• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

2. Gambaran Status Perkembangan Anak

Perkembangan adalah suatu proses yang terjadi secara simultan dengan pertumbuhan yang menghasilkan kualitas individu untuk berfungsi, yang dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar dari lingkungannya (Supartini, 2004). Perkembangan sosial anak prasekolah menurut Wong (2008) menjelaskan bahwa pada anak prasekolah sudah dapat berhubungan dengan orang yang tidak dikenal dengan mudah dan mentoleransi perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Dalam aspek kemandirian mereka mampu mengemukakan keinginan akan kemandirian dan melakukannya secara mandiri karena perkembangan fisik dan kognitifnya yang semakin halus. Pada usia 4 sampai 5 tahun mereka

hanya memerlukan sedikit bantuan, jika perlu, untuk berpakaian, makan atau ke toilet (Wong, 2008).

Hasil penelitian ini didapatkan dari total 117 anak yang dilakukan

screening perkembangan anak didapatkan 29 anak (24,5%) dengan status perkembangan meragukan. Dari 29 anak dengan perkembangan meragukan tersebut didapatkan 23 anak dengan keterlambatan pada aspek sosialisasi dan kemandirian, dan 6 anak dengan keterlambatan pada aspek perkembangan lainnya (pada aspek bicara bahasa dan gerak halus). Ini menandakan bahwa masih adanya keterlambatan perkembangan pada anak prasekolah (5 tahun) terutama pada aspek sosialisasi dan kemandirian.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wulandari (2016) bahwa jumlah sampel terbanyak adalah sampel perkembangan sosial yaitu perkembangan sosial tidak sesuai sebanyak 37 sampel (54,4%) dan perkembangan sosial sesuai sebanyak 31 sampel (45,6%). Hal ini menjelaskan bahwa aspek sosialisasi dan kemandirian masih menjadi aspek keterlambatan paling banyak dari pada aspek perkembangan anak lainnya. Keterlambatan pada aspek sosialisasi dan kemandirian sendiri dapat dipengaruhi beberapa hal, diantaranya pembiasaan dari orang tua anak.

Keterlambatan perkembangan pada aspek sosialisasi dan kemandirian ini bisa disebabkan oleh faktor pembiasaan orang tua pada anak, dimana dalam kegiatan sehari-hari anak selalu dibantu. Novita (2007) menjelaskan ada beberapa alasan yang menyebabkan

anak tidak mandiri adalah pertama adanya kekhawatiran yang berlebihan dari orang tua terhadap anaknya, misal orang tua melarang anaknya mandi sendiri karena khawatir kurang bersih, melarang anak makan sendiri karena khawatir makanan tumpah, kedua orang tua sering membatasi dan melarang anaknya berbuat sesuatu secara berlebihan, ketiga kasih sayang orang tua yang berlebihan terhadap anak sehingga mendorong si anak menjadi manja.

10 dari 17 responden ibu mengatakan bahwa mereka memang masih membiasakan untuk membantu anak dalam kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal mandi, memakai baju, makan, hingga mempersiapkan buku dan peralatan sekolah masih dilakukan oleh orang tua. Anak tidak diberikan kesempatan untuk mandiri dalam beraktivitas alasannya karena jika anak melakukannya sendiri akan terasa lebih lama dan kurang baik atau tidak rapi dalam mengerjakannya. Sehingga masih ditemukan anak yang belum mampu dan terbiasa untuk memakai pakaian sendiri, masih ada anak yang kesulitan dalam mengancingkan baju sendiri, dan anak masih enggan untuk ditinggal selama di sekolah Taman Kanak-kanak/Pendidikan Anak Usia Dini (TK/PAUD).

Selaras dengan teori perkembangan psikososial Erikson yang mengatakan pada anak prasekolah (3-6 tahun) masuk kedalam tahap inisiatif vs rasa bersalah dimana anak-anak mengeksplorasi dunia fisik dengan semua indera dan kekuatannya. Pada saat anak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan orang tua atau orang lain, dan

dibuat merasa bahwa aktivitas atau imajinasinya merupakan hal buruk dapat menimbulkan rasa bersalah pada anak (Wong, 2008). Kondisi seperti ini akan mendidik anak untuk tidak berani membuat keputusan (decission making) dalam kehidupannya sehari-hari (Novita, 2007). Sehingga ketika anak dibatasi atau apa yang dilakukannya dianggap tidak sesuai dan buruk, maka akan timbul keraguan dan rasa bersalah pada anak, yang pada akhirnya anak tidak berani dalam mengambil keputusan.

