• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.2 Gambaran Perilaku Penggunaan Kontrasepsi pada WUS di Sumatera Utara

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan kontrasepsi pada WUS di Provinsi Sumatera Utara. Keterbatasan pada penelitan ini diketahui sampel minimum SDKI (2012) di provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 1830 sampel, setelah dilakukan klining didapatkan 1183 sampel yang dapat diteliti. Jumlah sampel yang berkurang dari sampel semula disebebabnya karena adanya data missing pada saat melakukan klining.

Selian itu dalam penelitian ini tidak seluruh faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan perilaku penggunaan kontrasepsi diteliti, sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada varia bel yang ada pada data sekunder tersebut. Sedangkan variabel lain yang terdapat pada kerangka teori seperti pengetahuan, sikap, budaya, dukungan suami, dukungan orang sekitar tidak diteliti pada penelitian ini karena tidak tersedianya data di dalam SDKI 2012.

6.2 Gambaran Perilaku Penggunaan Kontrasepsi pada WUS di Sumatera Utara

Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha itu dapat bersifat sementara dan dapat juga bersifat permanen (Wiknjosastro, dkk, 2002). Berdasarkan hasil penelitan ini menunjukan bahwa perilaku penggunan alat kontrasepsi pada WUS tahun 2008 – 2012 di Sumatera Utara lebih banyak yang berperilaku menggunakan kontrasepsi yaitu sebanyak 77,2%.

Kontrasepsi berasal dari kata kontra yaitu “melawan” atau “mencegah” dan konsepsi adalah upaya untuk menghindari sel telur bertemu dengan sel sperma yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah adanya kehamilan. Jadi kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel

62

telur yang matang dengan sel sperma. Untuk itu, maka yang membutuhkan kotrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan intim/seks dan keduanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).

Keluarga Berencana bertujuan untuk pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang diarahkan pada peningkatan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terjangkau, bermutu dan efektif menuju terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas (BKKBN, 2012). Di dalam pelaksanannya diupayakan agar semua metode atau alat kontrasepsi yang disediakan dan ditawarkan kepada masyarakat memberikan manfaat optimal dengan meminimalkan efek samping maupun keluhan yang ditimbulkan (Asih, dkk, 2009).

Sampai dengan saat ini cara kontrasepsi yang ideal belum ada. Kontrasepsi ideal harus memenuhi syarat-syarat yaitu, dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan, daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan sewaktu koitus, tidak memerlukan motivasi terus-menerus, mudah menggunakannya, murah sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterima oleh penggunanya (Wiknjosastro, dkk, 2002).

Setiap jenis metode kontrasepsi memiliki efektivitas dan efek samping bagi kesehatan yang berbeda-beda. Pengguna kontrasepsi bebas memilih jenis metode kontrasepsi yang mereka butuhkan baik yang hanya untuk menunda, menjarakan kehamilan ataupun untuk menghentikan. Beberapa efektivitas dan efek samping yang di dapatkan dari masing-masing metode diantaranya seperti metode Metode Amenore Laktasi (MAL), MAL merupakan metode kontrasepsi yang mengandalkan pemberian Air Susu Ibu (ASI), dimana metode ini memiliki efektivitas yang tinggi hingga 98% keberhasilannya pada enam bulan pasca persalinan, lebih hemat, tidak perlu pengawasan medis dan tidak menimbulkan efek samping.

63

Selain itu alat kontrasepsi jenis lainnya yaitu kodom. kondom dapat mencegah kehamilan apabila digunakan dengan benar, harganya murah, dapat dibeli di tempat umum. Kondom termasuk kontrasepsi sementara apabila metode kontrasepsi lainnya harus di tunda. Untuk efektivitas dalam penggunaan kondom tidak terlalu tinggi, karena cara penggunaannya sangat mempengaruhi keberhasilan kontrasepsi.

Metode lainnya seperti Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) memiliki efektivitas tinggi hingga 99,2% – 99,4% dalam 1 tahun pertama, kerugian yang dapat ditimbulkan bagi kesehatan salah satunya tidak mencegah infeksi menular seksual, juga perubahan siklus haid dan pendarahan saat menstruasi. Kemudian metode seperti implant

memiliki keuntungan dimana sangat efektif digunakan dengan daya guna tinggi perlingungan hingga 5 tahun, sedangkan untuk efek kesehatan yang timbulkan seperti sakit kepala, penambahan berat badan, nyeri payudara, mual, infeksi pada daerah insisi (Kemenkes RI, 2012).

Pil dan suntik masing-masing memiliki efektivitas yang tinggi. Dampak kesehatan yang dapat di timbulkan dari masing-masing metode diantaranya perdarahan bercak selama 3 bulan pertama, berat badan naik, pada sebagian perempuan dapat menimbulkan depresi, selain itu untuk suntik dapat menyebabkan pola haid yang tidak teratur sampai 10 hari, terdapat efek samping yang serius seperti serangan jantung, stroke, pembekuan darah pada paru atau otak. Untuk metode suntik baik digunakan hanya untuk ibu yang tidak menyusui (Kemenkes RI, 2012).

