• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

B. Analisis Univariat

4. Gambaran Sikap Responden Terhadap Pencemaran

Pengetahuan Jumlah Persentase (%)

Tinggi 67 44.7

Rendah 83 55.3

Jumlah 150 100

Dari tabel 5.5 dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki kategori pengetahuan yang rendah yaitu sebanyak 83 responden (55.3%). Pengetahuan tersebut mengenai pencemaran logam timbal (Pb) yang terjadi pada kerang hijau, jalur masuk logam timbal (Pb) ke manusia dan bahaya logam timbal bagi kesehatan.

4. Gambaran Sikap Responden Terhadap Pencemaran Logam Timbal (Pb) pada Kerang Hijau

Berikut merupakan gambaran sikap responden terhadap pencemaran logam timbal (Pb) pada kerang hijau :

Tabel 5.6

Gambaran Sikap Responden Terhadap Pencemaran Logam Timbal (Pb) pada Kerang Hijau

Sikap Jumlah Persentase (%)

Positif 70 46.7

Negatif 80 53.3

Jumlah 150 100

Dari tabel 5.6 dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki sikap yang negatif terhadap pencemaran logam timbal (Pb) pada kerang hijau yang berasal dari budidaya Kali Adem Muara Angke Jakarta yaitu sebanyak 80 responden (53.3%). Hasil tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kali Adem Muara Angke tidak setuju bahwa kerang hijau yang berasal dari Kali Adem Muara Angke sudah dalam kondisi yang tercemar oleh logam timbal (Pb).

D. Hasil Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap dengan perilaku konsumsi kerang hijau yang tercemar logam timbal (Pb) adalah uji Chi-square.

1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Kerang Hijau Tercemar Logam Timbal (Pb)

Hubungan antara pengetahuan dengan perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) pada masyarakat di Kali Adem Muara Angke Jakarta tahun 2015 dengan menggunakan uji chi-square di sajikan pada tabel 5.7 berikut.

Tabel 5.7

Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Kerang Hijau Yang Tercemar Logam Timbal (Pb)

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan perilaku konsumsi kerang hijau yang tercemar logam timbal (Pb) menunjukan bahwa mayoritas responden adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan rendah terkait pencemaran logam timbal (Pb) pada kerang hijau dan sering mengonsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) yaitu sebanyak 48 responden (64%).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.033 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta tahun 2015. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai PR sebesar 1,435 (CI 95% 1,017 –

Pengetahuan

Konsumsi Kerang Logam Timbal (Pb)

Jumlah

P value

PR (95% CI) Sering Tidak Sering

N % N % N % Rendah 48 64 35 46.7 83 55.3 0.033 1,435 (1,017 – 2,025) Tinggi 27 36 40 53.3 67 44.7 Total 75 100 75 100 150 100

2,025) yang berarti bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan yang rendah memiliki resiko lebih tinggi untuk mengonsumsi kerang hijau dengan frekuensi yang sering dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan tinggi.

2. Hubungan Antara Sikap dengan Perilaku Konsumsi Kerang Hijau Tercemar Logam Timbal (Pb)

Hubungan antara sikap dengan perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) pada masyarakat di Kali Adem Muara Angke Jakarta tahun 2015 dengan menggunakan uji chi-square disajikan pada tabel 5.8 berikut.

Tabel 5.8

Analisis Hubungan Sikap dengan Perilaku Konsumsi Kerang Hijau Yang Tercemar Logam Timbal (Pb)

Berdasarkan tabel 5.8 didapatkan hasil analisis hubungan antara sikap dengan perilaku konsumsi kerang hijau yang tercemar logam timbal (Pb). Menunjukan bahwa sebanyak 38 responden (50.7%) yang memiliki sikap negatif mengenai pencemaran logam timbal (Pb) pada kerang hijau dan memiliki frekuensi yang sering dalam mengonsumsi kerang hijau.

