• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam dokumen Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko (Halaman 34-55)

4.1 Sejarah Desa Kemiren

Riset atau kajian sebuah wilayah pada mulanya harus mengindahkan anasir geohistoris jika ingin mencapai haluannya. Meskipun di Indonesia ilmu geografi secara tegas dikelompokkan dalam ilmu eksakta dan ilmu sejarah termasuk dalam ranah ilmu sosial humaniora, namun kenyataannya riset-riset ilmu sosial seringkali bersinggungan dengan unsur-unsur kajian wilayah. Menurut sejarawan terkemuka Dennis Lombard, berkat adanya tradisi yang panjang di Eropa, sejarawan di sana sudah terbiasa menggabungkan kedua disiplin ilmu tersebut; karena hal demikian itu terjadi dengan sendirinya (2000: 11). Oleh sebab itu kajian wilayah yang bersifat interdisipliner antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta menjadi mutlak dilakukan untuk mendapatkan hasil riset yang lebih komprehensif.

Membicarakan sejarah Desa Kemiren beserta puak Using yang menghuninya tentu harus pula memperhatikan sejarah Banyuwangi. Jika dilihat dari kurun waktu sejarahnya, terutama jika dimulai sejak berdirinya kerajaan Blambangan pada abad ke-13, maka sejarah masyarakat Banyuwangi telah berlangsung selama lebih dari tujuh abad. Keberadaan masyarakat Using Banyuwangi, yang salah satunya berada di wilayah Kemiren, tak bisa lepas dari riwayat masa silam Banyuwangi.

Beberapa abad lampau Banyuwangi merupakan daerah utama dan jantung kekuasaan kerajaan Blambangan. Yang patut untuk dicatat pula bahwa Blambangan adalah sebuah kerajaan yang keberadaannya semasa dengan kerajaan Majapahit yang berdiri pada paruh abad ke-13. Bahkan ketika Majapahit mengalami keruntuhan, kerajaan Blambangan tetap bertahan hingga kira-kira sampai dua abad lamanya sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa (Arifin, 1995: 1). Blambangan pula adalah wilayah yang paling liat bertahan terhadap usaha pengislaman dan juga serangan-serangan Mataram Islam untuk memperluas kekuasaan. Di akhir keruntuhan kerajaan ini, pada periode 1763-1813, Blambangan menjadi the contested frontier bagi berbagai bangsa - Jawa, Madura, Bali, Belanda, Inggris, Bugis, Mandar, Cina dan Melayu – yang bersaing

24

untuk memperebutkan hegemoni Blambangan (Margana, 2012: x). Ketika seluruh wilayah di Jawa telah jatuh ke tangan Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda, negeri

Brang Wetan ini menjadi wilayah terakhir di Jawa yang dengan susah payah ditaklukkan. Kejatuhan Blambangan menjadi titik mula berakhirnya dominasi Hindu-Bali dan digantikan dengan Islam serta kekuasaan Barat. Senjakala kerajaan Blambangan pada masa itu juga menandai semakin menurunnya peran orang Blambangan dan semakin meningkatnya dominasi etnis Jawa dan Madura di wilayah ini dalam bidang ekonomi dan politik.

Puak Blambangan pada masa itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Wong Using, diperkirakan berasal dari orang-orang Bali peranakan. Dalam studi tentang sejarah Ujung Timur Jawa, Margana mengungkapkan bahwa Wong Using merupakan peranakan Bali-Blambangan (Jawa) yang pada umumnya tidak pernah menginjakkan kaki di Bali dan secara kultural lebih dekat dengan Jawa daripada Bali (2012: 320-322). Para pemimpin Bali di Blambangan, pada masa pendudukannya atas Blambangan, tidak pernah mengakui mereka sebagai bagian dari kasta yang ada dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Hindu–Bali. Dalam perspektif masyarakat Hindu-Bali di Blambangan, mereka adalah Using yang berarti out of caste (tidak berkasta). Lebih lanjut Margana mengungkapkan bahwa munculnya istilah Using adalah bagian dari class exclusion yang dilakukan oleh masyarakat berkasta Hindu-Bali di Banyuwangi dan menjadi populer di kalangan para imigran Jawa dan Madura di Banyuwangi pada dekade kedua abad ke-20 (2012: 322).

