• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

KABUPATEN BANYUWANGI

PENGEMBANGAN PROGRAM DESA WISATA DAN EKOWISATA

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

DI DESA KEMIREN KABUPATEN BANYUWANGI

Tim Peneliti:

Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum.

drh. Arya Mahdi

Tri Mulyati, M.Pd.

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI

2013

(2)
(3)

iii

KATA PENGANTAR

Penelitian Bersumberdana APBD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 yang berjudul Pengembangan Program Desa Wisata dan Ekowisata Berbasis Partisipasi Masyarakatdi Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi ini terselenggara berkat kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuwangi dan Universitas PGRI Banyuwangi. Oleh karena itulah, apresiasi yang sebesar-besarnya disampaikan terhadap Pemerintahan Bupati Anas yang telah menggagas ide sekaligus mewujudkannya menjadi program kerja untuk 1) menggandeng perguruan tinggi lokal untuk berperan serta secara aktif dalam rangka penguatan kapasitas pembangunan daerah serta pencapaian target output dan outcome yang telah ditetapkan dalam RKPD Kabupaten Banyuwangi dan 2) mewadahi ide-ide kreatif dan inovatif di kalangan perguruan tinggi dalam mengatasi permasalahan pembangunan Banyuwangi yang telah diuji berdasarkan prosedur dan kaidah ilmiah.

Kerja-kerja penelitian ini juga bisa diselesaikan dengan paripurna karena masyarakat Kemiren, terutama para informan kunci dan peserta FGD, sangat kooperatif dan antusiastik dengan penelitian yang kami lakukan. Atas kesediaan mereka meluangkan waktunya untuk menjadi sumber data primer penelitian ini selama kurang lebih empat bulan, yaitu bulan Mei akhir hingga September dan atas keterbukaan serta keramahan sapa mereka yang membuat kami merasa nyaman dan tak merasa sebagai liyan (the others), kami haturkan terima kasih yang tulus.

Kemiren memang benar adalah desa yang eksotis dengan keragaman ekspresi budaya Using yang kental. Lingkungan fisik alamnya yang sangat mendukung sebagai lahan pertanian mengejawantah serangkaian budaya agraris dalam bentuk seni tari, seni musik, seni suara, seni peran, dan bahkan seni bangunan (arsitektur). Menjaga keutuhan warisan budaya tersebut di tengah derasnya arus globalisasi dan merancang program pariwisata yang memberikan manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi langsung kepada masyarakat pengusungnya merupakan tugas kita bersama. Kami di Universitas PGRI Banyuwangi merasa bersyukur mendapatkan kesempatan untuk ambil bagian dalam mewujudkan tugas mulia tersebut.

Banyuwangi, September 2013

(4)

iv

ABSTRAK

PENGEMBANGAN PROGRAM DESA WISATA DAN EKOWISATA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT DI DESA KEMIREN

KABUPATEN BANYUWANGI

Berkembangnya pembangunan pariwisata selain mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat, yakni secara ekonomi, sosial dan budaya, juga bisa menimbulkan dampak permasalahan bagi masyarakat jika pengembangannya tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik. Salah satu pendekatan yang dapat dipergunakan guna mengembangkan kegiatan pariwisata adalah konsep desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat. Berbeda dengan pariwisata konvensional, desa wisata dan ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, serta mendorong konservasi dan pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji aktifitas pengelolaan Kemiren sebagai desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat, 2) memetakan faktor pendukung dan penghambat pengembangan pariwisata berbasis partisipasi masyarakat, 3) mengkaji bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pariwisata, dan 4) merancang model atau strategi pengembangan desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian deskriptif kualitatif yang berlangsung sejak Mei hingga September 2013 ini menerapkan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mengumpulkan data, metode analisis interaktif untuk mengolah data, dan analisis kuantitatif SWOT untuk merumuskan model atau strategi pengembangan desa wisata dan ekowisata yang paling tepat bagi Desa Kemiren.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemiren memiliki 5 daya tarik wisata utama, yaitu seni tradisi, ritual adat, arsitektur tradisional, suasana alam pedesaan dan tradisi budidaya padi serta anjungan wisata. Aktifitas pengelolaan kelima daya tarik tersebut

dalam sebuah desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat telah berjalan, tetapi masih belum maksimal karena 14 faktor pendukung dan 10 faktor penghambat. Sementara itu terdapat 5 tipologi partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata dan ekowisata di Kemiren, yaitu partisipasi pasif, partisipasi dalam pemberian informasi, partisipasi dengan konsultasi, partisipasi untuk mendapatkan insentif materi, dan partisipasi fungsional. Hasil penilaian faktor internal dan eksternal (analisis kuantitatif SWOT) Desa Kemiren untuk pengembangan desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat secara keseluruhan dijabarkan dalam 15 strategi prioritas pengembangan.

(5)

v

DAFTAR ISI

Cover ……….………… i

Halaman Pengesahan..………....…... ii

Kata Pengantar ………...…. iii

Abstrak ………..…….. iv

Daftar Isi ……….…. v

Daftar Tabel ………...………. viii Daftar Gambar ………. ix

BAB I PENDAHULUAN ….………. ...………...……..… 1

1.1Latar Belakang ………...…. 1

1.2Rumusan Masalah ..………..………..…….5

1.3Tujuan Penelitian ……….…….….. 6

1.4Urgensi Penelitian ……….…………..…6

BAB II LANDASAN TEORI ….………..………..……. 7

2.1 Kerangka Pemikiran ……….….…. 7

2.1.1 Desa Wisata dan Ekowisata ………....……. 7

2.1.2 Partisipasi Masyarakat ………...……….. 8

2.2 Penelitian Terdahulu ………. 11

BAB III METODE PENELITIAN …….……… 14

3.1 Desain Penelitian ……….…. 14

3.2 Instrumen Penelitian ………...…….…. 14

(6)

vi

3.4 Data dan Sumber Data ……….…. 15

3.4.1 Data Primer ………..……….…. 15

3.4.2 Data Sekunder ……….……….…. 15

3.5 Teknik Pengumpulan Data ………….…………...……….….…. 16

3.6 Teknik Analisis Data ………..……….…. 16

3.7 Kerangka Penelitian ……….…. 21

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 23 4.1 Sejarah Desa Kemiren ………..……….………...23 4.2 Kondisi Geografis ………...………... 27

4.3 Kondisi Demografis .. ……….……... 30

4.4 Sarana Prasarana ……….…... 32

4.5 Sistem Pemerintahan ………... 37

4.6 Sistem Religi dan Kepercayaan ………..………... 40

BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN……… .44

5. 1 Potensi Sumberdaya Wisata di Desa Wisata Kemiren ………... 44

5.1.1 Seni Tradisional ………..………... 45 5.1.1.1 Gandrung ……….... 46 5.1.1.2 Barong ……….... 50

5.1.1.3 Angklung ……….... 57 5.1.1.4 Kuntulan ……….……….... 60 5.1.1.5 Burdah ……… 63 5.1.1.6 Gedhogan ……….………….. 64 5.1.1.7 Jaran Kencak ………... 66

(7)

vii

5.1.2 Ritual Adat ………...…... 69

5.1.2.1 Barong Ider Bumi ………..…………..70

5.1.2.2 Tumpeng Sewu ………...…. 71

5.1.3 Arsitektur Tradisional ………... 73

5.1.3.1 Rumah Tradisional Using ………...…………... 74

5.1.3.2 Paglak ………....75

5.1.3.3 Kiling ……….... 77

5.1.4 Suasana Alam pedesaan dan Tradisi Budidaya Padi ……...…..78

5.1.5. Anjungan Wisata Using dan Kolam Renang...83

5.2. Aktifitas Pengelolaan Desa Wisata dan Ekowisata di Kemiren...86

5.2.1 Peran dan Keterlibatan Pemerintah...87

5.2.2 Peran dan Keterlibatan Pihak Swasta...89

5.2.3 Peran dan Keterlibatan Masyarakat (Partisipasi Masyarakat)...93

5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata dan Desa Wisata Kemiren...104

5.3.1 Lingkungan Internal...104

5.3.2 Lingkungan Eksternal...109

5.3.3 Analisis Strategi...113

BAB VI Kesimpulan dan Saran...123

6.1 Kesimpulan...123

6.2 Saran...124

DAFTAR PUSTAKA...128

(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan

Pariwisata...5

Tabel 2. Model Analisis SWOT...18

Tabel 3.Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pariwisata di Desa Kemiren...112