Penting untuk dilakukannya penilaian perkembangan anak adalah untuk mendeteksi keterlambatan sedini mungkin karena gangguan kemampuan belajar cenderung muncul sebagai akibat perkembangan terlambat, kecuali jika ada ciri-ciri fisik (misalnya down syndrome, mikrosefali). Semua anak dengan gangguan kemampuan belajar merupakan anak yang perkembangannya terlambat, tetapi belum tentu sebaliknya (Newell & Meadow, 2005). Iswidharmanjaya & Svatiningrum (2008) memaparkan salah satu penyebab anak takut bersekolah adalah karena adanya masalah kemandirian. Memperhatikan hal tersebut, oleh karena itu sangat diperlukan untuk mengetahui tata laksana yang baik dan efisien yang mudah dilakukan oleh orang tua anak untuk mengatasi keterlambatan perkembangan anak sebagai upaya pencegahan terhadap keterlambatan perkembangan anak lebih lanjut.

B. Analisis Bivariat

Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak umur 0-6 tahun agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal (Depkes RI, 2012). Kegiatan stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang yang menyeluruh dan terkoordinasi diselenggarakan dalam bentuk kemitraan atau kerjasama antara keluarga, dengan tenaga profesional (kesehatan, pendidikan dan sosial) akan meningkatkan tumbuh kembang anak usia dini dan kesiapan memasuki jenjang pendidikan formal (Kusbiantoro, 2015). Tindakan intervensi dini tersebut berupa stimulasi perkembangan terarah yang dilakukan secara intensif di rumah selama 2 minggu, yang diikuti dengan evaluasi hasil intervensi stimulasi perkembangan (Depkes RI, 2012).

Stimulasi memiliki peran penting bagi perkembangan anak. Anak yang banyak mendapat stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi (Soetjiningsih, 2005). Menurutnya stimulasi juga berfungsi sebagai penguat (reinforcement) bagi anak. Memberikan stimulasi yang berulang dan terus menerus pada setiap aspek perkembangan anak berarti telah memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Jafri & Ovari, 2015).

Stimulasi juga berperan bagi kemajuan perkembangan otak anak. Stimulasi dan pengalaman sensori yang diterima anak akan meningkatkan pembentukan hubungan antar sel-sel otak (sinapsis), tetapi hubungan ini tidak permanen (Irmawati et al, 2012). Paparan berbagai macam stimulasi

baik stimulasi suara, stimulasi penglihatan, maupun stimulasi dari indera yang lain, serta keadaan lingkungan yang baik, dibutuhkan untuk membentuk hubungan sel-sel di otak ini (Mustard, 2010). Berk (2012) menjelaskan stimulasi akan menentukan sel otak (neuron) mana yang akan terus membentuk sinapsis baru dan yang akan mengalami pemangkasan sinaptik (synaptic pruning).

Stimulasi penting bagi anak prasekolah erat kaitannya dengan perkembangan kognitif anak, dimana melalui teori perkembangan kognitif Piaget dalam Wong (2008) menjelaskan bahwa intelegensia pada anak memungkinkan individu melakukan adaptasi terhadap lingkungan sehingga meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, dan melalui perilakunya, individu membentuk dan mempertahankan keseimbangan dengan lingkungan. Jalan perkembangan intelektual sendiri bersifat maturasional dan tetap (Wong, 2008).

Stimulasi perkembangan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pada satu aspek perkembangan yaitu aspek sosialisasi dan kemandirian. Hal ini karena mempertimbangkan pada anak dengan masalah pada kemandirian yang akan berdampak anak menjadi ragu-ragu untuk mengembangkan kreativitasnya, dan ini akan membuat anak tidak berani membuat keputusan (decission making) dalam kehidupannya sehari-hari (Novita, 2007). Iswidharmanjaya & Svatiningrum (2008) memaparkan bahwa salah satu penyebab mengapa anak takut bersekolah adalah masalah kemandirian. Untuk itu penting dilakukan upaya pencegahan dalam menanggulangi hal tersebut terlebih pada anak prasekolah yang dimana

mereka harus mempersiapkan diri untuk selanjutnya menjalankan pendidikan formal.

Kegiatan dan cara stimulasi diambil dari pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak ditingkat pelayanan kesehatan dasar keluaran Depkes RI tahun 2012. Daftar kegiatan yang digunakan adalah stimulasi untuk kemampuan bersosialisasi dan kemandirian usia 60-72 bulan. Dari pedoman tersebut dirangkum kedalam modul stimulasi yang dibuat peneliti sebagai acuan dan pedoman bagi responden.

Beberapa kegiatan stimulasi yang dianjurkan adalah pertama melatih anak agar mampu berpakaian sendiri dengan mendorong anak agar berpakaian sendiri, seperti saat anak belum bisa mengancingkan baju sendiri anak diajarkan dan dilatih agar mampu melakukannya. Kedua melakukan kegiatan di luar seperti mengunjungi teman atau tetangga tanpa ditemani. Ketiga berkomunikasi dengan anak setiap harinya seperti berbicara tentang apa yang dirasakan anak. Keempat membantu dan memberi kesempatan anak untuk bergaul dengan teman-temannya lalu mengajari anak menggunakan kata-kata yang baik saat berbicara dengan teman, dan yang terakhir melatih anak untuk mematuhi peraturan dalam keluarga seperti membuat kesepakatan pada anak kapan ia harus bangun pagi, mandi sore, sembahyang, belajar dan kegiatan lainnya.

