mana menuntut suatu sikap kerjasama yang baik dengan berbagai pihak, kesiapsediaan dan pengorbanan setiap Suster FMM untuk diutus ke daerah-daerah yang belum ada konggregasi lain, berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama Muslim, dan mereka yang masih sangat asing dengan kehidupan religius, bahkan di daerah-daerah dimana Kristus belum dikenal. Namun seiring dengan berjalannya waktu para Suster FMM di Provinsi Indonesia belum menjalankan misi mulia ini dengan baik sesuai dengan Kharisma dan spiritualitas Kongregasi FMM.

Realitas ini mendorong penulis untuk memilih judul skripsi ini: MENGAKTUALKAN MISI UNIVERSAL BEATA MARIE DE LA PASSION DALAM MISI PARA SUSTER FRANSISKAN MISIONARIS MARIA DI PROVINSI INDONESIA.

(20)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah manakah gagasan dan semangat Misi universal Beata Marie de la Passion dan bagaimana dihayati di dalam Gereja seturut karisma Kongregasi FMM. Permasalahan pokok ini akan dirinci lagi sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Misi Universal Beata Marie de la Passion? 2. Apa yang dimaksud dengan Misi para Suster FMM di Provinsi Indonesia? 3. Bagaimana mengaktualkan misi universal Beata Mari de la Passion dalam misi

para Suster FMM di provinsi Indonesia?

4. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan misi para Suster FMM di provinsi Indonesia dalam mengaktualkan misi Universal Beata Marie de la Passion.

C. Tujuan Penulisan

Beredasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini:

1. Untuk mengetahui Misi Universal Beata Marie de la Passion. 2. Untuk mengetahui Misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia.

3. Memberikan sumbangan pemahaman misi universal Beata Marie de la Passion bagi kepentingan dunia dan kepentingan Gereja universal.

4. Memberikan sumbangan pemahaman misi universal Beata Marie de la Passion bagi misi para Suster FMM provinsi Indonesia dalam mewartakan Kerajaan Allah sesuai dengan Karisma FMM.

(21)

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi:

1. Bagi Kongregasi Suster Fransiskan Misionaris Maria (FMM).

a. Memberi sumbangan bagi Kongregasi FMM dalam membantu para Suster FMM untuk mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion.

b. Membantu Kongregasi dalam memberi perhatian mengenai semangat misi universal Beata Marie de la Passion di Provinsi Indonesia khususnya.

2. Bagi Penulis

a. Memperkaya pengetahuan dan wawasan penulis tentang Misi universal Beata Marie de la Pasion.

b. Menambah pemahaman penulis tentang Misi Universal Beata Marie de la Passion.

E. MetodePenulisan

Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan metode studi pustaka dan dilengkapi dengan wawancara dan konsultasi dengan beberapa suster, untuk memperoleh sejumlah informasi, baik berupa pikiran, koreksian, maupun usulan untuk melengkapi penulisan ini.

F. Sistematika Penulisan

Supaya memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan ini :

(22)

Bab I berisi pendahuluan, yang meliputi latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan kajian pustaka mengenai Pemahaman Misi pada umumnya dan misi universal Beata Marie de la Passion pada khususnya, Bagian kedua mengenai siapakah Beata Marie de la Passion yang dikenal sebagai pendiri kongregasi FMM, yang meliputi: Riwayat Hidup Beata Marie de la Passion, Kis-ah panggilan Beata Marie de la Passion, Motivasi Misi Universal Beata Marie de la Passion, Landasan Misi Universal Beata Marie de la Passion, dan bagian ketiga mengenai Konsep Misi Universal Beata Marie de la Passion.

Bab III berisi tentang Mengaktualkan Misi Universal Beata Marie de la Passion dalam Misi para Suster FMM di Provinsi Indonesia. Pada bab ini penulis akan menguraikan Sejarah Kongregasi FMM, Sejarah Misi yang telah dan sedang dilakukan para Suster FMM provinsi Indonesia berdasarkan Kharisma Kongregasi FMM, Orientasi Karya FMM di Provinsi Indonesia, Reorientasi Karya FMM di Provinsi Indonesia, Makna Misi Universal Beata Marie de la Passion, Laporan dan pembahasan hasil wawancara dengan para suster FMM di Provinsi Indonesia.

Bab IV berisi tentang program katekese yang dilakukan untuk meningkat-kan kesadaran ameningkat-kan misi Para Suster FMM di Provinsi Indonesia dalam mengaktualkan misi universal Beata Marie de la Passion, berupa sumbangan pemikiran yang berbentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP).

Bab V Penutup. Bagian terakhir dari penulisan ini berisikan kesimpulan dan saran.

(23)

BAB II

PEMAHAMAN MISI GEREJA PADA UMUMNYA DAN MISI UNIVESAL BEATA MARIE DE LA PASION

PADA KHUSUSNYA

Pada bab I penulis memaparkan mengenai latar belakang misi universal Beata Marie de la Passion dalam misi suster FMM di Provinsi Indonesia, namun sebelumnya penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai misi Gereja, karena gagasan misi Beata Marie de la Passion tidak dapat dilepaskan dari gagasan misi Gereja itu sendiri. Bab II penulis menguraikan beberapa pemahaman mengenai konsep misi itu sendiri, mengenai perjalanan hidup dan panggilan serta karya Beata Marie de la Passion, motivasi misi, landasan misi Beata Marie de la Passion dan konsep misi Universal Beata Marie de la Passion.

A. Beberapa Pengertian Misi 1. Arti Misi secara Etimologis

Kata misi adalah bahasa Indonesia, untuk kata Latin missio yang berarti perutusan (Woga, 2002: 13). Kata missio adalah bentuk substantif dari kata kerja mittere yang mempunyai pengertian dasar: membuang, mengutus, mengirim, membiarkan pergi, melepaskan pergi. Kalangan Gereja pada dasarnya menggunakan kata mittere dalam pengertian mengutus, mengirim (Woga, 2002: 14). Pada masa sebelumnya Gereja memakai ungkapan-ungkapan untuk menunjuk kegiatan pewartaan Injil, penyebaran iman Kristen, pembangunan jemaat baru. Kata “misi” baru digunakan secara umum di dalam Gereja sejak permulaan abad ke-17 (Woga, 2002: 16).

(24)

Menurut Biran, Ensiklopedi Indonesia, 1983: 2261, Misi (Latin mittere = mengutus). Perutusan untuk menyampaikan Kabar Gembira (Injil) sampai ke ujung dunia, seperti diperintahkan Kristus, kepada semua orang beriman (Mateus 28: 19). Setiap umat Kristen mengemban tugas misi suci ini, baik dengan perkataan dan perbuatan. Pengertian misi ini kemudian dipertegas lagi dalam konstitusi Kongregasi FMM art. 34: “Misi berarti melayani pewartaan Kabar Gembira. Melanjutkan misi Kristus, yang diutus oleh Bapa dengan kuasa Roh Kudus untuk membawa Kabar Gembira kepada orang miskin, itulah panggilan misioner seluruh umat Allah”.