Tabel 4.Faktor-faktor Strategi Internal Berdasarkan Analisis SWOT...114

Tabel 5.Faktor-faktor Strategi Eksternal Berdasarkan Analisis SWOT...115

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Analisis Interaktif...17

Gambar 2. Kuadran SWOT...20

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian...22

Gambar 4. Peta Desa Kemiren...26

Gambar 5. Logo kemiren...26

Gambar 6. Pintu gerbang masuk Desa Kemiren...29

Gambar 7. Sungai Gulung dan Sungai Sobo...30

Gambar 8. Kondisi Jalan Desa (Jalan Utama dan Gang)...33

Gambar 9. Satu-satunya Warnet di Kemiren...34

Gambar 10. Toilet Berstandar Internasional...35

Gambar 11. Anjungan Wisata Using...37

Gambar 12. Makam Buyut Cili yang dikeramatkan...41

Gambar 13. Suasana Nyekar dan Selamatan di Makam Buyut Cili...43

Gambar 14. Para Penari Jejer Gandrung...46

Gambar 15. Rombongan Penari Gandrung pada tahun 1910...47

Gambar 16. Rumah sekaligus sanggar seni gandrung “Sopo Ngiro” milik Gandrung Temu...49

Gambar 17. Barong Kemiren...51

Gambar 18. Barong Ider Bumi...53

Gambar 19. Pentas Barong Tuwek “Ttresno Budoyo”...54

Gambar 20. Kelompok Barong Cilik...56

Gambar 21. Angklung Paglak di Kemiren...60

Gambar 22. Para Pemusik Seni Kuntulan...61

Gambar 23. Para Penari Kuntulan...62

(10)

x

Gambar 25. Kelompok Seni Burdah Desa Kemiren...64

Gambar 26. Seni Gedhogan di Desa Kemiren...65

Gambar 27. Jaran Kencak dalam Ider Bumi...66

Gambar 28. Suasana Mocoan Lontar Yusuf...68

Gambar 29. Prosesi Ider Bumi...70

Gambar 30. Menggelar Sajian untuk Tumpeng Sewu...73

Gambar 31. Nasi Tumpeng dan Pecel Pitik...73

Gambar 32. Sketsa Bentuk Rumah Adat Using...75

Gambar 33. Paglak di salah satu sawah di Kemiren...76

Gambar 34. Kiling milik salah satu petani di Kemiren...77

Gambar 35. Pemandangan sawah di Kemiren sesaat menjelang panen...79

Gambar 36. Selametan Dawuan...82

Gambar 37. Selametan mengawali labuh nyingkal...82

Gambar 38. Labuh Tandur...82

Gambar 39. Anjungan Wisata Using...84

Gambar 40. Pak Sahe di dalam Rumahnya yang difungsikan sebagai museum benda-benda kuno...85

Gambar 41. Bantuan dana PNPM Mandiri Pariwisata...89

Gambar 42. Iklan acara Cultural Trip to Banyuwangi...90

Gambar 43. Tampak salah satu wartawan media nasional sedang melakukan liputan di Kemiren...91

Gambar 44. Paglak dan seperangkat alat musik angklung yang merupakan bantuan dari BPNB...93

(11)

xi

salah satu warga... 99

Gambar 46. Salah satu warung makan di Kemiren yang menerima

pesanan kuliner khas Kemiren...99

Gambar 47. Salah satu homestay di Kemiren...100

Gambar 48. Partisipasi para orang tua di Kemiren dalam

penyelenggaraan Ider Bumi...103

Gambar 49. Kuadran SWOT Posisi Pengembangan

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pada dasarnya merupakan proses kemajuan masyarakat berdasarkan kekuatan sendiri. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan sangat tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya. Ukuran keberhasilan pembangunan dewasa ini bukan lagi didasarkan semata-mata atas indikator yang bersifat konvensional seperti kenaikan tingkat pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Indikator baru dalam menilai tingkat keberhasilan pembangunan suatu bangsa juga didasarkan atas keberhasilan negara dalam menciptakan civil society yang menyaratkan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan pada masa lalu menempatkan pemerintah seolah-olah sebagai agen tunggal pembangunan, sedang masyarakat desa dianggap tidak memiliki kemampuan dan masih tertinggal (Wastutiningsih, 2004: 12). Pembangunan yang bersifat top down tersebut menyebabkan masyarakat desa seringkali diposisikan sebagai objek bukan sebagai subjek pembangunan. Menempatkan masyarakat desa sebagai subjek pembanguan merupakan hal yang penting. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah pedesaan dengan jumlah penduduk yang amat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dan menggali sumber-sumber produksi dan potensi desa untuk menghela kemajuan bangsa.

(13)

2

berpotensi dan memiliki sumber-sumber produksi sebagai pilar utamanya dan masyarakat desa sebagai motor penggeraknya.

Salah satu pengembangan wisata alternatif dalam dunia kepariwisataan adalah desa wisata. Konsep desa wisata merupakan salah satu bentuk pembangunan wilayah pedesaan yang berkelanjutan dalam bidang pariwisata. Pengembangan menjadi desa wisata didasarkan atas potensi dan ciri khas yang dimiliki masing-masing desa, antara lain: flora, fauna, rumah adat, pemandangan alam, iklim, makanan tradisional, kerajinan tangan, seni tradisional, dan sebagainya (Sutiyono, 2007). Pemanfaatan potensi desa dalam pengembangan desa wisata harus didasarkan pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat desa itu sendiri untuk menjadi desa wisata yang produktif.

Berkembangnya pembangunan pariwisata selain mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya, juga bisa menimbulkan dampak merugikan jika pengembangannya tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik. Berbeda dengan pariwisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, serta mendorong pembangunan berkelanjutan (Hakim, 2004). Secara garis besar, ekowisata merupakan konsep wisata ramah lingkungan yang mampu meminimalisir dampak negatif terhadap alam, sosial, budaya dan kehidupan masyarakat lokal. Konsep desa wisata dan ekowisata memiliki kesamaan mendasar dalam hal konservasi kawasan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.

Pariwisata merupakan salah satu potensi unggulan dan basis pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata menjadi salah satu prioritas unggulan pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten Banyuwangi tahun 2010-2015. Visi Pembangunan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi yang dituangkan dalam Renstra SKPD Pariwisata sebagai Penjabaran RPJMD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2015 adalah Mewujudkan Banyuwangi sebagai Daerah Tujuan Wisata Nasional yang Berbasis Kebudayaan dan Potensi Alam

(14)

3

Sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang berlimpah, Banyuwangi memiliki potensi yang besar dalam bidang pariwisata. Kawasan wisata Kawah Ijen, Sukamade dan Plengkung adalah sentral Wilayah Pengembangan Pariwisata di Banyuwangi yang terkenal dengan sebutan Segitiga Berlian (Triangle Diamond). Ketiga tempat tersebut menjadi titik sentral yang menghubungkan tempat-tempat pariwisata satu dengan lainnya di Banyuwangi.

Dalam rangka pengembangan pembangunan di bidang pariwisata, salah satu hal yang terus dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi adalah upaya pengembangan program desa wisata dan ekowisata di desa-desa dan kawasan yang potensial. Dalam hal potensi desa wisata, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan penilaian kepada Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu di antara 9 kabupaten di Jawa Timur yang potensi desa wisatanya layak untuk dikembangkan. Beberapa desa wisata potensial di Banyuwangi di antaranya: Desa Kemiren, Desa Sukamade, Desa Sarongan dan desa-desa di kawasan wisata Plengkung.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kemiren dengan pertimbangan desa tersebut sejak tahun 1995 telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur menjadi kawasan wisata desa adat Using (Kompas, 2011). Selama rentang waktu hampir 15 tahun sejak penetapannya menjadi kawasan desa wisata, di samping keberhasilan, tentu ada banyak masalah yang dihadapi, utamanya dalam partisipasi masyarakat.

(15)

4

Sebagai desa wisata potensial di Banyuwangi, Desa Kemiren telah banyak menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara, meskipun sayangnya, tidak ada data statistik kunjungan wisatawan ke desa ini yang bisa dipakai sebagai rujukan untuk menilai tingkat kedatangan wisatawan. Selain itu, desa ini juga menarik para peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan riset dalam berbagai disiplin ilmu, terutama yang berkaitan dengan seni tradisi dan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Kemiren memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan, yang tentu saja harus berimbas pada kesejahteraan masyarakatnya.