Suku Using di Banyuwangi sekarang ini, yang merupakan sisa masyarakat Blambangan lama, menempati tak lebih 9 kecamatan dari 24 kecamatan di Banyuwangi. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi (Kota), Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng (Sari, 1994: 23). Desa-desa yang menjadi kantong-kantong kebudayaan Using dan tetap mempertahankan budaya, adat istiadat dan seni tradisional Using juga semakin berkurang dan mengecil.

Desa Kemiren adalah salah satu desa di Banyuwangi yang penduduknya masih memegang teguh adat dan budaya Using. Oleh karena itulah, pada tahun 1995 Kemiren ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sebagai desa wisata adat Using.

25

Kemiren, sebagai sebuah desa, baru terbentuk pada masa penjajahan Belanda. Namun demikian, cikal bakal penduduknya berasal dari sebuah desa tua di Banyuwangi yaitu desa Cungking. Desa Cungking terletak di sebelah timur Kemiren yang berjarak sekitar 4 km. Cungking disebut-sebut dalam naskah gancaran Babad Tawang Alun

sebagai tempat makam Wangsakarya, seorang guru dari Pangeran Macan Putih, Tawang Alun (Arifin, 1995: 106). Makam Wangsakarya atau yang dikenal juga dengan Ki Buyut Cungking saat ini menjadi salah satu situs sejarah yang dikeramatkan oleh masyarakat.

Meskipun tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah Kemiren, namun sejarah lisan mengenai asal-usul desa ini masih bisa dilacak karena adanya proses pewarisan yang turun-temurun. Asal-usul masyarakat Using Kemiren dari Desa Cungking ini diungkapkan oleh Djuhadi Timbul (66), salah satu tetua Desa Kemiren.

Asale wong Kemiren iku teko Cungking. Makane bengien akeh wong Cungking hang duwe sawah ning Kemiren. Ana gendingane pisan „panase latar cungking, ademe lurung Kemiren.”

“ Asalnya orang Kemiren itu dari Desa Cungking. Dahulu banyak orang Cungking yang memiliki sawah di Kemiren. (Sehingga) ada nyanyian pula yang syairnya berbunyi „panasnya halaman Cungking, sejuknya jalanan Kemiren (Timbul, wawancara 21 Juni 2013)

Lebih lanjut Timbul menyatakan bahwa penamaan Kemiren sebagai nama desa baru tersebut didasarkan atas keberadaan pohon kemiri dan duren (durian) yang banyak terdapat di wilayah tersebut ketika membuka hutan. Hingga saat ini keberadaan pohon kemiri dan durian sebagai penanda nama Kemiren masih bisa ditemukan dengan mudah di desa tersebut.

Pembukaan Desa Kemiren ini mengingatkan kita pada sumber-sumber sejarah tentang Jawa sebelum abad ke-19 yang biasa menggambarkan tempat pemukiman penduduk yang terkepung alas (hutan). Sebagai perbandingan kita bisa melihat dalam

Sri Tanjung, sebuah kidung indah tentang asal mula Banyuwangi, yang diciptakan pada sekitar abad ke -16 (Zoetmulder, 1994: 542-543). Sri Tanjung secara puitis

26

menggambarkan suasana di pertapaan Prangalas, yang dari namanya saja sudah bermakna simbolis “perang melawan hutan”.

Hubungan antara manusia dengan hutan ini penting disinggung karena relasi tersebut berpengaruh besar terhadap pola kehidupan dan budaya masyarakat Using Kemiren yang agraris. Hal ini bisa dilacak jejaknya dari adat istiadat serta bentuk-bentuk kesenian yang ada di Kemiren yang sebagian besar adalah perwujudan dari kedekatan orang Using Kemiren dengan hutan, sebagai representasi relasi antara manusia dengan alam.

Gambar 4. Peta Desa Kemiren (Sumber gambar: Panel Data Desa Kemiren 2013)

Gambar 5. Logo Kemiren yang dibuat tahun 2009 oleh Akhmad Abdul Tahrim S.Ag. (kepala desa). Pada logo ini Kemiren diartikan sebagai Kemroyok Mikul Rencana Nyoto, bersama-sama mengemban tugas mewujudkan cita-cita (Sumber gambar: Arsip Desa Kemiren).

