• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL KAJIAN

3.2. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten Sukoharjo, Jawa tengah

3.2.1 Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan

Secara umum, kepemilikan lahan yang sempit dan terpencar merupakan kendala umum bagi usaha tani tanaman pangan di Indonesia. Kualitas lahan dan lingkungan yang semakin terdegradasi tentunya akan berimplikasi pada rendahnya efisiensi usaha tani. Kendala lain adalah minimnya ketersediaan modal untuk mengelola usaha tani dan kurangnya pengetahuan petani dengan teknologi pertanian. Program pemerintah yang digunakan sebagai stimulus penyediaan saprodi berupa kredit pun sering bermasalah. Program kelompok corporate farming

23 yang terbingkai dalam program pertanian modern misalnya, belum secara optimal diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut.

Secara harfiah definisi konsolidasi adalah menyatukan seluruh sumber daya, peluang dan kekuatan untuk memenangkan persaingan jangka panjang. Memenangkan persaingan berarti menjadi yang terbaik dalam melayani kebutuhan konsumen/klien saat ini dan pada masa datang. Konsolidasi dilakukan dengan mengevaluasi kondisi usaha saat ini, diteruskan dengan pengembangan strategi usaha jangka panjang. Strategi tersebut dibuat lebih terperinci dalam bentuk perencanaan dengan sasaran bergerak ke jangka menengah dan panjang yang meliputi pengembangan sistem manajemen agar perencanaan dan implementasi bisa sejalan, memberikan perioritas pada pengembangan yang dilakukan secara terus menerus, pengembangan pasar dilakukan sistimatis dan efisiensi menjadi acuan prestasi.

Konsolidasi aplikasinya dalam bidang pertanian, seorang penyuluh dapat memberikan konsep mengenai konsolidasi lahan petani yang rata-rata kecil. Dengan luas lahan petani yang kecil ini maka jika di hitung untung dan ruginya maka dari usahataninya hasilnya petani akan rugi karena biaya operasional yang di keluarkan untuk saprotan relatif besar. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya operasional maka perlu ada upaya konsolidasi lahan. Kepemilikan tanah petani yang kecil tersebut setelah dikonsolidasi maka akan terbentuk lahan yang luas, petani harus bersatu dan menjalankan usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama. Model konsolidasi tampaknya mumpuni untuk dijadikan sebagai alternatif strategi pemberdayaan petani, namun dalam implementasinya patut berhati-hati dengan perencanaan yang matang.

Konsolidasi lahan yang diprogramkan juga seyogyanya bersinergi dengan penerapan mekanisasi pertanian, sehingga bingkai pengembangan pertanian modern dapat tercapai. Penerapan pertanian modern yang menitikberatkan kepada penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi diharapkan menjadi solusi tepat dapat diterapkan. Selain itu, dengan konsep pertanian modern dapat menjadi momentum menarik minat pemuda mengingat tenaga kerja terutama pada kalangan generasi muda di sektor pertanian semakin minim. Tenaga kerja di bidang pertanian, kini didominasi orangtua yang berusia lebih dari 50 tahun. Alasan

24 utama regenerasi tak berjalan, karena menjadi petani bukanlah pekerjaan impian kalangan muda. Apalagi ada kesan kotor dan bau lumpur. Jadi tidak heran, pekerjaan petani makin ditinggalkan.

Peluang pengembangan mekanisasi pertanian, bukan sebatas kondisi tenaga kerja di bidang pertanian yang makin berkurang, tapi ada faktor lainnya. Alsintan memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Selain itu, kemampuan industri dalam negeri memproduksi alsintan yang bermutu juga semakin berkembang, adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan alsintan, dan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan dalam pengembangan alsintan. Sementara itu, prasyarat pengembangan mekanisasi pertanian adalah mencakup: pendataan penyebaran alsintan secara akurat, adanya fasilitas penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses perbankan. Selain itu, dukungan kebijakan industri alsintan, perdagangan alsintan, dan dukungan terhadap pengawasan, peredaran, serta penyuluhan alsintan. Umumnya untuk fasilitas penyediaan alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah pusat/daerah, dan optimalisasi kinerja UPJA.