Sebagaimana halnya desa-desa di Dunia Ketiga atau negara berkembang, Desa Kemiren tentunya mengalami problematika dan hambatan yang hampir sama dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya dengan pembangunan di bidang pariwisata. Waisboard (2003) menyebutkan faktor kendala dalam komunikasi pembangunan di negara berkembang, salah satunya karena perbedaan pemahaman tentang partisipasi. Berbagai kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan seringkali menunjukkan ketidakseragaman pemahaman tentang partisipasi masyarakat yang tentu saja akan berdampak pada implementasinya di masyarakat. Ada yang memaknai partisipasi sebagai proses yang harus dilalui dalam pembangunan, sementara di sisi lain ada yang beranggapan bahwa partisipasi merupakan tujuan dari pembangunan.

(16)

5

Jenis Hambatan Faktor-Faktor Penghambat Hambatan

Operasional

(1) pengelolaan pariwisata yang terpusat, (2) koordinasi yang buruk dan (3) informasi yang tidak memadai

Hambatan Struktural (1) profesionalitas yang buruk, (2) jumlah tenaga ahli yang tidak memadai, (3) dominasi kelompok elite, (4) sistem hukum yang tidak memadai, (5) sumberdaya manusia yang tidak terlatih dan (6) biaya partisipasi masyarakat yang relatif tinggi dan sumberdaya keuangan yang tidak memadai.

Hambatan Kultural (1) terbatasnya kapasitas masyarakat bawah dan (2) apatis serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat lokal

Tabel 1. Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata (Tosun dalam Dogra, 2012)

Keberlangsungan program desa wisata beserta operasionalnya, yang menjadi salah satu wujud pelaksanaan program pemerintah dalam pembangunan bidang pariwisata, tidak lepas dari dukungan penuh masyarakatnya melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat desa. Kesenjangan yang terjadi antara program pemerintah dengan tingkat partisipasi masyarakat bisa menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaaan program. Oleh karena itu, rancangan penelitian yang mengkaji pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat ini menarik dan perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja aktivitas pengelolaan Kemiren sebagai desa wisata dan ekowisata terkait dengan partisipasi masyarakat?

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di Desa Kemiren?

3. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat Desa Kemiren dalam pengembangan program desa wisata dan ekowisata?

(17)

6

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji aktivitas pengelolaan Kemiren sebagai desa wisata dan ekowisata terkait dengan partisipasi masyarakat.

2. Memetakan faktor pendukung dan penghambat pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di Desa Kemiren.

3. Mengkaji bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kemiren sebagai desa wisata dan ekowisata.

4. Merancang model pengembangan desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di Desa Kemiren

1.4 Urgensi Penelitian

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menetapkan bahwa pembangunan tahunan daerah, sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), diarahkan pada pencapaian tujuan utama yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat, guna “Mewujudkan Banyuwangi Lebih Baik Melalui Peningkatan Produktifitas Pertanian, Pariwisata & UMKM”.

Berdasarkan arah kebijakan pembangunan Kabupaten Banyuwangi seperti yang tersebut di atas, maka penelitian ini memiliki urgensi dalam hal:

1. Memperkuat program pembangunan di wilayah pedesaan khususnya melalui pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat.

(18)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1Kerangka Pemikiran

2.1.1 Desa Wisata dan Ekowisata

Perkembangan pariwisata, sejalan dengan dinamika yang berkembang, telah merambah berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, village tourism dan ecotourism, yang merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan (Sastrayudha, 2010: 11). Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata dan ekowisata untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dalam bidang pariwisata.

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993: 2-3). Ramuan utama desa wisata diwujudkan dalam gaya dan kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian juga dipengaruhi keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah.

(19)

8

Prinsip utama ekowisata menurut Choy (dalam Sastrayudha 2010: 3) adalah meliputi : (1) Lingkungan ekowisata harus bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu, (2) Masyarakat ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi langsung kepada masyarakat setempat, (3) Pendidikan dan pengalaman ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya yang terkait, sambil berolah pengalaman yang mengesankan, (4) Keberlanjutan ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi dan lingkungan tempat kegiatan, tidak merusak, tidak menurunkan mutu, baik jangka pendek dan jangka panjang, (5) Manajemen ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang bersifat menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam dan budaya yang terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata, sambil menerapkan cara mengelola yang terbaik untuk menjamin kelangsungan hidup ekonominya.

2.1.2Partisipasi Masyarakat

Partisipasi sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara umum dan luas. Konsep sederhana mengenai partisipasi adalah bagaimana masyarakat bersama-sama mengerjakan suatu proses, sesuai dengan fungsi masing-masing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 381) partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan (keikutsertaan).

Partisipasi menurut Brownlea A (dalam Soedibyo, 2005) berarti melibatkan diri atau dibolehkan terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan atau menghasilkan suatu penghargaan atau evaluasi penghargaan, atau menjadi salah satu anggota dari sejumlah orang yang dimintai pendapatnya mengenai suatu hal.

(20)

9

Menurut ahli ekonomi, Mubyarto (dalam Demartoto, 2009), partisipasi secara umum berarti kesediaan untuk membantu keberhasilan suatu program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Berdasarkan pada tingkatan organisasi partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Partisipasi yang terorganisasikan, yaitu partisipasi yang terjadi bila suatu struktur

organisasi dan seperangkat tata kerja dikembangkan atau dalam proses persiapan. b. Partisipasi tidak terorganisasikan, yaitu partisipasi yang terjadi karena peristiwa

temporer seperti bencana alam dan kebakaran.

Partisipasi masyarakat lokal tidak hanya berupa partisipasi individu, tetapi juga berupa partisipasi kelompok. Menurut Brandon (dalam Demartoto, 2009) salah satu strategi partisipasi adalah dengan mempromosikan bentuk partisipasi pada dua tingkatan yaitu secara individu dan organisasi (kelompok), karena mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan lebih mudah jika mereka berpartisipasi melalui organisasi yang jelas.

Menurut Bryant dan White (dalam Kuncoro (1995), ada dua macam partisipasi yaitu partisipasi horizontal yaitu antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan (kelompok) dan partisipasi vertikal yaitu antara bawahan dan atasan.

Sedangkan motivasi seseorang dalam mengikuti proyek/program pembangunan dipengaruhi oleh motivasi sosial dan motivasi ekonomi. Motivasi sosial berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat, sedangkan motivasi ekonomi berkenaan adanya kesempatan ekonomi yang dimanfaatkan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan (Slamet dalam Kuncoro, 1995).

(21)

10

Pendekatan partisipasi yang dapat dilakukan yaitu pendidikan, pendekatan bagi hasil, serta partisipasi dalam pembuatan keputusan dan skema perkembangan yang kompatibel disekitar kawasan ekowisata (Brandon dalam Demartoto, 2009).

Sementara itu, berkaitan dengan tipologi partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pariwisata, Pretty (dalam Aref, 2011) membaginya dalam 7 tipe partisipasi.

 Partisipasi pasif, yaitu yang bercirikan 1) partisipasi masyarakat terbatas pada diberitahu mengenai apa yang akan terjadi, 2) tanggapan masyarakat tidak digubris, dan 3) informasi dimiliki oleh segelintir orang saja.

 Partisipasi dalam pemberian informasi, yaitu yang bercirikan 1) partisipasi masyarakat terbatas pada pemberian informasi sebagai respon terhadap kuesioner, survey, dan sebagainya yang dirancang oleh pihak luar dan 2) hasil penelitian tidak diumumkan kepada masyarakat.

 Partisipasi dengan konsultasi, yaitu yang bercirikan 1) partisipasi masyarakat melibatkan konsultasi dengan masyarakat lokal, dan 2) pandangan masyarakat selama proses tersebut mungkin saja diperhatikan, tapi tidak ada kewajiban untuk itu.

 Partisipasi untuk mendapatkan insentif materi, yaitu yang bercirikan 1) masyarakat berpartisipasi dengan memberikan sumberdaya (misalnya tenaga kerja) untuk mendapatkan makanan, uang tunai, atau insentif material lainnya, 2) Para petani bisa saja menyediakan lahan dan tenaga kerja, namun tidak terlibat dalam eksperimentasi atau proses pembelajaran, dan 3) yang seperti ini disebut partisipasi, tapi masyarakat tak punya hak untuk memperpanjang aktivitas saat insentifnya dihentikan.