27

4.2 Kondisi Geografis

Kemiren adalah sebuah desa kecil yang secara adminstratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Ditinjau dari letaknya dalam peta pulau Jawa, maka Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan pulau Bali yang dihubungkan dengan selat di sebelah timurnya. Dalam kepustakaan Belanda, wilayah Ujung Timur Jawa ini disebut dengan Java‟s Oosthoek, sementara orang Jawa menamainya sebagai negeri Brang Wetan. Menilik dari ranahnya yang demikian itu maka Banyuwangi adalah tempat pertama di pulau Jawa yang mendapat limpahan cahaya mentari. Maka tak heran jika pemerintah daerah setempat mengusung jargon Banyuwangi sebagai The Sunrise of Java, Sang Mentari Terbit Pulau Jawa.

Letak Banyuwangi yang berada di ujung timur Jawa itu menjadikan wilayah ini sebagai penghubung penting jalur transportasi antara Jawa dengan kawasan timur Indonesia melalui Bali. Jarak antara kota Banyuwangi dengan Surabaya (Ibukota Propinsi Jawa Timur) sekitar 210 km (jarak lurus). Sedangkan jarak antara Banyuwangi dengan Jakarta (Ibukota Indonesia) sekitar 875 km (jarak lurus). Untuk mencapai Banyuwangi ada dua jalur utama yang bisa ditempuh; jalur pertama dari Surabaya, sedangkan jalur kedua dari Bali. Dari Surabaya ke Banyuwangi bisa melalui dua jalur darat yaitu jalur selatan yang melewati Jember dan jalur utara yang melewati Situbondo. Jalur selatan bisa ditempuh dengan menggunakan bus atau kereta api, sedangkan jalur utara hanya bisa ditempuh dengan menggunakan bus dengan jarak tempuh sekitar 5-6 jam. Jalur transportasi yang lebih pendek jarak tempuhnya dari Surabaya ke Banyuwangi adalah menggunakan transportasi udara yang hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

Desa Kemiren berada sekitar 5 km arah barat dari pusat kota Banyuwangi. Desa dengan luas 177.052 hektar ini bukanlah desa yang jauh dari pusat ekonomi dan pemerintahan Banyuwangi. Jarak tempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor ke pusat kota hanya berkisar 10-15 menit perjalanan. Sementara itu jarak dengan pusat moda transportasi darat utama, yaitu stasiun kereta api dan terminal bus, juga relatif dekat. Stasiun kereta api Karangasem yang merupakan stasiun kereta api terdekat

28

dengan kota Banyuwangi hanya berjarak sekitar 2,5 km ke arah timur dari desa Kemiren. Terminal bus Brawijaya (Karangente) yang berada di pinggiran kota Banyuwangi berjarak sekitar 4 km dari desa ini.

Desa Kemiren adalah salah satu desa di Banyuwangi yang menjadi tempat bermukim masyarakat Using yang diyakini sebagai puak pribumi Banyuwangi. Desa ini terbagi atas dua dusun, yaitu Dusun Krajan di sisi barat desa dan Dusun Kedaleman di bagian timur desa. Dusun Krajan terdiri dari dua dukuh, yaitu Dukuh Tegalcampak dan Dukuh Putuk Pethung. Sementara itu di Dusun Kedaleman terdapat lima dukuh, yaitu Dukuh Kedaleman, Dukuh Siwuran, Dukuh Talun, Dukuh Sukosari dan Dukuh Jajangan. Desa ini terletak di kaki Pegunungan Ijen yang berada tepat di sebelah baratnya. Pegunungan Ijen sendiri terdiri dari beberapa puncak gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut. Gunung-gunung tersebut adalah Gunung Raung (3.332 m), Gunung Pendil (2.338 m), Gunung Suket (2.950 m) dan Gunung Merapi (2.800m). Meskipun berada di kaki pegunungan, namun desa ini berada tak jauh dari laut. Sejauh kurang lebih 6 km ke arah timur terbentang selat Bali, celah yang mempertemukan Laut Jawa dengan Samudera Hindia.

Dari pegunungan Ijen itu mengalir beberapa sungai, yang dua di antaranya melintasi wilayah Kemiren. Dua sungai yang mengalir di desa tersebut dan menjadi salah satu urat nadi kehidupan masyarakat desa adalah Sungai Sobo dan Sungai Gulung. Masyarakat setempat biasa menyebut kedua sungai ini sebagai Banyu Sobo dan Banyu

Gulung. Banyu Sobo mengalir di sebelah selatan desa sedangkan Banyu Gulung di sisi utara desa. Kedua sungai ini menjadi batas alam Desa Kemiren dengan Desa Olehsari di bagian selatan dan Desa Jambesari di sebelah utara.