Menurut World Population Data Sheet 2013, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak, yaitu 249 juta. Diantara negara ASEAN, Indonesia dengan luas wilayah terbesar tetap menjadi negara dengan penduduk terbanyak, jauh di atas 9 negara anggota lain. Diketahui Angka Fertilitas (TFR) 2,6.

64

Indonesia masih berada di atas rata-rata TFR negara ASEAN, yaitu 2,4 (Kemenkes RI, 2014).

TFR adalah gambaran tentang rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 – 49 tahun sampai masa akhir reproduksinya. TFR yang tinggi merupakan cerminan rata-rata usia kawin yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah (terutama pada perempuan), tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi, selain itu tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) (Kemenkes RI, 2013).

Sumatera Utara merupakan sebagai provinsi dengan jumlah penduduk ke 4 terbanyak di Indonesia, apabila dibandingkan dengan angka TFR pada 4 provinsi lainnya masih terbilang cukup tinggi. Dimana dari data SDKI (2012) tercatat TFR di Sumatera Utara sebesar (3,0), Jawa Barat (2,5), Banten (2,5), Jawa Timur (2,3) dan Jawa Tengah (2,1). Selain itu, hasil SDKI (2012), angka TFR Indonesia masih berada pada angka 2,6 atau stagnan yang sama dengan SDKI tahun 2007 dan masih tingginya unmet need hasil SDKI (2012) sebesar 8,5% padahal target yang ingin dicapai tahun 2014 sebesar 6,5%.

Data SDKI (2007) menunjukkan jenis metode kontrasepsi yang paling banyak diminati adalah jenis suntik 31,8%, pil 13,2%, dan IUD 4,9%. Di Sumatera Utara jenis/alat kontrasepsi suntik banyak dimintai yaitu 17,4%, senggama terputus 7,9%, pil 4,7%, pantang berkala 2,8%, tubektomi, 24%, IUD 2,1%, kondom 2,1%, implant 1,9%. Berdasarkan jenis metode kontrasepsi yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan sebagian besar WUS memilih metode suntik sebagai alat kontrasepsi yang digunakan yaitu sebanyak 18,8%, diikuti pil 10%, strelisasi wanita 6,3%, dll.

Pemakaian alat kontrasepsi merupakan salah satu bentuk perilaku kesehatan, terutama pada perempuan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam menggunakan kontrasepsi. Merurut Green (1980), perilaku seseorang dipengaruhi

65

oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposing (dari diri sendiri), Faktor enabling (pemungkin) dan reinforcing (penguat). Pada penelitian ini faktor yang digunakan diantaranya

predisposing (dari diri sendiri) yang mencakup pendidikan, umur ibu, jumlah anak, tingkat kekayaan. Faktor enabling (pemungkin) mencakup kunjungan ke fasilitas kesehatan, sumber informasi. Faktor reinforcing (penguat) perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan.

Sumatera Utara merupakan provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara selama kurun waktu 1990 – 2000 sebesar 1,2% pertahun, pada tahun 2000 – 2005 menjadi 1,37% pertahun, serta laju pertumbuhan penduduk 2000 – 2007 mencapai 1,56% pertahun (SDKI, 2007).

Pada tahun 2013 estimasi jumlah penduduk di Sumatera Utara mencapai 13.391.231 juta jiwa. Struktur penduduk di Sumatera Utara termaksud ke dalam struktur penduduk muda. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya jumlah penduduk usia muda (0 – 14 tahun), walaupun jumlah kelahiran telah menurun jika dibandingkan dengan lima tahun yang lalu dan angka harapan hidup yang semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk usia tua. Apabila digambarkan dalam piramida penduduk, badan piramida membesar, hal ini menunjukan banyaknya penduduk usia produktif terutama pada kelompok umur 25 – 29 tahun baik laki-laki maupun perempuan (Kemenkes RI, 2013). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini, dimana sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 berada pada kelompok umur 20 – 35 tahun dan didapati juga sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 memiliki 1 – 2 anak yaitu 42,8%.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui sebagian besar WUS di Sumatera Utara tahun 2008 – 2012 berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu setara dengan

66

tingkat SMA. Perkembangan kondisi pendidikan menurut indikator Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS), secara umum kondisi pendidikan di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan perbaikan dalam lima tahun terakhir (2005-2011). Perkembangan AMH tahun 2011 mencapai 97,46% lebih tinggi dari AMH nasional (92,99%), dengan AMH tertinggi di Kabupaten Tapanuli Selatan (99,83%) dan terendah di Kabupaten Nias Barat (84,46%) (Profil Pembangunan Sumut, 2013).