Sikap

Konsumsi Kerang Logam Timbal (Pb) Jumlah P value PR (95% CI) Sering Rendah N % N % N % Negatif 38 50.7 42 56.0 80 53.3 0,513 0,899 (0,653 – 1,237) Positif 37 49.3 33 44.0 70 46.7 Total 75 100 75 100 150 100

Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,513 (α = 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap masyarakat dengan perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta tahun 2015. Sedangkan diperoleh nilai PR sebesar 0,513 (CI 95% 0,653 – 1,237), hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna diantara variabel sikap terhadap perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal.

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian diantaranya adalah :

1. Masih sangat rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta. Hal ini menyebabkan beberapa responden mengalami kesulitan dalam menjawab kuesioner.

2. Waktu wawancara atau pengambilan data yang berbarengan dengan waktu responden bekerja atau mengupas kerang hijau, hal ini diasumsikan peneliti dapat mengganggu konsentrasi responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

3. Pengambilan sampel kerang hijau yang hanya satu kali pengambilan, menyebabkan tidak dapat di ketahuinya rata-rata cemaran logam timbal di dalam tubuh kerang hijau selama periode waktu tertentu.

4. Tidak dipertimbangkannya faktor umur dan ukuran minimal kerang hijau sebagai kriteria dari sampel kerang hijau, sehingga menyebabkan sampel yang terpilih memiliki umur dan ukuran yang berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap konsentrasi logam timbal (Pb) pada sampel yang diambil.

B. Analisis Univariat

1. Pencemaran Logam Timbal (Pb) pada Kerang Hijau

Timbal (Pb) termasuk logam berat yang beracun. Secara alami logam timbal (Pb) dapat ditemui di dalam tanah, Timbal (Pb) juga merupakan salah satu logam berat yang banyak di gunakan di dalam industri, bahkan buangan limbah industri merupakan sumber utama pencemaran timbal (Pb) di badan air atau perairan laut (Achmadi, 2009).

Menurut hasil penelitian Cordova (2011) menyatakan bahwa beban pencemaran yang berasal dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta cukup tinggi. Beban pencemar yang berasal dari Kali Angke untuk bahan organik yang terurai oleh mikroorganisme (BOD) jumlahnya mencapai 944,31 ton/bulan sedangkan untuk bahan organik yang terurai secara kimia (COD) jumlahnya mencapai 1745,00 ton/bulan dan cenderung naik setiap tahunnya.

Sementara itu kadar beban pencemaran logam berat timbal (Pb) dari Kali Angke adalah yang paling besar jika di bandingkan dengan logam berat lainnya, yaitu sebesar 0,0825 ton/hari. Hal ini selaras dengan peningkatan industri di DKI Jakarta. Tingginya logam berat tersebut dikarenakan logam berat merupakan bahan suplemen yang harus ada dalam industri terutama industri elektronik, otomotif, cat dan lain-lain (Cordova, 2011).

Terdapatnya logam berat pada ekosistem laut akan berpengaruh terhadap biota yang ada di dalamnya, salah satunya adalah kerang hijau. Kerang hijau merupakan salah satu indikator pencemaran logam yang

terjadi di suatu perairan. Hal tersebut dikarenakan kerang hijau memiliki kemampuan absorbsi logam yang baik jika dibandingkan dengan biota laut yang lain. Hal ini dikarenakan kerang adalah hewan yang tinggal menetap di suatu tempat dan hidup dengan cara menyaring makanan yang berupa bahan organik terlarut di dalam air laut, sehingga kebiasaan hidup yang menetap adalah alasan utama kerang memiliki kemampuan absorbsi yang baik terhadap logam (Nurjanah dkk, 1999).

Kerang hijau jugamerupakan salah satu jenis kerang yang digemari masyarakat dengan nilai ekonomis dan kandungan gizi yang sangat baik untuk dikonsumsi, yaitu terdiri dari 40,8 % air, 21,9 protein, 14,5 lemak, 18,5 karbohidrat dan 4,3 abu. Dari 100 gram daging kerang hijau menghasilkan 100 kalori. Kandungan gizi kerang hijau sebanding dengan daging sapi, telur dan daging ayam. Organisme kerang memilki sifat bioakumulatif terhadap logam berat lebih besar dari pada hewan air lainnya karena habitat hidupnya yang menetap, lambat untuk dapat menghindarkan diri dari pengaruh polusi dan mempunyai daya toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam tertentu. Dengan begitu, jenis kerang merupakan indikator yang sangat baik untuk memonitor suatu pencemaran lingkungan (Hutagaol, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 10 (90.9 %) dari 11 sampel kerang hijau yang diuji laboratorium ditemukan memiliki kadar logam timbal (Pb) atau dapat dikatakan tercemar oleh logam timbal (Pb). Dari sepuluh (10) sampel kerang hijau tersebut terdapat satu sampel yang mengandung kadar logam timbalnya sudah melebihi nilai ambang batas