Kondisi alam dan lingkungan yang sedemikian itu menjadikan Kemiren memiliki topografi yang bergelombang dan agak curam di beberapa bagian. Variasi ketinggian tempat di desa ini berkisar antara 100-140 mdl. Bandingkan dengan ketinggian tempat di kota Banyuwangi yang rata-rata hanya sekitar 10 mdl. Curah hujan di desa ini mencapai 2.060 mm dengan curah hujan terbanyak antara bulan November hingga Februari yang dikirim oleh muson barat laut. Suhu udara rata-rata setiap hari di Desa Kemiren berada pada kisaran 26-31°C dengan kelembaban 38%.

29

Sebagaimana halnya wilayah agraris pedesaan, hamparan luas sawah baik yang berteras maupun tidak terbentang di sebagian besar wilayah desa ini yang mencapai 105 ha. Pemanfaatan tanah dalam bidang pertanian di Desa Kemiren terbagi dalam tiga sistem budidaya. Sistem budidaya yang pertama adalah persawahan yang meliputi sawah irigasi teknis dan sawah irigasi setengah teknis yang menghasilkan panen dua hingga tiga kali dalam setahun. Luas tanah sawah irigasi teknis 18 ha, sedangkan tanah sawah irigasi setengah teknis seluas 87 ha. Sistem budidaya yang kedua adalah tegalan atau ladang kering yang diolah. Luas tanah yang dimanfaatkan sebagai tegalan ini 8,731 ha yang rata-rata menghasilkan komoditas pangan dengan masa panen sekali dalam setahun. Sistem budi daya yang ketiga adalah tanah pekarangan yang luasnya mencapai 21,520 ha. Tanah pekarangan ini seringkali tidak diperhitungkan sebagai salah satu sumber pangan masyarakat pedesaan. Padahal tanah pekarangan sangat penting bagi keseimbangan kehidupan pedesaan sebagai sel masyarakat karena langsung berada dalam jangkauannya dan terutama digunakan untuk konsumsi sendiri. Lahan pekarangan ini terletak berdekatan dengan rumah, mengelilingi dan meneduhi tempat kediaman dan menjadi bagian dari seluruh ruang alam pedesaan. Luas lahan pemukiman sendiri hanya sekitar 35,651 ha yang terpusat di bagian tengah desa yang memanjang dan terpusat di sekitar tepian jalan.

Gambar 6. Pintu gerbang masuk Desa Kemiren dari arah timur. Tampak di atas gerbang replika salah satu rumah khas Using yang berbentuk tikel balung (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

30

Lahan sawah, tegalan dan pekarangan di Kemiren itu menghasilkan beragam komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi, cabe, tomat, mentimun, buncis, terong, mangga, rambutan, durian, pisang, semangka, melon, nangka, kelapa, kopi, pinang dan kemiri. Dengan bentang alam dan ragam tanaman pangan yang sedemikian rupa itu, Kemiren mengingatkan kita pada gambaran orang-orang Barat akan negeri Jawa beberapa abad silam sebagai Mooi Indie, Hindia Jelita.

Gambar 7. Sungai Gulung (atas) dan Sungai Sobo (bawah) yang menjadi batas alam Desa Kemiren di sisi utara dan selatan desa. Kedua sungai yang mengalir dari Pegunungan Ijen ini merupakan sumber irigasi utama sawah-sawah di Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

4.3 Kondisi Demografis

Informasi tentang jumlah penduduk serta komposisi penduduk menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan dll. penting diketahui terutama untuk mengembangkan perencanaan pembangunan manusia, baik itu pembangunan ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan hal-hal yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Aspek demografis berkaitan erat dengan masalah kemiskinan yang dihadapi bangsa; seperti pertumbuhan penduduk, kualitas sumber daya manusia

31

(SDM) yang rendah, dan sempitnya kesempatan kerja yang merupakan akar permasalahan kemiskinan. Pengetahuan tentang aspek-aspek dan komponen demografi membantu para penentu kebijakan dan perencana program untuk dapat mengembangkan program pembangunan kependudukan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tepat sasaran.

Berdasarkan Instrumen Pendataan Profil Desa (IPPD) yang dikeluarkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012, penduduk Desa Kemiren per Desember 2012 berjumlah 2491 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 1185 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 1306 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun sebelumnya (2011) yang berjumlah 2479 jiwa, maka persentase perkembangan jumlah penduduk adalah 0,9 %.