2. Misi pertama-tama merupakan Misi Allah

Misi dipahami sebagai pemberian diri dan pewahyuan diri yang terus-menerus dari kasih Allah yang menyelamatkan di dalam dunia ini. Misi

didasarkan pada misteri Allah Tritunggal yang keseluruhan keberadaan-Nya merupakan komunikasi diri. Allah mewahyukan diri-Nya sendiri di dalam Putera-Nya sebagai Yang mengutus dan Yang diutus. Kasih dan kehidupan Allah yang meluap keluar dari kebersamaan-Nya yang Trinitas yang telah menjadi kelihatan dan berinkarnasi di dalam Kristus harus menjangkau semua manusia, pria dan wanita, melalui Gereja yang para anggotanya seraya menghayati kehidupan kasih Ilahi ini merasa bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan hidup yang sama itu kepada orang-orang lain serta untuk mengundang orang-orang itu mengkomunikasikannya dengan mereka. Ini merupakan gerakan kasih yang tunggal: berasal dari Allah dan bermuara kembali kepada Allah. Tugas Gereja ialah memuliakan Allah dengan mengantar semua manusia, pria dan wanita, untuk

(25)

mengenal dan mengasihi Dia sebagaimana Ia telah mewahyukan Diri-Nya kepada kita di dalam Yesus Kristus (Kirchberger, 2004: 13 – 14).

Pada intinya misi merupakan karya penyelamatan yang dikerjakan Allah sendiri dengan menciptakan dunia dan membawa dunia kembali kepada tujuannya yang benar dengan mengutus Putera dan Roh Allah ke tengah dunia. Kuasa Allah yang ditampilkan adalah kuasa cinta, hingga dapat memperhatikan setiap orang dalam segala suka-dukanya. Salah satu hasil utama pengutusan Putera dan Roh itu adalah Gereja. Maka misi Allah di tengah dunia menjadi nyata misi Gereja.

3. Misi berarti mensharingkan iman kita akan Yesus Kristus yang dalam beragam cara hadir di dalam semua bangsa sebagai Juru Selamat

Apa yang membedakan iman Kristen dari semua agama yang lain ialah keyakinan bahwa di dalam Yesus Kristus, Allah menuntaskan keselamatan kita dan memanggil kita ke dalam persekutuan orang-orang yang mengikuti Kristus. Tuhan yang bangkit, perantara universal kasih Allah, hadir di tengah-tengah semua bangsa, entah mereka mengenal Dia secara eksplisit atau tidak. Adalah tugas Gereja untuk menjadikan “Kristus yang tidak dikenal” itu dikenal, membuat kehadiran-Nya yang tersembunyi dirasakan, menjadi “benih-benih Sabda” itu bertumbuh sepenuh-penuhnya, mewartakan sebuah pengalaman baru mengenai persekutuan di antara semua bangsa dengan menyampaikan kepada mereka warta pembebasan Kristus melalui pewartaan, karya-karya dan kesaksian hidup (Kirchberger, 2004: 15).

(26)

Iman adalah sesuatu yang harus dibagi-bagikan. Gereja tidak boleh menyembunyikan rahmat yang telah diterima dari kerahiman Allah yang memang perlu untuk dikomunikasikan kepada semua orang. Sejak zaman para Rasul, iman Kristen itu terpusat pada keyakinan bahwa dalam Yesus Kristus dan hanya dalam Dia, Allah telah mewujudkan dan menuntaskan rencana keselamatan-Nya (Kirchberger, 2004: 16).

4. Misi Tugas Seluruh Umat Beriman

Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja menegaskan bahwa seluruh dan setiap orang Kristen adalah pelaku misi Kristen. “Sebagai anggota Kristus yang hidup, semua orang beriman, yang melalui Baptis, Penguatan dan Ekaristi disaturagakan dan diserupakan dengan Dia, terikat kewajiban untuk menyumbangkan tenaga demi perluasan dan pengembangan Tubuh-Nya, untuk mengantarnya selekas mungkin kepada kepenuhannya” (AG 36).

Penegasan ini memperlihatkan bahwa dasar partisipasi itu adalah Sakramen inisiasi. Sakramen inisiasi telah memasukkan orang ke dalam keanggotaan Gereja dan partisipasi pada tugas perutusan Gereja. Karena dasar partisipasi itu sekaligus merupakan kesaksian jemaat. Kesaksian hidup hanya dapat berubah kalau orang-orang Kristen ‘hidup bersama’ orang lain, terlibat dalam segala persoalan dan meneladani Kristus (AG 11).

Dekrit tentang kegiatan misioner Gereja art.11 menekankan pentingnya kesaksian dalam tugas pewartaan. Bahkan dikatakan bahwa kesaksian hidup merupakan bentuk pertama dari karya missioner itu sendiri. Agar kesaksian efektif, umat Kristen harus bersikap dialogis terhadap masyarakat sekelilingnya.

(27)

Dengan sikap dialogis, dimasksudkan hidup bersama sebagai masyarakat (tidak mengucilkan diri dalam kelompok sendiri), berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan sosial melalui pelbagai hubungan dan urusan kehidupan manusia.

B. Riwayat Hidup dan Karya Beata Bt. Marie de la Passion 1. Masa Kanak-kanak sampai Remaja

Beata Marie de la Passion dengan nama baptis Helen Marie Philippine de Chappotin, dilahirkan di kota Britany-Perancis, pada hari selasa setelah hari Raya Penatakosta, tanggal 21 Mei 1839. Ia adalah anak yang kelima dari pasanga Paul Joseph Charles de Chappotin de Neubilli dan Sophie Carolin Galbaud du Fort. Keesokan harinya Helen dibaptis di Gereja St. Clement, Nantes. Jeane Lucie Simon Veuve Galbaud du Fort, tantenya menjadi ibu permandiannya (Malaeissye, 2008: 3).

Ketika Helen sudah dewasa, Martine, saudarinya, membawa Helen ke Gereja St. Clement. Di dekat bejana baptisan, tempat dahulu semua anggota keluarga berkumpul menyaksikan Helen menerima Sakramen Pembaptisan, Martine berkata kepadanya: “Kamu harus selalu ingat berdoa kepada Roh Kudus, Helen, karena kamu dilahirkan dalam suasana Pentakosta, Bunda Maria pasti sangat mencintaimu karena kamu lahir dalam bulan Maria yaitu Bulan Mei (Tim FMM, 2004: 4-5)

Helen tumbuh dalam sebuah keluarga katolik yang saleh, dari sebuah keturunan bangsawan. Keluarganya dikenal berasal dari Lorraine dan Britany (Perancis Barat-Utara). Kakek-neneknya pernah tinggal ke kepulauan Antilles (Cuba), tempat mereka berimigrasi di masa Revolusi Prancis. Mereka kembali ke

(28)