Berdasarkan data SDKI (2007), pada tingkat pendidikan sebanyak 25% wanita usia 20 – 24 tahun sedang menyelesaikan SMA dibandingkan dengan wanita usia 45 – 49 tahun dengan hanya 20% yang menyelesaikan SMA. Hasil data SDKI (2007) menunjukan tingkat melek huruf pada wanita pernah kawin di Provinsi Sumatera Utara cukup tinggi yaitu sebesar 90%, 10% lainnya wanita tidak mampu membaca sama sekali. Semakin muda umur WUS lebih besar kemungkinannya untuk bisa membaca. Dalam hal ini, kemampuan membaca merupakan modal penting yang memungkinkan seseorang meningkatkan kesempatan dalam hidupnya.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 berada pada tingkat kekayaan ttinggi yaitu sebesar 52,3%. Perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Utara dalam 5 tahun terakhir menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, penduduk bekerja, dan jumlah pengangguran terbuka. Perkembangan penduduk usia kerja, penduduk bekerja secara menunjukkan peningkatan, namun jumlah pengangguran terbuka cenderung meningkat.

Berdasarkan data Profil Pembangunan Sumatera Utara (2013) penyebaran penduduk miskin tertinggi di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2008 hingga 2011. Kemudian perkembangan kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 2008 – 2013, secara absolut terjadi penurunan sebanyak 274,64 ribu jiwa. Jumlah

67

penduduk miskin tahun 2013 (Maret) tercatat sekitar 1.339 ribu jiwa. Kondisi kemiskinan Provinsi Sumatera Utara tergolong rendah jika dibandingkan dengan rata-rata kemiskinan nasional (11,86%), persentase penduduk miskin tahun 2013 sebesar 10,06 persen atau berkurang sebesar 2,49 persen dari tahun 2008.

Akses terhadap sumber informasi adalah hal penting dalam meningkatkan pengetahuan dan kepedulian tentang apa yang terjadi disekeliling masyarakat, hal ini mungkin dapat mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Sumber informasi dapat menjadi suatu perantara dalam penyampaian informasi. Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik melalui media cetak maupun elektronik (TV, radio, komputer), sehingga sasaran dapat meningkatkan pengetahuannya dengan harapan dapat merubah perilaku ke arah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 tidak menggunakan media sebagai media sumber informasi yaitu sebesar 71,4%. Dari hasil SDKI 2007 menunjukan bahwa di Sumatera Utara sebagian besar media informasi yang paling banyak diakses oleh WUS yang sudah menikah adalah TV dan diikuti radio. Sedangkan WUS yang mengakses media cetak seperti majalah dan surat kabar setiap seminggu sekali lebih kecil dibandingkan dengan media elektronik seperti TV dan radio.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 tidak mendapatkan kunjungan dari petugas KB dalam 6 bulan terakhir yaitu sebsar 96,8%. Tenaga kesehatan menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang berkualitas harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas disamping ketersediaan sumber daya yang lain (Dinkes Sumatera Utara, 2012).

68

Berdasarkan data dari kabupaten / kota, sampai akhir tahun 2012, SDM di sektor kesehatan berjumlah 45.535 orang, terdiri dari 43.713 orang tenaga kesehatan dan 1.822 orang tenaga non kesehatan. Berdasarkan hasil data Profil Kesehatan Sumatera Utara (2012), diketahui sebagian besar tenaga kesehatan di Provinsi Sumatera Utara bertugas di puskesmas sebanyak 46%. Dari 20.101 tenaga kesehatan, yang bertugas di puskesmas terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga farmasi, tenaga gizi, tenaga teknisi medis, keterapilan fisik, tenaga sanitasi, dan tenaga kesehatan masyarakat. Ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai dapat memudahkan dalam mendukung perilaku penggunaan kontrasepsi di masyarakat khususnya pada WUS. Terlebih lagi dengan adanya petugas lapangan yang melakukan kunjungan secara rutin, dapat membantu WUS dalam memilih dan mendapatkan informasi tentang kontrasepsi yang akan mereka pilih.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 tidak mengunjungi fasilitas kesehatan dalam 6 bulan terakhir yaitu 66,4%. Dari data Profil Kesehatan Sumatera Utara (2012) menunjukan bahwa, jumlah puskesmas di Sumatera Utara mengalami peningkatkan, hal ini diharapkan dapat menjangkau masyarkat agar mendapatkan pelayanan merata sampai ke daerah terpencil. Selain penambahan jumlah, peningkatan status puskesmas juga dilakukan, yaitu peningkatan status puskesmas yang awalnya adalah puskesmas non perawatan menjadi puskesmas perawatan atau peningkatan status puskesmas dari yang sebelumnya puskesmas pembantu menjadi puskesmas induk.