Jumlah kepala keluarga di Kemiren per Desember 2012 sebanyak 1033. Persentase perkembangan jumlah kepala keluarga mencapai 0.9 %, dilihat dari perbandingan jumlah kepala keluarga pada tahun 2011 yang mencapai 1021 kepala keluarga. Sementara itu komposisi penduduk yang berusia di atas 56 tahun berjumlah 681 jiwa (27,33%), penduduk berusia 7-18 tahun berjumlah 461 jiwa (18,50%) dan penduduk berusia 18-56 tahun jumlahnya mencapai 1130 jiwa (45,36%).

Pertumbuhan penduduk di Desa Kemiren tergolong lambat dan rendah setiap tahunnya. Kesimpulan tersebut diambil dari data pada bulan November 1993 atau kurang lebih dua puluh tahun lalu, yang menyebutkan bahwa penduduknya berjumlah 2475 jiwa. Rendahnya laju pertambahan penduduk di Kemiren menurut Akhmad Tahrim (45), Kepala Desa Kemiren, salah satunya karena keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Disebutkan bahwa peserta vasektomi di Desa Kemiren sekitar 80-90 orang. Di samping itu faktor sosial ekonomi juga mempengaruhi persepsi masyarakat untuk tidak memiliki banyak anak.

Selain laju pertambahan penduduk secara alami yang tergolong rendah, perubahan penduduk karena mobilitas juga tidak banyak. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan kebiasaan penduduk untuk menikah dengan warga satu desa. Falsafah Jawa “mangan ora mangan sing penting kumpul” atau kalau dalam bahasa Usingnya

32

“madyang sing madyang hang penting kumpul” juga masih dipegang teguh oleh sebagian besar Wong Using termasuk penduduk Desa Kemiren.

Pekerjaan dalam bidang pertanian merupakan profesi utama masyarakat desa tersebut. Komposisi profesi masyarakat Kemiren terbesar; yaitu sebagai petani (573 orang) dan buruh tani (548 orang). Jenis pekerjaan lain yang menonjol adalah dalam bidang pertukangan, yaitu tukang batu/kayu sejumlah 248 orang. Sisanya PNS (20 orang), tukang ojek (14 orang), sopir (10 orang), anggota TNI (8 orang), pensiunan (7 orang), karyawan swasta (7 orang), pengusaha kecil-menengah (6 orang), montir (5 orang), pengrajin (3 orang), pembantu (2 orang), makelar (2 orang), karyawan pemerintah (2 orang), tukang cukur (2 orang), dukun (1 orang) dan anggota POLRI (1 orang).

Tingkat pendidikan di Desa Kemiren tergolong masih rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari IPPD Kemiren tahun 2012 yang menunjukkan bahwa penduduk usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah atau buta aksara sebesar 2% (25 orang), tidak tamat SD sebesar 10% (140 orang), tamat SD sebesar 18% (237 orang), tamat SMP sebesar 35% (475 orang), tamat SMA sebesar 33% (453 orang) dan yang tamat perguruan tinggi sebesar 2% (24 orang).

4.4 Sarana Prasarana

Di wilayah Desa Kemiren beberapa sarana dan prasarana yang menjadi penunjang utama pengembangan dan pembangunan desa terbagi dalam 10 sarana dan prasarana pokok yang meliputi transportasi, komunikasi dan informasi, sanitasi dan air bersih, kebersihan, peribadatan, olah raga, kesehatan, pendidikan, energi dan penerangan serta hiburan dan wisata

Kondisi sarana dan prasarana transportasi di Desa Kemiren yang berupa jalan relatif cukup baik. Jalan utama sepanjang 3 km yang menghubungkan desa ini dengan kota Banyuwangi berupa jalan aspal hotmix, sedangkan jalan-jalan kecil atau gang yang menjadi akses penghubung antar pemukiman penduduk sebagian besar berupa jalan

paving dan semen dalam kondisi yang cukup baik, meskipun terdapat kerusakan ringan di beberapa bagian. Pada akhir bulan Juli tahun 2013 dilakukan perbaikan jalan utama.

33

Hingga laporan ini dibuat, sedang dilakukan pembuatan saluran air (gorong-gorong) di sepanjang jalan utama desa untuk memperlancar aliran air pada saat hujan.

Jalan bagi masyarakat Kemiren tidak hanya berfungsi sebagai akses mobilitas masyarakat, namun juga memiliki fungsi kultural. Beberapa ritual adat, seperti Ider Bumi dan Tumpeng Sewu, menggunakan jalan sebagai panggung dan latar utama kegiatan tersebut.