Britany setelah situasi sudah aman. Bapak dan ibu Chappotin beserta kelima anaknya tinggal di Chateau du Fort, tempat kediaman kakek dan nenek dari Helen. Pamannya, Alphonse Galbaud du Fort dan keluarganya juga tinggal bersama mereka. Rumah tempat tinggal mereka adalah rumah yang luas dikelilingi taman, padang rumput dan ladang yang ditanami pohon di sepanjang tepi sungai. Tempat itu menyeruapai taman firdaus, ada tempat bermain yang sangat digemari anak-anak. Ada enam orang anak dari keluarga Galbaud, dan lima korang anak dari keluarga Chapotin. Di pusat keluarga yang besar menyatu ini, Helen, si bungsu yang cerdas luar biasa bertumbuh bersama dengan kesepuluh saudara sepupunya yang mendapat sebutan “keluarga Le Fort Cheteau”, yang terletak dekat kota Nantes. Chateau du Fort terkenal sebagai tempat berseminya nilai-nilai Kristiani. Nyonya Chappotin memperhatikan pendidikan anak-anaknya dengan lemah lembut, dan kesungguhan hati. Dengan teladan hidupnya, ia menanamkan dalam diri anak-anaknya milai-nilai hidup Kristiani. Nyonya Chappotin pernah mengikutsertakan Helen berkunjung pada orang-orang miskin dan cacat. Ia mendorong Helen untuk berkorban bagi mereka dengan berjalan kaki pada malam hari tanpa penerangan lampu dan ujud untuk memperoleh sepotong roti bagi orang miskin. Sebelum meninggalkan rumah mereka, Jeane berpaling kepada ketiga gadis kecil Louis, Martine dan Helen seraya bertanya, “Siapakah di antara kalian akan menjadi suster?” Martine dan Louis menjawab bahwa mereka senang jika dipanggil, tetapi Helen berkata, “Bukan saya. Saya tidak mau meninggalkan ibu”. “Mereka yang mengatakan tidak mau dipanggil, adalah

(29)

mereka yang telah merasakan sentuhan rahmat Allah”. Kata Jeane. Di kemudian hari kata-kata ini menjadi kenyataan bagi Helen (Tim FMM, 2004: 7 - 8).

Selain mendapat pengaruh dari ibunya, Helen juga mendapat pengaruh yang besar dari ayahnya, Charles de Chapotin. Ia adalah seorang ayah yang teguh dalam iman dan berpandangan luas. Helen memperoleh pengetahuan tentang Negara-negara yang jauh, orang-orang yang tinggal di kutub lain, karena pada masa muda, ayah pernah tinggal di Hindia Barat, bahkan belajar di Amerika Serikat. Helen juga mendengar tentang pekerjaan teman-teman ayahnya yang sudah menjadi imam, yang bekerja untuk orang-orang miskin. Hal ini membuat Helen merasa tertarik untuk berkarya di daerah misi. Pada suatu hari salah seorang teman ayahnya, Yang Mulia Uskup Jhon Mary Chanche, mengunjungi keluarga mereka. Uskup itu datang dari Amerika, mencari dana untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia bercerta tentang para perintis misi di Missisipi, serta kehidupan orang-orang Indian yang miskin.”…Mereka memang sangat membutuhkan materi tetapi lebih dari itu kebutuhan rohani. Mereka tidak tahu apa-apa tentang Allah danb kasih-Nya bagi mereka ….” Helen mendengarkan dengan penuh perhatian. Diliputi rasa haru ia berseru; “Bapa Uskup, saya akan menjadi seorang misionaris” (Tim FMM, 2004: 10).

Ketika tiba waktunya bagi Helen untuk menerima komuni pertama dan sakramen penguatan, Martine kakaknya bertugas membantu Helen mempersiap-kan diri. Martine melihat bahwa Helen sudah sangat mantap dengan persiapannya bahkan kadang-kadang ia heran mendengar jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan Helen. Persiapannya sangat ketat. Helen harus diuji oleh pastor paroki

(30)

dengan pertanyaan-pertanyaan dari buku besar Katekismus. Martine mengharap-kam Helen dapat menjawabnya dengan baik. Setelah peristiwa besar itu berlalu, Martine bertanya kepadanya,”Pertanyaan yang belum pernah disebutkan di dalam buku. Bayangkan, Martine, mereka menanyakan kepadaku, apalah keutamaan-keutamaan teologi itu bersifat kekal? Dan saya menjawabnya ‘tidak’. Hanya cinta kasih tinggal tetap selama-lamanya. Iman tidak butuhkan lagi, jika kita telah memandang Allah. Harapan tidak diperlukan lagi, jika kita sudah selamat di Surga” (Tim FMM, 2004: 11).

Helen tidak hanya mengetahui dengan baik teori atau pengetahuan tentang agamanya, tetapi juga sangat hati-hati dalam mempraktekkan apa yang telah dipelajari. Pada saat itu menemani ibunya, mencari bahan untuk baju komuni pertamanya, dipilihnya bahan yang murah harganya, agar yang satu dapat diberikan kepada anak yang tidak mampu. Pada tanggal 31 Mei 1850, Helen menyambut Tubuh Tuhan untuk pertama kalinya. Sesudahnya ia diurapi dengan minyak krisma dalam Sakramen Penguatan. Itulah peristiwa besar pertama dalam hidupnya. Sebagai peristiwa yang paling membahagiakan. Helen mengenangnya karena Yesus hadir dalam Sakramen Ekaristi yang menjadi sumber kekuatan hidupnya(Tim FMM, 2004: 12).

Masa kecil Helen meruapkan pengalaman yang sangat membahagiakan, namun tidak lama sesudahnya ia mengalami kesedihan. Pada bulan Desember tahun 1850, Helen kehilangan kakaknya Martine, yang meninggal karena sakit TBC. Beberapa tahun kemudian, menyusul saudarinya Louis. Helen kehilangan kedua kakaknya yang sangat dikasihinya. Helen menanggung dengan tabah

(31)

peristiwa kehilangan yang berlarut-larut itu. Di tengah pencobaan dan penderitaan hidup, iman dan cintanua kepada Tuhan bertumbuh semakin kuat. Peristiwa itu, telah menghantar Helen untuk melihat tangan Tuhan yang terus-menerus menuntunnya. Hatinya mencari ketenangan di dalam Kristus dan merindukan membalas kasih Kristus dengan Kasih (Maleissye, 1997: 17).

Ketika keluarga de Chappotin harus pindah dan tinggal menetap di Normandie, Helen mengalami kesepian yang luar biasa. Ia mulai mengenangkan masa kanak-kanaknya, bermain dengan teman-teman sebaya. Pengalaman seperti itu tidak dapat diulanginya lagi. Helen menjadi cepat dewasa sebelum waktunya. Ia tumbuh dengan pertanyaan yang tetap, yang kadang-kadang membuatnya cemas, “Apakah yang pantas dicintai? Kehidupan keluargaku tenang, seperti dalam kepompong yang berlindung, namun tidak berdaya melawan maut? Apakah itu sungguh merupakan kebahagiaan?” Jalan pikiran demikian, tersimpan lama sekali di dalam pemikirannya. Pada tahun 1856 Helen mengikuti retret bersama kelompok ‘Anak Maria’ yaitu sekelompok anak putri yang terorganisisr oleh paroki di bawah perlindungan Bunda Maria. Dalam ret-ret itu, Ia mengalami pengalaman rohani yang mengubah seluruh arah hidupnya (Maleissye, 1997: 18 – 22).