Penerapan PPM di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari merupakan proyek percontohan pertanian yang diintegrasikan dengan program mekanisasi yang bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester). Namun dalam pelaksanaannya baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan tanam serta sebagian ada konsolidasi lahan dengan meniadakan galengan sawah. Terkait dengan pertanian modern tersebut, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal ini galengan sawah masih diperlukan agar saat pengairan satu petakan sawah dapat optimum pengenangannya. Pola pelepasan/pengecilan galengan sawah per-3 ha, pada beberapa petani pemilik lahan, sekitar 1-2 orang yang mengelola usahatani tersebut dan petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya nonusahatani, dan masalah kesiapan infrastruktur irigasi dan terkait konsolidasi lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Adapun dalam hal pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi, dimana beberapa petani akan diberikan mata pencaharian nonusahatani dalam prakteknya sangat sulit karena kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki petani. Selain itu, permodalan juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya.

25 Permasalahan sosial lainnya tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan meniadakan galengan, sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum dipersiapkan oleh BPN untuk keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur irigasi yang belum sepenuhnya memadai untuk kegiatan usahatani untuk konsolidasi lahan.

Sementara itu, untuk pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan oleh masing-masing petani. Luas program pertanian modern di Sukoharjo seluas 100 ha, ditambah dengan swadaya seluas 70 ha. Fasilitas yang digunakan meliputi 2 unit traktor roda 4, 1 unit traktor roda 2, 2 unit combine harvester, 3 unit rice transplanter dan 2 unit UPPO. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester, (2) Terdapatnya kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, dimana kebutuhan per ha sekitar 200-250 tray, dan harga tray cukup mahal sebesar Rp 35.000/unit dan jumlah tray yang dimiliki masih terbatas, (3) Masih terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada didesa percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika permasalahan tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan harapan penerapan konsep pertanian modern tidak akan berjalan baik.

3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian

Analisis Manfaat Usahatani

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yang dimaksud Pertanian Modern di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo adalah belum full mechanized pada semua tahapan mulai dari pengolahan lahan sampai dengan panen, akan tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen. Selain itu, penggunaan mesin panen (combine harvester) juga tidak dapat dilaksanakan pada musim MH atau MT1. Oleh karena itu, membandingkan manfaat adanya program Pertanian Modern dilakukan pada MT2 atau MK1 supaya informasi

26 penggunaan combine harvester dapat tertangkap. Perbandingan usahatani padi pada MT2 antara pertanian Modern dan Konvensional disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Konvensional di Desa Delanggu, Kecamatan Tawangsari, Kab. Sukoharjo MT II 2015 (Rp/ha) No Uraian PPM (A) non-PPM (B) Perubahan (A-B) %

1 Faktor Produksi : a. Benih - 405.000 -100,00 b. Pupuk an organik 1.325.000 1.325.000 0 c. Pupuk organik 62.000 62.000 0 d. Pestisida 1.150.000 937.500 22,67 2 Tenaga Kerja : a. Traktor 1.000.000 1.000.000 0 b. Transplanter 3.000.000 - c. Combine Harvester 2.000.000 - d. Tanam - 2.000.000 -100,00 e. Penyiangan - 960.000 -100,00 f. Pemupukan 1.200.000 1.200.000 0 g. Panen - 5.300.000 -100,00 3 Biaya Lain : a. Sewa lahan 3.800.000 3.800.000 0 b. PBB 240.000 240.000 0 3 Total Biaya 13.777.000 17.229.500 -20,04 4 Nilai Produksi 48.750.000 42.500.000 14,71 5 Keutungan 34.973.000 25.270.500 38,39 6 R/C Rasio 3,54 2,47 43,32

Sumber data : Hasil wawancara dengan kelompok UPJA desa Dalangan, Kab. Sukoharjo, 2015

Sebelumnya akan dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan komponen biaya usahatani antara pertanian modern dan nonmodern yang menyebabkan perbedaan efisiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan tersebut di antaranya adalah : (a) pada usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan herbisida untuk memberantas rumput, sedangkan pada nonmodern masih menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan

27 tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta penyusutannya kecil, sedangkan pada nonmodern tidak (sebagian ditebaskan) dan menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon.

Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi pada pertanian modern dengan menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan, dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp13,7 juta/ha, sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp17,2 juta/ha, (b) nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 48,75 juta/ha, sedangkan pada non modern hanya Rp42,50 juta/ha, dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp34,97 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 25,3 juta/hektar).

Faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) sebagaimana telah diungkapkan bahwa pada pertanian modern petani tidak menangani pengadaan benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya sewa Transplanter yaitu sebesar Rp3 juta/hektar, sementara pada pertanian konvensional selain harus mengeluarkan biaya benih sebesar Rp405 ribu juga petani harus mengeluarkan biaya tanam sebesar Rp2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan lebih efisien dari pada menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) penggunaan combine harvester disamping lebih cepat juga lebih murah dibandingkan nilai bawon. Sistem bawon menggunakan bayaran dalam bentuk natura dengan perbandingan 8 : 2, dan jika dihitung maka biaya bawon dapat mencapai Rp5,3 juta per hektar.

Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada pertanian modern jumlah produksi dan kualitas produksi lebih baik. Kenaikan kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah sehingga produksi meningkat, sedangkan kualitas panen karena menggunakan combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih bagus, konsekuensi lebih jauh harga gabah dari pertanian modern dihargai oleh pembeli lebih tinggi Rp300-500 per kg.

28 Analisis Manfaat Usaha Alsintan

Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari- Sukoharjo

UPJA Desa Dalangan memiliki 2 unit traktor besar dan 3 unit traktor kecil yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk mengolahan lahan 1 traktor besar dapat mengolah lahan sekitar 3 ha/hari, dan untuk traktor kecil dapat mengolah lahan sekitar 1,5 ha/hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil. Untuk mengetahui kelayakan usaha traktor ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha traktor besar. Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu seluas 60 hektar sawah layanan per unit traktor per musim tanam, (b) harga traktor tangan adalah Rp 285 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 10 tahun dan masa olah tanah adalah 3 kali per tahun yaitu selama 20 hari selama 3 kali musim tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 10 tahun adalah Rp 57 juta (20%) dan (e) harga sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha. Pada Tabel 10 disajikan analisis finansial usaha traktor tangan di lokasi kajian.

Tabel 10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Dalangan Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)

No. Komponen Satuan Volume Harga/satuan

(Rp) Nilai (Rp) Pangsa (%) 1 Biaya: 1.1. BBM Liter 10 70.000 112.500 11,32 1.2. Oli: a. Mesin Liter 0,5 40.000 20.000 3,23 b. Gemuk/stempet Kg 2.000 0,32

1.3. Spare part & service Unit 27.778 4,49

1.4. Penyusutan - 126.667 20,48

1.5. Operator - 372.000 60,15

1.7.Total - 618.445 61,84

2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 1.000.000 1.000.000

3 Keuntungan - 381.555 38,16

4 R/C rasio 1,62

29 Nilai sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha, dan total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 618.445/ha atau sebesar 61,84% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 381.555 ribu/ha atau sekitar 38,16% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,62. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai 60,15% dari total penerimaan dan urutan kedua dan ketiga adalah penyusutan sebesar 20,48% dan biaya BBM sebesar 11,32%.

Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, bahwa luas lahan layanan yang saat ini sudah cukup ideal, karena pengembalian investasi traktor dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan pengolahan lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Di lokasi kajian, setelah usia traktor 10 tahun, jika traktor dijual maka harganya masih cukup tinggi sekitar 20% dari harga pembelian awal. Mesin traktor bekas dapat diperbaiki lagi atau mesinnya dapat digunakan untuk kepentingan lainnya.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama penggunaannya secara luas oleh masyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian saat ini masih ideal. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA tentu masih dapat dilakukan di wilayah UPJA atau di desa sekitar kecamatan domisili UPJA tersebut.

Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo

UPJA Desa Dalangan memiliki tiga unit rice transplanter yang diusahakan untuk melayani penanaman padi pada lahan petani di Desa Dalangan. Data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA sebagai berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Dalangan, sehingga luas layanan yaitu 20 hektar sawah layanan per musim per unit transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 3 kali per tahun, yaitu periode waktu tanamnya 10 hari efektif/musim dan terdapat 3 kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5

30 juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar Rp 3 juta/ha (termasuk benih ditanggung pengelola tranplanter). Berikut pada Tabel 11 disajikan analisis finansial usaha transplanter di lokasi kajian.