Gambar 8. Tampak gambar atas memperlihatkan kondisi jalan utama di Desa Kemiren. Gambar bawah menggambarkan kondisi jalan kecil atau gang di wilayah pemukiman (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

Sementara itu, sarana transportasi umum di Desa Kemiren bisa dikatakan tidak ada. Dahulu angkutan umum yang biasa digunakan untuk mobilitas masyarakat Kemiren ke luar wilayahnya hanya berupa mobil pick up yang sebenarnya bukan sebagai transportasi angkutan manusia. Pick up itu hanya sampai di Sasak Perot, sebagai tempat pemberhentian terakhir, yang letaknya sekitar 2 km ke arah timur dari Kemiren. Dari

34

Sasak Perot ini orang Kemiren kemudian bisa memilih angkutan umum berupa colt

yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai lin untuk menuju wilayah lain di seputar kota Banyuwangi. Demikian sebaliknya, jika masyarakat Kemiren kembali ke desanya, mereka akan menggunakan sarana transportasi seperti itu lagi. Namun demikian, kini keberadaan transportasi umum di Kemiren sudah jarang ditemui atau bahkan tidak ada. Kepemilikan sepeda motor yang meluas di hampir semua warga Kemiren menjadikan angkutan umum tak lagi mendapatkan tempat sebagai sarana penunjang mobilitas masyarakat.

Dalam hal sarana dan prasarana komunikasi dan informasi di Kemiren tercatat ada 1065 unit televisi yang dimiliki oleh penduduk. Jika dibandingkan dengan jumlah kepala keluarga yang berjumlah 1033 maka bisa disimpulkan bahwa semua keluarga di Kemiren memiliki pesawat televisi. Jumlah pengguna jaringan Telkom tercatat ada 570 orang. Meskipun demikian, di desa ini tidak terdapat telepon umum. Warung internet (warnet) di Kemiren tercatat hanya ada satu buah.

Gambar 9. Satu-satunya warung internet (warnet) yang ada di Desa Kemiren yang terletak di pinggir jalan utama desa. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

Kebutuhan akan air bersih bagi penduduk Kemiren dipenuhi dengan keberadaan 25 mata air yang tersebar di seluruh desa. Selain itu terdapat pula sebuah sumur bor dan 57 unit sumur gali. Dengan adanya sekitar 89 unit prasarana yang memenuhi kebutuhan

35

air bersih masyarakat, bisa dikatakan bahwa kebutuhan masyarakat Desa Kemiren terhadap air bersih telah tercukupi dengan baik.

Sementara itu dalam hal sanitasi, masyarakat Kemiren secara umum kurang memiliki kesadaran akan pentingnya sanitasi lingkungan yang baik. Dari 1033 Kepala Keluarga yang ada di Kemiren, hanya terdapat 405 Kepala Keluarga yang memiliki jamban keluarga, sementara jumlah fasilitas MCK umum sebanyak 12 buah. Penggunaan sumber mata air dan sungai untuk kebutuhan MCK bagi warga Kemiren masih jamak dilakukan. Saat ini di Kemiren juga telah selesai dibangun 6 buah toilet berstandar internasional, atas bantuan pemerintah daerah, di rumah-rumah penduduk yang sering dijadikan homestay bagi para wisatawan. Pembangunan toilet tersebut dilakukan dalam upaya meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan yang menginap di rumah-rumah penduduk.

Gambar 10. Tampak toilet berstandar internasional yang ada di salah satu rumah penduduk di Desa Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

Berkaitan dengan sanitasi lingkungan adalah persoalan kebersihan. Di desa Kemiren terdapat 60 unit tong sampah yang tersebar di suluruh desa. Pola pembuangan sampah, sebagaimana lazimnya di pedesaan, adalah dengan cara dikubur di dalam tanah. Untuk menjaga kebersihan lingkungan, masyarakat Kemiren terbiasa dengan kegiatan kerja bakti yang diadakan secara berkala.

36

Dalam hal sarana peribadatan, karena masyarakat Kemiren hampir seratus persen beragama Islam, maka masjid dan mushola adalah satu-satunya sarana peribadatan yang ada di sana. Terdapat sebuah masjid di Kemiren yang letaknya di bagian tengah desa dan 10 mushola yang tersebar di seluruh desa.

Dalam dokumen Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko (Halaman 34-55)

Dokumen terkait