2. Situasi Masyarakat dan Gereja pada Zamannya

Helen de Chappotin hidup pada abad ke – 19, di kota Nantes, Britany, Perancis. Sejak awal masa kanak-kanaknya ia sudah mengalami suasana politik sosial yang demikian kacau. Pada abad itu, Revolusi Perancis meletus. Revolusi ini disebabkan oleh masala-masalah sosial, spiritual dan intelektual. Namun,

(32)

penyebab utama adalah keadaan krisis ekonomi dan keruwetan finansial, indus-trial yang dampaknya menggoncangkan seluruh Eropa. Pada zaman pemerintah Louis XVI, ia gagal mempertahankan kesejahteraan yang telah dinikmati Perancis sejak tahun 1730. Krisis ini diperburuk oleh krisis industrial. Banyak perusahaan terpaksa “gulung tikar”, karena banyak barang produksi Inggris yang lebih canggih masuk ke Perancis. Perancis mengalami kelaparan, biaya hidup menjadi tinggi dan banyak pengangguran sehingga meletuslah revolusi. Akibat revolusi Perancis, Monarkhi-monarkhi di Negara lain merasa terancam. Di Perancis sendiri letupan perang saudara mulai terjadi. Revolusi ini berakibat negative pada nasib rakyat dan sistem pemerintahan Perancis secara administrative, sosial dan keagamaan (Maleissye: 38).

Sejak keluarga Helen de Chappotin yang tinggal di Antilles dan Nantes juga mendertia akibat revolusi itu. Semua ini merupakan kenangan yang hidup dalam diri dan keluarganya, tempat Helen bertumbuh. Di masa tuanya, ia kerap berbicara tentang pengalaman itu. Ia tidak bisa melupakan sejarah masa lalu yang menyentuh dan menggores lubuk hatinya. Pengalaman yang turut membentuk kepribadiannya. Marie de la Passion sungguh sadar akan tanda-tanda zaman. Seorang wanita yang memiliki hati yang terbuka dan pandangan yang luas, memahami betul pentingnya masalah-masalah yang dihadapinya, dan bagaimana menyoroti kebutuhan-kebutuhan yang paling mendesak dari abadnya, baik di negeri-negeri misi maupun di Eropa dengan menyumbangkan secara positif dan nyata dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada zamannya dan membantu memecahkannya.

(33)

3. Kisah Panggilan Beata Marie de la Passion

Pada usia 17 tahun, Helen memutuskan untuk memberi diri seutuhnya kepada Tuhan dengan hidup khusus, yaitu hidup bakti. Pada kesempatan ret-ret pada tahun 1856, bersama kelompok “Anak-anak Maria”, di biara susteran Klaris, di Nante-Perancis, membawa Helen ke dalam suatu pengalaman pertama yang menentukan kehidupan rohani selanjutnya. Dalam acara doa sembah sujud pada Sakramen Maha Kudus, Helen mendengar kata-kata yang ditujukan kepadanya: “Aku hendak selalu mencintaimu lebih dari pada engkau mencintai Aku..., Aku ini sempurna, keindahan tanpa noda, sebab Aku tak terbatas, Aku adalah Allahmu, apakah yang akan engkau berikan kepada-Ku sebagai balasan akan pemberian diri-Ku kepadamu?” Helen bercerita: “Hatiku tersentuh, jiwaku diliputi oleh nyala kasih-Nya yang amat besar, sehingga aku memutuskan untuk memberi diri

seluruhnya kepada Tuhan dengan cara hidup yang khusus yaitu hidup bakti (Tim FMM, 1989: 22). Helen mau menyerahkan hidup tanpa syarat kepada Dia

yang telah memilikinya. Kemudian ia berkata: “Pemberian diriku dapat mengimbangi pemberian diri-Nya kepadaku”. Kendati tekadnya seperti itu, Helen terus bertanya kepada dirinya “Kongregasi yang mana”? Helen tidak cemas. Hidupnya sehari-hari dipenuhi dengan penantian. Helen mengisi saat-saat penantian ini dengan membaca, refleksi, berdoa dan dengan senang hati siap melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Ibunya mulai merasakan perubahan dalam diri Helen. Ketika Helen menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang biara-wati, ibunya memohon agar niatnya itu ditunda setahun lagi (Maleissye, 2000: 21-22, 25).

(34)

Beberapa waktu kemudian, Helen memutuskan untuk mengikuti retret dengan suster-suster Cenacle, di Paris. Ibunya sangat sedih. Ia memohon kepada

Helen untuk menjalankan kehidupan membiara di rumah saja. Helen menjawab:”Saya tidak memperoleh rahmat untuk menjalankan kehidupan membiara di rumah dan ibu tidak menjamin saya mengikuti dan menghayati panggilan hidup bakti (Tim FMM, 1994 : 25). Sungguh suatu kesedihan yang mendalam, antara dua hati yang saling mengasihi dengan sepenuh hati. Karena terlalu cemas akan pilihan hidup Helen, ibunya jatuh sakit. Tidak lama kemudian ibunya meninggal. Masa penantian untuk masuk biara diperjuangkan. Dengan berani Helen menerima tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga keluarga besar Chappotin. Dibiarkannya semua peristiwa hidup berbicara tentang Allah yang membimbingnya ke jalan Tuhan sendiri. Dengan caranya sendiri Helen menghibur ayahnya yang merasa kehilangan ibunya. Ia juga berlaku sebagai penasihat semua keponakannya yang sudah yatim. Ia banyak berdoa dan berefleksi (Tim FMM, 1994 : 26; bdk. Maleissye, 2000:1).

Pada tahun 1860, Helen berkenalan dengan para suster Klaris yang baru saja membuka biara di Nantes, Perancis. Klaris adalah kongregasi biarawati kontemplatif, yang didirikan oleh St. Klara dengan bimbingan St. Fransiskus dari Asisi, pada abad ke – 13. Hidup doa dan kerja harian rumah tangga mereka dipadukan dengan menghayati hidup miskin. Pada tanggal 9 Desember 1860, Helen diterima di Ordo Klaris. Kesederhanaan hidup fransiskan telah memotivasi keinginannya untuk mencintai Allah dengan seluruh kemampuannya. Pada tanggal 23 Januari 1861, Helen mengalami suatu pengalaman rohani yang kuat

(35)

sekali, waktu ia masuk kapel suster-suster Klaris. “Saya berlutut dan tiba-tiba dengan jelas dan nyaring, kudengar kata-kata ini: “Maukah engkau bersedia disalibkan untuk menggantikan Bapa Suci?” Saya tidak tahu apakah saya dengar dengan telinga jasmaniku; saya meraa takut”. Saya menjawab “Ya”.Kemudian kata-kata ini menimpa saya bagaikan persembahan diri. “Maria kurban dari Kristus yang tersalib”. “Saya yakin bahwa itulah nama saya dari surga” (Tim FMM, 2004: 16 - 18). Setelah pengalaman mistik itu, Helen jatuh sakit. Keluarga yang kurang setuju dengan panggilannya, berulangkali mendesak agar Helen dipulangkan saja. Dalam waktu singkat Helen terpaksa meninggalkan biara suster Klaris (Maleissye, 2000: 2).