yang sudah di tentukan yaitu sebesar 1,5 mg/kg (BPOM, 2009), sedangkan 8 sampel lainnya memiliki kadar logam timbal yang masih di bawah nilai ambang batas yang di tentukan. Rata-rata kadar logam timbal (Pb) pada seluruh sampel kerang hijau yang di periksa adalah 0.8 mg/kg, dengan nilai kadar tertinggi yaitu 2.6 mg/kg (sampel 6).

Sedangkan pada sampel 9 kadar logam timbal (Pb) tidak terdeteksi pada hasil pemeriksaan laboratorium. Hal ini diasumsikan terjadi karena pada sampel 9 ukuran kerang hijau relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran kerang hijau pada sampel lainnya. Ukuran kerang hijau erat kaitannya dengan umur hidup kerang hijau, karena ukuran dan umur kerang hijau berbanding lurus, jadi semakin tua umur kerang hijau akan semakin besar ukuran yang dimiliki.

Kerang hijau yang memiliki ukuran yang lebih besar cenderung memiliki kadar atau konsentrasi logam timbal (Pb) yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan umur hidup dari kerang yang berbanding lurus dengan ukuran kerang. Maka, semakin lama kerang hijau berada di suatu perairan yang tercemar maka akan semakin besar kadar logam timbal (Pb) yang di temukan dalam tubuh kerang hijau tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Mulyawan yang menemukan bahwa terdapat perbedaan kadar logam di dalam kerang hijau yang berukuran kecil, sedang dan besar (Mulyawan, 2005).

Tujuan dilakukannya pemeriksaan kadar logam timbal (Pb) pada kerang hijau ialah untuk mengetahui kondisi kerang hijau yang berasal dari budidaya disekitar Kali Adem Muara Angke Jakarta. Apakah kerang

dalam kondisi yang sudah tercemar atau masih baik untuk konsumsi. Meskipun rata-rata kadar logam timbal (Pb) pada sampel masih di bawah nilai ambang yang di tetapkan, namun hal ini merupakan suatu masalah mengingat sifat dari logam timbal (Pb) yang bersifat terakumulasi di dalam tubuh. Selain itu logam timbal (Pb) juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia, diantaranya adalah gangguan sistem saraf, gastro-intenstinal, haemopoietik, urinaria, kardiovaskuler dan reproduksi (Widiowati dkk, 2008).

Logam timbal (Pb) di dalam tubuh terakumulasi di membran jaringan lunak dan plasma. Selanjutnya didistribusikan ke bagian dimana kalsium memegang peran penting seperti gigi pada anak dan tulang pada semua umur. Timbal (Pb) dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan dan makanan. Konsumsi timbal (Pb) dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan gangguan pada kesehatan pada bayi dan anak-anak. Paparan timbal (Pb) yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan otak, menghambat pertumbuhan anak, kerusakan ginjal, gangguan pendengaran, mual, sakit kepala, serta gangguan pada kecerdasan dan tingkah laku. Sedangkan pada orang dewasa, timbal (Pb) dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal, gangguan reproduksi dan kerusakan saraf (SNI, 2009).

Hasil pengukuran konsentrasi logam timbal (Pb) pada kerang hijau pada penelitian ini menunjukan hasil yang lebih rendah dari pada hasil yang didapatkan pada saat uji pendahuluan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perbedaan umur kerang yang di

ambil sebagai sampel. Pada saat dilakukan studi pendahuluan umur kerang hijau yang digunakan sebagai sampel berkisar 4-5 bulan sedangkan pada saat penelitian umur kerang hijau yang digunakan sebagai sampel berkisar 2 - 2,5 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Cordova (2011) dan Apriadi (2005) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi logam timbal (Pb) yang semakin tinggi pada kerang hijau yang memiliki umur lebih lama.