(22)

11

 Partisipasi interaktif, yaitu yang bercirikan 1) masyarakat berpartisipasi dalam melakukan analisis bersama, pengembangan rencana aksi dan pembuatan atau penguatan institusi lokal, 2) partisipasi dipandang sebagai suatu hak dan tak hanya sebagai alat mencapai tujuan proyek, 3) partisipasi jenis ini memiliki kecenderungan untuk melibatkan metodologi interdisipliner yang mencari perspektif ganda dan memanfaatkan proses pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, dan 4) kelompok lokal mengontrol pembuatan keputusan lokal dan menentukan cara memanfaatkan sumberdaya sehingga mendapatkan hak untuk meneruskan struktur atau praktik.

 Mobilisasi diri, yaitu yang bercirikan 1) masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif yang terpisah dari institusi luar atau perubahan sistem, 2) mereka menjalin kontak dengan institusi luar untuk mendapatkan saran dan sumberdaya, tapi tetap mempertahankan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya, dan 3) mobilisasi diri dan aksi kolektif bisa atau tidak bisa mempersoalkan distribusi kekayaan dan kekuasaan yang sebelumnya tidak adil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bilamana masyarakat dilibatkan dalam proses pengembangan tujuan wisata dari perancangan hingga pemeliharaan, hasil terbaik akan muncul dan ketika mereka dilibatkan hanya dalam sharing informasi dan konsultasi, maka hasilnya akan minim. Perencanaan pariwisata yang efektif mensyaratkan keterlibatan masyarakat untuk mengantisipasi pengaruh buruk dan menghubungkan keuntungan- keuntungan yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata (Pretty dalam Aref, 2011).

2.2 Penelitian Terdahulu

1. Hasil penelitian Kusmayadi dan Taviprawati (1999) berjudul Aspek Masyarakat dan Faktor Lingkungan Dalam Pengembangan Daerah Tujuan Wisata Alam dan

Ekologi (Tinjauan Atas Rencana Pengembangan Daerah Tujuan Wisata Gunung

(23)

12

dalam menata pariwisata berkelanjutan sangat diharapkan keterlibatannya dalam mengembangkan pariwisata. Sehingga pengembangan pariwisata yang berfalsafahkan kelestarian sumber daya alam harus dimulai, direncanakan dan dilaksanakan oleh mereka.

Di sisi lain, pembangunan pariwisata saat ini telah menimbulkan dampak negatif yang tidak hanya merugikan masyarakat di sekitar kawasan wisata, melainkan lebih luas cakupannya. Dampak negatif yang dapat dirasakan antara lain (1) adanya pergeseran nilai-nilai budaya dan adat istiadat tradisional (yang sebenarnya merupakan daya tarik wisata) bagi pengembangan wisata budaya (2) terjadinya pengrusakan lingkungan oleh masyarakat sekitar, sebagai akibat dari kesenjangan distribusi pendapatan parisiwata dan pendatang yang tidak menyadari arti pentingnya kelestarian lingkungan dan (3) berkurangnya keanekaragaman hayati (flora dan fauna) sebagai akibat dari pemanfaatan dan eksploitasi yang berlebihan.

Lebih lanjut Kusmayadi dan Taviprawati mengatakan bahwa dalam menata wilayah yang akan dijadikan sebagai objek wisata ekologi dan atau wisata alam terbuka, partisipasi masyarakatlah yang harus ditumbuhkan terlebih dulu. Mereka harus benar-benar menyadari dan memahami arti penting ekosistem bagi kelangsungan hidup mereka sekarang dan generasi yang akan datang melalui pengembangan pariwisata.

(24)

13

melaksanakan tindakan pencegahan terhadap kriminalitas dan tindakan-tindakan lain yang merugikan pariwisata.

Lebih lanjut Soedibyo dan Habibie mengatakan bahwa pendekatan pembangunan penduduk adalah suatu pendekatan yang menganggap bahwa titik sentral dari segala pembangunan adalah manusia. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek dari pembangunan sehingga seharusnya penduduklah yang menentukan apa dan bagaimana pembangunan dilaksanakan. Untuk mencapai sasaran pembangunan tesebut maka faktor pendidikan harus merupakan prioritas utama.

3. Hasil penelitian Abdillah dan Hani (2004) berjudul Studi Hubungan Antara Faktor Komunikasi, Kepemimpinan, Pendidikan Terhadap Partisipasi

Masyarakat Dalam pengembangan Ekowisata di Desa Wisata Candirejo

(25)

14

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain yang dipergunakan dalam penelitian ini bersandarkan pada pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya data yang dikumpulkan bukan merupakan angka-angka, namun data tersebut diperoleh dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realitas empirik mengenai pengembangan program desa wisata dan ekowisata di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi terkait partisipasi masyarakat secara rinci, mendalam dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif (Moeleong, 2004:131)

3.2 Instrumen Penelitian

(26)

15

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi.

3.4 Data dan Sumber Data

3.4.1 Data Primer

Data primer penelitian ini diperoleh langsung dari tempat penelitian melalui wawancara, pengamatan dan observasi partisipatif. Peneliti menggunakan data ini untuk mengetahui informasi langsung tentang pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di lokasi penelitian.

Untuk mendapatkan informasi dari sumber data primer, terutama yang menguasai tentang persoalan pengembangan program desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat serta berbagai informasi yang relevan, maka diperlukan informan-informan yang benar-benar mengetahui persoalan tersebut secara mendalam. Penentuan informan atau subyek penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

(27)

16

Laroswangi), Harsono (Ketua RW/tokoh masyarakat) Haidy (Seniman Musik sekaligus Ketua Paguyuban Tholek Kemiren), dan Andi Supandi (Pemilik Warung Angklung).

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan dan sumber sumber lain seperti dokumen resmi instansi pemerintah, majalah, buletin, publikasi, hasil studi dan sebagainya. Data sekunder ini selanjutnya digunakan oleh peneliti untuk memperkuat penemuan dan melengkapi hasil informasi pada data primer.

.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun cara-cara pengumpulan data dapat diperinci sebagai berikut: (1) Observasi, yakni cara yang dipergunakan peneliti untuk melihat dan mengetahui aktivitas pengelolaan desa wisata dan ekowisata dengan memberdayakan masyarakat desa di wilayahnya. (2) Wawancara, yakni cara yang dipergunakan peneliti untuk mengungkap bagaimanakah para subjek penelitian memberi makna terhadap aktivitas pengelolaan desa wisata dan ekowisata di wilayahnya. (3) Dokumentasi, yakni cara yang dipergunakan peneliti untuk meramu dan menempatkan terminologi dan sumber-sumber teori dalam penelitian ini yaitu teori yang menyangkut pemberdayaan dan partisipasi masyarakat pedesaan dalam bidang pariwisata.

3.6 Teknis Analisis Data

(28)

17

cara menyimpulkan data ganda yang diperoleh melalui tiga cara: (1) memperpanjang waktu observasi di lapangan dengan tujuan untuk mencocokkan data yang telah ditulis dengan data lapangan, (2) mencocokkan data yang telah ditulis dengan bertanya kembali kepada informan, dan (3) mencocokkan data yang telah ditulis dengan sumber pustaka.

Miles dan Huberman dalam Serikit (2009: 46-48) menyatakan bahwa terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi dalam suatu analisis data yaitu; reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan dan verifikasi.

Berikut adalah gambar yang memperlihatkan proses siklus interaktif yang saling terkait dan terus berlangsung selama penelitian di antara ketiga tahapan di atas:

Gambar 1. Model Analisis Interaktif (Miles dan Huberman, dalam Serikit, 2009: 48)

Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan berbagai rekomendasi guna menghasilkan model atau strategi yang tepat bagi pengembangan kawasan desa wisata Kemiren. Tenik SWOT yakni dengan mencari faktor-faktor Kekuatan (Strenght), Kelemahan (Weakness), Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat) dari Desa Kemiren yang kemudian dianalisis sedemikian rupa yang hasilnya dijabarkan secara

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan-Kesimpulan:

(29)

18

deskriptif dan digunakan untuk menentukan langkah-langkah serta model pengembangan desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di Desa Kemiren.