Pada tahun 1864 Helen mendapat bantuan dan dorongan dari Pater George Petit, SJ, mengarahkan Helen masuk kongregasi baru yaitu Maria Reparatrice di Toulouse – Perancis, yang didirikan oleh ibu Barones d’Hoogvorst. Helen mengajukan permohonan dan pendiri kongregasi itu langsung menerima permohonannya. Ayahnya tidak mampu membiarkan Helen pergi. Helen tidak mengubah keputusan yang sudah dibuatnya (Tim FMM, 2004: 22). Di Novisiat, latar belakang Fransiskan yang telah diperolehnya dari perjalanan singkat bersama para suster Klaris, sangat bermanfaat bagi penghayatan panggilan yang baru ini. Semangat kemiskinan St. Klara, menarik Helen untuk mengahayati pelepasan dan pengingkaran diri, kegembiraan dan cinta. Pada tahun 1964 Helen menerima jubah suster Reparatrice. Helen mendapat nama biara Marie de la Passion. Nama ini baginya mengandung suatu makna yang sudah ditentukan Tuhan baginya dan masa depan (Hubaut dan Maleissye, 1976: 149).

(36)

Pada tanggal 23 April 1865, ketika masih novis, Marie de la passion diutus ke India untuk membantu pelatihan keterampilan bagi pemudi-pemudi India di Trichinopoli. “Saya akan pergi ke mana saja saya diutus, “inilah jawaban dan keinginan dari Marie de la Passion. Mimpinya menjadi seorang misionaris terkabulkan. Pada tanggal 3 Mei 1866 Marie de la Passion mengucapkan kaul pertamanya di Tuticorin, India. Tidak lama ia diangkat menjadi pemimpin komunitas di Tuticorin. Ia melayani anak-anak, remaja dan perempuan dengan sepenuh hati. Kegembiraan dan perhatiannya kepada sesama mengesankan hati banyak orang. Pada tahun 1867, dia diangkat menjadi Provinsial kongregasi Maria Reparatrice untuk misi di Madurai – India, selama sembilan tahun. Pengalaman yang luas tentang kehidupan dan masalah-masalah misinya menyadarakan Beata Marie de la Passion bahwa ia tidak saja berkontak dengan orang-orang India saja yang disayanginya, tetapi dengan orang-orang yang beragama lain, dengan aneka budaya, mentalitas dan bahasa lain (Tim FMM, 2004: 10).

Bertahun-tahun sebagai misionaris di India, Beata Marie de la Passion mengahadapi kesulitan besar mengenai orang-orang yang tidak mengenal Allah, yang tak pernah mendengar pesan cinta Kristus. Kendati demikian Marie de la Passion tetap berkomunikasi dengan mereka. Ia mengabdikan diri bagi mereka dengan segala kekuatan, hati dan pikiran. Ia menghayati seluruh hidupnya bagi Gereja dan ketika menemukan misteri yang mengandung segala tuntutan dan penderitaan, ia menanggapinya dengan kesetiaan yang teguh.

Pada tanggal 15 Januari 1871 Marie de la Passion mengikrarkan kaul kekal di Tuticorin. Inilah langkah terakhir yang panjang, tapi kaya akan pengalaman dan

(37)

persiapan, yang setapak demi setapak menghantarkannya ke tugas dan misi khususnya di dalam Gereja. Kemudian dia menjadi pendiri suatu kongregasi yang tujuannya adalah universal. Perjalanan hidup sebagai suster Maria Reparatrice di India, membuat Beata Marie de la Passion mampu menemukan suatu dimensi yang dalam dari panggilan misionarisnya yaitu: pujian dan persembahan. Ekaristi adalah pusat hidupnya. Pada tanggal 22 Januari 1876, ada serentetan peristiwa menyedihkan dan saling bertentangan, yang menyebabkan Beata Marie de la Passion dan 19 suster Maria Reparatrice, memilih meninggalkan kongregasi (Hubaut dan Maleissye, 1976: 150).

Sebelum Marie de la Passion datang ke Madurai-India, sebenarnya sudah ada kesalahpahaman antara pimpinan Gereja setempat dengan suster Maria Reparatrice dan umat yang mempersoalkan misi Kongregasi Maria Reparatrice. Sebagai Provinsial, Marie de la Passion dihadapkan pada persoalan intern para susternya dalam provinsi, antara lain kehidupan rohani dan misi yang tidak seimbang. Penghayatan hidup mereka jauh dari semangat konstitusi kongregasi Maria Reparatrice. Setelah mendengar banayak sumbe-sumber konflik, sebagai provinsial, ia memperbaharui beberapa hal. Pertama, pembaharuan dalam hidup doa. Kedua, pembinaan untuk mengatasi sikap egoisme dan membangun komunitas. Ketiga, pembinaan discernment yaitu ketajaman mendengarkan roh dalam mengambil keputusan-keputusan dan menjadikannya sikap hidup sehari-hari. Maie de la Passion menyadari bahwa sangat penting memelihara hidup rohani. Adorasi Ekaristik tidak bisa dilalaikan. Kalau melalaikan adorasi berarti berhenti bermisi. Keberadaan suster-suster Maria Reparatrice ada yang setuju dan

(38)

ada yang tidak setuju terhadap pembaharuan ini (Hubaut dan Maleissye, 1976: 151).

Antara tahun 1873 – 1874 muncul laporan dari Propaganda Fide, yang mengkritik kerja pastoral para suster Maria Reparatrice. Propaganda Fide meminta Superior Jenderal kongregasi Maria Reparatrice hanya boleh menjalan-kan kegiatan pastoral yaitu memberi retret saja. Namun di Madurai, para imam memberikan tanggapan yang berbeda atas permintaan ini yaitu suster Maria Reparatrice tidak boleh memberikan ret-ret. Melihat situasi ini, pemimpin umum Marie de Jesus mengajukan permintaan kepada provinsial, Marie de la Passion, untuk menutup misi di Madurai. Tetapi Marie de la Passion memohon supaya bertahan. Marie de la Passion mengirim 2 orang suster ke Pemimpin Umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya, namun tidak terlaksana, berhubung ada seorang suster yang meninggal dan seorang lagi sakit (Hubaut dan Maleissye, 1976: 152).