Menurut hasil penelitian Prihartini (2006) menyatakan bahwa umur kerang optimum berkisar pada bulan ke lima, sedangkan ukuran optimum kerang berada pada ukuran 8 cm. Pada kondisi optimum ini, dapat diketahui kadar logam timbal (Pb) melalui pemeriksaan laboratorium, diasumsikan pada umur tersebut dapat merepresentatifkan kondisi pencemaran yang ada di lingkungan tersebut. Selain itu pada umur dan ukuran optimum tersebut kerang hijau biasa dipanen atau dijual untuk kemudian dikonsumsi oleh masyarakat.

Selain umur kerang terdapat hal lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi logam timbal pada kerang hijau yaitu konsentrasi logam timbal (Pb) di dalam air laut, tempat dimana kerang hijau tersebut hidup dan mencari makan. Menurut penelitian Dahlia (2009) menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara konsentrasi logam timbal (Pb) pada kerang hijau dengan konsentrasi logam timbal (Pb) dalam air laut dengan nilai r = 0.8124 (titik 1) dan r = 0.9995 (titik 2). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam di suatu perairan maka akan semakin tinggi pula konsentrasi logam pada biota di dalamnya atau sebaliknya.

Alasan ketiga adalah disebabkan oleh waktu pengambilan kerang yang berbeda, Hal ini terkait dengan musim atau pergerakan angin pada saat pengambila sampel dilakukan. Pada waktu studi pendahuluan, sampel kerang diambil pada bulan Januari – Februari dimana pada waktu tersebut merupakan Musim Barat. Menurut Prasetyo (2009) pada saat Musim Barat terjadi peningkatan kecepatan arus permukaan air laut, sehingga memungkinkan terjadinya turbulensi atau pengadukan. Pada permukaan yang cukup dangkal pengadukan oleh arus atau gelombang laut dapat menyebabkan endapan partikel timbal (Pb) yang ada di dasar terangkat menyebar. Hal ini yang meyebabkan logam timbal dapat lebih mudah terserap oleh kerang hijau, Peristiwa ini biasa disebut resuspensi logam timbal (Pb) (Prasetyo, 2009).

Faktor lain terkait dengan musim adalah tingginya curah hujan yang terjadi pada saat dilakukannya studi pendahuluan (Januari – Februari). Pada saat tingginya curah hujan dapat mengakibatkan meningkatnya debit air sungai sehingga terjadi penggelontoran material air sungai yang lebih besar jika dibandingkan dengan musim kemarau karena curah hujan menurun (Prasetyo, 2009). Hal ini berhubungan dengan beban pencemaran yang dibawa sungai ke perairan/laut. Semakin besar arus sungai maka akan semakin banyak membawa beban pencemaran kelaut atau sebaliknya.

Selain faktor-faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi bioakumulasi logam timbal pada kerang hijau atau biota laut lainnya. Faktor tersebut diantaranya adalah jenis dan sifat logam, jenis biota dan cara makan, serta kondisi lingkungan di sekitar

kerang hijau atau biota tersebut hidup seperti suhu, pH, kesadahan dan salinitas (Riani, 2012).

Sementara itu distribusi kerang hijau yang berasal dari Muara Angke atau perairan Teluk Jakarta memiliki cakupan yang cukup luas. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik budidaya, mereka menyatakan bahwa hasil panen kerang hijau yang mereka miliki didistribusikan ke pasar-pasar yang ada di Jakarta, bahkan berdasarkan hasil wawancara pada pedagang kerang hijau yang ada di Pasar Ciputat dan Pasar Parung yang termasuk ke dalam wilayah Kota Tangeran Selatan dan Kota Bogor masih mendapatkan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta.