Dari pemetaan dan pengelolaan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman diperoleh suatu strategi untuk menentukan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Deskripsi SWOT yang dimaksud ditunjukkan dalam diagram tabel berikut ini:

FAKTOR

Tabel 2. Model Analisis SWOT Albert Humhprey (Rangkut, 2006 dalam Utami, 2012: 40)

(30)

19

faktor strategi eksternal dan faktor strategi internal yang ditentukan dengan cara sebagai berikut (Rangkuti, 2006 dalam Untari, 2009: 49):

1. Menyusun faktor-faktor kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman dalam kolom 1.

2. Masing-masing faktor dalam kolom 2 diberi bobot mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pengembangan pariwisata di desa wisata Kemiren.

3. Menghitung rating dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (buruk) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap pengembangan ekowisata dan desa wisata berbasis partisipasi masyarakat di desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi.

4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (sangat baik) sampai dengan 1,0 (di bawah rata-rata).

5. Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 sehingga diperoleh total skor pembobotan yang menunjukkan bagaimana unit analisis bereaksi terhadap faktor-faktor strategis baik eksternal maupun internalnya.

Sementara untuk mengetahui posisi pengembangan pariwisata di Desa Kemiren pada kuadran SWOT dilakukan dengan cara mencari selisih total skor kekuatan (S) dan total skor kelemahan (W) serta selisih total skor peluang (O) dan total skor ancaman (T). Secara ringkas hal tersebut dirumuskan sebagai berikut:

(31)

20

OPPORTUNITY

STRENGTH WEAKNESS

THREATH KUADRAN III

KUADRAN IV

KUADRAN I

KUADRAN II

x

y

Gambar 2. Kuadran SWOT

Berdasarkan kuadran SWOT tersebut di atas terdapat empat rekomendasi strategi yang meliputi:

1. Kudran I menandakan posisi yang kuat dan berpeluang. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah progresif; artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantab sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan, dan meraih kemjuan secara maksimal. 2. Kuadran II menandakan posisi yang kuat, tetapi menghadapi tantangan yang

besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah diversifikasi strategi. Kondisi organisasi yang mantab, tetapi menghadapi tantangan berat akan menghambat putaran roda organisasi bila hanya bertumpu pada strategi sebelumnya. Oleh karena itulah, upaya memperbanyak ragam strategi taktis harus diambil.

(32)

21

sebelumnya untuk lebih mudah menangkap peluang yang ada sekaligus untuk memperbaiki kinerja organisasi.

4. Kuadran IV menandakan posisi lemah dengan ancaman atau tantangan yang besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah bertahan; artinya kondisi internal organisasi berada pada pilihan yang dilematis. Oleh sebab itulah, organisasi disarankan agar menggunakan strategi bertahan untuk mengendalikan kinerja internal agar tidak semakin terpuruk. Strategi ini dipertahankan sambil terus melakukan upaya pembenahan diri.

3.7 Kerangka Penelitian

(33)

22

(34)

23

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Desa Kemiren

Riset atau kajian sebuah wilayah pada mulanya harus mengindahkan anasir geohistoris jika ingin mencapai haluannya. Meskipun di Indonesia ilmu geografi secara tegas dikelompokkan dalam ilmu eksakta dan ilmu sejarah termasuk dalam ranah ilmu sosial humaniora, namun kenyataannya riset-riset ilmu sosial seringkali bersinggungan dengan unsur-unsur kajian wilayah. Menurut sejarawan terkemuka Dennis Lombard, berkat adanya tradisi yang panjang di Eropa, sejarawan di sana sudah terbiasa menggabungkan kedua disiplin ilmu tersebut; karena hal demikian itu terjadi dengan sendirinya (2000: 11). Oleh sebab itu kajian wilayah yang bersifat interdisipliner antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta menjadi mutlak dilakukan untuk mendapatkan hasil riset yang lebih komprehensif.

Membicarakan sejarah Desa Kemiren beserta puak Using yang menghuninya tentu harus pula memperhatikan sejarah Banyuwangi. Jika dilihat dari kurun waktu sejarahnya, terutama jika dimulai sejak berdirinya kerajaan Blambangan pada abad ke-13, maka sejarah masyarakat Banyuwangi telah berlangsung selama lebih dari tujuh abad. Keberadaan masyarakat Using Banyuwangi, yang salah satunya berada di wilayah Kemiren, tak bisa lepas dari riwayat masa silam Banyuwangi.

(35)

24

untuk memperebutkan hegemoni Blambangan (Margana, 2012: x). Ketika seluruh wilayah di Jawa telah jatuh ke tangan Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda, negeri

Brang Wetan ini menjadi wilayah terakhir di Jawa yang dengan susah payah ditaklukkan. Kejatuhan Blambangan menjadi titik mula berakhirnya dominasi Hindu-Bali dan digantikan dengan Islam serta kekuasaan Barat. Senjakala kerajaan Blambangan pada masa itu juga menandai semakin menurunnya peran orang Blambangan dan semakin meningkatnya dominasi etnis Jawa dan Madura di wilayah ini dalam bidang ekonomi dan politik.

Puak Blambangan pada masa itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Wong Using, diperkirakan berasal dari orang-orang Bali peranakan. Dalam studi tentang sejarah Ujung Timur Jawa, Margana mengungkapkan bahwa Wong Using merupakan peranakan Bali-Blambangan (Jawa) yang pada umumnya tidak pernah menginjakkan kaki di Bali dan secara kultural lebih dekat dengan Jawa daripada Bali (2012: 320-322). Para pemimpin Bali di Blambangan, pada masa pendudukannya atas Blambangan, tidak pernah mengakui mereka sebagai bagian dari kasta yang ada dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Hindu–Bali. Dalam perspektif masyarakat Hindu-Bali di Blambangan, mereka adalah Using yang berarti out of caste (tidak berkasta). Lebih lanjut Margana mengungkapkan bahwa munculnya istilah Using adalah bagian dari class exclusion yang dilakukan oleh masyarakat berkasta Hindu-Bali di Banyuwangi dan menjadi populer di kalangan para imigran Jawa dan Madura di Banyuwangi pada dekade kedua abad ke-20 (2012: 322).

Suku Using di Banyuwangi sekarang ini, yang merupakan sisa masyarakat Blambangan lama, menempati tak lebih 9 kecamatan dari 24 kecamatan di Banyuwangi. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi (Kota), Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng (Sari, 1994: 23). Desa-desa yang menjadi kantong-kantong kebudayaan Using dan tetap mempertahankan budaya, adat istiadat dan seni tradisional Using juga semakin berkurang dan mengecil.

(36)

25

Kemiren, sebagai sebuah desa, baru terbentuk pada masa penjajahan Belanda. Namun demikian, cikal bakal penduduknya berasal dari sebuah desa tua di Banyuwangi yaitu desa Cungking. Desa Cungking terletak di sebelah timur Kemiren yang berjarak sekitar 4 km. Cungking disebut-sebut dalam naskah gancaran Babad Tawang Alun

sebagai tempat makam Wangsakarya, seorang guru dari Pangeran Macan Putih, Tawang Alun (Arifin, 1995: 106). Makam Wangsakarya atau yang dikenal juga dengan Ki Buyut Cungking saat ini menjadi salah satu situs sejarah yang dikeramatkan oleh masyarakat.

Meskipun tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah Kemiren, namun sejarah lisan mengenai asal-usul desa ini masih bisa dilacak karena adanya proses pewarisan yang turun-temurun. Asal-usul masyarakat Using Kemiren dari Desa Cungking ini diungkapkan oleh Djuhadi Timbul (66), salah satu tetua Desa Kemiren.

Asale wong Kemiren iku teko Cungking. Makane bengien akeh wong Cungking hang duwe sawah ning Kemiren. Ana gendingane pisan „panase latar cungking,

ademe lurung Kemiren.”

“ Asalnya orang Kemiren itu dari Desa Cungking. Dahulu banyak orang Cungking yang memiliki sawah di Kemiren. (Sehingga) ada nyanyian pula yang syairnya berbunyi „panasnya halaman Cungking, sejuknya jalanan Kemiren (Timbul, wawancara 21 Juni 2013)

Lebih lanjut Timbul menyatakan bahwa penamaan Kemiren sebagai nama desa baru tersebut didasarkan atas keberadaan pohon kemiri dan duren (durian) yang banyak terdapat di wilayah tersebut ketika membuka hutan. Hingga saat ini keberadaan pohon kemiri dan durian sebagai penanda nama Kemiren masih bisa ditemukan dengan mudah di desa tersebut.