Pada tanggal 22 Januari 1876 Marie de Jesus mengambil keputusan bahwa Marie de la Passion tidak lagi menjabat provinsial, hanya sebagai pemimpin komunitas di Ootacamund-India. Pemimpin umum, Marie de Jesus mengirim seorang utusan ke Madurai untuk menyelesaikan masalah. Alhasil yang terjadi justru sebaliknya. Suster yang diutus ini tidak berbicara dengan suster-suster di Madurai juga dengan mantan Provincial Marie de la Passion. Ia mengambil keputusan mengadakan pertemuan komunitas di Tricinopoli untuk membuat pernyataan tertulis bersama para suster yang menyatakan bahwa Marie de Passion telah berbuat salah sebagai provinsial dan bagi provinsi. Pernyataan ini dikirim ke

(39)

Propaganda Fide. Marie de la Passion diberi dua kemungkinan: keluar dari kongregasi atau menyatakan ia salah dalam kepemimpinannya (Hubaut dan Maleissye, 1976: 153). Para suster Reparatrice tertantang untuk menyetujui pernyataan itu. Akhirnya, 20 orang suster memihak kepada Marie de Passion untuk menolak pernyataan itu dan tetap mau menjai religius. Pengalaman ini menjadi titik tolak bagi karya pokok Marie de la Passion di dalam Gereja yang menandai hidupnya, yakni pendirian kongregasi yang dibaktikan sepenuhnya kepada misi universal. Atas nasihat Mgr. Bardou, Uskup Coimbature, Marie de la Passion dan tiga suster pergi ke Roma untuk memberikan penjelasan yang sebenarnya kepada Paus dan Kongregasi Propaganda Fide di Vatikan dan menyatakan keinginan mereka untuk tetap hidup membiara (Maleissye, 1997: 76) 4. Motivasi Misi Universal Beata Marie de la Passion

Berhadapan dengan situsi-situasi akibat dari revolusi di zamannya, reaksi Beata Marie de la Passion sebagai putri Gereja, untuk terlibat dalam bidang sosial tetapi juga sebagai wanita yang penuh intuisi dan sebagai putri Fransiskus Asisi, Beata Marie de la Passion tidak puas hanya dengan menolong atau “memberi cinta kasih” kepada mereka yang miskin dan tertindas. Ia mendengar, menempat-kan dirinya pada mereka, menganalisa fakta-fakta, mempertimbangmenempat-kan sebab-sebabnya yang langsung atau tidak langsung, merefleksikannya bersama-sama dengan putri-putri dan bersama orang-orang lain dan mencari penyelesaian. Ia memberikan perhatian khusus kepada perempuan dan kedudukannya, tidak hanya dalam keluarga tetapi juga dalam dunia pekerjaan dan dunia pada umumnya (Tim FMM, 2000: 9)

(40)

Keputusan Marie de la Passion untuk menghayati panggilan misionernya berakar pada keprihatinannya atas realitas sosial kemasyarakatan dan religius di sekitarnya. Suasana kehidupan kota Prancis dan dunia pada umumnya pada abad XVIII sungguh diwarnai oleh berbagai hal yang memprihatinkan. Revolusi industri tidak saja memberikan kemakmuran pada masyarakat tetapi juga kemiskanan dan kemelaratan. Dalam bidang religius, muncul paham sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan sosial. Situasi dan kondisi yang mempri-hatinkan ini, menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri Beata Marie de la Passion. Rasa tanggung jawab ini tidak dijadikan hanya sebagai pengalaman pribadi tapi menjadi pengalaman bersama.

5. Landasan Misi Universal Beata Marie de la Passion a. Adorasi Ekaristi

Ekaristi adalah kekuatan dan penerangan dari misi universal dimana Kristus dalam dimensi kosmik TubuhNya yang mulia mendukung dunia dan menyerahkan diriNya bagi semua dengan cinta tanpa batas dan tanpa syarat. Marie de la Passion menulis: “Marilah kita memelihara cinta kasih pada sumber cinta ini, Yesus ada di dalam pelbagai tabernakel tetapi Ia tetap tinggal sama di mana-mana, apapun lingkungan yang menghormati-Nya”. Di dalam Ekaristi, Marie de la Passion melihat dirinya sendiri dipersatukan pada keluasan tak berbatas yang memberikan wawasan luas pada apa adanya dan apa yang dikerjakannya. Dalam dirinya terjadi suatu kehausan untuk menjadikan dunia berhubungan dengan rahmat dari Tabernakel untuk membawa sembah sujud perdamaian kepada segala bangsa di dunia. Sejak permulaan kongregasi Marie de

(41)

la Passion menyerahkan persembahan sujudnya pada hari Kamis supaya kon-gregasi bersembah sujud kepada Allah Ekaristik di lima benua (Universal Mission Saries 2, 1995: 9).

Marie de la Pasion memahami Ekaristi sebagai tempat istimewa di mana umat Allah berkumpul di sekitar Kristus, Sabda dan Roti kehidupan. Ekaristi adalah Roti yang dipecah-pecahkan dan dibagikan. Ekaristi merupakan peringatan sengsara dan kebangkitan Kristus yang menarik setiap suster FMM kepada suatu pemberian diri yang radikal dalam cinta. Selain itu, Ekaristi adalah Sabda yang telah menghampakan Diri dan menjadi manusia. Kemanusiaan telah dihancurkan di Kayu Salib. Di sana, dalam dimensi pengosongan diri-Nya, ada Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. Ia melihat Ekaristi sebagai kehadiran Kristus yang tetap di hati dunia, yang tidak pernah berhenti mempersembahkan Diri dan mengirimkan para utusan-Nya:”Pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku...dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Maleissye, 2000: 35; bdk. Mat. 28: 19 – 20)

Ekaristi adalah sumber daya dan kekuatan dalam menjalankan misi. Dengan kata lain, adorasi Ekaristi memiliki nilai missioner dan penebusan. Misi suster FMM adalah untuk membuat “dunia berhubungan dengan rahmat dari Tabernakel”. (Maleissye, 2000: 22–23). Jadi, adorasi merupakan ‘materi’ panggilan FMM. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi FMM:

Misteri keselamatan diwujudkan dalam Ekaristi: dari perayaan dan bakti sujud Ekaristi timbulah dinamika kontemplatif dan misioner dalam seluruh hidup kita. Kristus yang kita jumpai dalam kontemplasi mengutus kita kepada saudara-saudara yang dalam diri mereka kita temui kehadiran-Nya

(42)

secara tersembunyi. Dan saudara-saudara itu mengutus kita kembali menghadap Kristus dalam Kontemplasi (Konst. Art. 3)

Adorasi atau menyembah adalah membiarkan diri diubah oleh Allah, supaya memiliki rasa dan sikap-sikap yang sama seperti yang dimiliki oleh Yesus, saat mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa. Dalam Ekaristi, Yesus mempersembahkan diri sehingga manusia diselamatkan. Mengkontemplasikan Dia dalam Hosti, mengarahkan setiap suster FMM untuk mencintai Dia, agar Dia semakin dikenal dan dicintai, mengarahkan setiap suster FMM untuk prihatin dan pergi kepada semua orang yang dilayaninya.