Hal ini menunjukan bahwa bukan hanya masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir pantai atau muara yang memiliki risiko terhadap paparan logam timbal (Pb) melalui konsumsi kerang hijau. Akan tetapi masyarakat luas atau pedagang – pedagang seafood baik pedagang kaki lima atau restauran yang ada di Jakarta dan kota-kota disekitarnya juga memiliki risiko terhadap paparan logam timbal (Pb). Oleh karena itu sebaiknya masyarakat lebih berhati-hati dan lebih teliti sebelum mengonsumsi suatu makanan, karena dengan lebih selektif terhadap apa yang dimakan maka dapat lebih menjaga kondisi kesehatan tubuh kita.

Budidaya kerang hijau yang ada di Teluk Jakarta sebenarnya sudah menjadi perhatian Dinas Kelautan dan Pertanian (DKP) DKI Jakarta. Kepala DKP DKI Jakarta menyatakan bahwa budidaya kerang hijau yang ada di Teluk Jakarta di rencanakan akan dipindahkan ke Teluk Banten

dimana kondisi perairannya masih lebih baik dan belum tercemar. Selain itu Dinas Kelautan Dan Pertanian DKI Jakarta juga menghimbau kepada masyarakat untuk tidak mengonsumsi kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta karena dapat memberikan efek buruk kepada kesehatan jika dikonsumsi secara terus menerus (Wresti, 2011).

Disisi lain upaya pemerintah pusat maupun daerah dalam mengatasi masalah pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta dapat dikatakan masih belum optimal, Selama ini pemerintah DKI telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi permasalahan di Teluk Jakarta, antara lain: mewajibkan pengolahan limbah, melarang membuang sampah sembarangan, menata permukiman dan normalisasi DAS (Rokhani & Ishak, 2014).

Dilihat dari kebijakan untuk mengatasi pencemaran di Teluk Jakarta yaitu dengan cara mengendalikan pencemaran sungai dan Teluk Jakarta dengan menekan pencemaran dari sumbernya, agar limbah yang dibuang ke perairan tidak terlalu banyak. Beberapa diantaranya adalah dengan program kali bersih dan untuk kalangan industri menengah dan besar dengan proper, serta memaksimalkan 3R (reduce, reuse dan recycle) (Rokhani & Ishak, 2014).

Oleh karena itu, selama ini berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Namun hasil yang didapat belum cukup untuk menanggulangi pencemaran yang ada. Ada baiknya semua upaya yang telah dilakukan, diikuti oleh pelaksanaan pengawasan dan juga pemberian sanksi yang tegas bagi para pelanggar aturan. Menurut

UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, menyatakan bahwa fungsi dan peran pemerintah terkait dengan masalah pencemaran lingkungan bukan hanya sebagai pembuat kebijakan, akan tetapi pemerintah juga berperan sebagai pihak yang mengawasi, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dapat menyebabkan rusak atau menurunnya kualitas lingkungan. Pencemaran yang terjadi di perairan Muara Angke Jakarta merupakan bukti rendahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.

Oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta, khususnya di perairan Muara Angke Jakarta. Selain meningkatkan pengawasan terhadap semua industri yang membuang limbahnya ke perairan tersebut, pemerintah juga diharapkan dapat memperbaiki dan menjaga kualitas perairan sebagai bentuk dari tanggung jawab pemerintah.

2. Gambaran Perilaku Konsumsi Kerang Hijau yang Tercemar Logam Timbal (Pb)

Tindakan atau perilaku adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap stimulus atau objek. Respon ini sudah dalam bentuk tindakan

(action) yang melibatkan aspek psikomotor atau seseorang telah mempraktikan apa yang diketahui atau disikapi (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran perilaku konsumsi kerang hijau ini dilakukan dengan menggunakan pengukuran perilaku secara tidak langsung. Menurut Notoatmodjo (2003), pengukuran perilaku secara tidak langsung adalah dengan mewawancarai terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan

beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner, sehingga hasil yang didapatkan dari variabel praktik berasal dari pengakuan responden.