Pemberian stimulasi perkembangan pada penelitian ini dilakukan selama 2 minggu. Hal ini mengikuti tata laksana Depkes RI (2012) tentang intervensi dini pada anak dengan perkembangan meragukan bahwa dapat

dilakukan dengan memberikan stimulasi positif terarah sesuai dengan aspek keterlambatan perkembangan yang dialami yang dilakukan selama 2 minggu. Setelah intervensi dilakukan selama 2 minggu selanjutnya dievaluasi kembali dengan melakukan pemeriksaan perkembangan menggunakan KPSP. Stimulasi perkembangan dilakukan setiap hari dengan durasi minimal 15 menit. Hal ini mengacu pada Depkes RI (2005) dan juga dalam penelitian yang serupa oleh Susanty, Fadlyana, & Nataprawira (2014) tentang manfaat intervensi dini anak usia 6-12 bulan dengan kecurigaan penyimpangan perkembangan dimana intervensi disarankan tiga kali sehari selama 15-30 menit selama 2 minggu. Durasi tersebut dirasa cukup efektif sebagai intervensi untuk mengatasi keterlambatan perkembangan.

Setiap anak pasti akan mengalami perkembangan. Namun sesuai dengan prinsip perkembangan anak adalah setiap anak memiliki kecepatan (tempo) dan kualitas perkembangan yang berbeda (Syaodih, 2003). Karena itu kemajuan perkembangan pada anak terkadang tidak muncul sendiri tetapi perlu di stimulasi sebagai upaya pembelajaran dan latihan pada anak.

Berdasarkan pola perkembangan anak, Meggit (2006) memaparkan bahwa perkembangan mengikuti pola tertentu seperti dari sederhana ke kompleks, dari kepala hingga kaki, dari dalam ke luar, dan dari yang bersifat umum hingga ke spesifik. Syaodih (2003) menjelaskan lebih lanjut, perkembangan juga ditunjukan dengan perubahan yang bersifat sistematis, progresif dan berkesinambungan dimana perkembangan akan

dicapai karena adanya proses belajar, sehingga anak memperoleh pengalaman baru dan menimbulkan perilaku baru. Oleh karena itu pada anak, idealnya terjadi suatu proses pembelajaran yang intensif dengan memberikan stimulasi positif sehingga bisa mengoptimalkan perkembangan anak (Silawati, 2010).

Pemberian stimulasi yang dilakukan oleh orang tua anak adalah salah satu bentuk peran orang tua terhadap anak yaitu peran pengasuhan. Supartini (2004) menjelaskan bahwa pada budaya timur seperti di Indonesia, peran pengasuhan atau perawatan lebih banyak dipegang oleh istri atau ibu meskipun mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama. Memperhatikan hal tersebut, sehingga pada penelitian ini dipilihlah ibu dalam melaksanakan stimulasi perkembangan anak sebagai orang yang terdekat bagi anak. Selain itu pendekatan dengan konsep

family centered-care atau asuhan berpusat pada keluarga dapat menjadi sebuah pilihan yang tepat dan efektif. Hal tersebut karena asuhan keperawatan dengan pendekatan berfokus pada keluarga paling terbukti pada saat merawat anak, ini disebabkan oleh pengenalan bahwa keluarga merupakan pusat dalam kehidupan anak (Wong, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan adanya pengaruh stimulasi perkembangan anak yang diberikan terhadap nilai rerata status perkembangan anak. Rata-rata peningkatan nilai status perkembangan anak sebelum intervensi yaitu 1,47 dan setelah intervensi adalah 2,64. Dari kedua rata-rata proporsi hasil pengukuran mengalami perbedaan sebesar 1,17 artinya status perkembangan anak mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai significancy 0,000 (p-value < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara pemberian stimulasi terhadap peningkatan status perkembangan anak di wilayah kerja Puskesmas Pisangan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan pemberian stimulasi perkembangan anak dapat meningkatkan status perkembangan anak yang mengalami keterlambatan (status perkembangan meragukan). Hasil penelitian ini sangat sesuai dengan hasil hipotesis penelitian dimana terdapat pengaruh pemberian stimulasi perkembangan pada aspek sosialisasi dan kemandirian terhadap status perkembangan anak.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanty, Fadlyana, dan Nataprawira (2014), didapatkan hasil setelah intervensi kecurigaan penyimpangan perkembangan turun menjadi 12/32 setelah 2 minggu, dan 4/32 pada akhir intervensi (p<0,001). Samapun dengan hasil penelitian oleh Irmawati et al (2009) menunjukan bahwa evaluasi perkembangan setelah 3 bulan mengalami perbaikan baik pada kelompok stimulasi maupun pada kelompok kontrol. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Gultiano & King (2006) di Philipina membuktikan bahwa terjadi peningkatan perkembangan psikososial sebesar 6 – 11% pada anak usia 0-4 tahun yang dilakukan stimulasi selama 2 tahun.

Dokumen terkait