Pembukaan Desa Kemiren ini mengingatkan kita pada sumber-sumber sejarah tentang Jawa sebelum abad ke-19 yang biasa menggambarkan tempat pemukiman penduduk yang terkepung alas (hutan). Sebagai perbandingan kita bisa melihat dalam

(37)

26

menggambarkan suasana di pertapaan Prangalas, yang dari namanya saja sudah bermakna simbolis “perang melawan hutan”.

Hubungan antara manusia dengan hutan ini penting disinggung karena relasi tersebut berpengaruh besar terhadap pola kehidupan dan budaya masyarakat Using Kemiren yang agraris. Hal ini bisa dilacak jejaknya dari adat istiadat serta bentuk-bentuk kesenian yang ada di Kemiren yang sebagian besar adalah perwujudan dari kedekatan orang Using Kemiren dengan hutan, sebagai representasi relasi antara manusia dengan alam.

Gambar 4. Peta Desa Kemiren (Sumber gambar: Panel Data Desa Kemiren 2013)

(38)

27

4.2 Kondisi Geografis

Kemiren adalah sebuah desa kecil yang secara adminstratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Ditinjau dari letaknya dalam peta pulau Jawa, maka Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan pulau Bali yang dihubungkan dengan selat di sebelah timurnya. Dalam kepustakaan Belanda, wilayah Ujung Timur Jawa ini disebut dengan Java‟s Oosthoek, sementara orang Jawa menamainya sebagai negeri Brang Wetan. Menilik dari ranahnya yang demikian itu maka Banyuwangi adalah tempat pertama di pulau Jawa yang mendapat limpahan cahaya mentari. Maka tak heran jika pemerintah daerah setempat mengusung jargon Banyuwangi sebagai The Sunrise of Java, Sang Mentari Terbit Pulau Jawa.

Letak Banyuwangi yang berada di ujung timur Jawa itu menjadikan wilayah ini sebagai penghubung penting jalur transportasi antara Jawa dengan kawasan timur Indonesia melalui Bali. Jarak antara kota Banyuwangi dengan Surabaya (Ibukota Propinsi Jawa Timur) sekitar 210 km (jarak lurus). Sedangkan jarak antara Banyuwangi dengan Jakarta (Ibukota Indonesia) sekitar 875 km (jarak lurus). Untuk mencapai Banyuwangi ada dua jalur utama yang bisa ditempuh; jalur pertama dari Surabaya, sedangkan jalur kedua dari Bali. Dari Surabaya ke Banyuwangi bisa melalui dua jalur darat yaitu jalur selatan yang melewati Jember dan jalur utara yang melewati Situbondo. Jalur selatan bisa ditempuh dengan menggunakan bus atau kereta api, sedangkan jalur utara hanya bisa ditempuh dengan menggunakan bus dengan jarak tempuh sekitar 5-6 jam. Jalur transportasi yang lebih pendek jarak tempuhnya dari Surabaya ke Banyuwangi adalah menggunakan transportasi udara yang hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

(39)

28

dengan kota Banyuwangi hanya berjarak sekitar 2,5 km ke arah timur dari desa Kemiren. Terminal bus Brawijaya (Karangente) yang berada di pinggiran kota Banyuwangi berjarak sekitar 4 km dari desa ini.

Desa Kemiren adalah salah satu desa di Banyuwangi yang menjadi tempat bermukim masyarakat Using yang diyakini sebagai puak pribumi Banyuwangi. Desa ini terbagi atas dua dusun, yaitu Dusun Krajan di sisi barat desa dan Dusun Kedaleman di bagian timur desa. Dusun Krajan terdiri dari dua dukuh, yaitu Dukuh Tegalcampak dan Dukuh Putuk Pethung. Sementara itu di Dusun Kedaleman terdapat lima dukuh, yaitu Dukuh Kedaleman, Dukuh Siwuran, Dukuh Talun, Dukuh Sukosari dan Dukuh Jajangan. Desa ini terletak di kaki Pegunungan Ijen yang berada tepat di sebelah baratnya. Pegunungan Ijen sendiri terdiri dari beberapa puncak gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut. Gunung-gunung tersebut adalah Gunung Raung (3.332 m), Gunung Pendil (2.338 m), Gunung Suket (2.950 m) dan Gunung Merapi (2.800m). Meskipun berada di kaki pegunungan, namun desa ini berada tak jauh dari laut. Sejauh kurang lebih 6 km ke arah timur terbentang selat Bali, celah yang mempertemukan Laut Jawa dengan Samudera Hindia.

Dari pegunungan Ijen itu mengalir beberapa sungai, yang dua di antaranya melintasi wilayah Kemiren. Dua sungai yang mengalir di desa tersebut dan menjadi salah satu urat nadi kehidupan masyarakat desa adalah Sungai Sobo dan Sungai Gulung. Masyarakat setempat biasa menyebut kedua sungai ini sebagai Banyu Sobo dan Banyu

Gulung. Banyu Sobo mengalir di sebelah selatan desa sedangkan Banyu Gulung di sisi utara desa. Kedua sungai ini menjadi batas alam Desa Kemiren dengan Desa Olehsari di bagian selatan dan Desa Jambesari di sebelah utara.

(40)

29

Sebagaimana halnya wilayah agraris pedesaan, hamparan luas sawah baik yang berteras maupun tidak terbentang di sebagian besar wilayah desa ini yang mencapai 105 ha. Pemanfaatan tanah dalam bidang pertanian di Desa Kemiren terbagi dalam tiga sistem budidaya. Sistem budidaya yang pertama adalah persawahan yang meliputi sawah irigasi teknis dan sawah irigasi setengah teknis yang menghasilkan panen dua hingga tiga kali dalam setahun. Luas tanah sawah irigasi teknis 18 ha, sedangkan tanah sawah irigasi setengah teknis seluas 87 ha. Sistem budidaya yang kedua adalah tegalan atau ladang kering yang diolah. Luas tanah yang dimanfaatkan sebagai tegalan ini 8,731 ha yang rata-rata menghasilkan komoditas pangan dengan masa panen sekali dalam setahun. Sistem budi daya yang ketiga adalah tanah pekarangan yang luasnya mencapai 21,520 ha. Tanah pekarangan ini seringkali tidak diperhitungkan sebagai salah satu sumber pangan masyarakat pedesaan. Padahal tanah pekarangan sangat penting bagi keseimbangan kehidupan pedesaan sebagai sel masyarakat karena langsung berada dalam jangkauannya dan terutama digunakan untuk konsumsi sendiri. Lahan pekarangan ini terletak berdekatan dengan rumah, mengelilingi dan meneduhi tempat kediaman dan menjadi bagian dari seluruh ruang alam pedesaan. Luas lahan pemukiman sendiri hanya sekitar 35,651 ha yang terpusat di bagian tengah desa yang memanjang dan terpusat di sekitar tepian jalan.

(41)

30

Lahan sawah, tegalan dan pekarangan di Kemiren itu menghasilkan beragam komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi, cabe, tomat, mentimun, buncis, terong, mangga, rambutan, durian, pisang, semangka, melon, nangka, kelapa, kopi, pinang dan kemiri. Dengan bentang alam dan ragam tanaman pangan yang sedemikian rupa itu, Kemiren mengingatkan kita pada gambaran orang-orang Barat akan negeri Jawa beberapa abad silam sebagai Mooi Indie, Hindia Jelita.

Gambar 7. Sungai Gulung (atas) dan Sungai Sobo (bawah) yang menjadi batas alam Desa Kemiren di sisi utara dan selatan desa. Kedua sungai yang mengalir dari Pegunungan Ijen ini merupakan sumber irigasi utama sawah-sawah di Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

4.3 Kondisi Demografis

(42)

31

(SDM) yang rendah, dan sempitnya kesempatan kerja yang merupakan akar permasalahan kemiskinan. Pengetahuan tentang aspek-aspek dan komponen demografi membantu para penentu kebijakan dan perencana program untuk dapat mengembangkan program pembangunan kependudukan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tepat sasaran.

Berdasarkan Instrumen Pendataan Profil Desa (IPPD) yang dikeluarkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012, penduduk Desa Kemiren per Desember 2012 berjumlah 2491 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 1185 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 1306 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun sebelumnya (2011) yang berjumlah 2479 jiwa, maka persentase perkembangan jumlah penduduk adalah 0,9 %.