Di Provinsi Sumatera Utara diketahu sampai akhir tahun 2012 jumlah Rumah Sakit di Sumatera Utara terdapat 200 unit diantaranya Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. Selain Rumah Sakit, fasilitas kesehatan lain seperti puskesmas pernyebaran di daerah kabupaten/kota sudah cukup merata dimana setiap kecamatan di

69

Provinsi Sumatera Utara sudah memiliki paling sedikit satu puskesmas. Hal tersebut juga didukung dengan adanya peningkatan selama tahun 2008 – 2011, dari 484 unit pada tahun 2008 menjadi 569 unit pada tahun 2012.

Secara garis besar masalah pokok dibidang kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang besar dengan laju petumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, struktur umur muda, dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan (Purba, 2009). Sementara itu Sumatera Utara merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di Indonesia. Untuk itu penggunaan kontrasepsi di rasa cukup penting selain sebagai perilaku bentuk kesehatan, dimana dapat memenuhi target capaian TFR dapat menhindari kehamilan berisiko pada ibu.

6.3 Gambaran Perilaku Penggunaan Kontrasepsi Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi pada WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 sebagian besar adalah wanita umur > 35 tahun, sedangkan pengguna kontrasepsi paling sedikit yaitu usia 15 – 19 tahun. Dari hasil peneliian didapatkan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku penggunaan kontrasepsi.

Dalam pola perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi yang rasional dikatakan dimana umur di bawah 20 tahun merupakan fase menunda atau mencegah kehamilan, hal ini berkaitan dengan kehamilan risiko tinggi yang mana dapat timbul pada kehamilan kurang dari usia 18 tahun, kehamilan lebih dari 35 tahun, kehamilan setelah 4 kelahiran dan kehamilan dengan interval jarak kurang dari 2 tahun. Dengan perkataan lain kehamilan risiko tinggi dapat timbul pada keadaan “4 terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat jaraknya. Pada umur 20 – 30

70

tahun merupakan fase menjarangkan kehamilan. Dan pada umur di atas 35 tahun merupakan fase menghentikan/mengakhiri kehamilan (Hartanto, 2010).

Berdasarkan hasil SDKI (2007) mengatakan bahwa kebutuhan pelayanan kontrasepsi bervariasi menurut umur, wanita muda cenderung untuk menjarangkan kehamilan, dan wanita tua cenderung membatasi kehamilan. Pola kebutuhan untuk kontasepsi menurut umur dapat digambarkan sepeti kurva U terbalik, yaitu rendah pada wanita kelompok umur 15-19 tahun dan wanita kelompok umur 45 – 49 tahun dan tinggi pada tingkat kelompok umur anatara 30 – 34 tahun. Wanita muda cenderung menggunakan cara kontrasepsi suntik, pil, dan susuk, sementar mereka yang lebih tua cenderung memilih kontrasepsi jangka panjang seperti IUD dan sterilisasi.

Analisa BKKBN tentang SDKI 2002/2003 mengatakan bahwa umur di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun sangat berisiko terhadap kehamilan dan melahirkan, sehingga berhubungan erat dengan pemakaian alat kontrasepsi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Purba (2008) yang menunjukan adanya hubungan antara umur dengan penggunaan alat kontrasepsi. Namun dalam penelitian ini, umur yang semakin meningkat tidak menjadi alasan utama responden untuk memakai alat kontrasepsi, tetapi mereka lebih mengutamakan banyaknya jumlah anak yang dimiliki. Jika jumlah anak telah dirasa cukup, maka responden akan mengusahakan dengan sungguh-sungguh untuk memakai alat kontrasepsi.

Menurut Amiranty (2003), umur dan jumlah anak yang pernah dilahirkan seorang wanita akan mempengaruhi tingkat pemakaian kontrasepsi. Wanita dengan umur tinggi yang pada umumnya mempunyai anak lebih banyak akan cenderung memakai kontrasepsi, terutama untuk membatasi kelahiran. Sebaliknya pemakaian kontrasepsi pada wanita muda yang belum mempunyai anak atau yang baru mempunyai anak dalam jumlah sedikit cenderung ditujukan untuk menjarangkan atau menunda kehamilan.

71

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka perlu adanya penambahan informasi melalui penyuluhan dari petugas KB, maupun informasi di fasilitas layanan kesehatan dan melalui kegiatan yang telah ada di masyarakat mengenai penggunaan kontrasepsi. Hal ini juga diharapkan WUS mengetahui fungsi lain kontrasepsi tidak hanya untuk menjarangkan/membatasi atau menghentikan kehamilan, namun juga dapat mengetahui kehamilan yang tidak terkendali dalam keadaan “4 terlalu” yang dapat mengakibatkan kehamilan risiko tinggi.

Dokumen terkait