Apa yang dibuat selama adorasi? Pertama-tama membatinkan misteri inkarasi dan misteri Paskah. Dia, Tuhan yang membuat diri-Nya begitu kecil, sederhana, mengundang FMM untuk melakukan pengosongan diri yang serupa. Pada waktu adorasilah seorang FMM berada di saat yang paling istimewa dalam panggilannya. Dalam adorasi seorang FMM menyelesaikan dan menghayati dua dimensi dasar kharisma yaitu persembahan diri dan persatuan dengan Kristus. Bagi Beata Marie de la Passion, saat sembah sujud Ekaristi ia menghayati sepenuhnya misteri Paskah yang memberi arti bagi panggilannya (Maleissye, 2000: 36). Pelayanan misioner bersumber dari Ekaristi, dihayati dalam semangat St. Fransiskus Asisi, dengan berusaha dalam gerakan damai, rekonsiliasi tanpa kekerasan dan solidaritas, bekerja sama dengan semua orang dalam pelayanan.

Ekaristi menjadi dasar dan sumber kekuatan FMM dalam bermisi. FMM menempatkan Ekaristi sebagai pusat hidup, sehingga seluruh hidup menjadi ekaristik. Untuk mencapai integrasi ini, setiap suster FMM harus melibatkan diri secara pribadi dan sebagai komunitas pada suatu proses perkembangan

(43)

terus-menerus, yang berpusat pada Ekaristi. Secara khusus mengutamakan kontemplasi dengan memberi tempat pada adorasi. Di samping itu, membiarkan diri diubah oleh kontemplasi dan oleh terang Sabda, untuk melihat kembali hubungan dan relasi-relasi dalam perjumpaan dengan sesama, keterlibatan-keterlibatan dan kerja sama dengan rekan kerja. Dengan demikian dimensi sosial dan misioner dihayati secara ekaristik (Keputusan Kapitel Umum 1996: 8).

Kerinduan pada Ekaristi melibatkan setiap suster FMM pada suatu pemberian diri yang radikal. Makna Ekaristi akan mendorong, menggerakkan dan memperbaharui semangat kesiapsediaan untuk diutus demi pelayanan setiap prioritas misi. Hal ini akan mendorong para suster FMM untuk hidup dalam solidaritas atau kerja sama dengan yang miskin, yang lemah dan membiarkan diri dievangelisasi oleh mereka.

b. Kurban: Dasar Penyerahan Hidup bagi Gereja dan Dunia

Beata Marie de la Passion mendasarkan panggilan kongregasi pada keikutsertaan dalam misteri Kristus yang menyerahkan diri kepada Bapa demi pembebasan semua orang. “Kharisma kita melibatkan kita untuk mengikuti Kristus yang menyerahkan diri kepada Bapa demi keselamatan dunia dalam misteri penjelmaan serta Paskah-Nya; sehingga kita menggenapi dalam tubuh kita apa yang kurang dalam penderitaan Kristus demi tubuh-Nya yaitu Gereja” (Konst. Art. 2; bdk. Kol. 1: 24).

Karena itu, ia ingin ambil bagian dalam misteri salib yang dialami oleh tubuh Kristus yaitu Gereja (Kol. 1: 24), dan mewujudkan keinginannya secara

(44)

khusus dalam kurban misa dan doa di hadapan Sakramen Mahakudus. Menjadi kurban berarti mengikuti Kristus ke Kalvari. Ia berkata: “Kristus mengurbankan diri di salib demi kita...melalui penderitaan jasmaniku, aku membantu untuk melengkapi apa yang masih kurang dari penderitaan Kristus demi Tubuh-Nya yaitu Gereja” (Kol 1: 24). Ia mengatakan: “Sesudah mengucapkan prasetyanya, seorang FMM adalah kurban yang menurut St. Paulus melengkapi dalam dirinya sengsara Yesus Kristus” (Tim FMM, 1994: 69).

Gagasan mengenai persembahan diri sebagai kurban sangat jelas tertuang dalam konstitusi artikel 2. Beata Marie de la Passion menasihati bahwa para suster FMM dipanggil untuk ambil bagian dalam penderitaan Krsitus. Panggilannya dan para saudarinya, dipahaminya sebagai “panggilan kurban”. Suatu panggilan untuk memberikan seluruh hidup bagi Gereja dan dunia. Panggilan “menjadi kurban” inilah yang merupakan keinginan utama Marie de la Passion mendirikan FMM. FMM adalah sebuah kongregasi yang terdiri dari kurban-kurban bagi Gereja dan jiwa-jiwa. Ini berarti setiap FMM adalah orang-orang yang mempersembahkan dirinya sebagai sarana yang dipakai untuk melanjutkan karya keselamatan Allah yang telah nyata dalam Kristus. Mempersembahkan diri sebagai kurban, bukanlah suatu ungkapan saja tetapi sikap, keadaan terus-menerus mempersatukan diri dengan misteri salib (Maleissye, 2000: 20).

Mempersembahkan diri sebagai kurban merupakan cara mengikuti Kristus (Maleissye, 2000:71). Penghayatan ini mengandaikan iman yang dalam, kepercayaan penuh kepada Allah sampai pada tindakan aktif menyerahkan diri ke tangan Bapa. Ia berkata: “Kita harus mencontoh Kristus dalam penyerahan diri

(45)

untuk dapat ikut ambil bagian dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya. Kristus hidup dalam ketaatan kepada kehendak Bapa-Nya. Semboyan FMM sebagai panggilan kurban seharusnya sama dengan semboyan Kristus: “Ya Bapa-Ku jikalau Engkau mau, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22: 42). Ini juga berarti kesiapsediaan yang penuh, penerimaan, ketaatan, kerjasama, dan keterbukaan dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Maleissye, 2000: 109).

Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mempersembahkan diri sebagai kurban bagi Gereja dan dunia? Langkah pertama adalah menghubungkan penderitaan dengan Salib Kristus. Menurut Bt. Marie de la Passion: “Suatu ilusi bila berpura-pura menjadi kurban dan menamakan misionaris, tanpa memahami dan mau menderita dengan Yesus”. Memahami “ ilmu salib” adalah memahami maknanya dalam kehidupan seseorang. Jadi suatu pemahaman yang berimplikasi praktis. Tidak perlu mengalami kesusahan besar untuk mencapai tujuan ini. Misalnya saja bagaimana mempersatukan kesusahan-kesusahan kecil setiap hari dengan sengsara Kristus. Bahkan mempersatukan dan mempersembahkan hidup itu sendiri seperti pekerjaan, kesehatan, kekecewaan, kesepian, rasa takut dan sebagainya. Penderitaan hanya dapat diatasi dengan suatu keyakinan, karena Kristus sudah bangkit dan pada suatu hari pun kita akan bangkit bersama Dia.