Jumlah kepala keluarga di Kemiren per Desember 2012 sebanyak 1033. Persentase perkembangan jumlah kepala keluarga mencapai 0.9 %, dilihat dari perbandingan jumlah kepala keluarga pada tahun 2011 yang mencapai 1021 kepala keluarga. Sementara itu komposisi penduduk yang berusia di atas 56 tahun berjumlah 681 jiwa (27,33%), penduduk berusia 7-18 tahun berjumlah 461 jiwa (18,50%) dan penduduk berusia 18-56 tahun jumlahnya mencapai 1130 jiwa (45,36%).

Pertumbuhan penduduk di Desa Kemiren tergolong lambat dan rendah setiap tahunnya. Kesimpulan tersebut diambil dari data pada bulan November 1993 atau kurang lebih dua puluh tahun lalu, yang menyebutkan bahwa penduduknya berjumlah 2475 jiwa. Rendahnya laju pertambahan penduduk di Kemiren menurut Akhmad Tahrim (45), Kepala Desa Kemiren, salah satunya karena keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Disebutkan bahwa peserta vasektomi di Desa Kemiren sekitar 80-90 orang. Di samping itu faktor sosial ekonomi juga mempengaruhi persepsi masyarakat untuk tidak memiliki banyak anak.

(43)

32

“madyang sing madyang hang penting kumpul” juga masih dipegang teguh oleh sebagian besar Wong Using termasuk penduduk Desa Kemiren.

Pekerjaan dalam bidang pertanian merupakan profesi utama masyarakat desa tersebut. Komposisi profesi masyarakat Kemiren terbesar; yaitu sebagai petani (573 orang) dan buruh tani (548 orang). Jenis pekerjaan lain yang menonjol adalah dalam bidang pertukangan, yaitu tukang batu/kayu sejumlah 248 orang. Sisanya PNS (20 orang), tukang ojek (14 orang), sopir (10 orang), anggota TNI (8 orang), pensiunan (7 orang), karyawan swasta (7 orang), pengusaha kecil-menengah (6 orang), montir (5 orang), pengrajin (3 orang), pembantu (2 orang), makelar (2 orang), karyawan pemerintah (2 orang), tukang cukur (2 orang), dukun (1 orang) dan anggota POLRI (1 orang).

Tingkat pendidikan di Desa Kemiren tergolong masih rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari IPPD Kemiren tahun 2012 yang menunjukkan bahwa penduduk usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah atau buta aksara sebesar 2% (25 orang), tidak tamat SD sebesar 10% (140 orang), tamat SD sebesar 18% (237 orang), tamat SMP sebesar 35% (475 orang), tamat SMA sebesar 33% (453 orang) dan yang tamat perguruan tinggi sebesar 2% (24 orang).

4.4 Sarana Prasarana

Di wilayah Desa Kemiren beberapa sarana dan prasarana yang menjadi penunjang utama pengembangan dan pembangunan desa terbagi dalam 10 sarana dan prasarana pokok yang meliputi transportasi, komunikasi dan informasi, sanitasi dan air bersih, kebersihan, peribadatan, olah raga, kesehatan, pendidikan, energi dan penerangan serta hiburan dan wisata

Kondisi sarana dan prasarana transportasi di Desa Kemiren yang berupa jalan relatif cukup baik. Jalan utama sepanjang 3 km yang menghubungkan desa ini dengan kota Banyuwangi berupa jalan aspal hotmix, sedangkan jalan-jalan kecil atau gang yang menjadi akses penghubung antar pemukiman penduduk sebagian besar berupa jalan

(44)

33

Hingga laporan ini dibuat, sedang dilakukan pembuatan saluran air (gorong-gorong) di sepanjang jalan utama desa untuk memperlancar aliran air pada saat hujan.

Jalan bagi masyarakat Kemiren tidak hanya berfungsi sebagai akses mobilitas masyarakat, namun juga memiliki fungsi kultural. Beberapa ritual adat, seperti Ider Bumi dan Tumpeng Sewu, menggunakan jalan sebagai panggung dan latar utama kegiatan tersebut.

Gambar 8. Tampak gambar atas memperlihatkan kondisi jalan utama di Desa Kemiren. Gambar bawah menggambarkan kondisi jalan kecil atau gang di wilayah pemukiman (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

(45)

34

Sasak Perot ini orang Kemiren kemudian bisa memilih angkutan umum berupa colt

yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai lin untuk menuju wilayah lain di seputar kota Banyuwangi. Demikian sebaliknya, jika masyarakat Kemiren kembali ke desanya, mereka akan menggunakan sarana transportasi seperti itu lagi. Namun demikian, kini keberadaan transportasi umum di Kemiren sudah jarang ditemui atau bahkan tidak ada. Kepemilikan sepeda motor yang meluas di hampir semua warga Kemiren menjadikan angkutan umum tak lagi mendapatkan tempat sebagai sarana penunjang mobilitas masyarakat.

Dalam hal sarana dan prasarana komunikasi dan informasi di Kemiren tercatat ada 1065 unit televisi yang dimiliki oleh penduduk. Jika dibandingkan dengan jumlah kepala keluarga yang berjumlah 1033 maka bisa disimpulkan bahwa semua keluarga di Kemiren memiliki pesawat televisi. Jumlah pengguna jaringan Telkom tercatat ada 570 orang. Meskipun demikian, di desa ini tidak terdapat telepon umum. Warung internet (warnet) di Kemiren tercatat hanya ada satu buah.

Gambar 9. Satu-satunya warung internet (warnet) yang ada di Desa Kemiren yang terletak di pinggir jalan utama desa. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

(46)

35

air bersih masyarakat, bisa dikatakan bahwa kebutuhan masyarakat Desa Kemiren terhadap air bersih telah tercukupi dengan baik.

Sementara itu dalam hal sanitasi, masyarakat Kemiren secara umum kurang memiliki kesadaran akan pentingnya sanitasi lingkungan yang baik. Dari 1033 Kepala Keluarga yang ada di Kemiren, hanya terdapat 405 Kepala Keluarga yang memiliki jamban keluarga, sementara jumlah fasilitas MCK umum sebanyak 12 buah. Penggunaan sumber mata air dan sungai untuk kebutuhan MCK bagi warga Kemiren masih jamak dilakukan. Saat ini di Kemiren juga telah selesai dibangun 6 buah toilet berstandar internasional, atas bantuan pemerintah daerah, di rumah-rumah penduduk yang sering dijadikan homestay bagi para wisatawan. Pembangunan toilet tersebut dilakukan dalam upaya meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan yang menginap di rumah-rumah penduduk.

Gambar 10. Tampak toilet berstandar internasional yang ada di salah satu rumah penduduk di Desa Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

(47)

36

Dalam hal sarana peribadatan, karena masyarakat Kemiren hampir seratus persen beragama Islam, maka masjid dan mushola adalah satu-satunya sarana peribadatan yang ada di sana. Terdapat sebuah masjid di Kemiren yang letaknya di bagian tengah desa dan 10 mushola yang tersebar di seluruh desa.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan olah raga, terdapat 5 buah prasarana olahraga di desa ini, yang meliputi 1 lapangan bulutangkis, 2 meja pingpong dan 2 lapangan bola voli. Sementara untuk fasilitas kesehatan, terdapat 1 puskesmas pembantu, 1 tempat praktek dokter dan 1 rumah bersalin. Sarana kesehatan yang meliputi tenaga medis, tenaga paramedis dan tenaga kesehatan terlatih juga terdapat di Kemiren. Terdapat satu orang dokter umum, satu orang bidan dan satu orang dukun bersalin serta 20 orang kader kesehatan.

Prasarana dan sarana pendidikan yang ada di Kemiren meliputi 1 gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 1 gedung TK, 2 gedung SD dan 1 perpustakaan desa. PAUD Sayu Wiwit rata-rata menampung sekitar 20 anak, TK Kartini menampung 50 anak, sedangkan SD 1 dan SD 2 Kemiren masing-masing mampu menampung 60-80 peserta didik. Perpustakaan Desa Kemiren sendiri menempati salah satu ruang yang ada di Kantor Desa Kemiren.