Tabel 11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)

No. Komponen Satuan Volume Harga

(Rp.sat) Nilai (Rp) Pangsa (%)

1 Biaya penyediaan Benih :

1.1. Benih Padi Kg 45 10.000 450.000 15,00

1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 1,67

2 Biaya: 0,00

2.1. BBM Liter 10 7.000 70.000 2,33

2.2. Oli: 0 0,00

a. Mesin Liter 0,16 40.000 6.400 0,21

b. Gemuk/stempet Kg 0,05 30.000 2,493 0,00

2.3. Spare part & service Unit 6667 6.667 0,22

2.4. Penyusutan - 170833 170.833 5,69

2.5. Operator - 972.000 32,40

2.7.Total - 1.725.902 57,53

3 Pendapatan dari Sewa Ha 1 3.000.000 3.000.000 100,00

4 Keuntungan - 1.274.098 42,47

5 R/C rasio 1,74

Sumber data : hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter Rp 3 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 1,72 juta/ha atau sebesar 57,53% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp 1,27 juta/ha atau sekitar 42,47% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 1,74. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya operator mencapai 32,40% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih mencapai 15,00%, sedangkan biaya penyusutan adalah urutan ketiga yaitu sebesar 5,69%.

Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan sekitar 20 ha/musim tanam yang dinilai memadai, karena pengembalian investasi transplanter dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan areal yang

31 dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim tanam. Namun dalam pengembangan tranplanter di Sukoharjo masih terdapat kendala yang dihadapi antara lain: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan ke luar desa dari lokasi UPJA tersebut berada.

Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio luas lahan untuk diolahnya terhadap jumlah alat transplanter di lokasi kajian masih berpeluang untuk ditingkatkan jumlah alatnya.

Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo

UPJA Desa Dalangan memiliki 1 unit Combine Harvester ukuran besar (merek Crown)dan 2 unit miniCombine Harvester (ukuran kecil merek Quick)yang diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha power thresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester ukuran besar yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang memungkin kondisi lahannya dapat dilayani dalam panennya oleh Combine Harvester adalah bisa seluas 60 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester per musim, (b) harga Combine Harvester ukuran besaradalah sekitar Rp 400 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine Harvester adalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 3 kali per tahun dimana periode kerja Combine Harvester dalam satu kali musim panen sekitar 30 hari, (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10 tahun adalah Rp 40 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2 juta/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi kajian.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine Harvester Rp 2 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvestersenilai Rp 1,21 juta/ha atau sebesar 60,40% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine

32 Harvester sebesar Rp 791,93 ribu/ha atau sekitar 39,60% dari penerimaan sertaperolehan R/C rasio sebesar 1,66. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine Harvester adalah biaya operator mencapai 38,60% dari total penerimaan, urutan biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan sekitar 10,00% dan biayaspare part sekitar 7,20%.

Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar (mengeluarkan) dengan uang tunai Rp 2 juta/ha.Dari hasil tersebut setelah dikurangi biaya BBM, maka sekitar 40% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional Combine Harvester dan sisanya 60% untuk bagian UPJA tersebut.

Tabel 12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015

No. Komponen Satuan Volume (Rp.sat) Harga Nilai (Rp) Pangsa (%)

1 Biaya: 1.1. BBM Liter 10,00 7.000 70.000 3,50 1.2. Oli: a. Mesin Liter 0,25 60.000 15.000 0,75 b. Hidraulik Liter 0,03 60.000 2.000 c. Gemuk/stempet Kg 0,02 30000 5.000 0,25

1.3. Spare part & service Unit 144.074 7,20

1.4. Penyusutan - 200.000 10,00

1.5. Operator - 772.000 38,60

1.7.Total - 1.208.074 60,40

2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.000.000 2.000.000 100,00

3 Keuntungan - 791.926 39,60

4 R/C rasio 1,66

Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015

Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan Combine Harvester dapat mencapai 60 ha dalam per musim panennya, dan per tahun dapat mencapai antara 150-180 ha. Idealnya combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Dengan demikian penggunaan mesin panen combine harvester di Sukoharjo pada umumnya masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi, atau

33 penambahan mesim combine harvester masih memungkinkan di kalangan UPJA yang ada atau melalui penumbuhan UPJA baru.

3.2.3. Kelembagaan Pengembangan Alsintan Pada Lahan Pengembangan