Langkah kedua, Menanggung penderitaan bukan saja penderitaan sendiri tetapi umat manusia pada umumnya. Dalam wajah-wajah mereka yang menderita, dapat mengenal Kristus yang mendertia, dan menantang hidup setiap FMM. Ini

(46)

mengandaikan rasa solidaritas untuk terlibat menolong mereka agar menemukan nilai penyelamatan dari penderitaan dan mendukung mereka dengan kesabaran yang lebih besar (Tim FMM, 1994: 127-129). Penderitaan tidak dipahami semata-mata sebagai mala petaka kodrati melainkan sebagai suatu akibat dan ungkapan hidup seorang Kristen dengan Kristus, sebagai peralihan dari kehidupan sekarang ini menuju kemuliaan kelak. Dengan demikian penderitaan diberi arti segaligus disempurnakan (Maleissye, 2000: 21 – 22).

Pengertian akan Kristus yang tersalib merupakan dasar persatuan dengan Kristus (Maleissye, 2000 : 49). Persatuan dengan Kristus ini tidak melulu berdimensi vertical tetapi horizontal. Artinya persatuan dengan Kristus yang tersalib ini terungkap dalam relasi dengan sesama. Marie de la Passion berkata: “Cinta kasih adalah api yang memancar, jika kita mencintai, kita akan membuat orang lain mencintai pula” (Maleissye, 2000 : 49). Hal inilah yang dihayati oleh Marie de la Passion dalam hidup persaudaraan. Ia menghayati suka cita dan penderitaan hidup dalam persaudaraan, kebenaran dan kesederhanaan.

c. Semangat St. Fransiskus Asisi

“Kita melaksanakan panggilan kita mengikuti cara hidup Fransiskus, menghayati hidup Injil di medan dunia, dan mengikuti jejak Kristus yang hina dan miskin dalam kesederhanaan, damai dan gembira” (Konst. FMM art. 5). Gagasan misi universal Marie de la Passion tidak dapat dilepaskan dari semangat hidup St. Fransiskus Asisi: mengikuti Kristus yang miskin dan taat. Dalam diri Fransiskus yang hidup pada abad XII, ia menemukan penghayatan yang nyata akan sabda Yesus: “Berbahagialah oang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah

(47)

yang empunya Kerajaan Surga (Lukas 6: 20; Matius 5: 3). Marie de la Passion menemukan dalam diri Fransiskus dari Asisi, cita-citanya yang sempurna sebagai pendiri. Dalam diri orang miskin dari Asisi ini, ia berjumpa dengan orang yang dengan cara paling baik mengejewantahkan Injil dalam hidupnya. Marie de la Passion ingin menghayati Injil seperti Santo Fransiskus dan nyatanya ia melakukannya demikian: dalam kemiskinan, kesederhanaan dan dalam hidup persaudaraan. Sejak itu tugas utama FMM adalah meneladani semangat St. Fran-siskus.

Bagi Fransiskus, kemiskinan bukanlah tujuan dari pada dirinya sendiri. Ia tidak ingin menjadi miskin sekedar kemiskinan harta. Kemiskinan yang sempurna lahir-batin, membebaskan manusia dari segala hambatan yang menghalangi kemajuannya menuju Allah. Kemiskinan yang benar berusaha menghindari sikap meguasai orang lain. Marie de la Passion ingin agar para puterinya hidup dalam ketidakterikatan dengan pribadi, tempat, dan pekerjaan. Marie de la Passion menekankan semangat kerendahan hati dan pelayanan dalam diri para puterinya. Ia mengatakan: “Semangat kerendahan hati membuat kita berguna bagi semua dan tidak menjadi beban bagi siapapun dan ia mengingat bahwa Guru Ilahi datang untuk melayani bukan untuk dilayani (Konst. art. 40).

Kesederhanaan dan kegembiraan adalah ciri semangat Fransiskan yang dinginkan dan dipupuk oleh Marie de la Passion. Kesederhanaan yang murni dan suci adalah keutamaan yang kuat dan mulia. Bersama dengan kebijaksanaan keutamaan itu mengusir sikap bermuka dua atau kemunafikan. Marie de la Passion sangat merasa cocok dalam keluarga Fransiskan karena disana ia

(48)

menemukan kesederhanaan dan kebenaran. Ia ingin melihat ketuamaan-keutamaan ini dilaksanakan oleh para suster dalam berbagai komunitas. Kebenaran secara khusus berhubungan dengan kesederhanaan: kalau seorang jujur, selanjutnya ia adalah sederhana, dan jiwa yang sederhana mempunyai cap Fransiskanisme yang membuat mereka berhubungan dengan alam, bunga dan burung dan lain-lain. Bagi Marie de la Passion sungguh merupakan kegembiraan mempunyai semangat ini. Fransiskus mempunyai ciri kegembiran sebagai meterai. Ada alasan dasaria untuk bergembira, yaitu penyerahan utuh kepada Allah dan kesatuan dengan kehendak-Nya. Tidak ada apapun yang dapat mengganggu kita kalau kita mempunyai sikap ini. Rahasia sukacita dan kegembiraan yang dianjurkan oleh Santo Fransiskus adalah memiliki ke-merdekaan hati sedemikian rupa sehingga orang dapat sungguh berkata: “Allahku dan segala-galaku” (Orden, 1976: 174).

Persaudaraan adalah unsur hakiki dalam spiritualitas Santo Fransiskus. Ini adalah bentuk kerasulan yang pertama dan paling penting dalam setiap keluarga Fransiskan dan para religius umumnya. Kalau hidup persaudaraan adalah unsur hakiki kehidupan religius, itu untuk mengikuti Yesus Kristus, para rasul dan komunitas-komunitas Kristen pertama secara lebih dekat (Kis 4: 32). Kalau para religius hidup bersama, itu bukan suatu kebetulan karena bakat-bakat pribadi, tetapi untuk menghayati ketermilikan mereka kepada Allah dalam suatu keluarga yang terdiri dari orang-orang tertentu, yang masing-masing menerima panggilan khusus dari Allah.

Gambar

Tabel Identitas Responden (N=10)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Keputusan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 027/10.13.4/SS/2011 tanggal 13 Oktober 2011 tentang Penetapan Daftar

Dalam penggunaan metode yang dilakukan guru MTs.N Muara Enim sudah sejalan dengn amanat dalam penerapan KTSP ini, hanya saja masih ada guru masih

Kelimpahan atau kerapatan Derris trifoliata dan Acanthus ilicifolius mempengaruhi tingkat kerusakan mangrove dilihat dengan nilai indeks determinasi yang relatif besar yaitu

Pendidikan Kecakapan Kerja unggulan (PKKU) adalah program layanan pendidikan dan pelatihan berorientasi pada pengembangan keterampilan kerja yang diberikan kepada peserta didik

[r]

(5) RKA-SKPD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihimpun oleh PPKD dan selanjutnya disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk

4 Bentuk Pengungkap Marah Leksikon Okoru 5 Bentuk Pengungkap Marah Leksikon Shikaru 6 Bentuk Pengungkap Marah Leksikon Hara ga Tatsu 7 Bentuk Pengungkap Marah

3 Arief Sukadi Sadiman, Beberapa Aspek Pengembangan Sumber belajar, (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), hlm.. sumber-sumber belajar di sekolah perlu dilakukan