Kebutuhan terhadap prasarana energi dan penerangan di desa Kemiren, salah satunya, telah dipenuhi dengan adanya listrik PLN. Jumlah kepala keluarga yang tercatat sebagai pengguna listrik PLN di Kemiren tercatat 735 KK.

Prasarana penting lainnya yang ada di Kemiren adalah prasarana hiburan dan wisata. Di Kemiren terdapat 1 buah obyek wisata buatan berupa Anjungan Wisata Using atau yang lebih dikenal luas dengan nama WO (Wisata Osing). Anjungan Wisata Osing ini diresmikan tahun 1995 dengan tujuan utama sebagai miniatur kebudayaan masyarakat Using. Di dalam areal wisata ini terdapat kolam renang yang airnya bersumber dari salah satu mata air yang ada di Kemiren. Terdapat 5 buah wisma di anjungan wisata ini sebagai tempat menginap para wisatawan. Selain menggunakan wisma di anjungan wisata tersebut, para wisatawan bisa juga menginap di homestay

(48)

37

berjumlah sekitar 20 buah, para wisatawan lebih bisa merasakan kultur dan tradisi masyarakat Using yang sesungguhnya.

Gambar 11. Anjungan Wisata Using yang diresmikan penggunaannya sejak tahun 1995. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

4.5 Sistem Pemerintahan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, disebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa bukanlah merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa menurut Pasal 206 UU No.32 tahun 2004 adalah:

(49)

38

2. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.

3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Struktur organisasi pemerintahan formal di Desa Kemiren dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa Kemiren adalah pucuk pimpinan tertinggi dalam menangani urusan Desa Kemiren. Saat penelitian ini dilaksanakan (Mei-September 2013) yang menjabat sebagai Kepala Desa Kemiren adalah Akhmad Abdul Tahrim, S.Ag (45). Meskipun sebutan kepada seorang kepala desa seharusnya Bapak Kepala Desa atau

Bapak Kades, namun masyarakat Kemiren terbiasa menyematkan sebutan kepada seorang kepala desa (laki-laki) sebagai Pak Lurah. Padahal seharusnya penyebutan nama

Lurah lebih tepat jika disematkan kepada seorang kepala kelurahan bukan kepala desa. Hal ini memang jamak terjadi terutama di Jawa yang memiliki struktur pemerintahan tingkat paling bawah dibedakan atas desa dan kelurahan. Secara sederhana perbedaan desa dan kelurahan juga bisa dilihat dari mekanisme pemilihan kepala desa atau kepala kelurahan dan status kepegawaiannya. Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pemilu Desa yang diadakan setiap enam tahun sekali dan tidak diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan kepala kelurahan dipilih oleh Bupati dan berstatus sebagai PNS.

(50)

39

Kepala dusun dan sekretaris desa di Kemiren, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bertanggung jawab langsung kepada kepala desa. Sedangkan kepala urusan, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bertanggung jawab kepada sekretaris desa. Di Kemiren terdapat dua dusun, yakni Dusun Kedaleman dan Dusun Krajan. Dusun Kedaleman terletak di bagian timur sedangkan Dusun Krajan terletak di bagian barat Desa Kemiren. Di wilayah Dusun Kedaleman terdapat lima dukuh, yaitu Kedaleman, Siwuran, Talun, Sukosari dan Jajangan. Sementara di Dusun Krajan terdapat dua dukuh, yaitu Tegalcampak dan Putuk Pethung.

Selain kepala desa beserta staf pemerintahan desa, di Kemiren terdapat juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kedudukan BPD ini sejajar dengan pemerintahan desa dan merupakan mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pasal 34 PP No.72 Tahun 2005, BPD bersama kepala desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Kepala Desa Kemiren mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD, mengajukan Rancangan Peraturan Desa, menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD, menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Desa mengenai APBDes untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, mengkordinasikan pembangunan desa secara partisipatif, mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(51)

40

4.6 Sistem Religi dan Kepercayaan

Berdasarkan Instrumen Pendataan Profil Desa 2012, hampir semua penduduk Desa Kemiren beragama Islam (24.850). Sisanya sejumlah 6 orang beragama Katholik. Sementara itu dalam Panel Data Desa Kemiren yang memuat ASTA GATRA tercatat bahwa penduduk desa tersebut sebagian besar beragama Islam dan ada pula yang menganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yaitu Purwa Ayu Marga Utama (PAMU). Menurut Suprapti, dkk., (1995: 35) pada sekitar tahun 1990-an di Kemiren terdapat organisasi spiritual yaitu Sapto Darmo dan PAMU yang keduanya merupakan organisasi aliran Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kini keberadaan kedua kelompok tersebut telah menghilang dan kalaupun ada sudah tak terorganisir lagi dan hanya terbatas pada orang-orang tua saja.

Dengan keberadaan pemeluk agama Islam yang merupakan mayoritas di desa ini, maka tempat ibadah yang ada di Kemiren hanya terdiri atas masjid dan langgar. Di Kemiren terdapat sebuah masjid, yang terletak di dusun Krajan, dan 8 buah langgar yang tersebar di seluruh Kemiren. Masjid di Kemiren selain sebagai tempat pelaksanaan ibadah salat berjamaah, berfungsi juga sebagai ruang makro pelaksanaan tradisi religi seperti Suroan (tahun baru Islam), Isra‟ Mi‟raj, Nuzulul Qur‟an, Maulud Nabi, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.

Meskipun Islam merupakan agama formal terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Kemiren, namun kepercayaan akan adanya makhluk halus, roh dan segala hal yang bersifat gaib dari benda-benda atau alam tetap dipegang teguh oleh mereka. Hal tersebut terwujud dalam bentuk ritual selamatan, laku pemberian sesaji dan penghormatan kepada cikal bakal atau danyang desa. Kepercayaan yang sinkretik antara Islam dengan kepercayaan akan roh-roh halus tersebut dikenal dalam sistem keyakinan Agami Jawi

(Koentjaraningrat, 1994: 310). Sementara Clifford Geertz mendefinisikan religi rakyat seperti demikian, yang menitikberatkan pada aspek animisme dari sinkretisme Jawa (penyatuan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam) dan secara luas berhubungan dengan elemen petani, sebagai Islam Abangan (1989: 29).

(52)

41

ke makam Buyut Cili pada hari Minggu atau Kamis sore sekitar pukul empat sore untuk memohon restu. Setelah berdoa dan menyampaikan hajat, acara nyekar dengan kembang telon (bunga tiga warna, yaitu mawar, sedap malam, dan pecari atau wongso) tersebut biasanya ditutup dengan memakan tumpeng berlauk pecel pithik bersama-sama di pelataran makam. Rupa-rupanya nama Buyut Cili telah tersohor sehingga, konon, seluruh bupati Banyuwangi sebelum mencalonkan diri nyekar terlebih dahulu ke makam Mbah Buyut Cili.

Gambar 12. Makam Buyut Cili yang dikeramatkan sebagai danyang Desa Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)

Gambar

Gambar 1. Model Analisis Interaktif  (Miles dan Huberman, dalam Serikit, 2009: 48)
Tabel 2. Model Analisis SWOT Albert Humhprey (Rangkut, 2006 dalam Utami, 2012: 40)
Gambar 3. Skema Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 4. Peta Desa Kemiren (Sumber gambar: Panel Data Desa Kemiren 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tembaga juga tergolong ke dalam logam dengan tingkat toksisitas yang tinggi, dengan konsentrasi melebihi 470 mg dapat meracuni tubuh manusia yang menyebabkan

Hasan Sadikin General Hospital toward TB-HIV collaboration program was mostly low, attitude among most inpatient nurses toward this program was positive, but practice

Peubah amatan yang diamati adalah tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, jumlah daun bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao,

Di bawah rumah panggungnya terdengar suara Bu- jang Munang bersama anak-anak kampung yang sedang asyik bermain buah getaho Buah getah itu mereka letakkan di

Kesamaan penelitian yang dilakukan Fera Yustina dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama meneliti mata pelajaran IPA, sedangkan perbedaannya terletak

kedatangan paket yang sukses yang diamati pada destination selama interval waktu tertentu dibagi oleh durasi interval waktu tersebut. b) Packet Loss , merupakan suatu

Sedangkan untuk pertumbuhan tanaman cabai dari hasil penelitian menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah daun pada media tanam menggunakan jenis sumbu berbahan flanel

Hak-hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat kodrati manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu wajib dihormati dan dilindungi oleh negara,