Berdasarkan tabel 5.3 gambaran perilaku konsumsi kerang hijau tercemar logam timbal (Pb) didapatkan hasil responden memiliki rata-rata konsumsi kerang hijau sebesar 11.47 gr/hari, nilai median sebesar 5.75 dan nilai maksimum konsumsi kerang hijau mencapai 69.30 gr/hari. Sedangkan cara mengkategorikan sering dan tidak sering menggunakan nilai median sebagai cut of point karena distribusi data yang tidak normal. Karena menggunakan nilai median sebagai cut of point maka kategori perilaku konsumsi kerang hijau memiliki persentase yang sama, yaitu sebanyak 75 responden (50 %).

Akan tetapi jika di bandingkan dengan rata-rata konsumsi nasional untuk jenis makanan kerang-kerangan, rata-rata konsumsi responden atau masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta jauh melebihi rata-rata konsumsi nasional yaitu 2 gr/hari (Susenas, 2014). Oleh karena itu pada penelitian ini yang di jadikan nilai cut of point adalah nilai median.

Sementara sumber kerang hijau yang responden konsumsi juga memiliki peran yang penting terhadap paparan logam timbal (Pb) kedalam tubuh responden. Jika responden mengonsumsi kerang hijau yang berasal dari pembudidaya yang memiliki kerang hijau tercemar akan beda pajanan logam timbalnya jika di bandingkan dengan pembudidaya yang kerang hijaunya belum tercemar logam timbal. Mayoritas responden

mengonsumsi sumber kerang hijau berasal dari kelompok budidaya 6 dan 7 yaitu sebanyak 22 % di masing-masing kelompok budidaya.

Dari hasil pengukuran kadar logam timbal (Pb) pada sampel kerang hijau yang diambil dari masing-masing kelompok budidaya, menunjukan hasil bahwa kelompok 6 memiliki konsentrasi logam timbal yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok budidaya lain yaitu sebesar 2.6 mg/kg. Sedangkan untuk kelompok 7 memiliki konsentrasi logam timbal sebesar 0.12 mg/kg. Kelompok budidaya 6 dan 7 menjadi kelompok yang paling banyak dijadikan sumber kerang hijau oleh responden untuk konsumsi, hal ini dikarenakan banyaknya responden yang juga bekerja di kelompok buidaya tersebut. Selain itu kelompok 6 dan 7 termasuk kelompok budidaya yang besar jika dibandingkan dengan kelompok budidaya yang lain.

Masih tingginya perilaku konsumsi kerang hijau yang tercemar logam timbal (Pb) pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta dapat di pengaruhi oleh beberapa hal. Menurut Green (2005) perilaku dapat terjadi karena adanya tiga faktor penyebab perilaku itu terjadi, antara lain adalah faktor predisposisi seperti pengetahuan dan sikap, enabling seperti tersedianya sarana atau prasarana dan reinforcing seperti pengaruh teman atau keluarga dalam melakukan perilaku tertentu.

Sejalan dengan teori Green berdasarkan hasil penelitian ini di dapatkan bahwa pengetahuan responden mayoritas masih berada pada tingkat pengetahuan yang rendah, mengenai pencemaran yang sudah terjadi pada kerang hijau yang mereka konsumsi. Oleh karena itu mereka

tetap mengonsumsi kerang hijau karena belum mengetahui bagaimana kondisi kerang hijau yang mereka makan tersebut, apakah masih dalam kondisi yang baik (belum tercemar) atau sudah dalam kondisi yang buruk (tercemar).

Selain pengetahuan dan sikap, faktor enabling diasumsikan ikut berperan besar terhadap tingginya perilaku konsumsi kerang hijau tercemar pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta. Salah satu faktor enabling yang berpengaruh adalah tersedianya sarana untuk mendapatkan kerang hijau dengan mudah, bagi masyarakat yang tinggal di Kali Adem Muara Angke sangat mudah untuk mendapatkan kerang hijau sebagai lauk untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan tempat tersebut adalah tempat budidaya kerang hijau, ditambah lagi banyak masyarakat yang bekerja sebagai pengupas kerang hijau sehingga kerang hijau bisa didapatkan dengan harga yang murah bahkan gratis.

Faktor lainnya yang mempengaruhi tingginya perilaku konsumsi

Dokumen terkait